.
Before The Wedding
By ©Chocoffee
A HaeHyuk Fanfiction
T
Romance, Fluff, School Life
.
.
Semua orang pasti akan bahagia di hari pernikahannya. Memakai gaun atau tuxedo terbaik mereka dan mengucapkan janji suci di atas altar. Acara pengikatan diri dengan seseorang yang disimbolkan dengan penyematan cincin di jari manis tangan kanan.
Tapi, bagaimana jika keraguan mulai menyeruak diam-diam tepat satu jam sebelum pengikraran dimulai? Kecemasan berlebihan yang cukup membuat sang mempelai berpikir untuk membatalkan hari bahagianya. Mengatakan kalau dia belum siap dengan ini semua.
Lelaki dengan rambut hitam itu duduk terpekur di depan cermin. Tuxedo putih yang membalut tubuh rampingnya terlihat begitu cocok dengan kulit putih susunya. Memancarkan warna kebahagiaan yang kali ini terlihat kontras dengan ekspresi murungnya dan helaan nafas yang terdengar beberapa kali.
Suara ketukan pintu membuat lelaki itu tersentak kaget. Ia menoleh ke arah belakang, sebelum membuka mulutnya dan menyuruh orang itu masuk.
"Aku disini saja, Hyuk. Aku ingin melihatmu pertama kali dengan baju pengantinmu di atas altar nanti."
Suara berat itu membuat sebuah senyuman geli terkembang tanpa diminta. Ia beranjak berdiri, berjalan mendekati pintu lalu berdiri di belakangnya.
"Ada apa, Donghae?" Lelaki itu, Lee Hyukjae, bertanya dengan nada lembut. Ia menyangga bahu kanannya pada daun pintu, menunggu jawaban yang akan dikeluarkan oleh sang dominan.
"Hyukjae~ya, dengan pernikahan ini, apa kau merasa ragu?" Kata-kata itu diucapkan begitu lirih. Tapi dengan situasi yang begitu hening, Hyukjae dapat menangkap setiap kata dengan jelas. Ia sedikit tersentak saat Donghae menanyakan hal yang mengganggunya sejak tadi.
"Donghae, aku─"
"Dengarkan. Dengarkan aku menceritakan sebuah kisah, Hyuk." Donghae memotong kalimat Hyukjae. Ia menghela nafas sambil menyenderkan punggungnya di pintu ruang ganti dan memandang ke arah langit-langit lorong. Wajahnya menunjukan sebuah gurat kelelahan, tapi tertutupi lewat penampilan menawannya dengan balutan tuxedo hitam yang ia kenakan pagi ini.
Hyukjae, dengan ekspresi bingung, memilih untuk diam. Ia menunggu dengan sabar tentang cerita yang akan dikatakan Donghae saat ini. Tubuhnya ikut menyandar, berbalik membelakangi Donghae dengan gaya yang sama.
"Kau ingat awal pertama kali kita bertemu?" mulai Donghae. Sudut bibirnya terangkat naik saat memutar memorinya berbalik ke tujuh tahun yang lalu. "Aku akan memulai dari sana."
.
Hyukjae melangkah tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Hari pertama masuk sekolah dan ia sudah terlambat. Bagus, satu rekor buruk sudah ia dapatkan di tahun awal masuk SMA.
Setelah mendapatkan hukuman dari osis bidang kedisiplinan, lelaki dengan surai hitam legam itu berlari masuk ke dalam kelasnya. Beruntung saat itu hanya ada wali kelasnya yang membicarakan tentang kegiatan belajar mengajar selama 6 bulan kedepan, jadi ia bisa masuk ke dalam kelas tanpa perlu mendapatkan hukuman tambahan.
Tapi memang hari itu adalah hari sialnya. Sudah mendapat bangku sisa di pojok kelas, sekarang ditambah dengan teman duduknya yang tidak bisa dibilang menyenangkan. Lee Donghae. Siswa berandalan yang sudah menjadi gosip panas semenjak ia menjalani MOS. Dan kenyataan tentang ia yang tinggal kelas dan duduk sebangku dengannya membuat Hyukjae menjadi sedikit cemas. Mengingat dari dulu ia tidak terlalu suka berurusan dengan siswa sejenis itu.
"Kalau kau tidak mau duduk disini, kau bisa memindahkan bangkumu dan duduk dipojok sana."
Hyukjae tersentak dan menoleh ke arah samping. Mungkin karena terlalu lama berkutat dengan pikirannya, ia tidak sadar kalau Donghae sudah terbangun dan memperhatikannya dari tadi. Terlihat dari gelagat lelaki itu yang menatapnya tanpa ekspresi.
"Tidak perlu, err─ sunbae."
Donghae berdecih pelan. Ia menopang dagunya dengan satu tangan, memalingkan wajahnya ke arah papan dimana Jung seonsaengnim menerangkan tentang kegiatan pembelajaran seperti tahun sebelumnya. Dimana ia baru menjadi siswa kelas satu pertama kali.
"Seberapa banyak gosip yang tersebar saat MOS kelas satu sedang berlangsung?" desisnya pelan. Hyukjae yang memang duduk dekat dengan Donghae hanya bisa meringis saat merasakan aura kelam yang keluar dari berandalan sekolah itu.
"Namamu Hyukjae, kan?" Donghae menoleh. Iris kelamnya menatap tajam ke arah Hyukjae yang menjawab dengan sebuah anggukan kepala. "Tidak usah menambahkan embel-embel sunbae dibelakang namaku. Cukup Donghae saja." perintahnya. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi segera beranjak keluar kelas, mengacuhkan Jung seonsaengnim yang meneriakan namanya untuk menyuruhnya segera berhenti.
.
.
Hyukjae terkekeh pelan. Memorinya ikut melebur bersamaan dengan untaian kalimat yang diucapkan Donghae. Bayangan akan masa sekolahnya dulu yang diceritakan kembali oleh lelaki brunette itu.
"Aku sudah menganggapmu menyeramkan saat pertama kali bertemu." Komentar Hyukjae geli dan dengusan Donghae menandakan bahwa lelaki itu cukup kesal dengan kata-katanya.
"Aku tidak memintamu berkomentar, sayang." Desisnya penuh penekanan.
"Oke, maaf. Lanjutkan lagi."
Hyukjae nyengir dan Donghae mendengus. Lelaki dengan tuxedo hitam itu kembali menghela nafas, sebelum otaknya kembali memutarkan ingatan masa SMA.
.
Donghae mendengus risih entah untuk yang ke berapa kalinya. Ia menatap tajam ke arah lelaki berambut hitam legam yang kini tengah menghalangi arah pandangnya. Memaksanya untuk tetap diam di tempat selagi manik kelam itu memelototi wajahnya.
"Tidak ada acara membolos lagi, Lee Donghae. Aku peringatkan itu!"
Donghae berdecih tak suka. Ia mengacak rambut brunettenya asal, menunjukan betapa malasnya ia berurusan dengan lelaki menyebalkan yang sialnya menjadi teman sebangkunya itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu. Minggir!"
"Sudah kuperingatkan, Donghae!" Hyukjae memegang lengan Donghae, menahan agar lelaki itu tidak kabur lagi. Sekuat tenaga Hyukjae menahan pegangannya sementara Donghae memelototinya tajam.
"Ck, baiklah. Aku tidak membolos."
Memilih menyerah, lelaki brunette itu kembali duduk di atas kursinya. Dengan gaya arogan yang membuat beberapa teman perempuannya memekik kecil akibat tendangan Donghae pada meja miliknya. Hyukjae sendiri memilih untuk buta sementara. Setidaknya Donghae berhasil dia tahan, dan masalah yang lain akan ia urus di lain waktu.
Jam pelajaran yang begitu membosankan bagi Donghae membuat lelaki itu beberapa kali menguap pelan. Waktu yang seharusnya ia gunakan untuk tidur di atap sekolah terpaksa ia korbankan untuk menuruti permintaan teman sebangkunya itu. Situasi yang jelas membuatnya menjadi seribu kali lipat lebih kesal dari sebelumnya.
Entah sampai kapan Kim seonsaengnim akan menjelaskan pelajaran sejarah yang sama sekali tidak menarik minatnya itu. Matanya melirik jam dinding yang tergantung tepat di belakang kelas, sebelum beralih menidurkan kepalanya ke arah samping dan langsung menghadap ke arah Hyukjae yang disibukan dengan acara membaca bukunya.
Laki-laki itu tampak serius. Tidak ada tanda-tanda kebosanan yang terlihat dari wajahnya yang manis. Hanya sekedar kerutan kening saat ia tidak mengerti dengan beberapa kalimat yang dibaca, dan entah kenapa itu malah membuatnya terlihat begitu lucu.
Astaga, apa yang kau pikirkan, Lee Donghae?
Donghae mengerutkan keningnya. Efek mengantuk sepertinya membuat lelaki itu mulai berpikir yang aneh-aneh. Dan entah efek apa lagi yang membuatnya betah dengan posisi seperti itu, memperhatikan Hyukjae tanpa berkedip. Seolah-olah pemuda itu akan hilang jika sedetik saja ia lengah.
Merasa jengah, dengan sengaja Donghae menarik buku milik teman sebangkunya itu. Mengacuhkan geraman kesal yang dikeluarkan oleh Hyukjae dan mulai menulisi sesuatu pada halaman di belakangnya.
"Baca." Perintahnya.
Diserahkan kembali buku hasil rampasannya itu dengan tampang tak berdosa sedikit pun dan membalikan wajahnya untuk menghadap ke arah berlawanan dengan Hyukjae sambil memejamkan mata. Membiarkan senyuman kecil tersungging di bibir tipisnya saat merasakan tubuh menegang teman sebangkunya itu.
Aku menyukaimu, Lee Hyukjae.
..
Seluruh warga sekolah dapat merasakan perbedaan ini sejak dua minggu yang lalu. Tingkat keonaran yang dibuat oleh siswa berandal nomor satu di sekolah mereka itu semakin berkurang setiap harinya. Walaupun tidak menutup kemungkinan kalau Donghae masih suka berkelahi dan terkadang membuat keributan kecil.
Yang lebih aneh lagi adalah, lelaki brunette itu membuat satu sekolah di penuhi dengan tanda tanya besar. Ia semakin jarang membolos. Tetap bertahan di dalam kelas walaupun beberapa kali jatuh tertidur karena terserang penyakit bosan. Peningkatan yang lumayan bagus, tapi tidak dengan tingkah lelaki itu yang masih tetap arogan seperti biasanya.
Satu-satunya orang yang diharapkan bisa menjelaskan sesuatu malah terlihat tidak mau ambil pusing. Hyukjae malah memelototi orang yang berniat bertanya sesuatu tentang Donghae padanya. Mengusir mereka dengan kalimat 'Tidak usah mengurusi urusan pribadi orang lain' lalu melengos pergi tanpa memperdulikan apapun. Tapi, jika yang bertanya adalah seorang senior atau guru, ia akan menjawab dengan sikap lebih sopan. Karena jelas, Hyukjae tidak mau di cap sebagai siswa kurang ajar.
"Kau membuat satu sekolah menjadi gempar, Donghae." Hyukjae akhirnya tidak tahan untuk tidak berkomentar. Lelaki itu dengan surai hitam legam itu menyenderkan punggungnya pada sandaran kursi, menatap lamat-lamat teman sebangkunya yang disibukan dengan sebuah ponsel pintar.
"Hm."
"Semakin hari semakin bertambah aneh. Aku bisa gila jika ditanya-tanya oleh orang lain tentang perubahanmu itu."
"Hm."
"Ck, Lee Donghae, bisakah kau mengatakan hal lain selain 'hm'?"
Hyukjae mulai jengah juga. Tidak bisa ditahannya geraman yang keluar saat iris kelam itu beralih dari layar ponsel dan mengarah tepat ke arahnya. Ditambah dengan sebuah sunggingan seringaian yang mampu membuat orang lain bertekuk lutut ketakutan.
"Itu semua karenamu." Satu kalimat keluar dengan ringan. Bibir tipis itu masih setia menyunggingkan sebuah senyum miring, membuat Donghae terlihat lebih berbahaya sekaligus mempesona disaat yang bersamaan.
Hyukjae mengernyit tak mengerti. "Apa maksudmu itu semua karena aku?"
"Kau lupa pernyataanku dua minggu lalu? Kau pikir karena siapa aku mau bertahan untuk duduk manis di dalam kelas, padahal atap sekolah lebih menyenangkan daripada berada di satu ruangan dengan 26 kepala sebagai penghuninya?"
Hyukjae membiarkan mulutnya sedikit terbuka. Otaknya dipaksa dengan keras untuk mencerna kalimat yang diucapkan oleh sang berandalan sekolah.
Bahkan saat Donghae mendekat dan membisikan sesuatu di dekat telinganya, lelaki manis itu sama sekali tidak memberikan respon dengan cepat. Pikirannya masih menerawang, mendadak tersentak saat tangan Donghae menepuk kepalanya sekilas berikut dengan gaungan suara lelaki brunette itu pada telinganya.
"Aku ingin berubah menjadi lebih baik untukmu, Hyukjae. Itulah maksudku."
..
Hyukjae bukannya tidak tahu dengan kebiasaan baru Donghae yang mengikutinya secara diam-diam. Beberapa kali laki-laki brunette itu tertangkap basah berada pada jarak tidak terlalu jauh dari tempatnya berada. Pura-pura sibuk mendengarkan lagu lewat headset birunya, atau sekedar membaca komik sambil berjalan.
Awalnya Hyukjae merasa tidak terlalu peduli. Donghae juga tidak mengganggunya, dan terkadang lelaki itu malah menolongnya beberapa kali.
Hyukjae akui, ia jenis orang ceroboh yang bisa membahayakan diri sendiri sewaktu-waktu. Dan dengan keberadaan Donghae disekitarnya, Hyukjae berkali-kali selamat dari tindakan ceroboh buatannya sendiri. Seperti nyaris jatuh karena tersandung, menabrak atau ditabrak orang lain karena terburu-buru, dan hal-hal lainnya.
Kadang Hyukjae sedikit curiga, kalau-kalau ternyata Donghae memang sengaja menjaganya secara diam-diam.
Niat awalnya untuk duduk di bawah pohon untuk membaca komik sedikit terganggu saat mendengar teriakan beberapa siswi di pinggir lapangan basket. Beberapa siswa laki-laki tampak bermain dengan seru di tengah lapangan sana. Diiringi dengan teriakan support dari siswi-siswi yang tengah menonton mereka. Membuat Hyukjae sedikit berdecih karena zona nyamannya sedikit terganggu.
Manik kelam Hyukjae yang awalnya menatap ke arah lapangan kembali teralih pada komik. Dibacanya setiap lembar buku itu dengan antusias, sama sekali tidak menyadari sebuah bola basket melayang kencang ke arahnya.
"Awas!"
Dug!
Baik Hyukjae dan murid yang berada di sekitar lapangan seketika melongo. Mata lelaki manis itu beberapa kali mengerjap dan baru tersadar saat bola basket yang nyaris menghantam kepalanya itu berpindah pada sosok bertubuh tegap yang kini memegang bola oranye itu dengan satu tangan.
Lee Donghae.
Hyukjae yang masih berada pada mode syoknya sama sekali tidak merespon saat Donghae berjalan mendekati sekumpulan siswa laki-laki yang masih mematung ketakutan di tengah lapangan. Lelaki itu melemparkan bola ke arah salah satu siswa di sana, mengucapkan satu kalimat dengan santai berikut dengan tatapan tajam di dalamnya.
"Hati-hati jika bermain basket disini, dude." Desisnya.
Tanpa berkata apapun lagi, berandal sekolah itu melangkah menjauh. Menarik Hyukjae pergi, diiringi dengan tatapan penuh tanya oleh semua orang yang melihatnya.
Lee Donghae. Walaupun tidak pernah melakukan keonaran lagi, bukan seseorang yang bisa dianggap remeh semudah itu.
Dan kini, lelaki yang mereka anggap cuek, tidak pernah mengurusi orang dan selalu berbuat onar, menolong orang lain dan merangkulnya dengan begitu posesif.
Hal apa lagi yang lebih mencengangkan dari itu?
..
"Mulai sekarang aku akan menjagamu. Tidak ada penolakan, Hyuk."
Hyukjae menggeram saat kata-kata Donghae kembali terngiang di dalam otaknya. Lelaki brunette itu dengan seenak perutnya mengatakan akan menjaganya dan tidak mengijinkan lelaki manis itu pergi tanpa pengawasan darinya.
Ck, memangnya laki-laki itu punya hak apa untuk mengatur hidupnya?
Masih dengan ekspresi sebal yang begitu kentara, Hyukjae meremas beberapa kertas bekas menjadi satu bulatan lumayan besar dan langsung melemparkannya ke arah kelompok teman laki-lakinya yang berkumpul di sudut ruang kelas. Tersenyum puas saat beberapa dari mereka melayangkan protes keras.
"Kau mengganggu saja, Hyukjae! Kami sedang menonton HyunA!" teriak mereka garang. Diiringi dengan teriakan 'huu' yang kompak dari para siswi yang masih bertahan di dalam kelas.
"Salah sendiri tidak mengajakku," balas Hyukjae tak mau kalah. Ia berniat melemparkan bola kertas lainnya, saat tangannya dicekal oleh Donghae yang baru saja masuk ke dalam kelas saat keributan itu terjadi.
"Ikut aku." Desisnya pelan.
Hyukjae menghempaskan tangan Donghae dengan keras. "Untuk apa aku ikut denganmu?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Berarti aku tidak akan ikut." Balas Hyukjae multak. Matanya melotot saat Donghae menatapnya tajam. Berusaha menunjukan bahwa ia tidak gentar sedikit pun.
Donghae berdecih pelan. Ia melirik ke arah sekitar, menemukan teman-teman sekelasnya sedang asyik dengan kegiatan mereka sendiri. Momen yang bagus sebenarnya, jika saja orang yang ingin diajaknya berbicara mau sedikit saja diajak untuk bekerja sama.
"Aku ingin berbicara denganmu."
"Bicara saja."
"Tapi tidak disini, Hyukjae." dengus Donghae habis kesabaran.
Hyukjae berdecak. "Dengarkan aku, Donghae. Aku bukan seperti siswa lain yang akan langsung tunduk dan mengikuti semua keinginanmu. Meski kau adalah preman sekolah, aku sama sekali tidak akan merasa takut. Lebih baik ubah dulu dirimu dulu, baru aku akan bersikap lebih kooperatif."
Donghae tercengang untuk beberapa saat. Bahkan ketika Hyukjae berjalan melewatinya begitu saja, lelaki itu sama sekali tidak mengambil tindakan apapun. Ekor matanya memperhatikan Hyukjae yang bergabung dengan teman-teman yang lain, sibuk mengobrol sesuatu tanpa memperdulikan lelaki itu sama sekali.
Menyadari hal itu, Donghae menarik sudut bibirnya. 'Berubah, eh? Bukan pilihan yang buruk. Kau akan mendapatkannya, sayang.'
.
.
Suara riuh tepuk tangan itu bergema dari dalam gereja. Di depan altar sana, lelaki dengan tuxedo hitam itu menunggu dengan sabar calon istrinya yang melangkah anggun bersama calon mertuanya menuju altar.
Lelaki itu mengulurkan tangan kanannya sambil membungkuk, meminta dengan sopan sang putra dari ayahnya untuk mengikat sebuah janji suci. Senyuman lebar sama sekali tidak terlepas dari kedua insan itu, tepat saat tubuh mereka menghadap ke arah pendeta yang sudah siap menikahkan mereka berdua.
"Kalian sudah siap?"
Baik Donghae dan Hyukjae sama-sama mengangguk mantap. Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, seolah takut untuk terlepas satu sama lain.
Didengarkannya kalimat sang pendeta dengan baik-baik, bersiap untuk mengulanginya saat lelaki paruh baya itu menyelesaikan kalimat sumpah untuk mereka berdua.
"Aku, Lee Donghae. Menerima Lee Hyukjae untuk menjadi istriku. Bersumpah untuk selalu bersama dan menjaganya. Selalu mencintanya dalam suka dan duka, hingga maut memisahkan."
"Aku, Lee Hyukjae. Menerima Lee Donghae untuk menjadi suamiku. Bersumpah untuk selalu setia dan berbakti padanya. Mencintanya dalam suka dan duka, hingga maut memisahkan."
Hingga pemasangan cincin itu berlangsung, diiringi dengan dentingan piano, kembali suara tepukan tangan bergemuruh ikut meramaikan. Beberapa kali Donghae mengucapkan syukur, benar-benar merasakan kebahagiaan yang membuncah di dalam dadanya.
"Baiklah, dengan ini kalian dinyatakan sah sebagai pasangan suami-istri. Silahkan mencium pengantinmu."
Wajah Hyukjae seketika memerah. Ketika kedua tangannya digenggam dengan lembut oleh Donghae dan melihat cara lelaki itu menatap ke arahnya, ia yakin bahwa ini adalah kebenarannya.
Ia membiarkan Donghae mendekati wajahnya, membisikan satu kalimat yang kembali membuat wajahnya merona bahagia lalu mencium bibirnya dengan lembut.
Kalimat sederhana yang selalu berhasil membuat jantungnya terasa dipompa dengan keras. Sejak pertama kali lelaki itu mengatakannya.
"Aku mencintaimu, sweetheart."
.
Hyukjae memijat keningnya dengan tatapan frustasi. Lagi-lagi Donghae membuatnya tercengang entah untuk keberapa ratus kali. Memasuki tahun terakhir menjadi kelas satu adalah puncaknya, saat laki-laki bersurai hitam legam itu merampas raport milik teman sebangkunya itu tanpa ijin. Dan menemukan bahwa ia telah kalah telak.
Lee Donghae sebagai ranking lima di kelasnya, bung?!
Donghae sendiri terkekeh geli. Ia menikmati bagaimana ekspresi Hyukjae saat ini. Begitu nelangsa dengan kening yang berkerut tak percaya. Ia yakin laki-laki itu akan gila sebentar lagi jika buku bersampul biru itu tetap ia tatapi selama beberapa menit ke depan.
"Kemarikan raportku, Hyukjae." Tangan Donghae terulur untuk mengambil kembali raport miliknya. Ditepuknya sekilas kening Hyukjae, membuat lelaki manis itu mengerang kesal sebagai responnya.
"Brengsek, bagaimana bisa kau mendapatkan ranking lima?!" serunya tak percaya.
"Dengan belajar secara sungguh-sungguh. Apa lagi?"
"Kau tidak menyontek atau berbuat curang, kan?"
"Memangnya kau pernah melihatku seperti itu?"
"Memang tidak. Tapi,"
Donghae menghela nafas pendek. "Dengar Hyukjae, aku bukan Donghae yang dulu lagi. Yang hanya bisa berbuat onar dan mencari keributan. Aku sudah berubah, dan kau jelas sadar itu dengan baik."
Hyukjae tercenung. Ucapan Donghae memang benar adanya, dan laki-laki itu sudah mulai berubah selama setahun belakangan ini. Tidak ada keributan dan keonaran yang terjadi atas nama lelaki itu. Ia bahkan mulai membuka diri, berusaha mengendalikan emosinya dan bertingkah sedikit lebih tenang.
Dan semua usahanya itu membuahkan hasil yang cukup mengejutkan.
Donghae semakin terkenal, bukan sebagai berandalan lagi, melainkan sosok yang pintar dan pandai bergaul. Bahkan kini ia memiliki banyak teman dari segala tingkatan. Berawal cukup sulit sebenarnya, tapi ia selalu berusaha untuk melakukannya sebaik mungkin.
"Aku ingin berbicara suatu hal denganmu."
Suara rendah Donghae membuat Hyukjae seketika tersadar. Ia menatap bingung ke arah lelaki brunette itu, sebelum mengangguk sekilas dan mengikuti kemana Donghae menarik tangannya pergi.
Kening Hyukjae berkerut saat langkah kaki mereka membawanya ke atap sekolah. Angin semilir musim gugur yang berhembus di atas sana membuat lelaki itu sedikit menggigil kedinginan. Seharusnya ia menggunakan jas almamaternya jika tahu seperti ini. Bukannya malah melepaskannya dan meninggalkannya di dalam kelas.
"Kedinginan?" Donghae memperhatikan Hyukjae. Ekspresinya terlihat cemas, dan genggaman tangan laki-laki itu berpindah ke bahunya, merangkulnya cukup erat.
"Tidak." Entah kenapa suara Hyukjae lebih terdengar seperti mencicit. Usaha keras terakhirnya adalah menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar di kedua pipinya. Berusaha terlihat biasa saja ditengah pelukan hangat teman sebangkunya itu. "Kau ingin mengatakan apa?"
Donghae tertawa kecil. Disentuhnya pipi Hyukjae dengan lembut, membuat wajah laki-laki itu mendongak dan menatapnya dengan pandangan bingung. "Seharusnya aku mengatakan hal ini setahun yang lalu,"
"Setahun lalu? Apa?"
"Perasaanku."
"Eh?" Hyukjae membuka sedikit bibirnya. Kedua mata bulatnya berkedip tidak mengerti, seolah menunggu kalimat Donghae selanjutnya.
"Kau ingat setahun lalu, saat aku berniat mengajakmu pergi dan kau menolaknya mentah-mentah?"
Hyukjae mengangguk ragu.
"Saat itu kau menyuruhku untuk berubah jika aku berniat mengajakmu pergi. Dan aku melakukan sesuai apa yang kau katakan."
Manik kelam itu langsung melebar. Ia ingat dengan jelas kejadian setahun yang lalu. Saat laki-laki itu membuatnya benar-benar muak dengan semua tingkah arogannya. Ia tidak benar-benar berniat menyuruh Donghae, tapi laki-laki itu sendiri yang melakukannya dengan senang hati.
"Aku─"
"Dengarkan aku sebentar, Hyuk." Wajah Donghae berubah menjadi serius dengan kedua tangan yang menggenggam tangan Hyukjae dengan erat. "Kau tahu? Selama setahun ini aku berubah untuk menjadi lebih baik untukmu. Melepas semua gelar keburukanku di tahun lalu dan memulainya dengan yang lebih baik. Berharap ini semua bisa membuatmu menyukaiku."
"Aku sadar kau bukan jenis orang yang bisa dipaksa dengan mudah. Jadi aku mendekatimu dengan cara yang berbeda." Donghae menghela nafas sebelum melanjutkan, "Untuk itu, aku akan mengatakannya sekarang. Aku mencintaimu, Hyukjae. Kau mau menjadi kekasihku?"
Hyukjae merasa tenggorokannya terasa tercekat. Semua untaian kalimat yang keluar dari bibir tipis itu membuatnya terasa seperti terhipnotis. Jantungnya berdebar lebih keras dan rona merah itu kembali muncul pada kedua pipinya.
Ia sadar ia telah jatuh cinta. Mengaggumi Donghae secara diam-diam dan merasa senang saat lelaki itu mulai berubah. Dan hal itu karena dirinya sendiri.
Tapi ia takut akan satu hal. Satu hal yang bisa saja membuat lelaki itu kembali seperti dulu. Kembali menjadi berandal dan bersikap arogan. Dan tidak ada yang bisa mengubahnya lagi.
"Sebelum itu, Boleh aku bertanya satu hal Donghae?" tanya Hyukjae. Matanya menatap Donghae, seolah mencari sebuah kepastian.
"Ya?"
"Bagaimana kalau aku tidak menerimamu? Apa kau akan kembali seperti dulu lagi?"
Donghae tersenyum kecil sambil menggeleng. "Setahun bukan waktu yang cepat, Hyukjae. Kau tahu betapa susahnya menjadi orang baik tanpa membuat keonaran seperti dulu. Diterima atau tidaknya olehmu, aku akan tetap seperti ini. Aku berjanji untuk itu."
Hyukjae tersenyum. "Aku percaya." Bisiknya lirih.
"Jadi?"
"Baiklah. Mari kita memulai kehidupan baru sebagai sepasang kekasih, Lee Donghae ssi." Hyukjae tertawa geli, diiringi dengan sentilan kecil pada keningnya berikut dengan pelukan hangat sebagai penutupnya.
"Terimakasih, sweetheart. Aku mencintaimu."
.
.
"Selamat atas pernikahan kalian."
Donghae dan Hyukjae sama-sama tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Mereka berdiri di tengah hall ruang resepsi. Menyambut beberapa tamu, baik kenalan mereka atau relasi bisnis Donghae yang sengaja diundang untuk datang ke acara ini.
Beberapa kali pasangan itu terlibat pembicaraan yang cukup panjang. Sekedar bercanda dengan beberapa kawan lama yang terkadang membuat mereka tertawa geli mengingat hal konyol di masa remaja.
"Kalian harus bersikap mesra, kawan. Tunjukan kalau kalian pengantin baru." Canda Kangin, yang disetujui oleh Leeteuk yang tengah menggandeng mesra lengan suaminya itu.
"Memangnya kami tidak cukup mesra, hyung?" Donghae dengan segera menarik pinggang Hyukjae, mengecup bibir istrinya itu sekilas yang disambut dengan kekehan geli dari Kangin dan pelototan kesal dari Hyukjae.
"Dasar pasangan baru. Baiklah, nikmati waktu romantis kalian. Kami ke tempat lain dulu." Pamit Kangin. Ia mengerling ke arah Donghae, berusaha menggoda lelaki brunette itu yang diakhiri dengan kekehan keras darinya.
"Tidak usah menciumku ditempat umum, bodoh!" Hyukjae mendengus saat Kangin sudah cukup jauh dari mereka berdua. Donghae sendiri hanya tertawa, memeluk pinggang Hyukjae dan menarik lelaki itu agar lebih mendekat.
"Itu hanya mengecup, sayang."
"Sama saja!"
Donghae kembali tertawa geli. Dibiarkan saja istrinya itu mengomel tidak jelas, sebelum akhirnya menutup omelan laki-laki manis itu dengan sebuah kecupan singkat.
"Berhenti mengomel, atau aku akan menggarapmu di tempat ini juga?" bisiknya mengancam.
Hyukjae memelototkan matanya. Mendorong dada Donghae menjauh, bersikap seolah-olah lelaki itu adalah bakteri pengganggu. "Dasar berandal mesum!"
"Haha, aku juga mencintamu, sayang"
END
Oneshoot yang idenya di dapatkan saat-saat jenuh dengan pelajaran di kelas. Semoga memuaskan ya? Walaupun Ta sedikit sangsi juga._.v
Jadi, silahkan direview. Ta mau tahu seberapa banyak FF ini menarik perhatian *plak* Dan sebelumnya, terimakasih karena sudah mau RnR ^^ Sekali lagi, mohon reviewnya ^^
