"—Pihak keluarga masih belum memberi keterangan terkait dengan kecelakaan ini. Untuk informasi selanjutnya, mari kita hubungi—
Klik
Minato mematikan televisi yang diletakan pihak rumah sakit di ruangan—samping ruangan tempat Minato diisolasi. Ia mengusap wajahnya gusar.
Keadaan Minato kacau-balau. Pakaian formal sang pria tidak rapih seperti biasanya. Jas hitam serta dasi yang biasa dia pakai hilang entah kemana, sedangkan kemeja yang seharusnya dimasukan ke dalam celana begitu berantakan, dengan kedua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Wajah sang pria sangat kusut, sedangkan rambut pirangnya aut-autan. Mata cemerlang yang teduh kini meredup, kehilangan harapannya. Sesekali ia mengusap matanya, takut seseorang melihat air mata yang mengalir di pipinya.
"Semua akan baik-baik saja, Nak. Istrimu adalah wanita yang kuat," Mito— ibu mertua Minato—memberi semangat pada Minato. Ia menepuk bahu Minato, menguatkan hati menantu kesayangannya.
Sang pria memaksakan dirinya untuk tersenyum. Walau orang-orang berkata, jika ini murni kecelakaan, tetapi rasa bersalah selalu hinggap di dalam diri Minato. Kejadian yang dialami Kushina adalah murni kesalahan dirinya. Ia yang sangat teledor dalam merawat istrinya, membiarkan sang istri masuk ke dalam divisi penelitian, dan melihat-lihat benda-benda di dalam ruangan itu. Kushina yang sedang di dalam keadaan hamil besar, menaiki tangga untuk melihat cairan di dalam tabung dari atas.
Saat itu Minato sedang memimpin rapat perusahaan. Sehingga ia tidak tahu apapun mengenai keberadaan istrinya. Ia hanya tahu sang istri akan datang ke perusahaan ini, dan menantinya bekerja. Ya, Minato sama sekali tidak tahu jika Kushina—mantan pekerja di perusahaannya—melakukan tindakan bahaya. Ia menaiki tangga, mengidahkan seruan orang-orang di sekitarnya, menatap cairan berwarna kehijauan dari atas, hingga dirinya terpeleset, dan tubuhnya masuk ke dalam cairan tersebut.
Kepanikan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan alarm darurat pun dinyalakan, membuat seluruh orang di dalam perusahaan panik—berlari keluar atau mencari sumber bencana. Sebagai penanggung jawab penuh perusahaan, Minato tidaklah lepas tangan (pergi begitu saja), Minato lekas beranjak dari ruang rapat, menuju tempat masalah. Ia menembus kerumunan, bertanya kesana-kemari, menanyakan penyebab keributan ini. Yeah, saat itu beberapa orang berkata, jika sumber keributan berasal dari ruang penelitian, dan tanpa pikir panjang Minato langsung masuk ke dalam tempat itu.
Tindakan ceroboh?
Memang!
Minato memasuki ruangan berbahaya seperti itu tanpa mengenakan perlengkapan khusus. Namun, entah kenapa di saat itu, instingnya berkata dia harus segera ke tempat itu, dan melihat ke dalam ruangan itu.
BUKA!
Dengan susah payah, memasukan segala macam password, dan cara, Minato memasuki pintu ruangan itu.
Minato menatap ke arah tengah ruangan. Ia hanya bisa terpaku di tempat saat tubuh istrinya tergeletak di atas lantai, dikelilingi oleh manusia berpakaian tertutup. Saat Minato akan menghampiri istrinya, orang-orang tersebut melarangnya. Mereka menjauhkan Minato dari ruangan itu. Semua mendorong Minato mundur, menjauhi Kushina.
"APA YANG TERJADI DENGAN ISTRIKU?!" teriak Minato. "APA YANG TERJADI DENGAN ISTRIKU?!" serunya.
"Minato-sama, tenang. Tenang!" perintah asisten lab Minato. Ia meminta Minato untuk menenangkan dirinya. "Kushina-sama akan ditangani sebaik-baiknya oleh kami," ujar sang asisten. "Sekarang, Minato-sama tenangkan diri, dan biarkan kami mengerjakan SOP kami," lanjut kami.
Minato menarik nafas dalam-alam, menenangkan diri. Ia harus tetap terlihat intelek, dan mempercayai karyawannya. Iapun menjauh dari tempat istrinya berada. Ia menatap dari kejauhan tubuh istrinya yang berlumuran cairan hijau dibawa oleh anak buahnya. Ia membiarkan anak pertamanya yang sangat dinantikannya itu, serta istrinya dibawa pergi jauh.
Minato hanya bisa melihat seperti orang bodoh, saat sang istri mulai dibawa oleh kendaraan khusus menuju rumah sakit khusus menangani masalah seperti ini. Minato hanya bisa mengikuti sang istri, tanpa bisa melihat keadaan sang istri lebih dekat, dan itu adalah waktu paling menyedihkan di dalam kehidupannya.
.
TING!
Pintu ruangan terbuka, Minato yang sedang diisolasi di dalam ruangan akibat langsung masuk ke dalam ruangan bahaya beberapa jam lalu langsung bangkit, menatap sosok manusia yang berpakaian a la astronot memasuki ruangannya.
Minato berlari ke arah orang tersebut, menatap orang tersebut khawatir. "Ha-ah, kau bisa bersyukur, tingkat terkontaminasi dirimu oleh bahan radioaktif tidaklah tinggi. Hanya butuh pengsterilan dua minggu, kau sudah bisa pu—
"Bagaimana keadaan istri dan anakku, Prof?" seru Minato, tidak tertarik dengan kondisi dirinya sendiri.
Mito yang sejak tadi mendampingi Minato dengan pakaian pelindung hanya mengelus pundak Minato. Agar sang anak bersikap lebih sabar.
Dari balik helm pengaman, sang dokter tersenyum tipis. "Istrimu adalah wanita yang kuat," ia megantung ucapannya. "Ia berhasil melalui masa kritis dengan baik. Kemudian…," sang dokter menghela nafas lega. "Walaupun prematur, anakmu berhasil diselamatkan. Selamat Minato-sama," lanjutnya. "Anda memiliki seorang anak laki-laki dengan keadaan sehat dan utuh, tanpa kekurangan satu hal pun. Namun, maaf, kami belum bisa membawa anak Anda kemanapun."
Saat mendengar kabar baik tersebut, Minato ingin sekali berteriak bahagia. Demi Tuhan… walaupun anaknya lahir lebih dulu daripada jadwal yang ditentukan, rasa bahagia pada Minato tidak terbendung. Jika ia tidak mengingat wibawanya sebagai CEO perusahaan industri kimia terbesar, ia pasti sudah berteriak girang, dan memeluk dokter di depannya. Yeah, berhubung Minato masih menjaga image-nya. Ia hanya memeluk mertuanya, dan meluapkan kegalauannya sejak tadi.
"Terima kasih, Prof," ujar Minato sembari menyalami professor berumur 56 tahun ini. "Terima kasih," lanjutnya. Iapun menghapus air mata di sudut matanya.
"Hm," dokter tersebut tersenyum tipis saat melihat tingkah Minato. Yeah, sebagai orang tua yang berpengalaman, dan pernah berada di posisi Minato—sebagai seorang ayah untuk pertama kali, sang dokter pun mengerti rasa bahagia yang kini dialami Minato. "Semua ini tidak akan terjadi, jika Tuhan tidak berkehendak," lanjut sang dokter—bijak. "Tetapi," sang dokter menatap Minato lekat-lekat.
"Tetapi?" senyuman Minato hilang. Ia mengerutkan keningnya. Perasaannya tidak nyaman.
Ekspresi sang dokter berubah sangat serius. Ia menatap Minato dan Mito bergantian. "Bisakah Minato-sama ikut denganku? Ada yang perlu aku bicarakan dengan Minato-sama," sang dokter menatap Mito. "Berdua," lanjutnya.
Minato menatap mertuanya.
Mito hanya tersenyum maklum, mempersilahkan Minato untuk ikut dengan sang dokter.
Tanpa pikir panjang Minato pun langsung mengikuti sang dokter menuju ruangan khusus agar mereka bisa lebih leluasa untuk berbicara panjang lebar.
.
Saat itu, kebahagiaan yang sangat besar terjadi di dalam diri Minato. Namun, dengan seiring waktu, kebahagiaan itupun berubah. Sikap tidak wajar mulai terlihat di dalam diri Minato. Akibat masalah yang menimpa istri dan anak pertamanya, rasa ingin melindungi Minato pada anak pertamanya, terlalu berlebihan, hingga Minato pun tanpa sadar, mendidik sang anak pertama berbeda dari anak-anak lainnya.
Anak pertama yang bernama Naruto dididik khusus oleh ayahnya, dengan aturan-aturan yang sangat mengikat, hingga dia tumbuh menjadi seorang anak penyendiri, tidak terlalu mengenal dunia luar, berbeda dari saudara-saudaranya yang lain.
Affair
Disc: Masashi Kishimoto
Pairing: SasuKyuu, SasuNaru, ItaNaru, ItaKyuu
Warn: Cerita ini hanyalah fiktif belaka, dan tidak bertujuan untuk materiil
Dua puluh empat tahun kemudian….
Naruto menatap majalah yang diletakan ayahnya di pinggir lantai lapangan tinju, lalu mendesah khawatir. Oh, my God! Kenapa bisa fotonya beredar di setiap koran pagi ini? Apa kata dunia jika seorang Naruto Namikaze, pemuda yang selama ini memiliki predikat baik dalam hubungan asmaranya (sama sekali belum berpacaran) harus tercemar namanya karena membantu temannya yang sedang mabuk dan tidak sadarkan diri untuk keluar dari club malam. Ha-ah, tetapi untuk apa dia peduli tanggapan orang-orang? Apa yang harus dia takuti sekarang adalah ekspresi pria paruh baya di hadapannya yang siap memakannya kapanpun itu.
"Jelaskan pada Tou-san, apa maksud semua ini?" tanya Minato menunjuk foto Naruto yang sedang merangkul seorang wanita keluar dari diskotik ternama di Kota Konoha, dikala Naruto dikelilingi oleh para paparazzi.
Selain fakta mengatakan Naruto putra pertama dari Uzumaki Kushina, dan Minato Namikaze, Naruto pun merupakan pewaris tunggal perusahaan kimia—perusahaan yang dijalaninya bersama sang ayah. Naruto merupakan putra mahkota utama di antara kelima saudara Namikaze. Berbeda dari saudara-saudaranya yang dibiarkan bebas, menentukan jalan hidup mereka masing-masing, sejak Naruto dilahirkan, terlebih setelah menginjak Sekolah Dasar, ia sudah dibimbing khusus oleh sang ayah.
Pada umurnya yang dibilang masih belia, Naruto sudah disibukan oleh bermacam-macam jenis les. Dimulai dari les membaca, hingga les bela diri. Beranjak lebih dewasa lagi, kesibukan Naruto tidaklah berubah. Ayahnya yang notabene terlalu memperhatikan dirinya, memasukan Naruto ke dalam sekolah bisnis, dan sekolah tata krama, sehingga waktu Naruto harus dihabiskan dengan belajar ketimbang bermain, seperti anak-anak seumurannya.
Kehidupan Naruto terus berjalan dengan sibuknya, hingga tanpa sadar Naruto sendiri tidaklah memiliki cukup banyak teman dibalik popularitasnya. Ya, tentu saja Naruto tidak akan memiliki teman, sebab tidak ada sedikit pun waktu dirinya untuk berkomunikasi. Dia yang disekolahkan di sekolah khusus hanya bisa berkomunikasi dengan akrab bersama 10 teman sekelasnya yang sepertinya keberadaan teman sekelasnya pun sudah dipilih oleh sang ayah. Bahkan guru, dan teman berlatih Naruto dalam menjalani hobby, seperti sepak bola, dan tinju sudah dipilih Minato.
Kehidupan Naruto yang seperti pangeran di istana besar, namun terkekang, membuat dirinya menjadi sangat terkenal di tengah-tengah paparazzi. Dibalik kehidupan misteriusnya, dan otaknya yang pintar, akibat bimbingan khusus sang ayah dan ibu, Naruto pun memiliki ketampanan di atas rata-rata, saat ayahnya mengurus kulit dan tampangnya dari kecil (melebihi Konan yang merupakan satu-satunya perempuan di keluarga Namikaze selain Kushina). Naruto yang seorang laki-laki lebih suka bekeringat, selalu dimasukan ke tempat perawatan tubuh, butik ternama oleh kedua orang tuanya, hingga dia tumbuh menjadi laki-laki yang bergaya high class, dengan aroma yang memabukan, dan kulit halus berwarna kecokelatan—erotis.
Benar.
Naruto tumbuh menjadi laki-laki yang sangat memikat dengan segudang pesona. Tidak jarang banyak agency meminta dirinya menjadi model, atau artis. Namun, lagi-lagi, akibat kedua orang tuanya, Naruto hanyalah boleh melakukan sesi foto sesuai kebutuhannya, dan muncul di halayak umum juga dengan porsi yang sudah ditentukan oleh Minato dan Kushina. Ha-ah, kehidupan Naruto memang seperti di neraka di balik kenyamanan utuh yang telah diterimanya. Bahkan, di umurnya yang terbilang cukup dewasa untuk menentukan sikap, Naruto masih sering dimarahi karena mencoba keluar rumah—tanpa seiizin orang tua—hanya untuk bertemu kesepuluh teman kecilnya yang sudah beranjak dewasa, dan sudah mulai diberi kelonggaran oleh orang tua mereka untuk melakukan apapun, asalkan tidak melanggar hukum.
Naruto mendesah pasrah. "Aku hanya membantu temanku yang sedang mabuk, Tou-san," jawab Naruto, jujur. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan selain ini. "Lagipula, apa salahnya, seorang pemuda berkepala dua memasuki tempat itu? Semua anak seumuranku di kota ini nyaris semuanya pernah memasuki tempat-tempat seperti itu. Masalah anak yang keuangannya berlebihan? Jangan ditanya. Tempat ramai seperti club malam sudah menjadi rumah ketiga untuk mereka setelah rumah pribadi, dan sekolah." ujar Naruto. "Aku berani bersumpah, aku tidak melakukan apapun di tempat itu selain menjemput Hinata-chan," lanjut Naruto.
Seluruh mata di tempat Naruto latihan tinju menatap sang pemuda dan ayahnya penasaran. Pasalnya, ternyata gosip yang beredar di luar sana jika Naruto benar-benar anak rumahan benar adanya. Tidak dapat dipercaya, baru saja Naruto keluar dari rumah, dan memasuki club malam, sang ayah sudah memarahinya seperti ini. Oke, boleh-boleh saja Minato marah karena gosip ini, tetapi gosip ini beredar sebagian besar karena ulah Minato sendiri. Seandainya Minato tidak terlalu mengekang Naruto dalam mencari pasangan, dan Minato membebaskan Naruto untuk bergaul, pasti para paparazzi itu tidak akan terlalu tertarik dengan kehidupan misterius Naruto. Yeah, semakin orang terkenal itu terkesan misterius, semakin banyak paparazzi yang ingin tahu jati dirinya.
"Jadi, Hinata?" tanya Minato dengan alis terangkat sebelah.
Naruto mengangguk. "Ya, anak dari Paman Hyuuga. Salah satu kolega Tou-san," ujar Naruto. "Tetapi, aku berani bersumpah. Dia bukanlah kekasihku. Dia kekasih dari Kiba. Dia keluarga Hyuuga, teman kecilku itu," lanjut Naruto, tidak mau sang ayah salah paham. Naruto menatap ayahnya cemas.
Minato menatap ekspresi Naruto. Ia paling tidak tahan jika anaknya menatap seperti ini. Ha-ah, lagi-lagi Minato kalah dari sang anak. "Kali ini Tou-san akan memaafkanmu," ujar Minato, membuat Naruto tersenyum senang. "Tetapi dengan beberapa syarat," ucapan Minato sekarang membuat senyuman Naruto luntur. "Kau harus pergi dulu dari kota ini, selama gosip tersebut masih beredar. Tou-san tidak mau siapapun membicarakanmu sembarangan, apalagi di depan wajah Tousan. Kau, Tousan liburkan. Tou-san akan mengirimkanmu ke suatu tempat, selagi orang-orang suruhan Tou-san menyelesaikan masalah ini. Kau tahu? Akibat ulahmu banyak sekali paparazzi di sekitar rumah, dan perusahaan kita," Minato menghela nafas. "Jadi, selesaikan semua pekerjaanmu dalam dua hari ini sebelum Tou-san mengirimmu ke tempat itu."
Pergi keluar kota?
Oke, Naruto memang baru satu kali melanggar aturan ayahnya. Tetapi, apakah sikap sang ayah tidak keterlaluan dalam menyikapi hal ini? Kasus seperti ini tidak hanya dialami Naruto saja. Banyak remaja yang lebih parah kasusnya dibandingkan Naruto, tetapi orang tuanya menyikapinya dengan biasa saja. Demi Tuhan, ada apa dengan kedua orang tuanya? Kenapa kedua orang tuanya sebegitu kukuh mengekang dirinya. Sedangkan Nagato yang terbilang adik terkecil Naruto saja, bebas berpacaran dengan siapapun. Bahkan Nagato sudah memiliki pacar—Gaara.
Ah, untuk masalah paparazzi?
Apa sulitnya jika sang ayah memberi waktu bagi Naruto untuk berbicara dengan orang-orang yang selalu ingin tahu itu? Kenapa ayahnya selalu menutup jati dirinya, padahal adik-adiknya yang lain begitu terbuka, dan bisa menentukan sikap di depan siapapun, tanpa campur tangan ayah dan ibunya? Astaga! Apakah seburuk ini sikap Naruto, hingga dia harus dikekang seperti ini? Setahu Naruto, sang pemuda tidak pernah melakukan kesalahan fatal, hingga menghilangkan kepercayaan kedua orang tuanya.
Ekspresi Naruto berubah kecut.
Ia menatap teman-teman tanding tinjunya. Ha-ah, sepertinya, untuk sekarang ini Naruto harus mengalah untuk kesekian kalinya pada sang ayah. Selain Naruto takut ayahnya akan memarahi dirinya, apalagi melapor pada sang ibu, Naruto pun takut, ayahnya yang sangat posesif ini akan menutup tempat latihan tinjunya. Yeah, hanya tempat inilah dimana Naruto bisa menyalurkan rasa frustasinya karena tidak memiliki kekasih atau tidak bisa mengeluarkan hasratnya sama sekali. Hanya di tempat inilah Naruto bisa berinteraksi secara wajar dengan orang-orang di sekitarnya. Hanya di tempat inilah Naruto merasa ada, sehingga ia tidak berani melawan ayahnya, dan membuat sang ayah menutup tempat yang dibuat khusus untuk dirinya. Khusus untuk hobby Naruto.
Naruto tersenyum miris, menatap setiap temannya yang juga memiliki senyuman sama seperti miliknya. "Baik, Tou-san," jawab Naruto dengan berat hati.
Yeah, entah apa yang dilakukan oleh ayahnya…
Tetapi, bagi Naruto meninggalkan satu-satunya tempat yang menyenangkan pastilah sangat berat.
.
.
.
Tazmaniadevil
"Oji-san tidak usah menunggu saya. Silahkan pulang saja," ujar Naruto sembari memberikan beberapa lembar uang pada sopir yang dipesan orang tuanya dari pihak travel kepunyaan keluarga mereka. Wajah sang sopir terlihat merona saat melihat paras tampan dan mencium aroma tubuh Naruto. Oh, Tuhan… Naruto adalah satu-satunya penumpang yang wanginya benar-benar membuat sulit berkonsentrasi menyetir, dan ekspresi lembutnya membuat tenang di tengah keadaan macet.
Melihat uang yang diberikan Naruto, sang sopir pun tersenyum sumringah. Tanpa berpikir panjang dia mohon undur diri, dan pergi meninggalkan Naruto. Walau dia tidak mau meninggalkan penumpang macam Naruto, tetapi dia tidak sabar untuk memamerkan pendapatannya di hari ini pada keluarganya!
Sang Namikaze menatap mobil limosin yang semakin menjauh dari pandangannya. Kedua matanya pun kini fokus pada mansion di hadapannya. Wow, jadi ini tempat singgah sementaranya? Sangat besar. Sama besarnya dengan mansion kepunyaan keluarga Naruto. Yeah, hanya berbeda 5 meter sih. Mansion keluarga Namikaze lebih besar.
Kembali lagi pada pembicaraan Minato dan Naruto di beberapa waktu lalu.
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan sang ayah, dan mengalami obrolan yang cukup alot, akhirnya Naruto tetap saja dikirim ke tempat yang tidak pernah dia duga-duga. Tetapi, untuk kali ini Naruto sangat beruntung. Ayahnya yang sedang marah pada dirinya, rupanya mengirim Naruto ke tempat adiknya—Kyuubi, adik pertama Naruto.
Berbicara tentang adik-adik Naruto…
Hubungan Naruto dan adik-adiknya tidaklah berjalan cukup baik, berbeda dari hubungan persaudaraan orang lain, terkhusus Naruto sendiri.
Di saat adik-adik Naruto saling berinteraksi satu dengan lainnya, Naruto seperti dijauhkan oleh ayahnya dari adik-adiknya. Sehingga Naruto tidaklah cukup tahu perkembangan adiknya. Bahkan Naruto merasa adiknya sudah tiba-tiba dewasa, dan menikah.
Oh, iya…
Kyuubi Namikaze merupakan satu-satunya anak Minato yang sudah menikah, ketika Deidara sudah melakukan pertunangan dengan Sasori—salah satu pewaris keluarga Sabaku.
Kyuubi menikah satu tahun lalu, dengan salah satu keluarga terkaya, dan salah satu keluarga yang mengaliri darah bangsawan Jepang di setiap urat nadinya. Namun, disayangkan, Naruto tidak hadir pada acara pernikahan adiknya karena lagi-lagi sang ayah menugaskan dirinya dengan hal-hal yang tidak bisa Naruto tinggal. Sial. Di saat saudara jauh mereka datang ke acara pernikahan Kyuubi, Naruto sendiri yang merupakan kakak Kyuubi tidak memunculkan batang hidungnya. Benar-benar kakak yang hebat!
Akibat ketidakdatangan Naruto pada pesta Kyuubi, sampai sekarang Naruto selalu merasa bersalah pada Kyuubi maupun pada adik ipar, serta keluarga adik iparnya. Bayangkan, ia sama sekali belum pernah bertemu dengan calon adik iparnya karena ulah ayah dan ibunya.
Sang Namikaze melangkahkan kakinya ke depan gerbang. Ia menekan bel, dan tanpa menunggu terlalu lama, seorang penjaga keluar dari dalam pos. Penjaga tersebut menatap Naruto dari bawah hingga atas.
Naruto tersenyum lembut dikala penjaga pos tersebut terperangah di hadapannya. Tidak seperti biasanya, sang penjaga tidak bisa tegas pada sosok pemuda yang selama ini hanya bisa dilihat di televisi atau poster anaknya. Terlalu terkesima dengan keberadaan Naruto, sang penjaga tidak bertanya atau membukakan pintu untuk Naruto.
"Saya Naruto Namikaze. Bisakah aku bertemu dengan pemilik rumah ini?" tanya Naruto. Suara lembut yang biasa digunakan untuk presentasi atau berbicara di acara talk show membuat penjaga tersebut seperti mendengar suara bidadara surga. "Hallo?" Naruto mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah sang penjaga yang hanya bengong menatapnya dari dalam gerbang.
Sang penjaga menggeleng, menyadarkan dirinya sendiri dari pikiran ngaconya. Wajahnya merona. Ia malu dengan sikapnya. "A-ah, tetapi…," sang penjaga enggan menolak permintaan Naruto, tetapi dia takut dipecat, ketika membiarkan seseorang masuk begitu saja ke dalam kediaman besar ini. "Bisakah Tuan menunggu sebentar?" tanya sang penjaga dengan ekspresi menyesal. Sial. Pemuda di hadapannya sulit dibantah.
Naruto hanya tersenyum dan mengangguk.
Sembari menanti sang penjaga, Naruto memainkan ponselnya. Berkomunikasi dengan sang ibu, dan ayah, jika dia sudah tiba di tempat—kediaman Kyuubi.
Tidak memakai waktu cukup lama, sang penjaga kembali dan membukakan pintu untuknya. "Silahkan," sang penjaga mempersilahkan Naruto untuk masuk.
Naruto memperbaiki letak ranselnya, dan akan menarik kopernya ketika sang penjaga melarangnya. Naruto tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih, mempersilahkan sang penjaga membawa kopernya.
Sang pemuda menatap sekeliling. Deretan pepohonan menghiasi jalan menuju bangunan utama. Sesekali Naruto berpapasan dengan pelayan tempat ini. Para pelayan itu menatap Naruto—terkejut—dan berbisik-bisik, dengan rona merah di wajah mereka. Naruto hanya tersenyum sopan, ketika mendapatkan sambutan seperti itu. Ia sudah biasa dengan tatapan seperti itu di saat seluruh fansnya—yang entah mengefans karena apa berhubung dia bukan artis— tersebar di seluruh penjuru dunia.
Empat menit kemudian, Naruto sudah berdiri di depan bangunan megah, dengan pintu terbuka lebar untuknya.
Seorang pemuda berlari ke arahnya. Ia berdiri di hadapan Naruto, dengan wajah terkejut. Ia tidak percaya di tengah hari dan cuaca biasa saja, kedapatan tamu tidak terduga seperti ini. Lucunya lagi, tidak ada satupun orang yang menghubungi dirinya, jika Naruto akan berkunjung. "Kak! Ini beneran kakak?!" pekik Kyuubi. Ia menatap Naruto lekat-lekat. "Serius?! Ke—kenapa kau datang kemari?" tanyanya, terdengar bukan sambutan yang baik untuk Naruto.
Dahi Naruto mengerut, heran dengan pertanyaan adiknya. "Apa maksudmu bertanya seperti itu? Kau tidak suka aku datang?" tanyanya. "Ini kejutan untukmu! Tentu saja aku datang untuk menengok dirimu, dan melihat keadaan adikku," Naruto meretangkan tangannya, mendekat ke arah sang adik, dan memeluk sang adik—penuh kerinduan. Memang sengaja dia meminta Minato agar tidak memberitahu Kyuubi mengenai kedatangannya, sehingga adiknya bisa diberi kejutan.
Sang adik membatu sesaat. Ia menelan ludahnya. Tetapi, perlahan, tangannya bergerak untuk memeluk Naruto. Ia tertawa terpaksa. "Tentu saja aku suka. Aku senang, tetapi—
"Kyuubi, ada siapa di luar?" suara bariton terdengar dari arah dalam rumah.
Naruto mengurai pelukannya. Ia menatap ke arah pintu rumah. Ia melihat sosok pemuda bersurai hitam keluar dari arah dalam rumah, menuju dirinya, dan menatap dirinya dengan tatapan datar. Naruto pun mengangguk hormat, memberi penghormatan pada sang tuan rumah.
"….," sang tuan rumah membalas anggukan Naruto.
Saat Naruto dan sang tuan rumah saling bertatapan, tiba-tiba atmosfir berubah tidak nyaman.
Kyuubi yang menyadari keheningan tidak wajar di antara mereka langsung memperkenalkan dua pemuda ini. "A—ah, Itachi," ujar Kyuubi. "Kak Naru, perkenalkan! Dia adalah… kakak iparku—Itachi Uchiha," ujar Kyuubi sambil menunjuk Itachi. "—Dan Itachi, dia adalah Kak Naruto. Kakak aku," lanjutnya.
"Oh—Salam kenal," setelah diperkenalkan Naruto segera mengulurkan tangannya. "Maaf waktu itu aku sangat sibuk, sehingga tidak hadir pada acara pernikahan adikmu," lanjut Naruto. Ia benar-benar menyesal karena sikapnya yang terlihat tidak perhatian.
Itachi menatap Naruto sejenak, kemudian menyambut uluran tangan Naruto. "Tidak masalah. Memang susah menjadi seorang putra mahkota dari kerajaan bisnis yang sangat besar," ujar sang Uchiha. Walau ucapannya terkesan menyindir, tetapi Naruto sama sekali tidak merasa tersindir. Naruto hanya tersenyum, atas ucapan Itachi.
Kyuubi merasakan aura semakin terasa aneh saat Itachi dan Naruto saling bertatapan. Iapun menatap tangan Itachi yang masih megenggam tangan Naruto. Sang pemuda memegang tangan Naruto, menarik tangan Naruto agar terlepas dari Itachi. "Jadi, kakak akan menginap dimana selama di sini? Oh, atau kakak pulang-pergi? Apakah Kaa-san, dan Tou-san tahu kakak kemari?" Kyuubi megandeng tangan Naruto, meninggalkan Itachi di belakang sana.
Itachi mengangkat kedua bahunya, masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu.
Naruto berhenti melangkah. Ia menatap Kyuubi heran. "Apa maksudmu aku akan menginap dimana? Tentu saja aku akan menginap di sini dalam jangka waktu…," Naruto berpikir sejenak. "Entahlah. Belum ditentukan," jawaban seenaknya Naruto membuat Kyuubi mengerutkan dahinya. " Oh, iya, dan tentu saja kedua orang tua kita tahu aku di sini karena mereka yang mengirimku kemari," ujar Naruto.
"O—oh, seperti itu," Kyuubi terlihat gusar, kehilangan sikap kalemnya.
Sikap Kyuubi yang aneh membuat Naruto mengangkat sebelah alisnya. "Kau kenapa gusar? Apa jika aku menginap di tempatmu akan bermasalah?"
Kyuubi cepat-cepat menggeleng. "Ngg.. tidak.. aku hanya terlalu senang," Kyuubi tersenyum miris. "Iya, kan, Itachi? Ha..ha..ha..," tawanya grogi.
Itachi mengangguk, walau dia tidak tahu apa yang harus diiyakan dari ucapan Kyuubi.
"Oh..," Naruto mengangguk. Ia melepas pergelangan tangannya dari genggaman tangan Kyuubi, dan melangkah sedikit ke depan untuk menatap sekeliling kediaman baru Kyuubi.
Kyuubi menatap punggung kakaknya lekat-lekat. Walau kakaknya selalu disibukan dengan berbagai macam pekerjaan, dan kerap kali tidak tidur, tetapi ketampanan kakaknya tidaklah pernah luntur. Wajah kakaknya yang dulu terkesan kekanak-kanakan kini begitu dewasa. Mata birunya yang cemerlang, sekarang menajam, saat bibir sang kakak tetap merah muda layaknya bibir bayi yang baru dilahirkan. Di balik kulit tan eksotis yang terawat, aroma tubuh kakaknya tetap nikmat untuk dicium. Ya, walau dari jarak cukup jauh, apabila ada sang kakak, Kyuubi masih bisa mencium aroma jeruk, bercampur vanilla dari tubuh sang kakak. Aroma yang manis~
Pundak Kyuubi yang sedang melamun ditepuk oleh Itachi. Sang Uchiha sulung memberi isyarat agar Kyuubi memandu kakaknya ke kamar tamu, dan membiarkan Naruto beristirahat dari perjalanannya yang cukup jauh.
Itachi berdiri di samping Naruto, tersenyum tipis padanya. "Ah, jika memang seperti itu, saya akan sangat senang. Dengan kedatanganmu, kita bisa mengenal satu sama lain lebih jauh. Untuk pertama-tama, sebagai sambutan, biarkan saya meminta pelayan untuk menyediakan makan malam terbaik keluarga kami," ujar Itachi, memberikan rencana malamnya pada Naruto. "Anggap saja rumah ini adalah rumahmu sendiri, Namikaze-san," lanjut sang Uchiha
"Terima kasih," Naruto membalas senyuman Itachi.
"Dan jika ingin beristirahat, saya bisa meminta seseorang untuk mengantarmu ke kamar," lanjut Itachi. Dahi Kyuubi mengerut, bukankah tadi dia yang diminta mengantar Naruto ke atas? Kyuubi heran atas sikap Itachi sekarang.
Naruto tertawa sembari menggeleng kecil. "Itachi-san, tidak usah berbicara seformal itu. Aku harap, kita bisa berbicara nyaman layaknya saudara. Mau bagaimanapun kau sudah menjadi kakak Kyuubi. Oleh karena itu, kita sudah memiliki ikatan keluarga," ujar Naruto, panjang lebar.
Itachi berpikir sejenak, kemudian mengangkat kedua bahunya. "Baiklah jika begitu… Naruto," Itachi menghilangkan kata formal di ucapannya. "Kaupun tidak usah memakai embel-embel 'san' untuk memanggilku," lanjutnya.
Naruto mengangguk setuju. "Ya, jika memang itu bisa mempererat ikatan saudara kita," ujar Naruto sebelum melihat kembali lukisan besar bergambar nenek moyang keluarga Uchiha di depannya.
"Hm… ikatan saudara," gumam Itachi dengan kilatan mata sulit diartikan, membuat tatapan Kyuubi tidak suka padanya dan sang kakak.
.
.
.
Itachi memenuhi janjinya. Ah, bukan memenuhi janjinya saja, melainkan dia menyambut Naruto dengan cara berlebihan bagi Naruto sendiri. Selain makan malam disiapkan dengan sangat baik, jumlah makanan dan rasa makanan yang dihidangkan di hadapan Naruto pun bisa membuat siapapun yang melihatnya meneteskan air liur. Naruto yang sudah kelaparan, tanpa canggung langsung menyantap makanannya. Hmm… enak! Ia mulai kerasan tinggal di tempat ini. Selain tidak ada kedua orang tuanya yang selalu mengatur hidupnya, iapun bisa menghindar dari pekerjaan kantornya.
"Aku serius. Makanan ini sangat enak," Naruto yang sedikit lagi selesai menikmati makan malamnya tidak berhenti memuji koki Keluarga Uchiha.
Itachi yang duduk di kursi utama tersenyum senang. "Terima kasih. Koki di tempat ini memang sudah sangat terlatih. Dari kakek hingga ayahnya, merupakan koki dari keluarga Uchiha," jawab sang Uchiha. "Senang kau menyukai jamuan makan malam kami, Naruto."
Kyuubi meminum air putih miliknya, dan menaruhnya dengan anggun. Ia menatap Naruto. "Jadi, berapa lama kakak akan di sini?" tanyanya, penasaran. Ia mengalihkan pembicaraan. "Sudah dipikirkan?"
Naruto mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku masih belum menemukan jawabannya. Tou-san pun belum memutuskan apa-apa. Aku harap bisa dalam waktu cukup lama," jawabnya, membuat alis Kyuubi terangkat sebelah, saat Itachi tersenyum tipis, terlihat senang kedatangan tamu tidak terduga ini. "Oh, iya!" seru Naruto teringat akan sesuatu. "Lalu, dimana suamimu Kyuubi?" Naruto mengalihkan pembicaraan, menengok ke kiri dan kanan, mencari sosok penghuni kediaman ini lainnya. "Sejak datang kemari, aku tidak melihat batang hidungnya?" Naruto takut dia yang sejak tadi beristirahat melakukan tindakan tidak sopan dengan cara tidak menyapa salah satu tuan rumah.
"Oh, dia suka pulang di atas jam makan malam. Akhir-akhir ini dia sangat sibuk," jawab Kyuubi. Ia mulai menyantap makan malamnya kembali. EKspresinya berubah kecut—terdiam.
Naruto menatap Kyuubi yang tiba-tiba terlihat murung. Dahi Naruto mengerut, banyak berpikir. Kemudian, ia menghela nafas, mengerti problema Kyuubi sekarang.
Well, Berbeda dengan dirinya, sejak kecil Kyuubi hidup di tengah-tengah keramaian. Adik-adik Naruto yang lain sangat dekat dengan Kyuubi. Diakibatkan hal tersebut, pastilah kesunyian di tempat besar seperti ini akan menyiksa bagi Kyuubi, terlebih suami Kyuubi sangatlah sibuk. Berdasarkan informasi yang diterima dari kedua orang tua Naruto, suami Kyuubi termasuk pria workaholic yang sedang mengembangkan bisnisnya. Dibandingkan sang Uchiha sulung, suami Kyuubi lebih terkesan ambisius, dan gila kerja, sehingga tidak salah lagi… posisi tertinggi Uchiha corp., diberikan pada suami Kyuubi, saat sang anak pertama hanya bekerja sebagai sosok yang membantu kemajuan perusahaan saja.
"Oh.. bersabarlah. Dia melakukan semua itu untuk dirimu," Naruto tersenyum lembut, berusaha membesarkan hati Kyuubi. "Dia pilihan terbaik untukmu, Kyuubi. Jangan pernah sesekali berpikir untuk menyakitinya," peringat Naruto. Ia takut kondisi rumah tangga yang terlihat sepi seperti ini membuat Kyuubi berpikir macam-macam.
Kyuubi menatap kakaknya lekat-lekat, mencerna nasehat kakaknya. Kemudian ia menganggukan kepala. "Ya. Aku menger—
"Tadaima," suara bariton lainnya—selain kepunyaan Itachi—terdengar dari arah depan ruang makan.
Ketiga pemuda yang sedang menikmati makan malam mereka serentak menatap ke arah pintu ruang makan. Mereka melihat sosok pemuda bersurai raven dengan menggunakan pakaian kantoran memasuki ruangan. Ia menyerahkan tasnya pada pelayan di ruangan itu, dan mendekatkan dirinya ke arah meja makan. Tanpa berpikir dua kali, pemuda itu mendekat ke arah Kyuubi, kemudian mengecup pipi suaminya.
"Selamat malam, Kyuu," sapa Sasuke sembari mengecup pipi Kyuubi.
"Okaeri, dan selamat malam, Sasuke!" sambut Kyuubi sembari membalas kecupan Sasuke pada bibir.
"….," Sasuke tersenyum tipis. Iapun menatap ke arah sang kakak, mengangguk hormat.
Itachi membalas anggukan Sasuke dengan tenang.
Saat Sasuke berniat beranjak dari ruangan itu, kedua matanya secara tak sengaja menangkap obyek tidak terduga di ruang makan ini. Ia menatap Naruto, dengan heran. Sejenak, semua orang di ruang makan itu berani bersumpah, melihat ekspresi terkejut dari wajah Sasuke selama beberapa mikro detik sebelum ekspresi pemuda itu kembali tenang.
Terjadi suasana canggung di ruang makan. Entah kenapa, suasana menjadi hening dalam waktu sekejap, ketika Itachi dan Kyuubi berhenti menyantap makan malamnya, dan Naruto-Sasuke saling bertatapan mata. Demi kesopanan, Naruto berhenti menyantap makan malamnya untuk sementara waktu. Ia membersihkan mulutnya dengan serbet, beranjak dari tempat duduknya, memutar meja, bergerak ke hadapan Sasuke. Ia mengulurkan tangannya, berniat memperkenalkan diri pada adik iparnya.
"Selamat malam, Sasuke," ujar Naruto, tidak berbasa-basi. Ia langsung menganggap Sasuke sebagai bagian keluarganya, dengan menyambut Sasuke dengan menggunakan nama depan sang pemuda. "Maaf aku tidak sempat memperkenalkan diriku, dan datang ke pernikahanmu." Naruto memasang ekspresi menyesal dengan tulus. "Aku Uzumaki Naruto, Kakak dari Kyuubi," ujar Naruto. "Salam kenal, adik ipar," dengan manis Naruto menyambut Sasuke.
"Hn," jawab singkat Sasuke. Ia membalas uluran tangan Naruto. "Sasuke. Sasuke Uchiha. Senang berjumpa denganmu," mata Sasuke berkilat tajam. "Kakak ipar," lanjutnya.
Hening.
Suasana hening saat onyx dan biru hanya saling bertatapan.
"Ehem!" Itachi membersihkan tenggorokannya saat kedua pemuda yang sedang berdiri itu hanya saling memandang, tanpa melepas jabatan tangan mereka.
Naruto sadar tangannya melekat erat pada tangan Sasuke. "…," cepat-cepat Naruto melepas jabatan tangannya. Ia pun menjadi kikuk, sebelum suatu ide untuk mencairkan suasana terbesit di otaknya. "Oh, kau pasti juga lapar. Bagaimana jika kita makan malam bersama?" tawar Naruto.
Itachi mengangguk setuju atas usul Naruto. "Kita sedang makan malam bersama tamu istimewa. Duduklah, Sasuke! Tidak sopan tamu yang sudah datang jauh-jauh tidak disambut baik," Itachi menimpali. Ia tersenyum miring sembari menatap Sasuke lekat-lekat. Itachi tahu pasti jika sang adik pasti sudah mendapatkan jamuan makan malamnya dari salah satu kolega perusahaan mereka.
"Hn," menuruti perintah kakaknya, Sasuke mengambil tempat di samping Kyuubi, berhadapan dengan Naruto.
Pelayan mulai mempersiapkan air minum, serta makanan untuk Sasuke.
Naruto menatap Sasuke dan Kyuubi—yang sedang menyantap makan malam mereka—dengan senyuman tipis di bibirnya. Setelah melihat kehidupan adiknya secara langsung—bukan dari pembicaraan bibir kedua orang tuanya—Naruto merasa sangat lega. Ia merasa sangat bahagia saat melihat Kyuubi bersanding dengan pasangannya. Di mata Naruto, baik adiknya maupun Sasuke sama-sama tampan, menawan, dan memiliki kelebihan, cocok untuk menjadi pasangan. Dengan perasaan berbunga-bunga, Naruto mulai menyantap makanan penutupnya. Ia merasa beruntung bisa semeja makan dengan Kyuubi dan adik iparnya. Mungkin bagi anak-anak Namikaze lainnya hal seperti ini sangat lumrah, tetapi bagi Naruto? 1:1000 Minato dan Kushina bisa mengizinkan dirinya seperti ini!
"Kyuubi, suguhi suamimu makanan," dengan cerewetnya Naruto meminta Kyuubi membantu Sasuke untuk mengambil makanan. Ia ingin lihat lebih banyak lagi keromantisan sang adik dengan suaminya.
Mendengar suara kakaknya, Kyuubi sedikit terkejut. Namun, ia menutupi ekspresi terkejutnya, segera menuruti perintah kakaknya. "Iya," jawab Kyuubi, mulai melayani Sasuke sebagai seorang suami.
Sikap Kyuubi yang manis pada suaminya membuat Naruto tersenyum sendiri. Iapun semakin lahap menyantap makan malamnya tanpa peduli seluruh mata di tempat itu menatap dirinya karena adanya perubahan atmosfir tiba-tiba di kediaman Uchiha ini begitu hadirnya Naruto di tempat ini.
.
.
.
TONG! TONG! TONG!
Suara lonceng dari jam antik yang berada di kediaman Uchiha membuat Naruto terbangun. Sang pemuda mengerjapkan matanya, kemudian merubah posisinya menjadi terduduk. Tenggorokan Naruto tiba-tiba terasa kering. Ia haus, dan membutuhkan segelas air putih. Masih di dalam keadaan sangat mengantuk, Naruto mencari sandal dengan kakinya. Ia menggunakan sandal tidur kelincinya, kemudian beranjak keluar kamar, menuju dapur. Sial. Kenapa bisa dia lupa membawa air minum ke dalam kamar. Pasti ibunya yang selalu memanjakan—menyiapkan minuman untuk Naruto dikala Naruto ingin tidur—membuat Naruto kurang mandiri.
Dengan langkah malas Naruto menggusur kakinya. Tentu saja suasana di kediaman Uchiha sudah sangat sepi karena waktu pun sudah menunjukan pukul dua belas dini hari lebih. Para pelayan yang biasanya melayani setiap anggota keluarga ini pasti masik sibuk bermimpi di dalam kamar mereka yang terdapat di dalam sebuah rumah yang letaknya masih berada di komplek kediaman Uchiha ini.
Naruto menggosok matanya. Ia menelusuri lorong, tangga, berbagai macam ruangan besar, hingga kakinya nyaris tiba di depan pintu dapur. Naruto menatap pintu dapur yang tertutup itu. Dibandingkan ruangan-ruangan lainnya yang dibuat remang-remang pada saat malam seperti ini, ruangan dapur terlihat terang-benderang. Naruto mengerutkan keningnya. Sedikitnya dia yakin ada seseorang berada di dapur pada saat dini hari ini.
Perlahan—tanpa menyebabkan munculnya bunyi-bunyian yang menarik perhatian—Naruto mendekat ke arah pintu. Ia memegang knop pintu, dan membuka knop pintu dengan perlahan. Dari arah luar pintu, Naruto melihat dua sosok pemuda saling berhadap-hadapan, dan berbincang-bincang dengan ekspresi serius. Seketika, Naruto yang penuh sopan-santun seolah hilang begitu saja. Kini, ia tidak lebih dari seorang penguping tidak tahu diri di waktu dini hari seperti ini.
"Dia sudah tertidur?" suara bariton parau terdengar jelas di telinga Naruto.
"Iya. Dia benar-benar tidak asyik," sahut pemilik suara lainnya. Pemilik suara itu melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi bosan.
"Jangan seperti itu. Mau bagaimanapun dia adikku," senyuman tipis tersirat di wajah si pemilik suara bariton.
Naruto mengerjapkan matanya. Ia mulai berpikir, apabila hubungan Itachi dan Kyuubi cukup dekat, dan Naruto bersyukur Kyuubi bisa berhubungan sangat baik, bahkan cerita panjang lebar dengan kakak iparnya. Naruto menghela nafas lega. Ia sedikit tenang, dan berniat membuka pintu untuk memunculkan wujudnya, saat dari celah pintu ia melihat pemandangan mengejutkan. Ia melihat Itachi yang sejak tadi berjarak dekat dengan adiknya mulai mengeliminasi jaraknya dengan Kyuubi. Itachi mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Kyuubi!
Tidak, tidak, tidak!
Naruto menggeleng. Ia tidak boleh negatif thinking. Sentuhan seperti itu wajar, bukan? Ya, wajar. Sentuhan brothership itu cukup sering dilakukan di luar sana.
"Wajah bantalmu sangat menggemaskan, Kyuu," bisik Itachi dengan senyuman miring yang tersirat di wajahnya.
Dengan kedua matanya sendiri, Naruto melihat jari-jari Itachi mulai bergeser ke arah telinga Kyuubi. Dengan punggung jarinya, Itachi mengelus telinga Kyuubi dan belakang telinga Kyuubi. Ia menautkan rambut merah Kyuubi pada belakang telinga Kyuubi. Saat Itachi berperilaku demikian, Naruto melihat Kyuubi menggeliat geli, berniat menyingkirkan tangan Itachi yang dengan mudahnya bisa menyentuh sang adik ipar.
"Hentikan, Itachi! Geli, bodoh!" ujar Kyuubi dengan suara pelan. Pipinya sedikit merona, menandakan, ulah jari Itachi membuat sesuatu di dalam tubuhnya bangkit.
Bukannya mundur, atau merasa bersalah dengan ulah tidak senonohnya, Itachi malah memegang belakang kepala Kyuubi dan menarik kepala Kyuubi. Kedua bibir mereka pun saling menyatu, dan menempel dengan erat. Tidak mendorong, atau meminta Itachi menyingkir, Kyuubi yang digoda oleh kakak iparnya, malah mengalungkan tangannya pada leher Itachi. Dengan tenangnya ia membuka mulutnya, mempersilahkan Itachi mengobok-obok bagian dalam mulutnya, dan menukarkan air liur mereka, seolah hewan yang kehausan.
Kedua mata Naruto terbelalak. Mulutnya menganga karena shock.
Oh…
Shit!
Naruto menutup mulutnya, tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya.
Naruto memang pemuda yang polos dibandingkan pemuda-pemuda seumurannya. Ia bahkan belum pernah menonton blue film. Tetapi, tidak menontonnya blue film, bukan berarti dia tidak mendapatkan informasi mengenai ciuman, atau dasar-dasar bercinta, seperti make out. Naruto cukup tahu tentang hal itu karena beberapa dari temannya cukup vulgar dalam memperlihatkan percintaan mereka, sehingga tidak jarang Naruto melihat orang-orang berciuman, atau make out di sekolah atau kampus yang dibuat sang ayah—Minato—sangat ketat tapi sering dilanggar oleh mahasiswanya.
Desahan pelan membuat Naruto berhenti melamun. Ia menatap kembali ke arah dapur.
Naruto nyaris tersedak ludahnya sendiri saat keadaan dua pemuda di dalam dapur itu semakin parah. Tidak hanya saling memagutkan bibir, dua pemuda yang salah satunya sudah memiliki status menikah kini saling menyentuh. Itachi yang tentu saja sebagai dominan menyudutkan Kyuubi di antara kulkas dan tubuhnya. Salah satu tangan Itachi menahan kedua tangan Kyuubi di atas kepala Kyuubi. Salah satu tangannya lagi merayap masuk ke dalam pakaian Kyuubi. Itachi menyentuh tonjolan kecil pada dada Kyuubi membuat suami dari Sasuke Uchiha itu mendesah pelan.
"Chi..," gumam Kyuubi sembari mendongakan lehernya, memberi akses bagi Itachi agar bisa menyumbu dan menjilat seluruh permukaan kulit lehernya yang mulai berkeringat.
Naruto menutup mulutnya rapat-rapat. Ia megenggam knop pintu dengan kuat. Naruto tidak menyangka adiknya bisa melakukan hal sebejad ini. Adiknya sudah bersuami, dan suaminya ada di rumah, kenapa jika Kyuubi ingin dimanja, tidak meminta saja pada Sasuke? Ah, jika seperti ini, bukan Kyuubi yang salah, tetapi Itachi. Si Uchiha sulung menculasi adiknya sendiri! Sungguh parah.
"Ehem!" seseorang berdiri di belakang Naruto dan membersihkan tenggorokannya.
Sadar ada seseorang juga di ruangan ini, Naruto langsung membalikan badannya. Kedua matanya melotot horor dikala melihat suami adiknya berdiri di hadapannya. "Sa—Sasuke!" gumam Naruto.
BLAM!
Pintu di belakang Naruto terdorong saat tubuh Naruto reflek mundur belakang, menempel pada pintu, hingga ia mendorong pintu tersebut.
Sorot mata dingin Sasuke menatap Naruto curiga. "Kau sedang apa mengendap-endap di tempat ini?" tanyanya, dengan nada datar.
Kedua bola mata Naruto bergerak-gerak. Sedikit-sedikit, ia mencuri lihat ke arah pintu di belakangnya. Duh, apa yang harus dia katakan pada Sasuke? Ia tidak terbiasa berbohong, dan ia takut Sasuke akan memergoki tingkah adiknya. Bukan hanya Kyuubi saja yang akan terkena masalah, melainkan ayah dan ibu Naruto. Apabila Kyuubi ketahuan bermain curang di belakang Sasuke, pasti sang pemuda tidak akan tinggal diam, dan membawa masalah ini ke pengadilan. Dengan demikian, nama keluarga Namikaze bisa tercemar. Ugh, Naruto harus bisa mengatasi masalah ini, selagi masalah ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan.
Naruto memberanikan diri untuk memandang kedua bola mata Sasuke di tengah-tengah rasa bersalahnya. Ia menyesali tindakan adiknya. "Kau haus?" Naruto mengalihkan pembicaraan.
Sasuke mengangguk tenang. Ekspresinya masih tetap datar.
"Ma—mau aku ambilkan minuman?" tawar Naruto. "Kebetulan aku juga akan mengambil minum. Kau bisa menunggu di kamarmu, nanti aku akan membawakan minum ke tempatmu."
"Tidak usah. Aku bisa mengambilnya sendiri," tolak Sasuke. Tidak mungkin dia membiarkan tamu yang baru menetap selama beberapa jam mengambil minum untuknya. "Bisa tolong minggir?" pinta Sasuke yang ingin masuk dapur.
"E—eh?" Naruto tetap menghalangi jalan Sasuke. Ia menghalangi knop pintu agar tidak dibuka oleh Sasuke. "Kau ke kamar saja. Aku yang akan mengambilkan minum," ujar Naruto, kukuh.
"Tidak usah," tolak Sasuke lagi. "Adapun yang harus mengambil minum itu adalah aku, dan menyuguhkannya pada ta—
TOK! TOK! TOK!
Dari dalam dapur seseorang mengetuk pintu, dan knop pintu pun diputar-putar oleh orang dari dalam ruangan tersebut.
Sasuke yang jengah dengan sikap Naruto menggeser tubuh Naruto ke pinggir secara perlahan. Ia membuka pintu dapur, dan menatap ke dalam. Dari dalam dapur muncul Kyuubi dan Itachi. Kedua pemuda itu menatap Sasuke dan Naruto yang hanya terdiam dengan heran.
Naruto menatap Kyuubi dan Itachi. Pakaian dan rambut dua pemuda ini sudah rapih. Padahal Naruto tadi melihat dua pemuda ini saling mengusutkan antara satu dengan lainnya. Ah, pintar juga mereka menutupi kebohongan ini dari Sasuke. Entah apa yang ada di dalam otak mereka berdua ini. Bisa-bisanya mereka berdua bertindak licik pada Sasuke.
"Oh, kalian ada di sini," dengan tenang Kyuubi berkata.
Naruto menganggukan kepala. Sama halnya dengan Itachi dan Kyuubi, iapun harus pandai beracting agar Sasuke tidak curiga. "Ya. Aku mau ambil minum. Permisi," ujar Naruto. Ia melewati Kyuubi dan Itachi sesudah menatap kedua pemuda itu dengan sengit seolah berkata 'urusan-kita-belum-selesai!'
Sayangnya tatapan sinis Naruto tidak terlalu diperhatikan oleh Sasuke yang terlalu serius berpikir tentang hal lain.
Dasar Sasuke.
.
.
.
Akibat peristiwa tadi malam, Naruto ia baru bisa memejamkan matanya pada jam empat dini hari. Iapun hanya bisa menatap langit-langit kamar hingga matanya tertutup dengan sendirinya. Akibat tidak tertidurnya semalam, di pagi hari ini, Naruto bangun lebih telat dari biasanya. Ia yang biasanya bangun pada pukul lima pagi, kini harus bangun pada jam delapan pagi, dua jam lebih terlambat dari biasanya.
Naruto menggeliatkan tubuhnya. Ia menggosok matanya, dan menatap ke arah jendela pada saat hawa dingin menusuk kulitnya. Ugh, pantas saja dia sejak tadi merasa kedinginan, rupanya dia lupa menutup tirai jendela. Naruto merubah posisinya menjadi terduduk. Ia sibuk memijat lehernya yang pegal pada saat dia mencium aroma manis yang begitu pekat. Naruto menggerak-gerakan hidungnya, mengendus aroma tersebut.
Aroma apa ini?
Kenapa begitu manis?
Merasa aroma tersebut terlalu dekat dengan penciumannya, Naruto mengendus pakaian piyamanya. A—aromanya berasal dari sini? Gerakan Naruto berubah. Ia mulai mengendus tubuhnya. Benar. Aromanya berasal dari tubuhnya. Dia mengeluarkan aroma serupa vanilla dan jeruk. Dahi Naruto mengerut. Ia merasa tidak memakai apapun, tetapi kenapa aroma ini begitu pekat, seperti minyak wangi yang diberi ibunya di Paris sana.
Kosentrasi Naruto mengenai kulitnya terusik dikala bunyi dengungan terdengar dari arah luar jendela. Naruto menatap ke arah luar jendela, dan kedua matanya terbelalak. A—apa itu?! Segerombolan makhluk berwarna hitam, dan terbang di luar jendelanya? Satu-persatu hal aneh itupun mulai masuk ke dalam kamar Naruto dan mengelilingi Naruto.
"GYAAAAAAAAAAAAAAAA!" Naruto shock, dan tanpa pikir panjang, ia langsung menyambar handuknya, dan masuk ke dalam kamar mandi di dalam kamar itu.
==a
Ada apa dengan Naruto?
.
.
.
Dengan wajah kusut Naruto mengeringkan rambutnya. Selesai mandi, kemudian memastikan dirinya tidak berbau aneh lagi, dan membersihkan tubuhnya dengan sabun khusus yang diberikan oleh kedua orang tuanya, Naruto mulai berpakaian. Setelah semuanya terlihat rapih, Naruto pun beranjak ke arah nakas di dekat tempat tidurnya. Ia menatap sebotol obat pil yang tergeletak di atas nakas itu. Oh, sial! Dia lupa untuk mengosumsi obat ini. Kemarin malam, ia terlalu lelah, dan asyik melamun, hingga melupakan rutinitas yang selama ini selalu dijalaninya, dan tidak pernah absen.
Naruto menghela nafas, dan mengambil obat di atas nakas itu. Ia menatap obat itu, kemudian mengambil satu pil obat itu, dan meminumnya, dengan air putih sisa dini hari. Setelah selesai meminum obat, Naruto beranjak dari kamar, hendak menyapa dan meminta maaf pada pemilik kediaman ini karena ketelatan dirinya.
Naruto baru saja menginjak empat anak tangga saat melihat Kyuubi dan Sasuke berjalan berdampingan menuju pintu keluar. Dari cara mereka bersikap, mereka terlihat seperti pasangan romantis—tidak ada masalah. Kyuubi yang membawakan tas Sasuke terlihat seperti pasangan yang ideal untuk mendampingi Sasuke.
Sasuke yang tiba di depan pintu berhenti. Ia menatap Kyuubi, dan mengambil tas kerjanya. "Malam ini aku pulang larut lagi," ujar Sasuke. Iapun mengelus rambut Kyuubi, dan mengecup kening Kyuubi. "Hati-hati di rumah," ujar Sasuke.
Sikap romantis Sasuke dibalas senyuman manis oleh Kyuubi. "Hati-hati di jalan," Kyuubi pun ikut memberi wewejang selamat jalan pada Sasuke.
Mereka berdua saling bertatapan. Sebagai suami yang terlihat sangat mencintai pasangannya, Sasuke mengelus pipi Kyuubi dengan lembut, sebelum mengeliminasi jarak mereka, dan bibir Sasuke mengecup bibir sang pemuda Namikaze dengan penuh penghayatan.
Kedua dari mereka pun mulai saling mengecap dengan penuh kasih sayang. Dari jarak kejauhan Naruto dapat melihat Sasuke mulai memperlihatkan sisi dominannya. Ciuman yang tadinya hanya memperlihatkan sisi rindu dan cinta, berubah penuh gairah. Ya, ciuman mereka cukup lama, dan penuh dengan nafsu, hingga Kyuubi merasa dadanya terasa sesak dan memilih untuk melepas pagutan bibir mereka, walau ketidakrelaan terlihat jelas dari sorot matanya.
Kyuubi tersenyum tipis. "Sudah waktunya berangkat," peringatnya. Ia mencuri ciuman ringan dari bibir Sasuke.
"Hn," jawab Sasuke sembari membalas senyuman Kyuubi.
Kedua mata Naruto mengerjap. Ia semakin tidak mengerti keadaan di dalam kediaman ini. Bukannya kemarin malam Naruto jelas-jelas melihat Kyuubi bermesraan di dapur dengan Itachi, seolah cintanya pada Sasuke telah pupus. Tetapi, kenapa saat pagi seperti ini, Naruto melihat sorot mata penuh cinta yang diberikan Kyuubi pada Sasuke? Apa-apaan ini? Apakah Kyuubi berniat mencintai dua orang? Oh, atau Kyuubi sedang beracting? Yeah, seharusnya Naruto tidak tertipu oleh mantan aktor seperti Kyuubi.
Naruto menghela nafas. Daripada bingung, ia lebih baik bertanya langsung pada Kyuubi. Tetapi, baru saja Naruto akan turun, ia melihat Itachi yang datang ke arah pintu, dan menghampiri Kyuubi.
"Apa Sasuke sudah berangkat?" tanya Itachi sembari merapihkan pakaiannya. Ia terlihat tergesa-gesa. Itachi berdiri di hadapan Kyuubi.
"Baru saja dia berangkat," jawab Kyuubi. "Jasmu kurang rapih, Chi," ujar Kyuubi sembari memperbaiki dasi, kerah kemeja, dan kerah jas Itachi dengan telaten layaknya seorang istri yang sangat baik. "Selesai!" ujar Kyuubi dengan raut wajah bangga. Iapun menepuk-nepuk pundak Itachi, memastikan jas Itachi benar-benar bersih.
Itachi tersenyum mendapati sikap mesra Kyuubi. "Kau memang yang terbaik," ujarnya sembari mencubit pipi Kyuubi dengan pelan.
Naruto mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali. Ia tidak percaya, pemandangan kemarin malam kembali hadir di depan matanya. Ia melihat Itachi mulai menggoda Kyuubi, dan mereka berdua mulai berciuman, layaknya ciuman Kyuubi yang diberikan pada Sasuke. Mulut Naruto membuka-tutup. Ia mulai merasa sakit kepala dengan sikap adiknya. Terlebih, adiknya seperti tidak merasa berdosa melakukan hal-hal gila seperti ini di belakang suaminya. Oh, bukan hanya di belakang suaminya, melainkan di kediaman suaminya, dengan kakak sang suami!
Fuck!
Kyuubi mendorong dada Itachi dengan perlahan. Dengan senyuman mengembang, dan bibir membengkak akibat ciumannya dengan dua Uchiha, Kyuubi melambaikan tangan pada kakak iparnya. "Sampai jumpa!" ujar Kyuubi.
"Sampai jumpa!" balas Itachi sebelum beranjak pergi meninggalkan kediaman Uchiha.
Paska kepergian Itachi, suasana kediaman Uchiha sepi mendadak. Adapun pelayan sedang sibuk di halaman dan dapur sana. Keheningan ini menjadi kesempatan bagi Naruto. Sang Namikaze sulung langsung turun dari tangga, dan mencegat langkah Kyuubi yang akan beranjak ke arah ruang baca. Dengan tatapan tajamnya Naruto menatap Kyuubi. Ia tidak segan-segan memperlihatkan eskpresi marah nan kecewanya pada sang adik. Sebelum terjadi masalah berat, ia harus menyelesaikan masalah ini!
"Ehem!" Naruto membersihkan tenggorokannya. Ia memilah-milah kata yang cocok dilontarkan pada sang adik.
"Kak Naru?" Kyuubi menatap Naruto polos.
"Kita perlu bicara… Namikaze!" tuntut Naruto, tidak ingin dibantah. Saat melihat gerak-gerik kakaknya yang terlihat sangat tidak mood, Kyuubi hanya bisa menganggukan kepalanya.
.
Sesuai permintaan kakaknya, Kyuubi membawa Naruto ke tempat yang lebih privasi, dan hanya bisa mereka berdua mendengar pembicaraan ini. Kyuubi membawa Naruto ke dalam sebuah ruangan yang didominasi oleh warna cokelat. Ruangan itu terletak nyaris di sudut kediaman Uchiha.
Selain berwarna cokelat, ruangan tersebut terdiri dari berbagai macam rak buku terbuat dari kayu. Di atas karpet wol berwarna merah marun, terdapat sofa kulit yang sangat nyaman untuk bersandar. Pencahayaan di dalam ruangan pun cukup baik untuk membaca, dengan suhu yang sejuk, membuat siapapun bisa kerasan tinggal di dalam ruangan ini seharian. Ha-ah, pantas ruangan ini menjadi ruangan favorite Kyuubi jika tidak ada kerjaan.
"Ada apa, Kak?" tanya Kyuubi dengan tatatapan penuh tanda tanya.
"Jadi, seperti ini tingkahmu selama tinggal bertiga dengan mereka," tanpa mau berbasa-basi, Naruto langsung melempar Kyuubi dengan pernyataan.
"Tingkahku?" beo Kyuubi, sok polos.
"Astaga! Apa kau tidak sadar, dengan apa yang yang kau lakukan?!" Naruto memijat pelipisnya. "KAU MEMACARI KAKAK IPARMU, KYUUBI?!" teriak Naruto yang sudah menahan emosinya sejak kemarin. "KAU SELINGKUH DARI SUAMIMU!"
"Kak, turunkan nada suaramu. Kau membuatku tuli," Kyuubi memutar kedua bola matanya malas.
Naruto menatap Kyuubi lekat-lekat. Ia tidak percaya dengan ucapan Kyuubi. Bisa-bisanya Kyuubi bersikap sangat tenang, ketika dia sedang bermain api. Bukan hanya akan membuat keluarganya malu, sikap Kyuubi yang seperti ini pastilah akan membuat Minato darah tinggi. Ha-ah, bagaimana jika kedua orang tua mereka tahu? Bukan kondisi orang tua Naruto saja yang Naruto khawatirkan, melainkan kondisi Sasuke yang pastinya akan sangat terpukul.
"Kau benar-benar gila, Kyuubi!" Naruto jalan mondar-mandir.
Kyuubi menghela nafas. "Ha-ah, sudahlah. Itu bukan urusanmu," Kyuubi beranjak menuju salah satu rak di tempat itu, menjauh dari Naruto. "Sebaiknya kakak segera pulang, dan jangan urusi urusanku," gumam Kyuubi.
Dahi Naruto mengerut. "Pulang? Oh, tentu saja kau ingin aku pulang karena aku akan menjadi masalah di dalam kehidupan istimewa mu!"
Ucapan sarkastik Naruto mulai membuat emosi Kyuubi tersulut. "Terserah, Kakak!" seru Kyuubi yang tidak suka dibentak oleh siapapun.
Naruto menarik nafas dalam-dalam, menahan emosinya. Ia menghampiri Kyuubi. "Kyuubi, dengar! Jika kau terus bermain api, maka aku tidak akan segan-segan bertindak keras," ujar Naruto, dengan nada suara sedikit diturunkan.
Kyuubi mendengus, dan menatap Naruto tajam. "Daripada kakak mengurusiku, lebih baik kakak berkemas-kemas, dan pergi! Kakak benar-benar pembuat masalah," seru Kyuubi. Ia melangkah melewati Naruto, dan keluar dari ruangan tersebut.
Sikap kasar dan sulit diatur Kyuubi membuat Naruto terperangah. "A—apa?" Naruto tidak percaya akan diusir oleh adiknya sendiri.
Seseorang mengusir dirinya?
Wow, sungguh hebat!
BRAK!
Pintu pun tertutup dengan keras.
"A—apa-apaan itu?! KYUUBI!" seru Naruto. Ia tidak percaya Kyuubi bisa berperilaku kasar seperti itu. Siapa yang mengajari hal seperti itu? Ayah dan ibu mereka? Tentu saja tidak. Setahu Naruto Minato dan Kushina selalu menanamkan sikap penuh hormat pada diri anak-anaknya. Ah, anak-anaknya, ya? Bukan dikhususkan pada Naruto?
Naruto hanya bisa menghela nafas, tidak tahu bagaimana caranya melakukan deal dengan seorang adik.
Ha-ah, sebenarnya ada apa dengan keluarga ini?
Sampai jumpa di chapter akhir minggu depan (atau lebih dekat)
