Terima kasih semuanya telah me-review dan membaca Rose Weasley dan Iris Zabini 1 dan 2, Lima Tahun: Lily dan Alan dan Apa yang Terjadi di The Cannons?. Terima kasih karena telah membuatku tetap bersemangat. Berikut ini adalah sequel Rose Weasley dan Iris Zabini 2. Aku minta maaf karena baru publish sequelnya sekarang karena beberapa hari ini koneksi internet di tempatku sangat buruk. Selamat Membaca!
Disclaimer: J. K. Rowling
Rating: NC-16
Warning: M for Language, Lime and Violence.
PERGI UNTUK MELUPAKAN
PROLOG
"Rose!" terdengar suara panggilan lembut. Suara ini adalah suara yang sudah sering didengarnya dalam setiap mimpi dan sadarnya, suara yang selalu dirindukannya dan ingin selalu didengarnya sepanjang sisa hidupnya. Rose merasakan jantungnya berdebar-debar dengan bahagia. Dia membuka matanya dan melihat bahwa dia berada di sebuah hutan tropis dengan pohon-pohon berdaun hijau yang segar dan sinar matahari yang bersinar lembut di celah dedaunan.
"Rose!" terdengar lagi suara itu. Rose berjalan perlahan menyusuri jalan setapak kecil di antara pepohonan dan akhirnya dia melihatnya... Scorpius memakai jubah putih panjang berkilau, dengan rambut pirang-putihnya yang seperti pasir bercahaya diterpa sinar matahari, tulang pipi dan mulutnya yang indah, juga mata abu-abu-peraknya yang bersinar lembut menatap Rose. Dia sedang tersenyum pada Rose. Rose ingin menangis dan tertawa sekaligus, dia begitu bahagia, kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
"Scorpius!" kata Rose pelan, lalu berlari memeluk Scorpius.
Rose memeluknya dengan erat, airmata bahagia membanjiri pipinya, dia merasakan tangan Scorpius di punggungnya, aroma musk yang familiar, jantung Scorpius yang seolah berdetak menyatu dengan jantungnya sendiri, kehangatan pelukannya dan Scorpius. Scorpiusnya, jantung itu berdetak, Rose juga sedang memeluknya sekarang, jadi dia tidak mungkin mati... dia masih hidup. Dia di sini bersamanya.
Rose melepaskan diri, memandang Scorpius penuh perhatian seolah ingin menghafal bentuk hidung, tulang pipi, bibir dan matanya.
"Rose!" kata Scorpius lembut, menghapus airmata yang terus mengalir dipipi Rose.
"Kau masih hidup, Scorpius... Scorpius... Scorpius..." kata Rose, entah mengapa dia ingin selalu mengucapkan nama itu. Dia mengatupkan tangannya pada tangan Scorpius yang masih ada dipipinya dan membiarkan airmatanya mengalir lagi. "Jangan pergi lagi, kumohon! Aku membutuhkanmu... kami, Carina dan aku, membutuhkanmu... kami merindukanmu setiap hari sejak kau pergi... jadi jangan pergi lagi... jangan pergi!" dia memeluk Scorpius lagi dengan erat.
"Rose..." kata Scorpius dirambut merah Rose yang lebat dan ikal.
Rose melepaskan pelukannya, lalu mengulurkan tangannya menggenggam jemari Scorpius. Dia ingin menyentuh Scorpius dan tidak ingin melepasnya lagi kalau bisa selamanya.
"Aku harus pergi, Rose!" kata Scorpius, menggerakkan tangannya berniat melepaskannya dari jari-jari Rose.
"Tidak!" kata Rose, mencengkram tangan Scorpius dengan erat. "Kumohon, jangan... jangan..."
"Rose, aku minta maaf karena tidak mengucapkan selamat tinggal sebelum aku pergi... semua terjadi begitu cepat, tapi ini memang harus terjadi karena sebuah tragedi bisa mengajarkanmu untuk bersikap tegar dan menghargai kehidupan yang sudah ada... kau harus menjalani hidupmu dengan baik mulai sekarang," kata Scorpius, memberikan senyuman lembut pada Rose yang terisak keras.
"Tidak... tidak... kau hidupku Scorpius, kau segalanya bagiku... aku tidak bisa hidup tanpamu."
"Berusahalah, Rose! Kau harus tetap hidup... garis kehidupanmu masih panjang karena masih ada yang membutuhkanmu... Carina membutuhkanmu," kata Scorpius. Dengan lembut dia melepaskan cengkraman Rose dan berjalan mundur menjauhi Rose.
"Tidak... tidak! Bagaimana denganku, aku membutuhkanmu... jangan tinggalkan aku, jangan pergi, kumohon... Scorpius!" seru Rose berusaha mengulurkan tangannya menggapai Scorpius, tapi Scorpius telah berubah menjadi kabut putih yang tidak bisa disentuh.
"SCORPIUS!" jerit Rose, melihat Scorpius pelan-pelan menghilang dari hadapannya seperti kabut yang menguap terkena sinar mentari.
Airmata Rose mengalir membasahi pipinya, dia memanggil Scorpius dengan jeritan nyaring memilukan.
Rose terkejut dan bangun. Jantungnya berdebar kencang seolah dia baru saja berlari puluhan kilometer. Matanya basah, dia menangis. Mimpi itu lagi, mimpi yang selalu hadir disetiap malam-malamnya. Mimpi yang selalu membuatnya benar-benar mati rasa, membuatnya sangat ingin kehidupan ini segera berakhir agar kesedihan tidak lagi membuatya menderita. Dia ingin pergi bersama Scorpius selamanya. Rose menutup wajahnya dengan bantal dan menangis untuk kesekian kalinya dalam satu bulan terakhir ini sejak Scorpius pergi. Menangisi Scorpius yang meninggalkannya, yang bahkan dalam mimpi pun tidak mau bersamanya.
Alarm di mejanya berbunyi. Sebentar lagi matahari terbit, Rose harus bangun untuk menyiapkan sarapan Carina. Rose menghapus sisa airmatanya. Scorpius benar, pikir Rose dalam hati, dia harus tetap hidup untuk Carina, buah hatinya dan Scorpius... satu-satunya bukti bahwa Scorpius benar-benar pernah hidup, pernah menjadi seseorang yang sungguh-sungguh berarti baginya, juga pernah merajut sebuah kisah bersama walaupun cuma sesaat. Rose berusaha dengan keras mengingat semua kisah mereka. Dia menuliskan kisah itu diotaknya agar tidak lupa karena perlahan-lahan beberapa hal kecil mulai lenyap dari pikirannya. Dia tidak ingin itu terjadi, dia ingin Scorpius harus selalu ada selamanya dipikirannya, dia tidak ingin melupakan Scorpius sedetikpun.
"Ma-ma!" kata Carina, berdiri di depan pintu kamar.
"Kemarilah, Sayang!" kata Rose, tersenyum pada Carina.
Carina adalah gadis kecilnya yang berumur dua tahun. Bentuk wajahnya, pipinya, hidung dan mulutnya adalah Scorpius, sedangkan matanya yang biru bening adalah mata Rose. Kulit Carina putih pucat dan syukurlah, tanpa bintik-bintik. Carina berlari kecil, naik ke tempat tidur dan duduk di pangkuan Rose. Rose memeluknya dan menempelkan pipinya pada pipi Carina yang montok.
"Bagaimana kabarmu, Sayang?" tanya Rose lembut.
"Keli mimpi Da-da!" kata Carina.
"Coba ceritakan pada Mommy," kata Rose dengan suara bergetar, mengerjapkan mata untuk menahan airmata. Bukan dia saja yang merindukan Scorpius, tapi Carina juga... mereka berdua sangat merindukan Scorpius.
"Da-da bilang Keli tidak boleh nangic... Keli halus telcenyum kalna Daddy cedih kalau Keli belcedih."
"Benar, Sayang!" kata Rose, mengelus rambut pirang-putih Carina. "Kau tidak boleh bersedih, kau harus selalu tersenyum dan membuat Daddy bahagia di sana."
"Di cana? Da-da cekalang di mana, Ma-ma?" tanya Carina, memutar kepalanya memandang Rose.
"Mommy juga tidak tahu, Sayang, tapi Daddy akan terus... dia tidak akan kembali," kata Rose, pikirannya menerawang. Dia juga tidak tahu ke mana orang-orang mati pergi dan mengapa dunia ini tidak penuh dengan hantu, tapi apakah dia akan terima kalau Scorpius kembali sebagai hantu? Dia mengelengkan kepalanya kuat-kuat. Walaupun Scorpius benar-benar telah meninggal, dia tidak ingin Scorpius kembali sebagai hantu. Dia ingin Scorpius kembali sebagai tubuh yang solid karena Rose sangat ingin menyentuh dan memeluknya.
"Ma-ma, teluc ke mana... Da-da teluc kemana?" tanya Carina ingin tahu.
Rose tersenyum memandang Carina, teringat akan dirinya sendiri. Carina memang boleh berwajah dan berambut Malfoy, tapi kepribadiannya adalah Weasley. Rasa ingin tahu dan dengan cepat bisa memahami apa yang disampaikan padanya, lalu wajahnya yang memerah sampai ketelinganya kalau sedang marah adalah Weasley. Tentu saja, keberanian juga. Keberanian adalah ciri khas seorang Weasley. Itulah yang menempatkan mereka di Gryffindor. Apakah Rose punya keberaniaan? Tidak! Dia tidak punya keberanian. Tidak ada Gryffindor dalam dirinya, dia tidak berani menerima kenyataan bahwa Scorpius sudah meninggalkannya.
Beberapa hari ini dia hidup dengan harapan bahwa Scorpius akan kembali, bahwa dia masih hidup, bahwa dia baik-baik saja, bahwa mayat hangus itu bukan Scorpius. Itulah yang membuatnya tetap tegar dan hidup. Carina juga begitu, Rose telah memberikan harapan itu padanya dan mereka berdua akan menantikan Scorpius kembali. Dia pasti pulang... pasti pulang. Rose tidak ingin harapannya pupus karena jika itu terjadi dia akan mati, dia bahkan mempertimbangkan untuk membawa Carina bersamanya.
"Ma-ma..." kata Carina tidak sabar. "... Daddy teluc ke mana?"
"Mommy sungguh-sungguh tidak tahu, Carrie, tapi kau bisa bertanya pada GreatGrand Arthur... atau nanti kalau sudah dewasa kau bisa bekerja di Depertemen Misteri dan mencari tahu ke mana orang-orang mati pergi."
"Peltemen Micteli?" tanya Carina.
"Depertemen Misteri adalah sebuah depertemen yang ada di Kementrian Sihir, yang mempelajari tentang misteri-misteri yang tidak bisa dipecahkan oleh akal manusia," kata Rose. Kemudian dia mencerita kisah petualangan Uncle Harry, Aunt Ginny dan orangtuanya saat berkunjung di Depertemen Misteri. Bagaimana mereka mengunjungi setiap ruangan dan melihat beberapa keajaiban yang tidak ada di depertemen lain.
"Balik-waktu?" tanya Carina tertarik mendengar tentang Pembalik Waktu yang ada di Depertemen Misteri.
"Ya, Pembalik Waktu adalah alat yang bisa membalikkan waktu, kita bisa kembali ke waktu-waktu sebelumnya... kita juga bisa berada di dua tempat secara bersamaa," kata Rose, lalu menceritakan kisah ibunya, Hermione Weasley, yang mengambil beberapa pelajaran tambahan dan menyelamatkan Sirius Black dengan Pembalik Waktu. "Pembalik Waktu juga bisa membuat kita melihat suatu peristiwa dengan sudut pandang berbeda dan mengubahnya di masa depan."
"Keli cuka balik-waktu, Ma-ma... Keli bica bawa Da-da pulang kan?" tanya Carina bersemangat, tersenyum sambil mengerutkan kening. Rose menduga dia sedang memikirkan bagaimana cara memperoleh Pembalik Waktu.
"Tidak bisa seperti itu, Sayang... Carrie tidak bisa membawa Daddy kembali karena akan merusak tatanan kehidupan yang sudah ada. Daddy sudah pergi dan kita tidak akan bisa membawanya kembali... kalau Carrie tetap melakukannya Daddy akan benar-benar sedih," kata Rose, kemudian dia menceritakan kisah Tiga Saudara dalam Kisah-Kisah Beedle si Juru Cerita, tentang saudara kedua yang memanggil kekasihnya dari alam roh.
"Da-da cedih," kata Carina setelah mendengarkan kisah Tiga Saudara.
"Ya, Carrie tidak ingin Daddy sedih kan?" tanya Rose, mencium rambut Carina yang harum.
"Tak mau... Keli mau Da-da cenang," kata Carina.
Rose tersenyum.
"Baiklah, sekarang Carrie tunggu Mommy di luar, kita akan membuat sarapan bersama," kata Rose, melepaskan Carina.
"Hole!" kata Carina ceria, "... Keli bikin nekuk."
Rose tersenyum dan mengangguk. Carina keluar kamar sambil berlari kecil dengan ceria.
Inilah kehidupan mereka berdua, berusaha bertahan hidup tanpa Scorpius. Rose sebenarnya tidak mampu menjalani hari-hari ini jika keluarganya tidak ada di sampingnya. Orangtua dan keluarganya, juga Mr. dan Mrs. Malfoy, yang selalu datang mengunjunginya setiap hari, adalah sumber penghiburannya, mereka membuatnya sibuk dan melupakan kesedihannya untuk sesaat, tapi saat malam tiba airmatanya akan kembali mengalir... dia akan menangis diam-diam di kamar dan melepaskan semua kepura-puraannya yang dilakukannya siang hari.
Rose berganti pakaian dan keluar kamar bersamaan dengan bunyi pop orang ber-apparate di ruang tamunya. Akhir-akhir ini memang keluarganya tidak sungkam-sungkam lagi, mereka semua langsung ber-apparate di ruang tamunya tanpa melalui pintu depan.
"Carrie sedang masak apa?" tanya Iris, yang baru saja ber-apparate dengan Samuel bergantung dipinggulnya. Dia memandang ke dapur melihat Carina sedang duduk di atas meja dapur dan menuangkan tepung ke dalam mangkuk.
Rose juga memandang Carina dengan terkejut dan bergerak cepat mendekatinya. Bagaimana anak itu bisa naik di atas meja, pikir Rose dalam hati, dia harus lebih berhati-hati karena Carina bisa saja melukai dirinya sendiri.
"Sayang, tuang tepungnya harus pelan-pelan," kata Rose, membantu Carina menuangkan tepung. Dalam hati bertanya bagaimana Carina bisa mendapatkan tepung.
"Pelan-pelan," ulang Carina.
"Sayang, di mana kau mengambil tepung ini?" tanya Rose, mengayunkan tongkat sihirnya membersihkan tepung yang tumpah.
"Citu," jawab Carina menunjuk lemari penyimpanan. "Keli pake kulci."
"Oh... Carrie mengambilnya pakai kursi," ulang Rose. Menenangkan jantungnya yang berdebar ketakuan karena Carina bisa saja tertimpa kursi.
Carina mengangguk. "... nekuk."
"... nekuk," kata Samuel yang telah diletakkan Iris di kursi dapur di depan Carina.
Iris Zabini adalah satu-satunya sahabat Rose. Dia adalah seorang wanita cantik berambut hitam dengan mata abu-abu yang bercahaya. Sedangkan Samuel, yang baru saja berumur dua tahun beberapa hari yang lalu, adalah anak Al, sepupu Rose. Samuel merupakan Al dalam versi yang lebih muda – rambut hitam, mata hijau cemerlang, bentuk wajah, pipi dan mulut – tidak ada sedikitpun Isabella, istri Al yang sudah meninggal, dalam penampilan fisik Samuel. Rose tidak tahu tentang kepribadian Isabella, tapi mungkin Samuel mewarisi kepribadiannya.
Al, Iris dan Samuel tinggal bersama sebagai satu keluarga di Godric's Hollow. Sesuatu yang selalu dibicarakan keluarga setiap kali mereka datang mengunjungi Rose karena Al dan Iris belum menikah. Keluarga tidak setuju mereka tinggal bersama tanpa menikah. Iris pernah mengatakan pada Rose bahwa dia ingin menikah ala Muggle di gereja kecil Godric's Hollow pada musim panas yang indah di bulan Juli nanti. Rose tidak tahu apa yang membuat Iris punya pikiran romantis seperti itu. Dia menggelengkan kepala sambil memandang Iris yang sedang mengucapkan Mantra Aquamenti ke dalam panci, kemudian meletakkannya di atas kompor, lalu mengacungkan tongkat sihirnya memanggil cangkir, poci teh dan teh dari lemari.
"Al mana?" tanya Rose, biasanya Al selalu bersama Iris dan Samuel.
"Dia ber-apparate pagi-pagi ke Markas Auror karena ada rapat staff," kata Iris, menggunakan tongkat sihirnya untuk memperbesar api.
"Kau tidak ke Gringgots?" tanya Rose, menatap pakaian Iris. Dia memakai blouse dan rok Muggle, bukan pakaian kerja yang biasa.
"Hari ini aku izin... aku akan menemanimu dan Carrie seharian," kata Iris tersenyum, lalu menuangkan air panas dalam poci teh. Dia memandang panekuk yang dibuat Rose dan Carrie. "Apakah itu bisa dimakan?"
"Bisa... aku akan memanggangnya sekarang setelah itu akan jadi panekuk yang enak..." kata Rose, mengabaikan pandangan jijik Iris, "... iya kan, Sayang!" dia mencium pipi Carina yang belepotan tepung.
Carina cekikikan.
"Enak..." kata Samuel, menunjuk adonan yang hendak dipanggang Rose.
"Ya, Sam, ini adalah panekuk yang enak..." kata Rose menyakinkan, menuangkan adonan ke sebuah pan bundar
Iris memandang mereka dengan tidak yakin, kemudian menuangkan teh dalam cangkir.
Setelah menunggu beberapa waktu sambil membersihkan dapur yang berantakan. Panekuk berhasil dikeluarkan dari panggangan dan dihidangkan.
"Lumayan..." kata Iris, mencicipi panekuk yang tak berbentuk.
Samuel dan Carina terkikik senang. Mereka duduk berdekatan di kursi tinggi sambil menikmati panekuk tanpa protes.
"Al sepertinya sibuk sekali minggu ini... ada masalah di Markas Auror?" tanya Rose, menuangkan teh untuk dirinya sendiri.
"Sepertinya begitu... mereka akan mengirim sukarelawan lagi ke Pulau Salura, konflik di sana belum selesai," kata Iris tanpa memandang Rose.
Darah Rose langsung membeku, dia memang selalu seperti itu kalau ada yang menyebutkan Pulau mengerikan itu. Dia menarik nafas berusaha menenangkan diri.
"Siapa yang dikirim ke sana?" tanya Rose pura-pura tidak peduli.
"Empat Auror... dan Al termasuk dalam tim."
"Al? Al pergi ke sana dan kau..." Rose memandang Iris dengan tidak percaya. Dia bertanya dalam hati mengapa Iris mengijinkan Al pergi ke Pulau tempat Scorpius lenyap.
Iris menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa melarangnya, Rose... ini adalah pekerjaanya. Mereka telah mengucapkan sumpah untuk bersedia dikirim ke mana saja, sebelum mereka dilantik menjadi Auror."
"Tapi Al... Al juga bisa mati seperti... seperti..."
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa... Al akan sedih kalau aku melarangnya melakukan sesuatu dan aku juga tidak ingin berbuat begitu, aku mengerti tentang tuntutan pekerjaan... kau juga seharusnya mengerti, Rose, kau dulunya adalah seorang Pemunah Kutukan... kita juga sering dikirim ke berbagai tempat. Jadi, aku tidak bisa mengatakan pada Al untuk jangan pergi. Aku hanya bisa menunggunya dengan sabar sampai dia kembali."
Rose menggelengkan kepala. "Bagaimana kalau dia tidak kembali?"
Iris menatap Rose dengan serius. "Segala sesuatu yang kita lakukan beresiko apakah itu buruk atau baik tergantung usaha kita... aku sudah mengatakan pada Al agar dia harus tetap hidup apapun yang terjadi karena Samuel dan aku menunggunya."
"Bagaimana kalau dia tetap tidak kembali selamanya?" tanya Rose memaksa. Dia masih ingin tahu pendapat Iris, yang kelihatannya lebih tegar darinya, karena Rose, meskipun kelihatan tegar dipermukaan, tidak bisa menerima kematian Scorpius.
"Rose, kalau itu terjadi aku akan menerimanya sebagai konsekuensi dari sebuah pekerjaan. Bertanyalah pada ibumu dan Ginny! Mereka pasti tahu bagaimana rasanya menjadi istri seorang Auror."
"Aku tidak akan bicara pada mereka tentang itu... aku..."
"Aku tahu kau belum bisa menerima kematian Scorpius... lihatlah Carrie, Rose!" kata Iris, mereka berdua memandang Carina. "... dia juga tidak ceria lagi seperti biasanya karena dia merasakan kesedihanmu. Sepintar apapun kau menutupinya Carrie bisa melihatnya."
"Bisakah kita tidak membicarakan ini?" kata Rose mengalihkan pandangan.
"Aku datang ke sini untuk membicarakan itu... aku tidak ingin kau mengurung diri dalam kesedihan di flat ini, menunggu sesuatu yang tidak mungin kembali. Aku ingin kau bekerja lagi... Gringgots sedang mencari seorang Pemunah Kutukan dan kau bisa melamar. Bekerja akan membuatmu melupakan Scorpius."
"Aku tidak ingin meninggalkan Carrie."
"Rose, jangan mencari alasan... Carrie sudah bisa ditinggal. Orangtuamu, Mr. dan Mrs. Malfoy dengan senang hati akan menjaga Carrie untukmu."
"Tidak, aku tidak akan ke mana-mana."
"Yah, tidak akan ke mana-mana dan mati bersama kesedihanmu di sini," kata Iris tajam. "... kau berpura-pura semuanya baik-baik saja dan menanti Scorpius akan kembali satu saat nanti... Rose, Scorpius tidak akan kembali... dia sudah mati."
"Diam!" desis Rose, mendekatkan wajahnya pada Iris agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh Carina dan Samuel. Dia melirik Samuel dan Carina yang masih sibuk dengan panekuk dalam piring masing-masing, kemudian melanjutkan, "... kau berkata begitu karena kau belum mengalami kesedihan yang kualami... kau belum pernah ditinggal mati orang yang kau cintai kan?"
"Memang belum, tapi kalau itu terjadi padaku, aku akan berusaha untuk tetap tegar, menerima kenyataan yang ada dan melanjutkan hidupku. Aku tidak akan mengurung diri seperti yang kau lakukan," kata Iris, menatap Rose mencoba membuatnya mengerti.
Rose menyandarkan diri di kursinya dan memandang Samuel dan Carina yang saling bertukar panekuk.
"Keluarlah, Rose, ke mana saja... pergilah berlibur ke Yunani atau Italia... setelah itu kau bisa kembali dan memulai hidup baru dengan lebih baik."
Rose menatap Iris yang kelihatannya sangat bersemangat dengan idenya. Rose mengalihkan pandangan dan berpikir tentang Yunani dan Italia. Laut Aegean yang tertelak di Yunani adalah daerah pantai yang layak untuk dikunjungi. Di Italia ada Venecia, kota air, yang adalah tempat paling romantis di dunia. Di sana kau bisa naik gondola menyusuri Grand Canal sambil memandang keindahan kota Venecia. Namun, Rose tidak bisa ke sana karena tempat-tempat romantis seperti itu akan membuatnya lebih merindukan Scorpius.
"Bagaimana, Rose, aku akan mengatur rencana perjalanan untukmu dan Carina," kata Iris dengan bersemangat.
Dia tidak bisa ke Italia atau Yunani, tempat-tempat itu tidak akan membuatnya melupakan Scorpius. Tempat yang ingin dikunjunginya adalah tempat di mana tragedi ini berasal, tempat di mana Scorpius telah dibawa pergi entah ke mana. Ya, dia akan ke sana, mungkin dengan begitu dia akan bisa memulai hidup barunya setelah kembali.
"Ya, aku akan pergi ke sana, Iris," kata Rose, setelah mengambil keputusan.
"Benarkah? Bagus sekali, Rose..." kata Iris ceria, "... kau mau ke mana? Yunani? Italia?"
"Tidak di kedua tempat itu."
"APA?" teriak Ron Weasley memandang Rose dengan sangat terkejut.
Rose sedang duduk di ruang keluarga rumah orangtuanya. Saat itu malam hari, mereka baru saja selesai makan malam dan Ronald Weasley yang terkejut melotot dari sofa di depan Rose. Hermione Weasley, ibunya, sedang mondar-mandir sambil menimang Carina, yang setengah tertidur dipundaknya. Dia berhenti dan memandang Rose tidak kalah terkejut.
Ron Weasley adalah seorang Auror, yang masih mengabdikan diri di Kementrian Sihir. Wajahnya masih sama seperti yang dulu – mata biru, bintik-bintik diwajah dan ukuran kaki yang besar – meskipun dengan tambahan beberapa keriput dikeningnya. Hermione Weasley adalah seorang wanita cantik berambut coklat dengan mata coklat bening. Dia dulu bekerja sebagai pegawai di Depertemen Hukum Sihir, sekarang sudah mengajukan pensiun dan tinggal di rumah mengurus kebun bunga mungil di depan rumah dan merajut beberapa pakaian bayi Peri Rumah yang dikirimnya ke Hogwarts. Namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan pekerjaannya karena beberapa kali dia menerima surat dari Depertemen Hukum Sihir yang meminta pendapatnya tentang beberapa hal.
"Ya, Dad, aku sudah memikirkan untuk ikut tim yang ke Pulau itu dan aku berniat menitipkan Carina di sini."
"TIDAk!" teriak Ron lagi.
"Baik, kalau kalian tidak menerima Carina aku akan menitipkannya pada..."
"Ini bukan soal Carina, Rose," kata Hermione memandang Rose dengan tajam. "Tentu saja kami mau merawat Carina... rencanamu yang tidak masuk akal itu yang kami pikirkan."
"Tidak masuk akal?" seru Rose tidak percaya. "Mom, ini rencana paling masuk akal yang pernah ada dipikiranku."
Ron mendengus.
"Dad!"
"Misi ini berbahaya... ini tugas khusus Auror bukan untuk amatiran sepertimu."
"Dad... aku pernah berlatih sebagai seorang Pemunah Kutukan... aku tahu bagaimana menjalankan sebuah misi rahasia, aku juga tahu cara keja tim," bantah Rose, menatap mata biru ayahnya dengan intens. "Aku tidak akan merepotkan dan berusaha semampuku untuk membantu."
"Rose, ayahmu benar... tempat yang akan kau tuju adalah tempat yang penuh konflik dan sihir hitam... tempat itu sangat berbahaya apalagi bagi perempuan," kata Hermione, mengatur posisi Carina dipundaknya. "... aku akan menidurkan Carina." Dia berjalan menaiki tangga menuju kamar Rose.
"Aku tidak bisa memasukkanmu ke dalam tim, kau bukan Auror," kata Ron, mengayunkan tongkatnya memanggil mead dingin dan tiga gelas dari lemari penyimpanan.
"Karena itulah aku datang ke sini untuk meminta pengecualian... aku tahu Dad bisa membuat pengecualian untukku," kata Rose, menerima gelas mead yang diberikan ayahnya dan menegukkan.
"Tidak semudah itu, Rosie, dan walaupun aku bisa aku tidak akan mengijinkanmu masuk dalam tim," kata Ron, kemudian meminum mead-nya.
"Dad, kumohon! Aku harus pergi ke sana... ini sangat penting bagiku aku harus melihat tempat di mana Scorpius menghilang..."
"Menghilang? Rosie, Scorpius sudah mati... mengapa kau tidak bisa menerima fakta itu?"
"Karena mayat itu, Dad... itu bukan mayat Scorpius... kalian juga pasti berpikiran sama kan? Mayat itu hanyus... kalian tidak punya bukti bahwa mayat itu adalah Scorpius, bisa saja Scorpius ada di suatu tempat di sana..."
"Rosie," desah Ron, menatap Rose dengan sedih. "Kau sangat mencintainya..."
Mereka bertatapan sesaat.
"Ya, Dad... aku tahu Dad tidak menyukai Scorpius, tapi aku sangat mencintainya... aku akan pergi ke sana untuk mencarinya... aku harus tahu," kata Rose, mengerjapkan mata. Inilah pertama kalinya dia mengatakan kebenaran pada ayahnya.
"Dad tidak bisa berbuat apa-apa untukmu, Rosie," kata Ron sedih. "Mayat itu memang benar-benar mayat Scorpius."
"Tidak... tidak," Rose menggeleng kepalanya kuat-kuat. "... kalian tidak punya bukti..."
"Rosie, kami Auror... kami tidak akan membuat pernyataan seperti itu tanpa ada bukti..."
"Apa kalau begitu? Apa buktinya kalau itu Scorpius?" Rose hampir menjeritakan kata-kata itu.
"Tongkat sihir, Rosie... tongkat sihir Scorpius Malfoy ada bersama mayat itu, karena itulah kami tahu dia adalah mayat itu."
"Tongkat sihir? Tidak... ini bohong... tidak mungkin!" bisik Rose perlahan, airmata jatuh membasahi pipinya. Hidupnya seolah hancur untuk kedua kalinya, harapannya dan harapan Carina telah direnggut. Rose tidak mengharapkan Scorpius bisa hidup tanpa tongkat sihir, pernyataan ini membuat kematian Scorpius terasa real baginya dan itu membuatnya dua kali lebih merana dari sebelumnya.
"Rose," kata Hermione yang baru saja menuruni tangga. Melihat Rose yang menangis terisak di kursi, dia mendekatinya dan memelukanya.
Rose memeluk ibunya dan menangis dibahunya. Dia tidak peduli apakah dia kelihatan seperti anak kecil atau dikatakan wanita dewasa cengeng yang tidak tegar, saat ini dia hanya ingin berbagi duka dengan seseorang, dia ingin seseorang juga merasakan bahwa dia sangat sedih.
"Sayang, kuatkan dirimu... kau seharusnya sudah bisa menerima kenyataan. Sebulan telah berlalu dan kau masih seperti ini," bisik Hermione menepuk punggung Rose perlahan.
Rose menarik nafas perlahan menenangkan diri. Sebulan memang telah berlalu dan semuanya masih sama seperti saat dia baru saja mendengar berita kematian Scorpius. Dia tidak ingin seperti ini selamanya, dia memiliki Carina yang masih membutuhkannya. Cara menghilangkan kesedihan ini adalah pergi ke tempat kesedihan ini bermula... di Pulau itu, pulau tempat Scorpius... mati.
Rose melepaskan diri dari pelukan ibunya dan memandang ayahnya.
"Dad, aku tidak bisa begini selamanya... aku harus pergi ke Pulau itu agar aku bisa melupakan Scorpius dan memulai hidup baru."
Ron dan Hermione saling berpandangan.
"Aku tetap tidak mengijinkanmu ke sana, Rosie... kau bisa mati," kata Ron, dengan tekanan pada kata-kata terakhir.
"Aku tidak akan mati... aku akan berusaha menjaga diriku karena Carina... Carina menungguku... aku tidak akan mati," ulang Rose tegas, menatap ayahnya.
Ron dan Hermione berpandangan lagi.
"Kumohon, Dad," kata Rose, menatap ayahnya penuh harap.
"Aku tidak bisa memutuskan..." kata Ron, kemudian mengucapkan Mantra Patronum dan mengirimkan anjing terrier perak ke tempat yang tidak diketahui Rose.
Rose memberi ayahnya pandangan bertanya. Ron mengabaikannya dan menunggu dalam diam. Mereka menunggu. Beberapa menit kemudian perapian di ruang keluarga menyala biru dan Harry keluar dari perapian sambil mengibaskan debu di jubahnya. Dia duduk di dekat Ron tanpa berkata apa-apa. Hermione memanggil satu gelas lagi dari lemari dan menuangkan mead untuk Harry.
Harry Potter adalah kepala kantor Auror, dia pengambil keputusan utama. Dia adalah pemimpin dari Golden Trio dan merupakan sahabat sehidup semati orantuanya. Dia sangat mirip Al dan Samuel. Rambut hitam, dengan mata hijau cemerlang, juga bekas luka berbentuk sambaran kilat di kening. Dia adalah seorang pemimpin yang sangat dihormati oleh para Auror.
"Jadi, benar apa yang dikatakan Ron bahwa kau ingin masuk dalam tim Salura, Rose?" tanya Harry, kemudian meneguk mead-nya.
"Ya, Uncle Harry... aku benar-benar ingin pergi."
"Kalau kau berniat mencari Scorpius itu tidak akan berhasil karena dia sudah meninggal," kata Harry tegas.
"Aku tahu Uncle Harry... aku ingin pergi untuk melupakannya dengan begitu akan bisa tegar... aku akan bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah pergi untuk selamanya."
Harry, Ron dan Hermione saling berpandangan.
"Aku sebenarnya tidak setuju Rose pergi, tapi kalau dia ingin pergi untuk melupakan dan kembali dengan tegar dan harapan baru aku tidak akan melarangnya," kata Hermione, menatap Harry dan Ron.
Rose berpikir dari mana dia mendapatkan keberanian untuk pergi ke daerah konflik, untuk tidak takut pada pertempuran yang terjadi di depannya dan tidak takut pada kematian, ternyata dari kedua orang ini. Dari ayah dan ibunya, yang dengan setia menemani Harry Potter sampai akhir perang Hogwarts.
Rose memandang ayahnya yang mengangguk pada Harry. Harry balas mengangguk.
"Baik... Rose, kau boleh ikut, kau harus hadir pada pertemuan pertama tim besok di Markas Auror."
Rose tersenyum.
"Rose, apa-apaan ini?" tanya Al, yang mengikuti Rose sepanjang koridor lantai dua Kementrian Sihir.
Rose berhenti berjalan dan memandang sepupunya yang tampan berambut hitam dan bermata hijau.
"Mom, mengirim bururng hantu padaku pagi tadi," kata Al menjelaskan.
"Lalu?"
"Aku tidak setuju kau ikut dalam tim," kata Al.
"Uncle Harry sudah mengijinkanku... dan aku akan tetap ikut tak peduli kau setuju atau tidak," kata Rose, berjalan lagi meninggalkan Al yang berdiri terpaku di tempat.
"Rose, dengar!" kata Al, berjalan lagi mendekati Rose. "Misi ini berbahaya... kau bisa mati..."
Rose berhenti lagi, menatap Al. "Al, mengertilah! Aku harus pergi, kalau tidak aku pasti akan mati dengan merana di flatku."
Al tidak berkata apa-apa. Rose berjalan lagi dengan cepat dan masuk melalui sebuah pintu yang bertuliskan 'Markas Besar Auror'.
Markas Auror adalah ruangan besar yang terdiri dari meja-meja dengan sekat untuk memisahkan setiap meja dan sekitar empat atau lima pintu di ujung ruangan. Di atas meja-meja terdapat perkamen dan buku-buku tebal para Auror. Di dinding terdapat gambar-gambar wajah para buronan yang sedang dicari dan beberapa gambar aneh, yang tidak berbentuk. Mungkin alat membunuh yang dipakai buronan, pikir Rose dalam hati. Para Auror, laki-laki dan perempuan – yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari – menatap Rose saat dia masuk. Rose tersenyum sekilas dan terus berjalan menuju pintu di ujung lorong yang bertuliskan 'Ruang Pertemuan'.
Ruang Pertemuan adalah ruangan luas yang terdiri dari meja panjang lebar dan kursi-kursi nyaman di sekeliling meja. Harry, Ron dan tiga orang Auror lain telah ada dalam ruangan. Rose memberi salam dan duduk di sebelah Harry. Harry sudah akan berbicara ketika pintu terbuka lagi dan Al masuk lalu duduk di depan Rose. Dia memberikan pandangan sebal yang dibalas Rose dengan tertarik.
"Baiklah!" kata Harry, membuat mata semua orang, termasuk Al dan Rose, memandangnya. "Sebelum kita memulai pertemuan kita, aku ingin memperkenalkan anggota tambahan... Rose Weasley."
Tiga Auror dalam aula itu memandangnya dengan tertarik. Rose berpikir bahwa tentu saja mereka sudah mengenalnya, kisah histerianya di pemakaman Scorpius pasti telah menjadi pembicaraan para Auror selama beberapa waktu. Al mendengus, sedangkan Ron tetap memandang Harry seolah Harry adalah acara televisi Muggle yang menarik. Rose menahan diri untuk tidak memutar matanya.
"Rose akan ikut tim ini sebagai pengamat saja," kata Harry, menekankan kata terakhir. Al sudah akan memutar matanya, tapi kemudian berhenti saat menangkap mata Harry yang mengandung peringatan. "Dia tidak akan ikut dalam setiap tugas yang harus kalian lakukan..."
Harry memandang Rose. "Ingat Rose, kau hanya sebagai pengamat dan jangan mengganggu tugas anggota lain... dan jangan memaksakan diri untuk ikut dalam setiap misi."
Rose mengangguk, bertanya dalam hati, apa yang akan dilakukannya di sana kalau cuma mengamati.
"Rose, aku belum memperkenalkan anggota tim yang lain... ini Roderik Welman," kata Harry menunjuk seorang pria berambut gelap. "Ini, Ian Gerrald." Yang bertubuh tinggi besar. "Dan ini Peter Lord." Seorang pria kurus yang berwajah ceria.
Rose tersenyum pada mereka semua dan mencoba mengingat wajah masing-masing dengan nama yang benar. Mereka memberikan anggukan singkat pada Rose.
"Dan Al akan memimpin tim ini," lanjut Harry, menunjuk Al yang mengangguk, "Rose, kau harus mematuhi apapun yang dikatakan Al... ingat, kau cuma sebagai pengamat!" tambah Harry dengan peringatan yang sangat jelas di setiap kata-katanya.
Rose berpikir apa maksud Harry mengulang peringatan ini apakah dia kuatir Rose akan memaksakan diri terlibat dalam pekerjaan Auror.
"Perkamen-perkamen itu berisi tentang keterangan dan hal penting tentang misi ini," kata Harry menunjuk tumpukan perkamen di atas meja. kalian harus membacanya baik-baik dan mendiskusikan hal-hal yang ingin kalian lakukan..."
Mereka semua memandang perkamen yang bertumpuk tinggi di atas meja.
"Kita dipanggil untuk misi ini karena kecurigaan penyihir lokal bahwa dalang dari semua konflik yang terjadi di sana adalah seorang penyihir Inggris, yang tidak diketahui. Tugas kalian adalah cuma mencari tahu siapa penyihir ini dan apa yang dilakukannya."
Rose dan yang lainnya mengangguk.
"Ini seperti misi mata-mata... aku tidak ingin kalian melibatkan diri terlalu jauh, misalnya dengan mencoba untuk menangkapnya. Nanti kalau keterangan sudah terkumpul kita akan mengirim pasukan besar untuk menangkapnya... Kalian punnya waktu tiga bulan, berhasil atau tidaknya misi ini, kalian harus tetap kembali setelah tiga bulan."
Semua mengangguk lagi.
"Ingat! Kalian harus sangat berhati-hati... aku tidak ingin kehilangan satu anggota lagi," kata Harry terdengar sedih. Dia memandang mereka semua dengan penuh perhatian. "Aku sudah mengurus kartu identitas Muggle kalian untuk menghindari pertanyaan dari pemerintah setempat. Jadi, kalian adalah wisatawan Inggris yang sedang berlibur, mengerti!"
Secara tidak sadar, Rose membayangkan satu pulau dengan pantai yang biru dan pasir putih. Apakah dia harus menyiapkan sebuah bikini sexy dan lotion anti tabir surya? Rose tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya di sana.
"Rose!" seru Al, menyadarkan Rose dari lamunannya tentang berenang dan berjemur di bawah sinar matahari.
Rose mengangkat muka dan melihat bahwa Harry dan Ron telah meninggalkan ruangan. Sekarang Al sedang menyerahkan sebuah perkamen padanya. Rose menerimanya dan membaca,
MISI SALURA
Tujuan: mencari keterangan tentang X
Keterangan tentang Pulau Salura
Letak: Samudra Hindia (10.000 km dari Srilanka)
Luas wilayah: 500 km2
Letak Geografis: 80⁰ BT dan 10⁰ LS
Pemerintahan: dipimpin oleh seorang Gubernur yang bertanggungjawab kepada Ratu Inggris (Muggle), dipimpin oleh kepala wilayah Lewis Rycroft yang bertanggungjawab pada Mentri Sihir Inggris (Penyihir)
Keadaan Wilayah dan Alam: Daerah tropis dengan sebagian wilayah bergunung dan lembah yang dipenuhi hutan yang rata-rata belum terjamah. Bagian timur terletak wilayah pemukiman Muggle yang bercampur dengan beberapa penyihir. Kota yang disebut Salura itu adalah satu-satunya pemukiman di pulau itu. Kota itu merupakan kota pantai yang indah yang menjadi tujuan wisatawan di seluruh dunia. Tourism merupakan sumber penghasilan Muggle di pulau tersebut.
Jumlah Penduduk: 5000 jiwa (Muggle) dan 500 jiwa (penyihir). Para penyihir tinggal di wilayah pinggiran kota dan membentuk komunitas sendiri.
Penduduk: 70% kulit putih (Inggris) 25% penduduk asli (Halura) dan 5% lain-lain
Bahasa: Inggris dan Lura
Keterangan tentang Misi
Sasaran: X (diketahui sebagai orang Inggris yang sedang melakukan sesuatu yang belum diketahui)
Dugaan: X melakukan beberapa pembunuhan penyihir dan Muggle. Belum diketahui apa tujuan pembunuhan ini. Dugaan sementara: X membentuk suatu pasukan untuk mengusai pulau Salura dan menjadikan pulau itu wilayah kekuasaannya. Dugaan lain: X melibatkan Manusia serigala.
Peringatan: Tim tidak diijinkan untuk melakukan penyerangan terencana atau pun tidak terencana terhadap X. Hati-hati terhadap mata-mata, kita tidak menduga siapa saja yang bisa kita percaya, jangan melibatkan diri dengan Auror lokal. Usahakan misi ini menjadi misi yang benar-benar RAHASIA.
Rose menghela nafas setelah selesai membaca perkamen itu, dia menyimpan perkamen itu dan menatap Al yang sedang memandangnya.
"Manusia Serigala," kata Rose, mendesah.
"Yang harus kita lakukan adalah memastikan tongkat sihir kita selalu ada di samping kita," kata Al mengingatkanku dengan sangat jelas.
Rose mengangguk. Bayangan tentang pantai yang indah, bikini yang seksi dan lotion tabir surya langsung hilang dari pikirannya diganti dengan darah, luka-luka dan pembunuhan sadis menggunakan gergaji dengan potongan tubuh yang bertebaran di mana-mana. Rose langsung mual. Apakah dia memang benar-benar ingin pergi ke Pulau Salura? Haruskah dia memikirkan cara lain untuk melupakan kesedihannya?
READ AND REVIEW, PLEASE!
Silakan beri ide-ide kreatif pembaca untuk kelangsungan FanFic ini karena I Am Stuck. Aku nulis prolog-nya tanpa tahu kelanjutannya kayak apa. Jadi, please! Kalau punya ide apa saja silakan-silakan... review atau PM... Mohon Bantuannya!... Aku minta maaf untuk reviewer yang request fanfic rating M (lemon), saat ini aku belum bisa mendeskriftifkan M (lemon) aku harus baca-baca fanfic lain dulu, cari referensi... untuk reviewer yang request pairing lain aku juga minta maaf karena sekarang aku lagi fokus ke Scorose dulu... kalau fanfic ini selesai, fanfic dengan pairing lain bisa dibuat...
TauHumba :D
