.

.

ARTOLE

.

.

warning: graphic scenes, sub/dom

.

.

.

.

.

Ada sebuah klub rahasia di daerah Myeongdong, Seoul. Letaknya di dalam hotel Lotte biarpun tidak semua pengunjung hotel tahu tentangnya. Untuk mengunjungi klub, kau harus memperlihatkan kartu member pada resepsionis. Kartu hitam seukuran kartu ATM dengan emboss emas logo naga dan sebuah nama: Artole.

.

Mendapatkan kartu keanggotaan itu susahnya bukan main. Pertama kau harus direferensikan oleh setidaknya dua anggota klub, kedua kau harus bersedia membayar biaya keanggotaan sebesar sepuluh juta won per bulan, ketiga kau harus melewati tes wawancara dengan psikolog untuk membuktikan bahwa kau tidak memiliki tujuan buruk kepada klub ini. Pencegahan infiltrasi polisi atau pemerintah, tampaknya, karena klub ini tidak bisa dibilang legal.

.

Walaupun aku cukup yakin ada seseorang berpengaruh di atas sana.

.

Aku mendapatkan kartuku bukan dengan mudah. Syarat pertama memang bisa kulewati dengan mudah atas rekomendasi Yifan dan Yixing, bahkan mereka yang mengajak terlebih dahulu. Syarat kedua juga bukan masalah, dilahirkan oleh pasangan pemilik perusahaan otomotif terbesar di Cina memudahkan beberapa hal. Syarat ketiga, sayangnya, membuat kepalaku pusing. Aku harus memakai mesin pendeteksi kebohongan dan menjawab jujur semua pertanyaan yang sangat pribadi untuk membuktikan bahwa tujuanku masuk klub hanya satu: mendapat kepuasan.

.

Bayangkan betapa memalukannya mengakui pada tiga orang asing bahwa satu-satunya yang kau inginkan dari klub ini adalah mendapatkan orang yang mau menyetubuhimu dengan liar, seseorang yang akan membisikan kata-kata kotor di telingamu dan memainkan tubuhmu seperti boneka seks.

.

Memalukan.

Tapi setelah semua itu, aku akhirnya berhasil menjadi anggota. Setidaknya semua pengakuan itu tidak sia-sia.

.

.

.

.

Aku memperlihatkan kartuku dengan sembunyi-sembunyi. Walaupun Artole adalah klub rahasia dan sangat sedikit yang mengetahuinya, aku tidak ingin mengambil risiko. Resepsionis yang melayaniku, seorang perempuan dengan rambut pendek, tersenyum sopan dan langsung mengarahkanku pada sebuah pintu di lobi, persis di samping meja resepsionis. Wanita itu menggunakan kartu miliknya (warna putih tanpa ada tulisan atau gambar apa pun) ke mesin di pintu lalu mempersilahkanku masuk.

.

Ini pertama kalinya aku datang ke sini, tapi Yixing sudah bercerita cukup banyak hingga aku tahu apa yang harus kulakukan. Ruangan yang kumasuki itu kecil, hanya ada sebuah sofa hitam dan lift di dalamnya.

.

Aku sedikit gugup.

.

Jantungku mulai berdetak lebih kencang.

.

Aku menekan tombol pemanggil lift, hanya ada tombol untuk turun ke lantai bawah. Kamar hotel yang biasa ada di atas, sedangkan bagian basement semuanya adalah Artole.

.

Dentang lift yang tiba membuatku terkejut dan aku menghela nafas, prihatin pada diriku sendiri. Ini memang pengalaman baru untukku, tapi aku tidak seharusnya merasa takut, atau gugup. Aku menginginkan ini.

.

.

.

Yifan menjelaskan cukup detail tentang sistem di Artole. Ada banyak kamar dan aku cukup memilih salah satu, sederhana. Orang yang pertama memilih kamar bisa menentukan alat apa saja yang mereka inginkan, orang yang datang ke kamar itu kemudian bebas menggunakan alat yang dibawa orang pertama karena dengan membawa alat-alat ke dalam kamar artinya orang pertama siap menggunakan semua alat itu.

.

Orang pertama juga bebas menentukan berapa orang yang boleh masuk ke dalam ruangannya.

.

Hampir seperti ruangan chatting, hanya saja ini ruangan betulan. Dan yang dilakukan di dalamnya lebih dari sekedar mengobrol.

.

.

.

Aku memilih sebuah ruangan kosong. Tubuhku sedikit gemetar dan jariku hampir terpeleset ketika aku menunjukan kartuku pada mesin di pintu dan memasukan opsi yang kupilih malam itu. Satu orang. Karena aku bahkan tidak yakin aku akan menyukai ini. Kalau bukan karena Yifan dan Yixing yang membujukku ke sini aku tidak akan melakukannya.

.

Pintu terbuka.

.

Ruangan itu hampir kosong dan luas. Lantainya dilapisi karpet bewarna abu-abu dan dindingnya bewarna gading. Salah satu dinding ditutupi oleh cermin panjang yang membuatku membayangkan bagaimana rupaku di sana nanti. Hanya ada satu furniture, sebuah meja marmer di dekat pintu, mungkin tempat untuk meletakan 'mainan'. Tapi aku tidak membawa apa-apa malam ini.

.

Suhu di ruangan cukup dingin, membuatku ragu untuk membuka bajuku. Memberikan alasan lain mengapa aku lebih baik pergi dari sini. Tapi aku harus mengakui bahwa aku penasaran. Aku ingin mencoba Artole dan janji-janji yang disebutkan Yifan. Aku ingin seseorang yang tidak keberatan melakukan hal-hal padaku tanpa melihat statusku sebagai pewaris industry otomotif.

.

Aku mencoba mengatur nafas. Biarpun masih ada sedikit ragu, aku melepas jas yang kupakai dan meletakannya di atas meja. Berikutnya dasi. Kemudian kemeja, jariku gemetar dan berkali-kali aku kesulitan membuka tiap kancing. Ketika aku akhirnya berhasil melepas kemejaku dan meletakannya di atas meja, putingku sudah mulai mengeras. Aku tidak tahu karena tegang atau karena AC yang dingin.

.

Malu. Amat sangat malu. Aku melucuti bajuku sendiri di ruangan asing dan seseorang bisa masuk ke dalam ruangan ini kapan saja. Tanganku bergetar hebat ketika akhirnya aku menurunkan celanaku. Pipiku kontan memerah ketika menyadari bahwa keadaan yang kuanggap memalukan ini ternyata justru merangsangku.

.

Aku menggelengkan kepalaku. Sudah terlambat sekarang. Ketika aku menurunkan celana dalamku, rasa maluku berlipat ganda. Aku berusaha tidak melihat ke cermin, berusaha tidak melihat bayanganku yang telanjang tanpa benang sedikit pun. Aku gagal. Aku melihat bayanganku, tubuh telanjang yang tidak disembunyikan apa-apa, tidak bisa bersembunyi, dan aku langsung gemetaran.

.

Takut?

.

Aku tidak tahu. Mungkin sedikit, tapi aku tahu aku menginginkan ini. Kemaluanku yang mulai tegang adalah buktinya. Aku ingin melepaskan semua kontrol yang kumiliki. Malam ini aku bukan Luhan, putra dari presiden perusahaan Han. Aku hanya seorang manusia yang ingin melakukan salah satu kebutuhannya, mengikuti nafsunya.

.

Pelan-pelan aku membaringkan tubuhku di lantai, terlentang menatap langit-langit ruangan. Aku tidak tahu harus menunggu berapa lama sampai ada yang datang. Ada banyak ruangan dan semua orang bebas memilih.

.

Bisa jadi tidak ada yang datang.

.

Memikirkan kemungkinan itu membuatku mengernyit. Aku akhirnya memilih untuk menoleh ke samping, melihat pantulanku di cermin. Ini masih memalukan. Di ruangan yang kosong ini hanya ada aku. Aku menatap diriku lama-lama dan menyadari bahwa semakin aku malu, kemaluanku semakin tegang hingga hampir berdiri.

.

Aku…

.

…ingin kehilangan kontrol.

.

.

Tanganku perlahan menyentuh diriku sendiri. Aku ingin tertawa sekaligus menangis. Sepuluh juta won untuk masturbasi terdengar konyol Tapi aku ingin mencapai klimaks dan saat ini yang bisa kulakukan hanya ini, bermain dengan diriku sendiri.

"Kau menyedihkan, Lu," gumamku pada diriku sendiri, mengerang dan menutup mata ketika akhirnya aku menyentuh batang kemaluanku.

.

.

.

.

"Namamu, Lu?"

.

Suara seorang laki-laki terdengar dari pintu dan aku cepat-cepat menarik tanganku. Reaksiku pertama adalah berusaha menutupi tubuhku, hal yang sulit karena tidak ada yang bisa kupakai untuk bersembunyi. Satu-satunya bisa kulakukan adalah menutupi bagian paling pribadiku dengan kedua tangan.

.

"Ada peraturan untuk tidak meminta identitas partner," ujarku dengan nada tinggi, defensif, kesal dan malu bercampur. Aku akhirnya melihat laki-laki yang baru masuk, tinggi dengan bahu lebar, kulit pucat dan rambut pirang.

.

Tipe idamanku.

.

Sial.

.

"Aku tidak meminta," ujarnya dengan nada datar, "kau yang mengatakannya."

.

Aku tahu dia benar. Tapi bukan berarti aku dengan senang hati akan mengakui bahwa aku salah. Aku masih ingin mencercanya, walaupun aku tahu dia tidak salah. Aku juga tidak salah. Tapi kemudian laki-laki itu mulai membuka bajunya dan aku berhenti berpikir.

.

Wajah laki-laki itu dingin, nyaris galak, dan sialnya tampan. Tapi yang membuatku terbelak adalah tubuhnya. Dada yang bidang dan otot yang terbentuk sempurna muncul dari balik kemeja hitam yang dikenakannya. Putingnya cokelat, kontras dengan kulitnya, dan aku bisa membayangkan diriku menggigiti bagian itu sambil bergelung manja.

.

Laki-laki itu tertawa dan wajahku terasa terbakar. Ia pasti menertawakan wajahku yang megap-megap begitu melihat tubuhnya. Aku seharusnya menoleh ke arah lain, aku seharusnya mempertahankan sedikit harga diri yang kumiliki. Tapi kemudian laki-laki itu tersenyum menggoda, sial, sambil menurunkan celananya dengan lambat.

.

Aku hampir melenguh karena kalau tadi aku sudah berpendapat bahwa laki-laki itu sempurna, maka sekarang aku yakin bahwa dia setengah dewa. Bagaimana mungkin seseorang bisa tampan, memiliki tubuh bagus, sekaligus memiliki penis sebesar itu? Aku tidak yakin tubuhku bisa dimasuki monster itu.

.

Ah. Ah.

.

Nafasku mulai menderu dan aku mendengar laki-laki itu tertawa.

.

.

'Peraturan pertama, cantik," ujar pria itu, berjalan mendekat dengan mata yang menatap tajam ke arahku. Seulas senyum di wajahnya. Aku merasa tubuhku melemah. Ingin mundur, tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Ia berhenti tepat di depanku, menunduk menatapku yang terduduk di lantai. "Kau akan melakukan semua perintahku. Mengerti?"

.

Aku mengangguk, cepat, hampir tidak sadar apa yang kulakukan. Bukan kejutan sebenarnya, bukankah aku memang mencari seorang Dom yang bisa memberikanku kepuasan?

.

"Peraturan kedua," kali ini ia berlutut hingga mata kami sejajar, matanya penuh gairah dan senyumnya semakin terlihat seperti seringai predator. Ia menyentuh di antara pahaku dan aku mengerang, otomatis memajukan pinggulku agar ia bisa menyentuhku lebih leluasa. Suara tawanya terdengar sedikit menyeramkan, membasuhku dengan birahi yang membuatku berpikir aku bisa mencapai klimaks saat itu juga.

.

"Kau hanya boleh mencapai klimaks ketika aku mengizinkanmu."

.

Aku mengangguk cepat. Terserah, tidak peduli. Aku hanya ingin tangannya mulai bergerak karena aku sudah tidak tahan.

.

Tapi ia melepaskan tangannya dan aku mengerang keras, kecewa, dan si sialan itu tertawa lagi. Tubuhku terasa panas dan yang kuinginkan saat ini hanya disentuh, disetubuhi, terserah apa yang ingin ia lakukan tapi aku ingin mencapai klimaks.

.

Ia berdiri dan aku tidak ingin ia pergi.

.

"Tolong," ujarku lemah, memegang kakinya. Dom-ku. "Tolong, aku tidak tahan…"

.

Kejantanannya begitu dekat dengan mukaku dan aku ingin menjilatnya. Perutku terasa panas dan jantungku berdetak cepat tapi yang ada di pikiranku hanya aku ingin ia menyodokan penisnya ke mulutku.

.

.

"Apa yang kau inginkan, cantik?" Ia bertanya, lembut dan aku mengerang keras, mendongakan kepalaku. Suaranya cukup untuk membuatku mabuk dan aku mulai bertanya-tanya apakah semua Dom seperti ini apa malam ini aku beruntung mendapat seseorang yang sempurna?

.

"Jawab pertanyaanku," suaranya masih lembut, tapi tangannya menarik rambutku.

.

"Se—semua," ujarku patah-patah, "Lakukan apa saja padaku. Lakukan semua yang kau inginkan."

.

Ia menunduk menatapku lagi. Seakan ia seorang dewa dan aku budak persembahan. Tapi aku tidak keberatan. Terutama ketika ia menyeringai lagi dan menuntun mulutku ke penisnya. Aku merasakan jantungku berdebar. Ini bukan pertama kali aku melakukan felatio, tapi ini pertama kalinya aku merasa akan mencapai klimaks dengan menghisap kemaluan seseorang.

.

Laki-laki itu menarik kepalaku lebih dekat dan aku terbatuk ketika ujung penisnya menyentuh pangkal tenggorokanku. Tapi ia tidak peduli, menahanku tetap di depannya walaupun aku harus memeluk kakinya agar aku tidak jatuh. Rasa amis memenuhi mulutku ketika cairan mulai keluar dari kemaluannya. Aku tidak pernah suka rasa cairan ejakulasi, tapi kali ini aku tidak peduli. Aku menjilat batangnya, menghisap kantung skrotum, menghisap cairan dari ujung penisnya.

.

Aku bahkan tidak menyentuh diriku sendiri tapi aku tahu aku hampir mencapai klimaks. Mulutku penuh. Aku merasa penuh. Dan aku membayangkan jika hanya di mulut saja sudah seperti ini, bagaimana jika ia memasukiku lewat bawah nanti?

.

Suara mulutku terdengar menjijikan, basah. Tapi aku menyukainya. Tubuhku terasa panas, terbakar. Lalu mendadak ia menarik rambutku keras, menjauh dari tubuhnya.

.

"Tidak—ah—" aku berusaha mendekati penisnya lagi, tapi laki-laki itu menahan kepalaku,

.

"Cukup, cantik," bisiknya dengan nada lembut yang sama seperti sebelumnya. Ia berlutut kembali dan menjilat ujung bibirku, mungkin ada jejak spermanya di sana. Tubuhku terasa lemah dan aku merasa akan meledak. "Siapa sangka kau akan sekeras ini hanya dengan menghisapku," gumamnya, aku merasakan lidahnya di leherku. "Kau seperti pelacur."

.

Tangannya meremas penisku.

.

"Ah…!"

.

"Apa yang kau inginkan, Lu?" Aku seharusnya marah bahwa ia menggunakan namaku di sesi yang seharusnya anonim ini, tapi aku justru mengerang semakin keras. Tangannya memijat-mijat kemaluanku.

.

"Ah… A—" aku tidak bisa berpikir.

.

"Ya?"

.

Suaranya begitu tenang seakan ia tidak sedang memainkan kantung spermaku.

.

"Hng…" aku menggigit bibirku, tanganku tanpa sadar mencengkram bahunya. Aku begitu dekat—begitu dekat….

.

"Aku belum memberikanmu izin untuk klimaks."

.

Lalu tangannya mendadak hilang.

.

"Tidak—ah…" aku mencari tangannya, lalu menggosokan pinggulku ke kakinya. Aku tidak peduli apa, aku hanya ingin disentuh—tolong, ah—

.

"Hentikan."

.

Gerakanku terhenti. Aku ingin menangis, atau sudah menangis aku tidak tahu. Tubuhku terasa terbakar tapi aku tidak bisa melanggar perintahnya.

.

"Kau ingin aku menyentuhmu?"

.

Aku mengangguk keras-keras. Lakukan apa saja kumohon, sentuh aku, jamah aku, aku ingin klimaks, sentuh aku, sentuh aku

.

Laki-laki itu menatapku tanpa mengatakan apa-apa. Lama, sampai aku takut dia akan keluar pergi dari ruangan ini dan membiarkanku tergantung. Ketika dia berdiri aku mengeluarkan suara rengekan tertahan, tapi dia hanya tersenyum. Dan dia terlihat sangat seksi ketika melakukan itu. Aku bisa melihat putingnya yang mengeras, penisnya yang tegang dan basah oleh air liurku—besar dan…

.

.

"Lu, kemari."

.

Ia duduk menghadap cermin dan aku hendak berdiri untuk berjalan menyusulnya. Tapi aku mengurungkan niat dan akhirnya merangkak ke tempatnya. Aku melihat pantulannya di cermin menatapku dengan tatapan yang semakin lama semakin buas. Tubuhku gemetar dan aku sengaja menggerakan bokongku ketika merangkak.

.

"Dasar pelacur," gumamnya ketika aku sudah dekat, ia menarikku ke pangkuannya dan menggigit leherku. Tangannya mencengkram bokongku. "Kau ahli dalam memuaskan pria, ya?"

.

Aku mengerang seraya mendongakkan kepalaku agar ia bisa menjelajah leherku.

.

"Aku memberikan pertanyaan padamu," suaranya tetap tenang, tapi ia meremas penisku lagi sampai terasa sakit.

.

"Ah, tidak… ah…"

.

"Kau pelacur, tapi malam ini kau pelacur milikku," suaranya lebih rendah, aku bisa mendengar birahi dalam suaranya dan aku merasakan tubuhku dibanjur gairah. "Kau tidak sabar ingin sesuatu di bokongmu, kan?"

.

Ia meremasku lagi.

.

"Ya… ah… kumohon…"

.

"Katakan padaku bahwa kau ingin aku menyetubuhimu, mengisimu dengan sperma," ia berbisik di telingaku. Tangannya terasa ada di mana-mana. Aku merasakan dia mencubit putingku, meremas penisku, memijat-mijat bokongku.

.

"Aku ingin kau mengisiku, ah…" ujarku patuh, mengerang saat dia menggosokan tangannya di bagian luar lubangku, oh aku ingin dia masuk, "ah—aku ingin penismu…"

.

"Pintar," dia tertawa di dekat telingaku, membuat tubuhku gemetaran karena hangat nafasnya. Tapi dia berhenti menyentuhku. Aku merengek, menggesekan kemaluanku ke dadanya, tapi dia mengangkatku dan membuatku menghadap ke arah yang sama dengannya.

.

Pantulanku di cermin terlihat begitu sensual hingga aku merasakan rasa malu yang sama mulai membakar lagi. Aku juga bisa melihat wajahnya, tersenyum di belakangku. Tangannya memeluk pinggangku, menjagaku agar tetap duduk di antara kedua kakinya.

.

"Buka kakimu."

.

Aku merengek, tidak mau. Ini sudah cukup memalukan, dan aku tidak ingin melihat betapa terangsangnya aku. Tidak ingin mengakui.

.

Tapi ia mencubit putingku dan ketika aku mengerang, lemah sesaat, ia menarik kedua kakiku dan menguncinya dengan kakinya sendiri. Aku hanya bisa meronta, ingin menangis karena campuran banyak hal. Melihat penisku di cermin, merah, tegang dan basah oleh cairan praejakulasi hanya membuatku semakin ingin lari.

.

"Cantik."

.

Aku merasa tubuhku disuntik gairah sekali lagi mendengar suaranya.

.

"Kau terlihat cantik seperti ini, di pelukanku, mengerang seperti pelacur, memintaku menyetubuhimu," ia menjilat telingaku dan aku merasakan pertahananku hancur, lagi. Tubuhku menggelinjang, dan aku terbagi antara ingin bersikap lebih pantas atau memohon agar ia cepat-cepat membiarkanku mencapai klimaks.

.

"Katakan sekali lagi, Lu…"

.

Jari telunjuknya mengitari lubangku, aku bisa melihatnya dengan jelas di cermin.

.

"Kau dengar perintahku."

..

Dia tiba-tiba menarik kakiku semakin lebar dan membuat penis dan lubangku semakin terlihat di cermin. Ujung jarinya masuk ke dalam lubangku dan aku menggerak-gerakan pinggulku, tapi ia tetap tidak masuk.

.

"Ah, kumohon—" isakku, setengah kesal setengah putus asa, "Kumohon masuki aku, aku—"

.

"Kau ingin aku masuk ke lubangmu?"

.

"Ya!" dan nyaris bersamaan dengan ucapanku, jari telunjuknya masuk ke dalam. Aku tidak bisa tidak melihat bagaimana tangannya menggeliat masuk dan keluar. Lubang duburku menghisapnya. Rasanya seperti bukan tubuhku karena aku melihat lewat cermin, tapi juga tubuhku karena aku bisa merasakan bagaimana jarinya bergerak-gerak di dalamku. Lalu dia memasukan jari yang kedua. Dan sambil tertawa, ia melebarkan lubangku agar aku bisa melihat bagian dalamku.

.

Aku nyaris pingsan. Tubuhku terasa lemas tapi aku terus bergerak-gerak, tidak tahan tidak menggelinjang ketika jarinya menusuk-nusuk bagian dalamku.

.

Lalu ia memasukan jari yang ketiga dan aku tahu aku tidak akan bertahan…

.

"Ah… kumohon… ah…." Aku mengerang, tanganku mencengkram pahanya. Aku tidak percaya bahwa aku bisa mencapai klimaks tanpa disentuh, tapi aku sudah begitu dekat—ahh—dan ia sudah mempermainkan tubuhku begitu lama.

.

"Kumohon! Ah!"

.

Jarinya membengkok di dalam lubangku, menyentuh prostatku. Sekali, dua kali.

.

"Ah… ah!"

.

Pantulanku di cermin, bagaimana tangannya keluar masuk lubang duburku seakan—seakan itu lubangku adalah miliknya untuk dijamah… cairan spermaku menetes dari ujung penis, mengalir hingga ke lubangku, menetes ke karpet…

.

"Kumohon! AH! AAH!"

.

.

.

Pandanganku kabur dan tubuhku kehilangan tenaga sama sekali. Semua mati rasa sesaat. Ketika pandanganku kembali fokus, aku bisa melihat wajah laki-laki itu yang tanpa ekspresi, biarpun matanya penuh nafsu. Aku juga bisa melihat bahwa jarinya masih berada di dalamku…

.

"Bukankah sudah kubilang bahwa kau harus menunggu izinku?" ia bertanya, nadanya tidak terdengar marah, tapi satu tangannya meremas kemaluanku sampai aku meringis kesakitan.

.

"Aku…" ujarku terbata, ingin mempertahankan diri bahwa aku benar-benar sudah tidak tahan tapi sekaligus tahu bahwa aku yang Sub harus mengikuti perintahnya.

.

"Aku akan menghukummu."

.

Hanya satu kalimat itu yang ia katakan sebelum ia mengangkatku dan mendorongku ke cermin. Kepalaku tidak nyaman, kemaluanku terperangkap antara perut dan cermin. Tapi aku lupa itu semua ketika merasakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada jari menyentuh lubangku.

.

"Tadi kau bilang ingin penisku, Lu?"

.

Aku merintih. Tubuhku masih terasa lemah dan lubangku terasa longgar setelah dipermainkan jarinya. Aku mengingat bagaimana penisnya di mulutku, besar, panas, dan aku tahu aku tidak akan bisa berjalan normal jika benda seukuran itu masuk ke dalamku. Tapi tanpa peringatan apa-apa, ia memaksa masuk.

.

"AAAH!"

.

Aku menjerit, meronta-ronta. Rasanya seperti dibelah dua, lubang duburku dipenetrasi begitu dalam sampai aku seperti merasakan ujung penisnya menyentuh bagian dalam tubuhku. Ia menciumi leherku dan aku hampir tidak menyadarinya karena aku merasa begitu penuh, panas—aku seperti bisa merasakan penisnya berdenyut di dalamku.

.

"Cantik, kau harusnya melihat betapa luar biasanya ini," suaranya parau, serak penuh gairah, "lubangmu menghisapku begitu kuat…"

.

Aku masih merintih. Kali ini aku yakin air mata membanjiri wajahku. Aku hanya bisa pasrah ketika ia mulai bergerak, batang kemaluannya ditarik hampir keluar lalu disodokan lagi ke dalam kuat-kuat. Sekali, dua kali, tiga kali, menusuk prostatku—ah! Aku merasa penisku mulai mengeras kembali.

.

"Milikku," aku bisa mendengar ia mengerang, "tubuhmu milikku…"

.

Aku hanya bisa mengamini dalam hati karena mulutku sibuk mengerang. Jika jemarinya tadi membuatku merasa penuh, maka aku tidak tahu harus menggunakan kata apa untuk mendeskripsikan penisnya. Seluruh bagian dalamku digesek dan ia menusuk titik kenikmatanku terus menerus.

.

"Ah… Ah… Aku hampir…"

.

Spermaku mulai mengotori cermin.

.

"Kau cantik sekali, Lu," ia mengerang, menggigit bahuku, "Lubangmu menghisapku, ah… ketat…"

.

Aku tidak tahu mana yang lebih buruk, penisnya yang terus menghantam prostatku, gesekan cermin di kemaluanku, atau bagaimana ia terus membisikan betapa cantiknya aku dan betapa ketatnya lubangku.

.

"Aku akan mengisimu, Lu…"

.

Aku tidak punya tenaga untuk berbicara. Ia tiba-tiba meremas kemaluanku dan aku mencapai klimaks, menjerit tanpa suara. Aku pasti tanpa sadar mengetatkan lubangku karena tiba-tiba ia mengerang di telingaku dan ia menusukku sekali lagi sebelum ia mengisiku, mengisi duburku dengan spermanya yang hangat.

.

.

.

.

.

Ketika aku membuka mata, tubuhku terasa lemas. Aku yakin aku tidak akan bisa berdiri dalam waktu dekat. Rasanya sakit-sakit di sekujur badan, tapi aku merasakan kepuasan yang belum pernah aku rasakan.

.

Setiap aku bergerak, aku merasakan ada yang menetes dari lubangku.

.

.

"Kau sudah bangun?"

.

Aku menoleh, mendapati laki-laki dengan wajah yang sekarang familiar menatapku. Sedikit tersenyum. Rambut pirangnya acak-acakan dan ia terlihat bahkan lebih seksi daripada saat ia pertama masuk. Dada bidang (dan benda besar yang ternyata bisa masuk ke dalamku) dan perutnya yang terbentuk membuatku bertanya-tanya betapa beruntungnya aku mendapatkan partner yang seperti ini di percobaan pertama. Bahkan ketika ia sudah kembali mengenakan baju seperti sekarang, bentuk tubuhnya masih terlihat jelas.

.

Akan mengecewakan semisalnya aku datang ke Artole lagi dan malah mendapatkan partner kakek tua.

.

Aku menghela nafas. Menemukan laki-laki gay dengan penis besar saja sudah cukup sulit, apa lagi yang setampan ini?

.

"Dengarkan aku, cantik."

.

Aku otomatis menatapnya, merasakan kembali peranku sebagai sub dan dia sebagai dom. Ia meraih leherku dan menarikku ke arahnya, ia lalu memasukan lidahnya ke dalam mulutku dan menciumku. Memakanku.

.

"Waktu yang sama, minggu depan?" bisiknya di sela menjilat telingaku.

.

"Apa?"

.

Aku tidak percaya pada apa yang kudengar.

.

"Waktu yang sama minggu depan. Set ruanganmu hanya bisa dimasuki nomor anggotaku," ujarnya, terdengar sedikit jengkel tapi juga seperti ingin tertawa. Ia memberikan ciuman singkat di bibirku.

.

Ia mengambil pulpen dari kantung jasnya dan mencoretkan enam digit nomor di telapak tanganku. Nomor anggotanya. Jantungku berdegup kencang.

.

"Aku akan merindukan ini," ujarnya menghela nafas sambil meremas bokongku. Aku belum mengenakan baju sementara dia sudah tampak rapi kecuali rambutnya. Pipiku memerah.

.

"Sampai minggu depan."

.

Ia keluar setelah mencium bibirku sekali lagi. Sedangkan aku masih menatap angka di telapakku dengan takjub. Sampai aku mengingat bahwa aku tidak tahu cara set ruangan dengan nomor anggota dan aku harus bertanya pada Yifan atau Yixing.

.

Mereka akan ingin tahu detil malam pertamaku di Artole.

.

.

.

.

tbc