2015 © sehunorita
proudly present
BACK AGAIN
A HunHan fanfiction
Romance | M | Oneshoot
Mereka kembali seperti semula karena Luhan yang demam? Tidak, itu karena Luhan yang mengigau agar Sehun mau merawatnya dan Minseok mengatakan itu pada Sehun.
Luhan berjalan dengan langkah gontai, wajahnya menunduk dengan tangan yang meremas ujung baju. Matanya sembab meski hanya tipis, bibirnya terlihat memerah, begitu juga matanya. Ia baru saja menangis, pasti.
"Berakhir?" Luhan bergumam dalam perasaan sedihnya, ia mendongak, menatap langit gelap Seoul dengan tatapan penuh kilatan kesedihan. "Kenapa, Sehun-ah?"
Masih jelas di ingatannya saat tadi ia berada di taman kota. Sehun menghubunginya, mengajaknya bertemu sejak beberapa hari terakhir ini sibuk. Luhan pikir hari ini akan ada kencan menyenangkan bersama Sehun, tapi ternyata pemikirannya salah. Sehun… mengajaknya berakhir. Dirinya tidak mampu menolak, Sehun sudah membungkam mulutnya dengan bibir yang saling dipertemukan bahkan sebelum bibirnya terbuka. Begitu itu berakhir, Sehun memberinya senyuman lalu berlalu pergi setelah kata maaf terucap. Semudah itu kah mengajak kekasihmu putus dulu, Sehun-ah?
Memikirkan bagaimana Sehun meninggalkannya sendiri di taman bahkan sebelum satu kata pun terucap dari bibirnya benar-benar terasa menyakitkan, apa lagi begitu perjalanan pulang ia ingat kata temannya waktu mereka berdua berpacaran. Sehun adalah playboy sejati. Apa itu sebabnya Sehun bisa dengan mudah meninggalkannya di taman? Tinggal satu atap dengannya tidak membuat apapun berubah, Sehun pasti akan sama dinginnya seperti saat pertama dirinya berada di lingkungan yang sama dengan Sehun, di sebuah rumah seperti indekost sederhana milik Suho. Lagi pula hubungan dirinya dan Sehun memang meregang beberapa waktu terakhir, kandasnya mereka tentu bukan hal mengejutkan bagi sepuluh orang lainnya.
Luhan lelah berjalan, ia segera duduk di bangku terdekat untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Beberapa meter lagi ia sampai, tapi hatinya menolak untuk pulang. Rasanya begitu malas untuk sekedar kembali ke tempatnya tinggal. Sayangnya, hanya itu lah tempatnya. Dirinya tidak bisa untuk tidak pulang ke sana karena pada dasarnya tempatnya tinggal dan orang yang ia kenal berkumpul di sana.
Setelah beberapa saat mengistirhatkan tubuhnya, Luhan kembali beranjak. Ia melangkah menyusuri jalan setapak yang memang lebih dekat dengan tempatnya tinggal. Lagi pula jalan setapak yang ia lalui cukup terang karena memang sudah menjadi jalanan umum untuk sebagian besar pejalan kaki. Rumah-rumah di ujung persimpangan menuju jalan yang lebih besar mulai terlihat, sebentar lagi dirinya sampai di rumah bercat putih, mansion sederhana untuk indekost Suho.
"Aku pulang," Luhan berseru pelan mendapati tempatnya tinggal tidak seramai biasanya. Ia bertanya-tanya tentang apa yang terjadi hingga suara lemparan benda terdengar dari kamar nomor emat. Itu kamar Sehun. Dengan segera Luhan mencari yang lainnya. Mereka berada di dapur, ada obrolan, tapi tidak benar-benar ribut seperti biasanya.
"Aku pulang."
Luhan mengulang kalimatnya saat masuk tadi, mereka menoleh lalu memberi senyuman sederhana pada Luhan.
"Kau pulang," Minseok mengerling pada Luhan lalu berganti pada Jongin, "Katakan padanya, Jongin."
Yang bernama Jongin menunjukkan kerutan tak suka pada keningnya dengan kilatan mata takut, ia berusaha menahan diri untuk tidak menatap Luhan yang memberi tanda tanya besar melalui mata rusanya. Jongin menarik napasnya, "Sehun sepertinya mengamuk."
Luhan makin bertanya-tanya, menatap temannya yang sepertinya tidak berniat menjelaskan apapun. "Katakan yang jelas," Luhan menuntut. Mereka semua hanya berusaha untuk tidak menatap Luhan sebelum yang ditatap membalas dengan tatapan memaksa.
"Kalian berakhir?" Kris menyela suasanya tidak nyaman di sekelilingnya, akhirnya ada yang membalas tatapan Luhan.
"Eoh," Luhan mengangguk lemah, matanya jelas menunjukkan ekspresi sedih yang jujur. "Apa karena itu?"
"Dia marah pada dirinya sendiri," Kris meneruskan.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Mendatanginya mungkin cara terbaik sebelum semua barang di kamarnya hancur."
"Kau ingin aku nanti yang dilempar?" Luhan mendengus. Ia ingat betapa kuatnya Sehun dan bagaimana orang itu ketika mengamuk. Mengenalnya selama sekitar satu tahun tentu tidak sebentar, 'kan?
Jongin menggeleng, "Tidak akan dilempar ke dinding, paling parah kau akan dilempar ke ranjang dan berakhir tidak bisa berjalan karena dia begitu frustasi."
"Hey! Aku tidak akan menyerahkan tubuhku pada seseorang yang bukan kekasihku. Enak saja!"
Suho yang mendengarnya mendengus, "Seingatku dulu sebelum tanggal dua puluh lima April ada seseorang yang mendesah keras saat ulang tahunnya dan kalau aku tidak salah ingat suara itu berasal dari kamar sampingku."
Luhan memekik tidak suka. Dia menatap satu persatu temannya yang terlihat memohon, memaksanya untuk membujuk Sehun agar tidak kembali mengamuk.
"Akan aku lakukan besok," Luhan pun mengalah.
.
Pagi paginya, ada sebelas orang yang tengah makan bersama di ruang makan. Semua tengah bercanda gurau atau sekedar mengobrol dengan satu sama lain, tapi sepertinya Luhan tengah sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa berniat berbicara. Ia fokus dengan makanannya dan pikiran yang terbang entah ke mana. Mungkin ia tengah memikirkan cara untuk melakukan apa janjinya semalam. Janji untuk menenangkan Sehun.
"Sudah menemukan cara untuk menenangkannya, Lu?" Minseok menginterupsi kegiatan melamun Luhan.
Karena merasa disebut namanya ia pun mendongak, menatap orang yang tadi memanggilnya. "Cara apa?"
"Cara mendekati Sehun lagi. Maksudku… dia kan sedang marah pada dirinya sendiri."
"Oh!" Luhan mengangguk begitu matanya mendapati Minseok yang mengial ke pintu kamar Sehun, "Mungkin aku bisa modus lewat sarapan untuknya."
Minseok terkekeh, "Boleh juga. Suruh dia makan, sejak semalam dia tidak mau makan. Kami percaya padamu, Lulu~!"
Luhan berjalan menuju kamar Sehun sambil membawa nampan berisi sarapan, ia mengetuk pintu kamar Sehun. "Sehun-ah?" Luhan memanggil orang yang berada di dalam.
Tok tok tok
Suara ketukan sepertinya tidak menimbulkan apapun bagi yang di dalam. Karena merasa usahanya sia-sia, Luhan pun berniat berbalik kembali ke dapur lalu mengatakan bahwa dirinya gagal bahkan sebelum pintu terbuka. Namun, sepertinya keadaan meminta jalan yang lain. Pintu terbuka saat Luhan baru menggerakkan satu kakinya untuk berbalik. Sehun muncul dengan baju tidur polosnya, wajahnya terlihat berantakan dengan rambut yang acak-acakan, tapi itu yang membuat Luhan harus menahan napas.
"Ada apa?" Sehun bersuara dengan serak. Matanya yang sipit terlihat menghilang karena efek mengantuk, ditambah beberapa helai rambut menutupinya.
"Kau perlu sarapan," Luhan menjawab setenang mungkin. Sayangnya ia tetap harus menahan napas saat menyadari bahwa kancing baju Sehun tidak saling mengait satu pun, menunjukkan perut dengan bentuk kotak-kotak tipis yang memancing pikiran kotor dan nafsu gila Luhan.
Terdengar suara dengusan dari Sehun, tapi ia tetap mundur beberapa langkah dan membiarkan Luhan masuk.
Begitu Luhan di dalam, Sehun langsung menutup pintu. Hal itu membuat Luhan setengah berjengit pelan.
"Jangan berpikir macam-macam, aku tidak akan memakanmu."
Luhan menghembuskan napasnya, merasa baru saja Sehun permalukan meski hanya ada mereka berdua di kamar. "Aku hanya mengantarkan makanan juga sih sebenarnya."
"Baguslah," Sehun terlihat bersungut sebentar, "Letakkan saja di meja, nanti aku makan. Sekarang kau bisa keluar, hyung."
"'Hyung'?"
"Kau lebih tua dariku, 'kan? Apa salah memanggilmu hyung?"
Luhan tersenyum tipis sambil menggeleng, "Lupakan. Aku hanya heran. Biasanya kau memanggilku Luhan."
"Ya," Sehun mengangguk mengiyakan, "Itu karena biasanya kau kekasihku. Sekarang kau hyung-ku karena kau lebih tua."
"A-ah," Luhan berusaha menahan sudut bibirnya agar tidak terjatuh. Baru saja Sehun memperjelas status mereka, ya? Mengatakan bahwa mereka bukan lagi sepasang kekasih? Luhan kira semalam Sehun tengah mengantuk, ternyata dia memang mengajaknya putus. "Aku keluar dulu. Habiskan makananmu."
Luhan keluar dari kamar Sehun dengan senyuman yang terbalik dan sepertinya itu mengundang banyak pertanyaan lewat tatapan mata teman-teman satu indekostnya. Mereka semua terlihat penasaran akan apa yang mereka berdua lakukan. Luhan ingin menghindari pertanyaan, tapi mungkin nanti dia bisa sedikit curhat kepada teman-temannya itu, akhirnya Luhan berniat untuk duduk kembali ke kursinya di meja makan.
"Bagaimana? Apa dia melemparmu ke ranjang?" Jongdae menodong Luhan dengan pertanyaan mesum.
"Apa kamarnya berantakan?" Oh, apa Luhan tadi peduli dengan kondisi kamar Sehun? Yang Luhan lihat tadi hanyalah rambut berantakan si marga Oh itu.
"Apa dia tadi menyambutmu dengan sesuatu yang menyenangkan?" Tentu saja, tadi Sehun menyambutnya dengan kancing baju yang terbuka semua. Sangat menyenangkan, 'kan?
"Bisa kalian tidak bertanya?" Luhan mendengus. Ia menatap teman-temannya dengan tatapan paling mengenaskan miliknya. "Dia mengusirku dan memanggilku hyung!"
"Eh?" Jongin menatap Luhan dengan tatapan aneh. "Lalu kenapa kalau dia memanggilmu hyung? Aku juga memanggilmu hyung, kok."
"Kau bodoh ya?"
"Ya tentu saja Luhan sedih dipanggil hyung. Itu artinya posisi Luhan sama seperti kau memandang Luhan. Dia hanya hyung-mu, tidak lebih."
"Oooh~" Jongin mengangguk paham.
"Kekasihmu bodoh sekali, Kyungsoo-ya!"
Yang bernama Kyungsoo itu mengangguk, "Memang begitu orangnya, untung dia kekasihku. Kalau saja bukan, mungkin sudah aku bunuh dari jauh hari."
.
Beberapa hari setelah kandasnya hubungan antara Luhan dan Sehun menimbulkan dua masalah. Yang pertama masalah paling membuat tiap orang di rumah itu bingung, Sehun terlihat begitu dingin dan susah diajak berkomunikasi. Dia terlihat makin tertutup setelah memutuskan hubungan dengan Luhan. Seharian yang ia kerjakan hanyalah membaca buku dan mengerjakan tugas. Hal itu menimbulkan rasa frustasi pada Suho karena si maknae jadi seperti zombie mengerikan dengan kantung mata terlihat jelas. Tidak berbedah jauh dengan yang pertama, tapi masalah ini timbul pada diri Luhan. Bedanya, jika hal yang Sehun lakukan itu merepotkan, maka yang Luhan lakukan itu mengkhawatirkan. Selama sekitar satu minggu Luhan sakit. Ia sering mengigau hingga membuat Minseok yang tidur di kamar samping Luhan merasa uring-uringan sendiri. Demam yang Luhan alami adalah demam karena tekanan, mungkin itu yang membuat Luhan lama sembuh. Luhan masih tetap tertekan. Hampir tiap Luhan mengigau, nama Sehun adalah top trend word dari bibir Luhan. Semua yang Luhan katakan tidak pernah meleset jauh dari nama Sehun meski mungkin beberapa ada kalimat pelengkap lain. Sayangnya, yang selalu Luhan sebut namanya terlihat tidak ingin mengunjungi Luhan. Dia akan menjauh jika melihat Luhan. Itu benar-benar membuat semua yang berada di rumah bingung bagaimana cara menyembuhkan Luhan tanpa membuat Luhan melihat Sehun.
"Kenapa Sehun tidak pernah datang?" Luhan bertanya pada Minseok saat suapan sup ke tiganya.
Yang menyuapi terdiam beberapa saat, memikirkan jawaban apa yang tepat untuk teman baiknya ini. Ia lalu menghela napas pelan, "Aku lihat dia sangat sibuk akhir-akhir ini."
"Apa sebentar lagi ujian kenaikan kelas untuknya?"
Minseok mengangguk, "Seharian yang ia bawa adalah buku."
"Begitu…. Kalau memang dia sibuk belajar, katakan padanya untuk tidak lupa beristirahat."
"Kau yang seharusnya banyak istirahat, Lu," Minseok menyuapkan lagi sup untuk Luhan.
Setelah percakapan singkat itu, Luhan terlihat diam. Hanya menerima suapan dari Minseok tanpa berkata-kata.
Minseok menunggu Luhan hingga Luhan terlelap karena efek obatnya, begitu yakin Luhan sudah tenang, ia pun beranjak untuk mengistirahatkan tubuhnya.
"Minseok, aku ingin besok Sehun yang mengurusku."
Meski hanya gumaman, hati Minseok mencelos mendengarnya.
Kejadian semalam membuat Minseok bertekad memaksa Sehun untuk mengurus Luhan. Menggantikan giliran Yixing yang kebetulan juga sedang sibuk.
Minseok tahu itu tidak akan mudah, pasti Sehun akan menolak habis-habisan paksaannya, tapi bukan Minseok jika ia sampai gagal.
Sehun menyerah dengan permintaan Minseok karena mendengar cerita dari hyung-nya itu, apa lagi saat mengetahui Luhan mengigau seperti yang diceritakan Minseok. Mungkin ini memang saatnya Sehun memperbaiki hubungannya dengan Luhan.
Siangnya, begitu Sehun pulang dari sekolah, ia langsung masuk ke kamar Luhan tanpa mengganti pakaiannya. Tanpa sadar Sehun merasa begitu rindu pada mantan kekasihnya yang ia putuskan beberapa hari lalu. Ia pun duduk di bangku samping kasur Luhan, terlihat wajah merah Luhan dengan keringat yang menempel pada kulit putihnya. Luhan begitu manis dalam tidur lelapnya.
Perlahan Sehun membelai rambut Luhan, merapikan sedikit rambut lepek yang berantakan itu. Ia menghela napas, sakit sekali mengetahui Luhan demam sampai satu minggu dan penyebabnya adalah dirinya. Luhan pasti harus mengorbankan banyak waktu berharganya untuk mendapat ilmu karena tekanan pada batin dan pikirannya. Sehun tersenyum sedih menyadari berapa sadisnya efek yang ia berikan pada Luhan.
"Sehun…?" Luhan bergumam, matanya terbuka perlahan dengan sayu. Apa yang ia pandangi terlihat samar, tapi Luhan tahu rahang tegas itu milik Sehun.
"Ya, hyung? Aku di sini." Suara bariton itu… itu jelas suara milik Sehun. Luhan masih ingat jelas meski sudah banyak hari ia lalui tanpa suara itu beberapa waktu terakhir ini.
Luhan perlahan menangis. Sehun panik, ia gelagapan begitu menyadari air mata yang menetes pada pipi Luhan adalah nyata, bukan sekedar khayalan pada penglihatannya. Apalagi setelah itu terdengar isakan-isakan lirih dari bibir tipis Luhan.
"Jangan menangis," masih dengan panik Sehun mengusap pipi Luhan. Namun, sepertinya itu sia-sia saja. Apa yang ia lakukan justru membuat yang berkulit panas itu makin menangis.
"K-kau menemuiku?" Bibir Luhan bergetar karena tangisannya, ia terlihat begitu berantakan karena noda-noda air di wajahnya nampak mengerikan.
Sehun mengangguk, menjawab jujur apa yang Luhan tanyakan. Lagipula itu hanya pertanyaan retoris, kan? Bukannya dirinya sudah jelas berada di hadapan Luhan? Memangnya dirinya kurang nyata?
Luhan duduk, memeluk tubuh Sehun yang selama ini ia rindukan. Rasanya begitu melegakan saat mengetahui yang dipeluknya adalah orang yang nyata. Bukan sekedar guling yang ia kira Sehun di mimpinya.
Sehun terkejut, ia benar-benar tidak menyangka Luhan akan memeluknya dalam waktu sepersekian detik. Cepat dan begitu tepat. Menimbulkan friksi-friksi menyenangkan karena rasa rindu yang sudah mampu memecahkan bendungan. Pelukan Luhan adalah pemecah bendungan itu.
"Apa aku terasa nyata, hyung?" Sehun bertanya sambil membalas pelukan Luhan, mengelus punggung sempit Luhan yang bahkan terasa begitu panas seperti air mendidih. Luhan pasti berada dalam suhu lebih dari tiga puluh delapan.
Luhan mengangguk antusias, tubuhnya ikut bergerak pelan karena anggukan semangat darinya. Ini benar-benar nyata. Tubuh kurus Sehun yang ia rindukan berada dalam dekapannya, ini benar-benar lebih indah dari pada mimpinya.
.
Entah bagaimana awalnya, tapi sekarang mereka berdua berakhir dengan tubuh polos di atas ranjang. Sehun berada di atas dengan tubuh panas Luhan berada di bawah. Luhan hampir mendidih karena suasana ruangan yang begitu panas. Napas mereka beradu, tapi napas Luhan mendominasi karena suhunya yang tinggi. Sehun mengelus pipi Luhan, mengecupi bibir yang dibawahnya dengan lembut seolah itu akan pecah jika dirinya kasar. Ia lalu menyesap bibir itu perlahan, semacam menarik suhu panas pada orang yang begitu ia sayangi melakui hisapannya.
"Bisa jelaskan padaku kenapa aku merasa aku tidak bisa berhenti?" Sehun bergumam dengan suara beratnya yang serak, matanya menunjukkan kilatan lapar pada orang di bawahnya.
Luhan menggeleng, matanya terpejam begitu saja saat tangan besar Sehun mengelus pinggangnya dengan lembut. Terlalu memabukkan bahkan saat tangan itu setengah mengambang untuk menggoda tubuh panasnya. Luhan mabuk dalam sentuhan Sehun.
Sehun tersenyum saat mendapati desahan pelan dari bibir Luhan, suara lembut yang membelai kulitnya lalu menelusup melalui pori-porinya untuk memancing beberapa tetes keringat karena rasa membakar pada dirinya.
Tangan Sehun bekerja lebih cepat daripada manuver para militer untuk menggoyahkan tubuh Luhan. Dengan sekali hentak jarinya yang panjang sudah berada di dalam Luhan hingga menimbulkan erangan tertahan dari yang terisi. "Kau baik?" Sehun bertanya saat mendapati beberapa tetes keringat di kening Luhan.
Luhan mengangguk, jari-jarinya yang setengah gemetar meremas lengan Sehun. "Lakukan. Aku mau kau melakukannya," suaranya serak karena tenggorokannya yang terbakar oleh nafsu.
Sehun bergerak, menambah satu jarinya untuk melonggarkan miliknya nanti ketika dimasukkan. Hal itu laki-lagi menimbulkan erangan, Luhan benar-benar mendidih bahkan sebelum sampai pada bagian paling penting.
Setelah Sehun selesai dengan jarinya, dengan tidak sabar Sehun maraih pinggang Luhan. Ia membisikkan beberapa kalimat penenang sambil menggesekkan miliknya sebelum masuk ke tubuh Luhan. Yang di bawahnya hanya mendesis lirih karena tenggorokannya terasa panas untuk mengeluarkan sesuatu yang lebih keras.
"A-aku siap," Luhan bergumam, matanya menatap Sehun dengan sayu begitu terbuka.
Sehun yang sudah mendapat izin dari Luhan pun langsung memulainya. ia memasukkan miliknya, mengabaikan suara erangan karena sakit yang bercampur dengan nikmat keluar dari bibir tipis Luhan. Sehun benar-benar butuh memasukkan seluruhnya atau kepalanya bisa meledak, mendidih karena nafsu yang mengebu-gebu.
Semuanya masuk ke dalam Luhan. Napas mereka sama-sama memburu. Saat napas Sehun sudah tidak begitu cepat, Sehun langsung menggerakkan dirinya. Menumbuk titik terdalam diri Luhan, melewati dinding-dinding kuat yang menghimpitnya.
Luhan mendesah keras meski tidak sekeras biasanya. Tubuhnya terasa lemah, tapi juga terlalu mendambakan kenikmatan dari Sehun. Meski terasa menyakitkan, Luhan menahan semuanya karena sakit itu mulai terkikis dengan perasaan nikmat. Ini terlalu nikmat. Luhan tidak bisa untuk menolak kenikmatan duniawi dari seorang Oh Sehun.
Mereka sampai. Keluar bersamaan setelah sebelumnya mengejar kenikmatan luar biasa dari kegiatan panas yang disebut bercinta. Semua menjadi dua kali lebih melelahkan bagi Luhan, matanya makin memberat dengan keringat yang melepekkan rambut dan membasahi tiap inci kulitnya.
Sehun berbaring di samping Luhan tanpa berniat mengeluarkan miliknya. Rasanya begitu hangat dengan cairan yang menyelimuti miliknya ditambah dinding-dinding kuat meremasnya. Sehun mati-matian menahan diri untuk tidak menyerang Luhan kembali.
"Sakit…."
Luhan mendesis lirih saat dirinya tanpa sengaja bergerak. Mungkin tadi ia tidak sadar bahwa milik Sehun yang besar itu membuat lecet kulit dalamnya. Luhan meremas lengan Sehun lumayan kuat saat Sehun mengeluarkan miliknya perlahan karena rintihannya tadi.
"Maaf," Sehun bergumam saat seluruh miliknya sudah keluar. "Ayo kita bersihkan diri kita."
Dan setelah itu hubungan mereka kembali terbangun kokoh tanpa ucapan 'kembali lah padaku' dari masing-masing mereka.
FINISH.
wooooh gilaaaaa. apa apaan iniii?
Astaga maafkan akuuu. aku tau ini pasti hancur banget kan hahaha XD
. aku ga nyangka ff ini bisa selesai dalam satu jam xD astaga aku malu sendiri bacanyaa, akhirnya aku pun ga berani edit ffnya XD
kalau misal aku buat kesalahan, tolong langsung kabari aku okk?
Oh iya! Jangan lupa review kalian! aku tunggu review kalian :3
