Kalau ini hanyalah khayalan, maka aku tidak perlu takut.
Kalau ini nyata, maka aku akan memejamkan mataku yang berat ini dan tenggelam dalam kegelapan.
Aku tidak tahu ini nyata atau khayalan. Tidak dapat kubedakan.
Pandanganku dipenuhi warna biru gelap. Cahaya bulan yang redup menerangiku dalam kegelapan tak mendasar ini. Mataku yang terasa berat mencoba terus terpaku menatap luna dilangit karena aku tidah tahu harus berbuat apa sekarang ini.
Aku tidak bisa bernafas. Badanku terasa berat, tidak dapat digerakkan. Mataku semakin lama semakin terasa berat dan secepatnya aku ingin memejamkan mataku rapat dan tidak melihat warna biru ini. Tapi ingatanku tentang keluarga, teman-temanku dan hal-hal yang sangat mengena dalam kehidupanku membuat mataku tetap membuka mataku lebar-lebar. Kenapa disaat seperti ini aku teringat hal ini?! padahal sebentar lagi ajal akan datang menjemput.
Begitu menyedihkan.
Kenapa disaat-saat terakhir aku malah mengingat hal ini?
Apa karena aku masih belum bisa menerima takdir kalau aku akan mati sekarang, ditempat ini? atau apa ini adalah salah satu bentuk cobaan yang tuhan berikan menjelang kematianku?
Semua ingatan yang berputar dibenak bagaikan rekaman film yang diputar oleh proyektor layar tancap. Hal itu membuatku diwaktu bersamaan merasa sedih dan juga menyesal karena telah menyia-nyiakan semua— keluargaku, kesempatanku, teman-temanku dan juga... waktuku yang sangat beharga.
Dan hal itu juga mengingatkanku dengan berbagai macam hal yang harus kulakukan selagi aku masih hidup. Seperti membahagiakan orang tuaku. Mengejar impianku dan— menikahi orang yang kucintai. Tapi jika aku mati disini maka aku tidak bisa mencapai impian itu! impian itu tidak lebih dari sebuah angan dan ambisiku saja jika aku mati.
Tiba-tiba kuingat aku punya janji kepada orang tuaku sebelum aku berlayar untuk mencari ikan.
"Aku akan pulang kembali dengan membawa ikan yang amat banyak!" dengan percaya dirinya aku berkata seperti itu dihadapan kedua orang tuaku.
"Lalu saat aku pulang, aku ingin makan Katsudon lagi!"
Mengingat wajah mereka yang bahagia membuatku bertanya-tanya jika mengetahui anaknya mengalami kecelakaan. Kuyakin mereka pasti akan sangat sedih sekali. Aku tidak ingin melihat mereka menangis, terutama ibuku. Aku tidak ingin melihat ibuku menangis lagi.
Aku ingin hidup!
Aku ingin hidup!
Aku ingin hidup!
Permintaan egois itu terus menggema dibenakku. Padahalku tahu ajal sebentar lagi akan menjemput tapi tak salah jika aku meminta kepada sang pencipta bukan? Supaya dia mau mengubah kejamnya takdir yang tengah kuhadapi.
Jika aku diberi kesempatan kedua, aku ingin mewujudkan mimpi-mimpiku.
Aku tidak ingin melihatnya menjadi sebuah angan-angan.
Aku harus hidup! Harus!—
Tapi semangat itu sirna bersamaan diriku yang mulai tenggelam semakin dalam dan dadaku yang semakin terasa sesak. Aku bisa merasakan diriku mulai terseret oleh arus dalam yang entah akan membawaku kemana.
Tidak bisa bergerak. Tidak berdaya. Itulah aku sekarang ini yang sedang menunggu pertolongan. Kira-kira apa aku bisa terbebas dari sini? Apa orang-orang akan menemukanku hidup-hidup? Semua itu masih menjadi misteri.
Tapi jika aku ditemukan tidak bernyawa— Maafkan aku semuanya.
Semakin aku terseret kearah yang tidak kuketahui, semakin aku merasa takut dengan kematianku yang terus berjalan menghampiriku.
Kalau kuingat semua penyesalanku akan membuat dadaku terasa sesak dan ingin mewujudkannya. Entah apa yang sekarang harus kuperbuat. Aku tidak berdaya— Aku hanya ingin hidup. Kuharap ada seseorang yang menyelamatkanku dari sini dan membawaku kepermukaan, mempertemukanku lagi dengan keluargaku yang sedang bersedih.
Nampaknya, aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku sudah sampai batasannya. Badanku mulai kaku dan mataku semakin terasa berat dan berat. Ingin sekali aku memejamkan mataku erat. Sebenarnya aku masih ingin membuka mataku tapi aku sudah lelah menunggu bantuan.
Sudah terlambat— Waktu ku sudah tiba.
Badanku sakit setiap saat.
Sekujur tubuhku merinding
Saat aku ingin menutup erat kelopak mataku. Dari celah kecil aku sempat melihat sesosok bayangan seorang pria. Dia sudah datang— Malaikat pencabut nyawa. Dia menghampiriku.
Selamat tinggal semuanya. Aku harus pergi. Kutingalkan semuanya dan menghadapi kenyataan.
Maafkan aku teman-temanku yang ku cintai.
Maafkan aku kakak yang kusayangi.
Maafkan aku ibu... ayah...
Maafkan aku.
Kuharap kalian tetap tegar, seolah hal ini tidak berarti sama sekali.
Sekali lagi, aku minta maaf kepada kalian dan juga kepada diriku sendiri— Waktunya kita berpisah telah tiba. Hal ini tidak bisa kutunda lagi.
Selamat tinggal diriku.
Selamat tinggal jiwaku.
Kita tidak akan pernah berjumpa lagi—
0
...'Dareka umi wo maite wa kurenai ka, boku no zujou ni—
Shizundeku, sakana to taiyou wo—
Abitai no da—'
Lagu ini...?! siapa yang menyanyikannya?!
Tapi mata ini masih terasa berat untuk dibuka. Aku masih ingin terpejam lebih lama lagi.
'Haikyo no okujou ni—
Tadoritsuku watage no, sasayaki wo kakomu Bokura wa uta
Hai-iro no chijou ni Kazarareta hikari no, Todoroki wo matou
Bokura wa hanataba—
Mushirareta tsubasa wo...'
Lagu ini pernah kudengar sebelumnya, entah dimana dan entah siapa penyanyinya. Aku sama sekali tidak tahu judulnya tapi...
"'Ko..toba... fukikaesu—'"
Suara seseorang yang sedang bernyanyi— suara seorang lelaki. Didekatku. Ia mengelus rambutku pelan lalu meraba punggung tanganku dengan jari jempol miliknya. Suaranya benar-benar indah, membuatku sedikit rileks. Kelopak mataku yang terpejam kubuka pelan-pelan.
Pemandangan yang kulihat pada awalnya terlihat buyar namun perlahan-lahan mataku mulai menangkap gambaran objek dengan jelas. Langit biru dengan awan putih menghiasi langit menyapaku. Suara deburan ombak yang memecah karang terdengar. Angin pantai yang kencang membuatku menyadari satu hal. Aku telah mendarat disebuah pulau.
Orang itu melepaskan tanganku, berhenti mengelusku dan berhenti bernyanyi.
Aku sama sekali tidak curiga kenapa dia tiba-tiba berhenti melakukan semua itu. Lalu bayangan dari orang itu muncul. Tidak begitu jelas rupanya karena tertutupi oleh warna hitam bayangan. Mata biru nya ditempat semi gelap itu terlihat menyala. Dia tidak menyapaku. Dia tidak berbicara sedikitpun maupun menanyakan keadaanku. Melihatku sudah membuka mata membuat dirinya sedikit lebih tenang dan juga senang karena usahanya tidak sia-sia.
...Tunggu. Ini bukannya disurga?
Dimana ini?
Aku bisa merasakan dengan jelas irama detak jantungku. Aku bisa menghirup udara dengan mudahnya lagi. Mataku tidak terasa perih lagi. Tidak ada warna biru air laut yang terlihat. Tanganku, meskipun sedikit kaku untuk digerakkan tapi bisa digerakkan. Tidak ada air yang masuk kedalam paru-paruku.
...Hidup?
Apa aku hidup?
Aku tidak tahu mana yang nyata dan mana yang palsu. Semuanya terasa sama saja.
Airmata mengalir deras dari sudut mataku. Tidak kuasa menahan haru karena telah diberi kesempatan kedua oleh sang pencipta. Menangis dalam diam, menarik perhatian orang itu. Ia kelihatan kebingunggan dan mulai bernyanyi lagi. Lagu yang tak asing ditelingaku.
"...Terima... Kasih..."
spontan aku berkata seperti itu. Aku berterima kasih kepada semuanya... Semuanya. Atas segala-galanya.
Aku memejamkan mataku lalu tertidur lagi.
Siapa laki-laki itu? Aku tidak mempedulikannya.
0
Tut... Tut... Tut...
Suara itu terdengar berirama.
Setelah kumenemukan momentumnya, aku mulai menghitung kapan bunyi itu akan terdengar lagi.
Kakiku terasa dingin sekali. Meskipun sesuatu sudah menyelimutiku.
Rasa dingin itu mengusikku perlahan dan membuatku merasa tidak nyaman. Kubuka mataku perlahan.
Cahaya putih yang menyilaukan menyambutku. Saat kumelirik kekanan untuk menghindari cahaya itu, terlihat sebuah bayangan putih-hitam yang samar bergerak disampingku, meninggalkanku— Menghampiriku lagi dan menghilang dalam hitungan detik entah kemana. Suara derapan sepatu itu menggema dan hilang.
Tak berselang lama muncul lagi dua putih-hitam itu. Gambaranku yang samar mulai terlihat jelas. Itu adalah seorang dokter dan perawat.
"Tenang— Tenang... Tidak perlu panik..." Bisiknya. Tangannya mendorong pelan kedua pundakku untuk menidurkanku kembali.
Wajahnya terlihat jelas dihadapanku.
"Berikan dia anastesi! Dia harus dibiarkan tertidur lagi."
Aku memberontak. Takut dan juga masih shock kenapa aku bisa berada ditempat ini. Ditambah lagi sepintas kenangan tentang kejadian itu membuatku meronta— menghentakan kakiku tinggi-tinggi. Perawat yang mencoba membiusku kewalahan dengan gerakanku yang tak dapat dia prediksinya namun pada akhirnya ia berhasil menyuntikan cairan didalam botol suntikkan dengan sedikit bantuan perawat lainnya.
1 menit kemudian, tubuhku menjadi sangat rileks— hingga tidak dapat kugerakkan. Mataku terasa berat lagi.
"Beristirahatlah... Yang cukup..."
Katanya seraya dengan mataku yang terpejam.
Aku kembali lagi kedalam kegelapan. Tenggelam disana. dengan banyak kenangan-kenangan mencuat keluar dari kegelapan
Waktu itu, sekitar pukul 5 pagi. Hari masilah gelap. Angin laut berhembus pelan dan langit perlahan mulai menunjukkan warna sesungguhnya.
Sebuah kapal berukuran sedang bewarna putih tengah berada didock. Itulah kapal yang akan membawaku ketengah lautan. Kapal untuk menangkap para tuna lalu membawanya kedaratan untuk dijual lagi. Dalam hal ini aku tidaklah bekerja sendiri. Tentu aku bekerja bersama rekan-rekanku yang jumlahnya ada 6 orang, kala itu.
Kami naik keatas geladak kapal. Menaruh barang kami diruangan dimana kami akan tidur lalu barulah kami berlayar menuju lautan lepas.
Kapal melaju memecah ombak, membuat cipratan-cipratan air asin yang dingin. Angin mulai bertiup kencang dan dari ufuk timur terlihat matahari yang mulai keluar dari garis horizon.
Butuh waktu sekitar satu hingga dua jam untuk sampai ke spot penangkapan tuna. Karena itu untuk membunuh waktu kosong kami mulai berbenah lalu sisanya dihabiskan untuk bercerita satu sama lain. Lalu salah satu rekanku mulai mengajakku berbicara.
"Kudengar laut ini dilindungi oleh mahkluk duyung."
Katanya untuk memulai topik pembicaraan.
"huh? Bukannya itu hanya mitos belaka?"
Ia menggeleng pelan lalu matanya melirik hamparan air
"Tidak, mereka nyata. Mereka ada namun tidak pernah ada yang mengekspos kehidupannya. Maka selama ini kita menganggap mereka hanya mitos belaka. Beberapa minggu yang lalu ada yang mengaku pernah melihat seekor duyung berenang disekitar sini yang lain tidak percaya tapi aku percaya karena aku juga pernah melihat seekor duyung disekitar sini— walaupun dia berenang kedalam lautan dalam sih—"
"Bagaimana kau begitu yakin kalau duyung itu ditemukan disekitar sini?"
"...Feeling mungkin?"
"Mereka tidak lebih hanyalah sebuah mitos. Tidak perlu kau anggap serius lah."
"Haah... ternyata kau tidak percaya juga."
"Aku akan percaya jika melihatnya langsung dengan kedua mataku."
Aku bukanlah seorang anak kecil yang polosnya percaya dengan cerita dongeng. Semua itu hanyalah mitos. Aku tidak percaya dengan foto maupun video yang sudah banyak beredar diinternet tentang keberadaan duyung. Bagaimana caranya mereka membuktikan kebenarannya dengan bermodalkan foto dan video? Bisa jadi foto dan video tersebut hasil editan orang bukan? Kalau hanya dengan kata, bisa saja dia berdustakan?
Yah aku sendiri juga tidak ambil pusing dengan hal itu sih. Lagipula juga aku tidak berminat menelusuri mitos itu
Baru kuingat sepintas, mungkin aku akan melaut sekitar satu minggu dan kalau tidak salah kejadian itu menimpaku saat hari ke-6.
Langit kelabu dan gelap dilangit. Angin berhembus kencang hingga menciptakan gelombang besar. Suara petir terdengar dimana-mana dan hujan turun dengan lebatnya.
Lalu semua itu terjadi dengan mudahnya.
Dan aku tenggelam.
Tak lama kemudian badai berhenti kemudian bulan tiba-tiba muncul. Apa yang kulihat itu bulan asli atau halusinasiku? tapi yang jelas itu terlihat seperti sebuah bulan.
Aku diam menunggu pertolongan, hingga akhirnya bayangan hitam seorang laki-laki muncul dan menghampiriku—
Lalu saat kusadar untuk pertama kalinya, yang menyapaku seorang lelaki beriris biru menyala. Saat kusadar kedua kalinya—
Aku berada dirumah sakit—?
0
Ya aku memang berada dirumah sakit. Masih terbaring ditempat tidur dengan infus yang sudah tidak terpasang lagi. Namun alat electrodiagraphy masih terpasang. Disampingku duduk ibuku lalu ayah dan kakakku, Mari berdiri disebelah kiri. Menatapku penuh dengan suka duka.
Mereka terus berbicara tentang kondisi rumah— Mengalihkan pertanyaanku yang berhubungan dengan musibah itu. Aku hanya ingin tau bagaimana kondisi rekan-rekanku itu.
Mungkin mereka kira kondisi psikologiku belum stabil jadi tidak mau menjelaskan hal itu.
Kuharap mereka semua selamat.
Kemudian beberapa hari setelah aku sadar ayah masuk kebangsal sendirian. Matanya nampak menahan sesuatu.
"Jadi... kau ingin tahu kebenarannya."
Aku mengangguk sebagai respon. Ayah menghela nafas panjang.
"Sebelumnya maafkan aku karena tidak menceritakannya lebih awal. Aku takut hal ini akan berdampak dengan psikologimu jadi, kau yakin sudah siap mendengarnya?"
"Iya. Aku siap."
"...Sebenarnya, dalam kecelakaan itu. Semua rekanmu— ...Hanya dirimu yang selamat dalam peristiwa ini."
Rekanku semuanya mati. Kata-kata itu memohok hatiku yang paling dalam. Apalagi jika mengingat kenangan bersama mereka. Aku tertunduk dan tersenyum lemas. Tidak bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.
"Maafkan ayah."
Ayah, kenapa kau meminta maaf karena kematian orang lain? Ini bukan salahmu yah!
"Dan juga— Aku ingin memberi mu benda ini..." ia menyodorkanku sebuah mutiara bewarna hitam yang terdapat didalam sebuah kotak permen bening berukuran kecil. Aku mengambilnya.
"Saat mereka menemukanmu terdampar sendirian dipinggir pantai, mereka menemukan ini dalam genggaman tanganmu. Kuyakin itu sangat beharga bukan?"
...Aku tidak yakin kalau itu benar-benar milikku. Siapa yang telah memberikannya? Jangan-jangan—!
"Terima kasih, yah."
Lalu setelah pengakuan ayah dihari itu, esoknya aku seudah bisa kembali kerumah. Setelah 2 minggu lamanya kalau tidak salah berada dalam bangsal.
Menaiki mobil dengan Marinee-chan yang mengemudi. Ayah duduk disebelahnya sedangkan aku duduk sendirian dibelakang. Ibu berada dirumah. Katanya dia sedang memasak untuk merayakan kedatanganku. Kuyakin dia pasti akan membuat Katsudon.
sekitar 1 jam perjalanan menuju rumah, melewati perkotaan lalu hutan pohon kelapa hingga akhirnya kami sampai dirumah.
Tidak banyak yang berubah dirumahku. Semuanya sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya.
"Selamat datang Yuuri!"
"Aku pulang, ibu."
Reflek aku memeluk erat dirinya yang sedang berdiri didepan pintu.
Saat masuk keruangan aku diarahkan keruang keluarga. Diatas meja kayu itu tersaji 4 porsi Katsudon yang masih hangat. Mencium baunya saja membuatku lapar.
Sudah lama aku tidak memakan masakan ini.
Rumahku yang terletak tidak jauh dari bibirpantai membuat kami menggunakan peluang itu untuk membuka usaha restaurant. Setiap harinya, kuyakin tempat ini akan ramai. Apalagi menjelang sore hari. banyak sekali pengunjung yang menyempatkan diri kemari untuk makan malam sembari menikmati sunset. Dan biasanya jika aku tidak ikut memancing aku akan bekerja disini membantu orang tuaku.
Tapi bukan aku sendiri saja yang bekerja disini tentunya.
"Jadi Yuuri, besok kau tidak perlu bekerja dulu. Kau harus beristirahat, Full!"
"Eeh... padahal kan aku ingin membantu yah—"
"Yuuri, demi kebaikanmu."
"Okeh. Tapi jika aku bermain disana tidak masalahkan?"
Marinee-chan tertawa kecil.
"Kuyakin, kau akan tetap membantu meskipun kau bilang akan datang main."
Yah, ketahuan deh—
Setelah selesai makan, aku kembali kekamarku yang kurindukan. Dengan cepat aku menjatuhkan diriku keatas kasur empuk. Sudah lama aku tidak tidur dimari...
Aku mengeluarkan kotak permen berisi mutiara hitam itu dari kantong celana lalu mengamatinya dengan teliti. Mutiara itu terlihat sangat indah. Berukuran besar dan berbentuk bulat sempurna. Jika kujual kuyakin harga nya pasti akan sangat mahal mengingat harga satunya bisa sampai 100 dolar.
Tapi untuk apa laki-laki itu memberikan benda yang beharga ini, kutak mengerti. Ini kan benda mahal! Kenapa dia dengan berbaik hatinya memberikan benda ini.
Ditambah lagi aku tidak melihat wajahnya dengan jelas.
Yang kuingat hanya warna matanya yang mempesona.
Dan lagu yang dia nyanyikan itu— Entah kenapa sepertinya aku pernah mendengarnya disuatu tempat. Bukan disana, ditempat itu... tapi dimana—?
Lagu yang sedikit membawaku bernolstagia dengan masa kecilku yang sudah kulupakan. Kalau disebut 'kulupakan' rasanya tidak pas sekali. Menghilang, lebih tepatnya. Rasanya seperti ada gap antara satu dengan lainnya sehingga aku tidak dapat mengingatnya semua. Percuma mengingat-ingatnya. Hal itu hanya membuatku sengsara saja.
Lebih baik kutidur saja, sudah malam.
0
Esoknya, Aku pergi mengunjungi restoran keluargaku yang ternyata sudah ramai. Aku baru sadar kalau ini adalah hari libur, pantas saja ramai oleh pengunjung.
"Yuuri apa yang kau lakukan disini?!"
"Bermain."
Ibu yang menghardikku, menghela nafas dan menyuruhku duduk disalah satu bangku kosong.
Tidak ada yang berubah direstaurant ini kecuali orang-orang yang datang silih berganti. Aku sudah lama merindukan tempat ini. Bagaimana hiruk pikuk disini dan juga hawanya yang terasa menyenangkan.
"Hei Katsudon, bagaimana kabarmu?"
Sapa seorang pelayan yang tak lain dan tak bukan seorang temanku. Namanya Yuri. Biasa dipanggil Yurio oleh kebanyakan karyawan karena pengucapannya sama denganku. Yang pertama kali memberi nama panggilan ini adalah kakakku. Dia bilang dia mirip sekali dengan salah satu anggota band favoritnya. Berperawakan seperti preman pasar namun dirinya tidak lebih mirip seperti seekor kucing, Tsundere.
"Baik, sudah lama tidak berjumpa denganmu, Yurio."
"Untunglah kau masih hidup, Yuuri. Kami semua mengkhawatirkan mu."
Mendengar pernyataannya tadi membuatku kaget. Tidak biasanya dia berbicara dengan lemah-lembut.
"Jadi karena itu cepatlah sembuh dan kembali bekerja disini lagi!"
Ia membanting gelas berisi teh dingin lalu pergi meninggalkanku. Sehabis Yurio pergi, muncul lagi seorang yang kukenal bernama Pichit.
"Aaa Yuuri! Untunglah kau sudah sehat."
Ia mendekapku sehingga menarik banyak pengunjung.
"Tenang, Pichit— Tenang tidak perlu terlalu senang..."
"Ah, maaf! Aku terlalu senang karena sahabatku baru saja keluar dari rumah sakit! A-aku tidak bisa menahan—"
Dia menangis. Bagaimana ini?!
Pichit. Seorang pemuda berkulit cokelat— atau hitam kecoklatan..? yang selalu mencolok jika dilihat diantara ribuang pengunjung yang datang kesini. Seorang yang Easy Going, menggemari marmut. Dikenal dengan julukan Dewa Selfie karena kebiasaanya yang selalu saja mengupload foto selfie nya ke SNS setiap saat. Bahkan tidak jarang dia sering meminta berfoto dengan turis asing yang ia anggap menarik.
"A-Ah...!" Mataku melirik seorang lelaki bertubuh tinggi yang baru saja datang. "P-Phicit, liat laki-laki itu! kuyakin kau mau berfoto dengannya!"
"Ah... Yuuri, kau jahat sekali denganku. Aku benar-benar mengkhawatirkan mu tau! Tapi terima kasih telah menunjukkannya kepadaku."
Dia pergi meninggalkanku. Seperti seorang anak kecil yang baru saja dibelikan balon. Dengan mudahnya dia mengajak orang itu untu berfoto dengannya. Karena kebiasan Pichit yang justru membuatku was-was sendiri itu maka para pelanggan yang mampir kesini sudah terbiasa dan menganggapnnya wajar. Ya, inilah Trademark restaurant kami, kebiasan Pichit itu sendiri.
Pengunjung yang masuk itu duduk meja yang ada dibelakangku. Kudengar dari sini Pichit berterima kasih lagi kepadanya lalu sehabis itu menanyakan pesanannya. Setelah selesai baru dia pergi memberi tahu koki. Aku tidak habis pikir dimana letak keberanian dirinya setelah melakukan hal itu.
Jika dibilang iri— Ya, aku memang iri dengan kelebihannya itu.
Tapi apa aku pantas merasakan yang nama nya iri setelah kejadian itu? Ah, rasanya aku telah menggali kuburanku lagi.
Aku hanyalah manusia biasa, penuh dosa penuh nafsu dan ambisi. Sama seperti yang lain. Tapi aku adalah orang yang bisa dibilang beruntung. Bukan maksud untuk pamer atau sombong tapi kata yang bisa kudeskripsikan hanya itu. Tidak semua orang beruntung sepertiku. Selamat dari malapetaka dan hidup hingga sekarang—
Ya itulah yang kupikirkan.
...
Senandung ini...
" 'shizundeku, sakana to taiyou' –!"
Suara itu terhenti tanpa alasan jelas dan nyanyianku terhenti disaat itu juga. Aku meminum teh yang Yurio bawa tadi seolah tidak terjadi apa-apa. Setelah habis, aku pergi meninggalkan restaurant dan menuju kepinggir pantai, menikmati keindahannya. Saat liburan seperti ini pantai selalu padat dipenuhi orang-orang. Orang yang bermain air, berjemur, bersantai, bermain pasir— itu baru sebagaian aktivitas yang dilakukan oleh mereka. Atmosfernya terasa menyenangkan meskipun begitu dengan banyaknya orang seperti ini, ini bukanlah sebuah keindahan lagi.
Untungnya, mereka tidak mengetahui sebuah Spot dimana mereka bisa menikmati pantai tanpa perlu terganggu oleh kerumunan orang-orangnya.
Tempatnya agak jauh dari pantai utama tapi jika berhasil sampai kesana maka semuanya tidak akan sia-sia. Waktu aku menemukan nya kalau tidak salah berumur 9 tahun lalu saat itu aku—!
Aku?! Aku...? Aku kenapa?!
Tidak dapat kuingat kenangan itu. Tapi untung aku masih mengingat jalan pergi kesana. Dari aku sini pergi menuju tebing karang yang terlihat jelas dari kejauhan. Nampak seperti gunung namun bukan gunung. Dan spotnya berada dibawah tebing itu.
Berbahaya memang tapi disitulah tempat terbaik menurutkku.
Tidak ada orang yang terlihat disana, baguslah. Aku duduk dan mataku menatap kearah lautan yang terhampar luas.
Meskipun kecelakaan itu menimpaku tapi, aku tidak akan pernah jera mengarumi laut.
" ' shizundeku, sakana to taiyou wo abitai no da—' "
" Jadi kau yang bernyanyi lagu itu?"
Suara itu mengagetkanku. Siapa laki-laki yang tengah berbicara itu?! Aku menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari orang itu tapi tidak menemukan siapa-siapa.
" Si-siapa itu?!"
"seseorang yang selalu mengawasi mu dari jauh."
"Tunjukan dirimu!"
"...Belum saat nya kita untuk bertemu sapa. Lebih baik seperti ini dulu."
"Siapa kau?! Apa maumu?!"
"Jika waktu nya tiba kau akan mengetahuinya dan jangan lupa mutiara itu adalah petunjuknya. Kau kehilangan ingatan bukan? Mungkin saja mutiara itu bisa mengembalikan serpihan ingatan itu perlahan-lahan"
Dia tau kalau aku kehilangan ingatan! Bagaimana bisa?!
"Oi!"
Tidak ada respon.
Kedatangannya benar-benar mengagetkanku dan membuatku takut setengah mati.
Dia membuatnya terkesan seperti teka-teki. Kata-katanya yang sama sekali tidak kumengerti.
Mutiara hitam... Jangan-jangan orang yang tengah berbicara denganku tadi itu adalah laki-laki yang waktu itu menyelamatkanku?
Bisa saja iya, bisa saja tidak.
Jadi apa yang harus kulakukan dengan mutiara itu? menghancurkannya? Menjualnya?
Aku menghela nafas panjang dan merebahkan diriku dihamparan pasir.
Lebih baik aku memberi tugas ini kepada diriku yang besok. Biarkan dia yang mencari tahunya.
