Disclaimer:
Naruto : Kishimoto Masashi
Harmless Love : Yhumi Yuu
Warning: AU, Ooc, Typo
.
.
.
Author's Note:
Sasuke Uchiha : 26 tahun
Hinata Hyuuga : 23 tahun
Nanako Hyuuga : 5 tahun
Rura Uchiha : 5 tahun
Ino Yamanaka : 25 tahun
Anyeong haseo…. ^O^/
Hehehe, saya datang bawa cerita baru lagi nih. Fic ini –Harmless love, sedikit berbeda dengan fic-fic saya yang sebelumnya, karena disini saya memberanikan diri membuat Hinata sedikit OOC, tapi Cuma sedikit kok.. saya bikin dia sedikit lebih berani dan ekspresif, hehehe…
Ok, pasti udah pada penasaran yah? *plak*
Well…
Here we go!
Happy reading!
.
.
.
Harmless Love
~Bahasa Bunga~
'Teng Teng Teng!' suara bel tanda berakhirnya waktu belajar berbunyi di sebuah Taman Kanak-kanak. Beberapa saat kemudian gerbang sekolah yang tadinya sepi –yang hanya ada beberapa orang tua yang ingin menjeput anaknya, kini ramai dengan murid-murid yang berusia dibawah enam tahun itu. Mereka keluar dari sekolah mereka dengan ekspresi berseri-seri diwajah polosnya. Beberapa orang tua terlihat langsung menghampiri anak-anak mereka. Namun ada juga anak yang terlihat masih menunggu orang tuanya yang belum juga datang menjemput.
Nana berjalan keluar dari sekolahnya dengan menggandeng tangan seorang anak laki-laki seusianya.
"Rura-kun dijemput papa lagi?"
"Gak, tadi momy telepon, katanya hari ini, aku dijemput ji-chan."
"Ji-chan?"
"Ehm," Rura mengangguk, "Sasuke ji-chan."
Nana membulatkan mulutnya tanpa bersuara.
Di seberang gerbang, tampak berdiri seorang pria berambut raven dan berwajah menakutkan dimata anak-anak. Tapi justru mendapat tatapan kagum dari perempuan-perempuan dewasa, dan pandangan iri dari kaum pria.
"Ji-chan~" Rura berlari menghampiri pria itu.
Nana mengikutinya dibelakang. Setelah berjarak beberapa meter dari orang itu, Nana berhenti.
"Papa," gumamnya, yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Nana perlahan makin mendekat ke arah pria itu.
"Papa?" gumamnya lagi, yang kini dapat di dengar oleh pria itu.
Rura yang juga mendengar itu memiringkan kepalanya. Nana tidak memperdulikan keheranan Rura, ia makin mendekat.
"Papa…"
Sasuke, pria yang dipanggil 'papa' oleh anak gadis itu hanya memasang wajah bingung sejak tadi. Suasana tiba-tiba berubah hening dan aneh, Nana masih terus sibuk memperhatikan pria yang menarik perhatiannya sejak beberapa saat yang lalu itu.
"Ehm, Nana-chan—" Rura berusaha menginterupsi keheningan itu.
"Bukan," kata Nana tiba-tiba. "Kamu bukan papa," katanya dengan wajah sedih.
Sasuke hanya memandang gadis kecil –yang kini juga tengah memandangnya.
'Mungkinkah anak ini—" sementara pikirannya terus bertanya-tanya.
"Sasuke ji-chan, kenapa ji-chan yang jemput? Dady mana?"
"Dia lagi ke luar negeri."
"Kapan? Lama tidak?"
"Tadi pagi, mungkin akan lama."
"Berarti besok-besok juga ji-chan yang akan menjemputku?"
"Hn," Sasuke mengangguk sambil tersenyum tipis.
Sasuke kemudian hendak melihat gadis kecil itu, tapi ia sudah tidak ada di tempatnya.
"Rura, tadi itu siapa?"
"Nana-chan namanya, dia temanku, kenapa?"
"Hn, tidak. Ayo pulang!" Sasuke lalu membawa Rura ke mobilnya yang terparkir di depan gerbang.
~(^.^ ~) (~ ^.^)~
"Memikirkanmu adalah salah, menatapmu berarti dosa, dan mencintaimu itu terlarang.
Aku terhempas ke sisi terburuk, ke sudut yang tak seorangpun ingin menapaknya.
Ada rasa dalam diam, tak bisa ku tahan sangat perih.
Tak mampu terungkap karena kan menyakiti. Bukan kau, tapi diriku sendiri.
Ironis memang, ketika ku bayangkan rasa itu akan seindah dalam asa, kini ku simpan rapi dalam rahasia."
Hinata mengakhiri barisan novel yang kini diketiknya. Setelah memastikan sudah menyimpan file itu, Hinata kembali melirik pintu masuk toko bunga tempatnya bekerja. Hinata bukanlah penulis, ia hanya suka menulis, oleh karena itu jika ada waktu senggang atau ketika ia tidak terlalu sibuk oleh pelanggan toko bunga itu ia akan menyempatkan dirinya mengetik cerita yang kebetulan terlintas di pikirannya. Dulu sewaktu di SMA, nama Hinata sering terpampang di majalah dinding sekolah sebagai pengarang cerpen atau puisi.
Dia juga sebenarnya tidak bercita-cita menjadi penjaga toko bunga, ia hanya sangat menyukai bunga, oleh karena itu ia bekerja di toko yang kebetulan adalah milik sahabatnya. Hinata sudah hampir tiga tahun bekerja di sana.
Cita-cita sebenarnya dari dulu adalah menjadi seorang guru di sebuah Taman Kanak-kanak. Tapi karena hanya menamatkan pendidikannya di SMA, Hinata tidak bisa menggapai cita-citanya itu. Tapi akhir-akhir ini Hinata menjadi sedikit khawatir, gajinya dari menjaga toko bunga tidak mungkin bisa membiayai kehidupannya. Terlebih lagi sekarang ia….
"Mama~" suara seorang anak kecil sedikit membuyarkan lamunannya.
"Okaeri," Hinata menyambut anak itu dengan senyuman lembutnya.
"Tadaima."
Ya, terlebih lagi sekarang ia punya seorang anak yang semakin hari semakin bertambah besar, yang berarti makin banyak kebutuhannya. Sementara pemasukannya yang hanya menjadi penjaga toko bunga atau penulis lepas di majalah-majalah lokal tidak mencukupi kebutuhannya. Tapi Hinata bersyukur, setidaknya sekarang ia sudah punya pekerjaan tetap, dan bisa menyekolahkan Nana. Terlebih lagi, sekolahnya berada tepat di depan toko bunga tempatnya bekerja sekarang, jadi ia tidak perlu terlalu khawatir ketika mengawasi putrinya.
"Mama lagi apa? Menulis cerita lagi? Nana mau liat," Nana, naik kepangkuan mamanya dengan antusias.
"Memangnya Nana sudah bisa baca?"
"Bisa! Nana kan pintar."
"Iya deh, Nana sudah makan?"
Nana menggeleng cepat, sehingga pipi chubby-nya ikut bergerak ke kiri ke kanan. Hinata merasa gemas melihat anaknya, ia mencubit kecil pipi Nana, kemudian membawanya ke sofa yang berada di tengah-tengah toko bunga tersebut.
"Nah, hari ini mama masak katsu~" Hinata mengeluarkan kotak-kotak bekal dari tasnya.
"Nana suka katsu," Nana memasukan beberapa potong katsu ke mulutnya, membuat Hinata yang melihatnya tersenyum gemas.
"Nana hari ini belajar apa di sekolah?"
"Menggambar, Nana sangat suka menggambar, kalau sudah besar, Nana mau jadi pelukis," kemudian kembali memasukan katsu ke mulutnya, kali ini satu potongan besar.
Hinata terdiam, ia menunduk sedih mendengar penuturan anaknya mengenai cita-citanya. Namun ia tersenyum kemudian.
Tepat ketika Hinata selesai menuangkan jus untuk anaknya, lonceng pintu toko terdengar.
"Selamat datang~" Hinata segera menghampiri pintu masuk.
"Ah! Ino-chan?" ternyata yang datang adalah sahabat Hinata sekaligus pemilik toko bunga itu, Ino Yamanaka.
"Hah~.. hari iniada dua pelanggan sekaligus yang komplain," Ino masuk dan langsung duduk di kursi kebesarannya di belakang meja kasir.
"Itu salahku, gomenasai Ino-san," seorang pemuda memasuki toko.
"Ah, sudahlah, jangan menyalahkan dirimu terus, Shino."
"Ya, kau sudah bekerja keras hari ini, sekarang minumlah, kau pasti lelah," Hinata menyerahkan segelas jus kepada pemuda yang bernama Shino itu, setelah sebelumnya meletakkan segelas jus juga di atas meja Ino.
"Hai! Arigatou Hinata-san," Shino menerima gelas itu dan meminumnya dengan kikuk. Hinata tersenyum melihat sikap Shino, beberapa saat kemudian terlihat rona merah di pipi pemuda itu.
"Oh iya Shino, minggu depan kau sudah mulai ujian kan?"
"Iya"
"Kalau begitu ambilah cuti satu minggu, supaya kamu bisa belajar dengan baik untuk menghadapi ujianmu," kata Ino seraya memeriksa tumpukan kertas-kertas di hadapannya.
Shino kemudian terlihat ketakutan, "A-apa aku di pecat? A-aku minta maaf Ino-san, aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi, aku akan lebih berhati-hati, aku janji. Karena itu kumohon jangan—"
"Stop! Siapa yang mau memecatmu? Apa aku tadi bilang ingin memecatmu?"
"Terus?" Shino menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aku suruh kau cuti, supaya kau bisa belajar dengan baik untuk menghadapi ujianmu minggu depan itu," Ino memberi penekanan pada setiap kata-katanya, memastikan pemuda dihadapannya ini tidak salah menafsirkannya lagi.
Hinata tersenyum geli melihat sikap atasan dan bawahan itu.
"Oh begitu? Tidak apa-apa, aku bisa belajar sambil bekerja."
"Apanya yang tidak apa-apa? Akhir-akhir ini pekerjaanmu berantakan, Ino benar, ambillah cuti dan belajar dengan benar, supaya kamu bisa lulus," Hinata akhirnya ikut dalam pembicaraan itu.
"Tapi bukankah kalian akan kerepotan kalau berdua saja?"
"Tidak apa-apa, kalau kamu cuti, gajiku akan naik,"Hinata terkekeh setelah mengatakannya.
"Baiklah, kalau begitu aku akan belajar dengan giat!" Shino terlihat bersemangat.
"Kau ini aneh Shino," Ino tiba-tiba bersuara.
"Eh?"
"Aku baru kali ini melihat anak remaja yang hanya memikirkan belajar dan bekerja. Keluarlah sekali-sekali untuk berkencan! Masa tidak ada satupun dari gadis-gadis di sekolahmu yang suka padamu?" kata perempuan berambut blonde itu sambil menopang dagunya. "Jangan-jangan, kau penyuka sesama jenis ya?" tambahnya dengan nada bergurau.
"Wah, Shino! Benarkah?" Hinata berkata dengan wajah ngeri yang dibuat-buat.
"Hahaha, tentu saja aku punya wanita yang ku suka."
"Oh, benarkah? Siapa?" Tanya Ino antusias.
"Tapi.. Dia wanita yang sulit ku gapai, dia terasa sangat jauh walaupun dia berada begitu dekat."
"Apa dia tahu kalau kau menyukainya?" Hinata tampak tertarik dengan sesi curhat dadakan mereka ini.
Shino menggeleng pelan, "Tidak, dia tidak tahu."
"Oh.. kau bertepuk sebelah tangan ya?" ledek Ino.
"Sepertinya begitu," Shino tertawa renyah.
"Kalau begitu, lupakan saja gadis itu, carilah wanita lain, dan sempatkanlah berkencan sekali-kali," setelah berkata itu, Ino kembali meneguk jusnya yang tersisa.
"Hai! Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," Shino sedikit membungkuk.
"Hah~ inilah susahnya mempekerjakan anak sekolahan."
"Mama~ mintanya jus lagi.." tiba-tiba suara melengking Nana menginterupsi pembicaraan dewasa itu. Hinata lalu menghampiri anaknya.
"Sudah makannya?"
"Ehm!" Nana mengangguk.
Hinata lalu menuangkan jus ke dalam gelas anaknya. Nana menerimanya dan langsung meminumnya, hingga tersisa setengah bagian.
"Oh iya ma, tadi aku lihat orang yang mirip sama papa."
"Apa?!" tidak hanya Hinata, kedua orang lainnya yang berada di ruangan itu juga iut menoleh ke arah Nana.
"Nana bilang lihat papa?" Hinata mendekatkan wajahnya ke anaknya. Sampai-samai Nana merasa seakan dintimidasi.
Nana menggeleng, "Bu-bukan papa, tapi mirip."
"Nana gak boleh ketemu sama orang itu lagi!"
"K-kenapa ma?"
"Kalau mama bilang gak boleh, ya gak boleh!"
"Tapi—" mata gadis kecil itu mulai berkaca-kaca.
"Kenapa Nana nakal? Nana juga gak boleh bicara tentang papa lagi! Mengerti?"
"Gak mau, mama jahat~" Nana mulai menangis.
"Dengar, Nana gak punya papa, Nana cuma punya mama."
"Bohong, mama bohong sama Nana~" Nana mulai berteriak di sela-sela tangisnya.
"Nana gak boleh mencari papa lagi! Nana harus membencinya!"
"Hinata!" Ino akhirnya mengambil alih ketegangan di antara ibu dan anak itu.
Hinata beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah dinding kaca yang menghadap ke jalan raya. Matanya berkaca-kaca dan nafasnya terlihat memburu.
"Nana-chan! Nana mau es krim gak?" Shino mendekat ke gadis kecil yang masih terlihat sesegukan itu.
Nana mengangguk lemah. Shino dan Ino tersenyum.
"Mau ikut paman beli es krim?"
Nana kembali mengangguk, sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya.
"Ayo anak manis! Kita makan es krim sepuasnya~" Shino menggendong Nana dengan tiba-tiba. "Nana suka rasa apa?"
"Blueberry." Shino benar-benar merasa gemas dengan anak kecil dalam gendongannya yang sedang mengerucutkan bibirnya itu.
"Es krim yang lezat, kami datang~" Shino membawa Nana keluar dari toko tersebut dan berjalan menyusuri trotoar.
Setelah Shino sudah benar-benar menjauh dari toko, Ino mendekati Hinata.
"Nana masih terlalu kecil, dia masih lima tahun Hinata, jangan libatkan dia dalam dendammu pada orang itu."
Hinata diam saja, matanya hanya memandang kosong jauh ke depan.
"Bagaimanapun, aku sudah melihatmu berjuang sendiri mengurus Nana selama tiga tahun ini. Aku tahu kau wanita yang kuat, tapi Nana tidak, dia membutuhkan sosok seorang ayah…"
Hinata masih tetap bungkam.
"Nana masih kecil, hidupnya masih panjang, hidupmu juga masih panjang, ku mohon pikirkanlah Hinata…"
"Tapi—"
"Aku tahu, kau tidak percaya lagi sama makhluk yang bernama laki-laki kan? Ayolah Hinata, jangan karena satu orang itu kau jadi trauma dengan semua laki-laki, aku yakin di luar sana pasti ada seseorang yang akan mencintaimu dengan tulus. Karena itu mulailah buka hatimu untuk cinta yang baru dan lupakan dendammu itu."
"Maafkan aku Ino-san, tapi aku tidak bisa. Entahlah.."
"Kau tidak boleh begini, Hinata yang ku kenal dulu bukanlah gadis yang egois."
"Hinata yang dulu? Aku bukanlah gadis lemah itu lagi, aku tidak akan menjadi bodoh lagi!"
"Hinata…" Ino memandang sedih sahabat semasa SMA-nya itu. Ia menghela nafas lelah sebelum kembali berbicara. "Lihatlah bunga Celandine itu, kau tahu kan arti dari bunga itu?"
Hinata melihat sejenak ke arah bunga berwarna kuning yang berada di dekat jendela itu, kemudian menunduk.
"Bunga Celandine berarti kebahagiaan yang akan datang," Ino memberikan jeda antara kalimatnya. "Jangan terus terjebak dalam masa lalu Hinata, masa lalu hanya akan mengubur kebahagiaanmu, juga pesonamu. Kau harus bahagia, bukan demi siapapun, tapi karena kau memang pantas mendapatkannya," Ino mengakhiri kalimatnya dan mulai melangkah meninggalkan Hinata.
"Aku—" Hinata menggantungkan kata-katanya, membuat Ino menghentikan langkahnya.
Tanpa berbalik menghadap ke Ino, Hinata kemudian melanjutkan. "Aku takut. Bunga akan mekar ketika mendapat sinar matahari, aku takut ketika matahari menghilang mereka akan layu dan mati. Aku sangat takut…" suaranya terdengar bergetar.
Ino tersenyum tipis, "Tapi aku percaya, setangkai bunga, walaupun sudah layu, dia mungkin memang kehilangan pesonannya, tapi dia tidak pernah kehilangan artinya. Sejak dulu, dimataku kau bagaikan setangkai bunga Daisy merah," kemudian dia melangkah ke sebuah ruangan yang berada di belakang meja kasir.
Setelah ia benar-benar sendirian di ruangan itu, Hinata bergumam, "Bunga Daisy merah? Hahaha, kau tidak tahu, bunga itu sudah layu sejak dipetik lima tahun yang lalu. Bahkan sebelum dia sempat mekar," genangan air mata yang dari tadi menumpuk, menuruni pipinya.
Daisy merah berarti kecantikan yang tidak diketahui pemiliknya, cinta, tulus, sederhana, dan cinta yang jauh dari gairah berlebihan.
~(^.^ ~) (~ ^.^)~
Mobil sedan hitam Sasuke berhenti di depan sebuah rumah megah bergaya Eropa, beberapa saat kemudian ia turun dengan seorang anak kecil yang dijemputnya tadi.
Rura langsung berlari ke dalam rumahnya sambil berteriak. "Tadaima~" Sasuke berjalan di belakangnya.
"Okaeri," seorang wanita berambut biru menyambut mereka. "Anak mama udah pulang? Ayo ganti baju dan cuci tangannya dulu!"
"Ok mom!" anak itu lalu berlari ke bagian dalam rumahnya.
"Maaf ya Sasuke-kun, jadi merepotkanmu…"
"Hn, tidak apa-apa, kapan Itachi pulang?"
"Mungkin minggu depan, kau tidak keberatan kan menjemput Rura seminggu ini?"
"Ehm" Sasuke hanya mengangguk. "Kalau begitu aku pulang dulu," ia mohon diri dan melangkah meninggalkan rumah tersebut.
"Eh? Makan sianglah disini!"
"Tidak usah, kalau Itachi menelpon sampaikan salamku untuknya."
"Ya, tentu."
"Aku pergi dulu."
"Ehm, hati-hati"
"Konan-sama, makan siangnya sudah siap," seorang pelayan menghampirinya.
"Momy~ ayo!" kini suara Rura yang terdengar.
"Iya, iya…" konan lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya.
~(^.^ ~) (~ ^.^)~
Hinata membuka perlahan pintu apartemen kecilnya, dengan perlahan juga ia melangkah masuk. Tadi ia mendapat sms dari Shino yang katanya sudah mengantarkan Nana pulang. Mereka masuk dengan menggunakan kunci yang dipegang Nana. Hinata memang sengaja memberikan kunci duplikat apartemennya kepada anaknya, supaya jika sewaktu-waktu ia terlalu sibuk, ia tidak perlu khawatir Nana akan tertidur diluar karena menunggunya pulang.
Hinata mendekati pintu kamar anaknya. Ia menempelkan telinganya di daun pintu yang tertutup itu. Tidak ada suara. Hinata perlahan membuka pintu kamar itu, awalnya ia mengira anaknya sedang tidur, ternyata Nana sedang duduk memeluk lutut di atas tempat tidurnya. Hinata menghampiri anaknya dan duduk di depannya.
"Nana masih marah sama mama?" Hinata memperdengarkan suara sedihnya.
Nana tidak menjawab, dia hanya menggeleng.
"Maafin mama yah…" Hinata memeluk anaknya, "Seharusnya mama gak kasar sama Nana," air mata kembali menetes di pipi ibu muda itu.
Nana mengangguk di pundak ibunya. Perlahan ia melepaskan pelukan ibunya. Hinata kaget karena anaknya melepaskan pelukannya. Ia hampir kembali menangis, namun tidak jadi ketika Nana mengangsurkan sesuatu ke hadapannya. Sebuah permen lollypop. Hinata menerima permen itu, kemudian kembali memeluk anak semata wayangnya.
"Kalau aku lagi sedih, biasanya Rura-kun memberiku permen, kalau makan permen kita akan merasa senang katanya, jadi mama jangan sedih lagi ya…" katanya seraya menghapus air mata ibunya dengan jari-jari kecilnya.
Hinata hanya mampu mengangguk, kemudian mencium puncak kepala putrinya.
~(^.^ ~) (~ ^.^)~
Shino resmi cuti hari ini, dan dimulailah hari-hari sibuk Ino dan Hinata di toko bunganya yang bernama 'Yamanaka Flower Shop'. Beberapa menit setelah mereka membuka tokonya, lonceng di pintu masuk berdenting. Ino sedang sibuk menata bunga-bunga pada tempatnya, dan karena Hinata yang berada lebih dekat dengan pintu masuk, jadilah dia yang menerima pelanggan pertama mereka hari ini.
"Selamat dat—" kaliamat Hinata terpotong melihat sosok yang baru memasuki toko mereka. Hinata tidak mampu bergerak, ia terdiam di tempatnya. 'w-wajahnya, dia…' Hinata berperang dengan pikirannya sendiri.
Pelanggan yang ternyata seorang pria itu hanya menatap dingin reaksi wanita di hadapannya. Ia juga tidak tampak berniat mengucapkan apapun untuk menyadarkannya. Ia hanya diam, tapi tetap tidak melepaskan pandangannya pada wanita itu.
"Bukan Hinata.. mereka hanya mirip, dia bukan orang itu," Ino berbisik di telinga Hinata, yang kemudian membuat wanita itu sedikit tersadar dari lamunannya.
'Benar, kalau diperhatikan baik-baik mereka memang berbeda, ya ampun… kenapa muka seperti itu pasaran sekali?' Hinata lalu kembali ke meja kasir. Secara tidak langsung ia menyerahkan tugas melayani costumer-nya kepada Ino. Ia merasa tidak sanggup berhadapan langsung dengan orang yang mempunyai wajah yang mirip dengan orang yang sangat ia benci.
"Kami mohon maaf atas kejadian barusan, dia hanya—"
"Aku tidak tertarik mendengarnya."
"Oh, baiklah. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mencari bunga untuk seseorang."
"Seorang wanita?"
"Hn," pria itu mengangguk. "Saya mau bunga ya mengggambarkan kecantikan dan keanggunan," katanya sambil berkeliling di deretan bunga-bunga yang berukuran kecil.
"Bagaimana kalau Red Rose dan Pink Rose?"
Pria itu tampak berpikir.
"Red Rose berarti kecantikan, dan Pink Rose bararti keanggunan" Ino menjelaskan.
"Baiklah yang itu saja, buatkan aku satu bucket yang besar!"
"Baik, harap tunggu sebentar, Tuan…" Ino lalu berjalan ke bagian bunga-bunga mawar itu berada.
Setelah membayar di kasir, pria itu menghabiskan waktu menunggunya dengan duduk di sebuah kursi panjang yang berada di depan meja kasir dan membaca majalah yang memang disediakan di toko itu. Tapi entah ia menyadarinya atau tidak, ada sepasang mata yang memperhatikannya sejak tadi.
Pria itu kemudian berdiri dan berjalan mendekat ke meja kasir ketika melihat Ino keluar sambil menggendong satu bucket bunga yang sudah dirangkai dengan sangat indah, bahkan Hinata sempat kagum melihatnya, bunga itu benar-benar cantik.
"Silahkan Tuan," Ino menyerahkan bucket bunga itu.
Pria itu menerimanya, "Hn, bisakah kalian menuliskan kartu ucapannya sekalian?"
"Oh, tentu saja," Ino melirik Hinata. "Hinata, kartunya!"
"Ah, iya…" Hinata lalu menyerahkan selembar kartu berwarna pink cerah dan sebuah pena.
"Maaf, Anda ingin ingin menulis apa?"
Pemuda itu tampak berpikir sejenak, "Wanita tercantik yang pernah kumiliki di hhidupku."
Hinata sedikit melirik pria itu, kalau dilihat dari sikapnya, pria ini bukalah tipe orang yang romantis menurutnya.
Ino menuliskan kata-kata yang diucapkan pria itu.
"Dari?"
"Sasuke Uchiha."
Ino dan Hinata serentak membulatkan matanya mendengar nama itu. Tidak, lebih tepatnya nama marganya lah yang membuat mereka sejenak sama-sama membulatkan matanya.
"Ma-maaf?" Ino ingin memastikan bahwa pendengarannya sedang tidak bermasalah.
"Sasuke Uchiha" pria yang ternyata Sasuke itu, mengulang kalimatnya, tanpa menyadari perubahan ekspresi kedua wanita di depannya.
Ino telah selesai menuliskan kartu ucapan dan menyelipkannya ke dalam bucket bunga. Pria itu lalu berjalan keluar toko, bunyi lonceng kembali terdengar ketika ia melewati pintu.
"Uchiha ya? Pantas mirip" gumam Ino. "Hinata, kau yakin 'orang itu' tidak punya kembaran?"
"Tentu saja," kata Hinata.
"Tapi dia kan Uchiha, apa kau tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya?"
"Entahlah, seingatku aku tidak pernah melihatnya"
"Tapi dia sangat tampan," Ino berkata sambil meletakkan tangannya di pipinya.
"Ingat Ino, dia itu Uchiha."
"Iya, iya aku tahu Hinataku sayang…"
~(^.^ ~) (~ ^.^)~
Mikoto Uchiha, wanita yang masih tampak cantik walaupun kini usianya hampir kepala lima. Ia kini tengah membentuk bonsai yang berada di taman depan rumahnya. Sambil bersenandung kecil wanita yang memiliki dua putra ini menggunting daun-daun bonsai menggunakan sebuah gunting rumput yang berukuran sedang.
Kegiatan paginya yang menyenangkan itu terhenti ketika sebuah mobil sedan memasuki gerbang rumahnya. Seseorang yang sangat ia kenal keluar dari mobil tersebut dengan menenteng sebuah bucket bunga. Mikota lalu meletakkan gunting rumputnya dan segera menghampiri sosok yang kini tengah melangkah ke arahnnya.
"Sasuke-kun~" ia memluk pria yang merupakan putra bungsunya itu dengan sangat erat.
Sasuke membalas pelukan ibunya seraya tersenyum tipis. Beberapa saat kemudian ia melepas pelukannya. Ia menyerahkan bunga yang tadi dibelinya kepada sang ibu.
"Selamat ulang tahun, Okaa-san."
"Oh… cantiknya. Terima kasih sayang. Oh! Ada suratnya juga," ia membuka sepotong kertas yang terselip di bucket bunga tersebut. "Ehm, 'wanita tercantik yang pernah kumiliki di hidupku', manisnya~" ia menatap Sasuke dengan tatapan manja. "Ayo masuk! Kaa-san mau memasukkannya ke vas"
Bunga mawar merah dan pink itu kini terangkai dengan indah di dalam vas, Mikoto lalu meletakkannya di atas buffet yang berada di sudut ruang tamunya yang luas. Makin memperindah ruangan yang didominasi warna putih dan emas itu. Dan di salah satu sofanya, tampak Sasuke sedang duduk sambil menikmati teh yang baru saja dihidangkan oleh salah satu pelayannya. Mikoto menghampiri Sasuke dan duduk di sampignya.
"Apa Itachi sudah mengucapkan selamat ulang tahun pada Kaa-san?"
"Ya, tadi pagi-pagi sekali dia menelpon, sepertinya dia sangat takut keduluan olehmu," Mikoto tersenyum geli, sebelum menyesap teh hangatnya yang beraroma nikmat itu.
"Baka aniki!" gumamnya.
"Bagaimana kabarmu nak? Kau betah tinggal sendirian? Kaa-san masih berharap kamu mau tinggal dengan kaa-san di sini, kamu tahu kan kaa-san sangat kesepian setelah kepergian tou-sanmu?"
"Maafkan aku Kaa-san, tapi aku ingin mencoba hidup mandiri."
"Hah… padahal aku punya dua putra, tapi tidak ada satupun yang perduli padaku," wanita yang masih terlihat awet muda itu tamnpak mulai merajuk.
"Jangan berkata begitu, kalau aku sedang tidak sibuk, aku akan sering-sering ke sini."
"Bukankah kamu tidak pernah tidak sibuk? Belum lagi kalau kamu nanti punya pacar, pasti kaa-san yang tua dan peot ini langsung dilupakan."
"Tentu saja tidak, bukankah sudah ku bilang? Kaa-san adalah wanita tercantikyang pernah kumiliki di hidupku."
"Benarkah?" Tanya ibu itu tanpa menghilangkan ekspresi manjanya.
"Iya," Sasuke hanya mengangguk maklum.
Mikoyto tersenyum, tapi beberapa saat kemudian senyumnya memudar, "Tapi Sas, kaa-san jadi khawatir, kenapa sampai usiamu yang ke 26 ini, wanita tercantikmu masih kaa-san? Apa kau tidak punya seseorang yang spesial?" nyonya Uchiha itu lalu sedikit bergeser mendekat ke Sasuke. "Kau tahu, kaa-san sangat ingin menggendong seorang bayi, Rura-chan sudah besar, dia sudah tidak mau digendong oleh kaa-san. Oh~ kaa-san benar-benar ingin punya cucu perempuan…" Sasuke tersenyum tipis melihat ibunya bersikap manja.
"Sasuke-kun, kapan kau akan membawanya pada kaa-san? Wanita spesialmu?"
"Segera Kaa-san." Sasuke tampak diam sejenak. "Setelah sekian lama, akhirnya aku menemukannya kembali, satu-satunya wanita yang pernah dan masih menjadi wanita spesialku setelah Kaasan. Ini mungkin tidak akan mudah, tapi tidak lama lagi, aku akan membawanya menemui kaa-san, jadi bersabarlah…"
Mikoto sejak tadi memperhatikan wajah Sasuke, sudah lama ia tidak wajah Sasuke yang seperti itu, wajahnya yang sedang jatuh ciinta. "Ya, berjuanglah untuk cintamu, nak!" Mikoto tersenyum.
-T B C-
.
.
Pasti udah pada bisa nebak kan? Siapa 'orang itu'?
Hehehe…
See you in the next chap!
Gomawo ^O^
Review Please?
