Remember

Cast: Aomine Daiki, Kise Ryouta, Midorima Shintarou, Takao Kazunari Pair: AoKise, slight!MidoTaka Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

Warning: Typoo(s), mature theme, tidak dianjurkan bagi reader yang berumur dibawah 17 tahun

REMEMBER ch. 1 .

.
.

1: Takao .
Aku Takao Kazunari.
Kombinasi antara namaku, kurang tidur, dan bunyi papan ketik terketuk-ketuk adalah hal biasa.

"Apa Saudara pernah terlibat dalam perkara tindak pidana sebelumnya?" Telingaku tidak menyerap jawaban. Pria asing yang duduk di balik meja interogasi itu bersembunyi di balik sikap diamnya—dan apatisnya, dan angkuhnya, dan mata navy blue yang berkabut.

"Saudara mendengar pertanyaanku, bukan? Tolong berikan keterangan." Aku tidak suka memberikan ancaman sebagai perintah, tapi menyusun lembar Berita Acara Pemeriksaan tidak bisa dilakukan jika yang kutanyai terus memberikan sikap penolakan untuk memberi jawaban. "Apa perlu kuulangi sekali lagi?"

Kesabaran sudah berkawan baik denganku sejak masih kanak-kanak, meskipun terkadang aku bisa meledak kapan saja. Aku masih menunggu cerita meskipun satu jam waktu dibiarkan tergaruk sia-sia. Tersangka yang kutanyai tidak menghindar tapi juga tidak bereaksi sampai aku tak bisa menebak harus menunggu berapa lama lagi.

"Kapan dan di mana Saudara tertangkap?" Papan ketik kupukul oleh sepuluh jari, namun yang kutanyai seolah sedang tidak berada di sini.

"Saudara Aomine?"

"Berisik."

Hening mencekam. Terlihat mulut terbuka lebar bertukar udara, menguap tanda kantuknya. Aku melihat mata panther pemburu itu menusuk tajam seakan ingin membakar layar komputasi.

.
.

PRO-JUSTITIA Berita Acara Pemeriksaan Pada hari ini, satu Desember dua ribu lima belas, sekitar pukul dua puluh dua lewat enam belas menit, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. 610/33/2013, saya Midorima Kazunari selaku penyidik di kantor kepolisian Distrik Asakusa melakukan pemeriksaan terhadap seorang laki-laki yang mengaku bernama:

_AOMINE DAIKI_

_yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka dalam dugaan kasus pemerkosaan sekaligus pembunuhan berencana sesuai dengan Laporan Polisi No. 72/11/2013, tertanggal tiga puluh November dua ribu lima belas_

_pihak yang diperiksa telah menyatakan bersedia untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pemeriksa sebagai berikut_

Padahal Aomine tidak pernah menyatakan apapun.

Aomine Daiki terus saja mengunci mulut.

"Bersama siapa Saudara tertangkap?"

Sikap Aomine jelas seperti perisai. Begitu pula pertanyaanku yang dibiarkannya percuma menguap sebelum terjawab. Mungkin jika penyidik yang bertugas hari ini bukanlah aku, meja dengan tumpukan arsip dalam plastik dan botol air mineral sudah tergebrak berantakan sejak satu jam yang lalu.

"Apa yang sedang Saudara lakukan pada hari penangkapan itu?" Tidak dijawab lagi. Aomine konsisten memegang tegas semua keterangan sebagai sebuah rahasia.

"Sikap diam Saudara akan memberi pengaruh pada lama waktu penahanan sementara." Aku memperingatkan meskipun tidak bermaksud mengancam kepadanya. "Jadi tolong Saudara jangan mempersulit kerja tim kepolisian—"

"Memangnya aku perduli?" Cuma itu saja jawabannya.

Terpaksa aku menarik keluar semua stok kesabaran. Kadang sebagai penyidik aku menyesal tidak pernah belajar analisis gestur tersangka. Namun aku tidak sekalipun ingin mengancam dengan alat-alat setrum. Insting dan rasionalitasku dituntut demi bisa terus menggali keterangan. Salahku sendiri sejak dulu memang tidak pernah bisa membaca tulisan mental. Maklum, polisi tidak diberi pendidikan cenayang. Tombol A hingga Z mau tak mau harus dipaksa menerjemahkan kebisuan.

Aku kembali menghadapi dokumen yang belum terselesaikan.

.
.

_perkara yang dipersangkakan terhadap AOMINE DAIKI_

_terkait kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban dengan identitas:

_KISE RYOUTA_

_usia dua puluh empat tahun_

_pekerjaan tidak diketahui_

_waktu kematian belum bisa ditentukan secara pasti karena penyidik berkewajiban menunggu hasil visum oleh dr. Midorima Shintarou, Sp.F dari Departemen Forensik Teikou Hospital yang dilakukan terhadap mayat korban di Laboratorium Kriminal Kepolisian Asakusa_

.
.

Aku tahu, aku seharusnya mencoba mencerna petunjuk meskipun secuil jawaban pun tak ada. Tapi Aomine sudah membangun tembok raksasa agar tidak ada seorang pun termasuk polisi yang bisa mengintip keterangan tentang Kise Ryouta dari dirinya.

Mungkin nama Kise Ryouta sudah dilipat secara posesif oleh Aomine dalam kotak pandora, siapapun tidak diberi kesempatan untuk mencurinya.

Jujur saja, baru kali ini sebagai penyidik resmi aku ingin sekali mengeluh. Anak panah mata tersangka di depanku berubah melesat menusuk tepi-tepi jendela. Entah apa yang menarik di sana, aku juga tidak mengerti. Padahal hanya ada kaca buram dengan adhesi anak sungai gerimis—atau mungkin Aomine memang terlalu tertarik dengan debu-debu yang tertanam di cepitan kusen kayu.

Mata navy blue kini menghantamkan diri pada hujan yang mulai turun mencuci tanah. Aku berpikir keras. Berusaha membongkar keterangan sekalipun kenyataannya sikap diam Aomine lebih tajam dari deru hujan yang mengiris-iris tanah.

"Apa motif Saudara melakukan kejahatan seberat ini?" Pertanyaan basa-basi.

"Apa sebelumnya Saudara pernah terlibat juga dalam tindak kejahatan serius?"

Kali ini aku pura-pura. Sebenarnya aku bukannya buta sama sekali. Sejak bertugas lima tahun lalu aku sudah terbiasa mendapati setumpuk koran kriminal di kantor jaga setiap pagi.

Aomine Daiki bukanlah nama baru untuk kepolisian. Setidaknya ada delapan kasus kejahatan sedang hingga berat dalam dua tahun terakhir—itu yang ketahuan saja, aku tidak bisa menebak berapa puluh kasus yang tidak terendus polisi—dan nama lelaki itu terperangkap dalam daftar merah dunia kriminal. Baik, kusebutkan saja: dugaan pengeboman, sindikat penjualan perempuan, penyalahgunaan narkoba, penculikan anak di bawah umur ... saking bervariasinya rekanku sampai pernah berkelakar kalau Aomine Daiki adalah seorang penjahat multitalenta. Dan entah mengapa Ia juga selalu lolos dari penegak hukum.
Aku kembali menghadap layar.

.
.

_tersangka tidak memberikan penjelasan tentang motif sebagai alasan dirinya melakukan tindak kejahatan terhadap korban_

_tersangka tidak memiliki keluarga_

_tersangka tidak memberikan keterangan tentang riwayat hidup dan pekerjaannya_

.
.

"Hapus tulisanmu itu, bodoh."

Refleks papan ketikku berhenti berbunyi. Kutemukan sekawanan amarah dari navy blue pekat siap membuatku tercincang-cincang. "Tidak mungkin aku melakukan kejahatan tanpa alasan, bodoh. Aku punya alasan kenapa memaksa bocah itu mengangkang dan mengapa aku merobek selangkangan Kise Ryouta. Jangan menulis keterangan palsu, brengsek." Alisku terangkat karena sedikit terkejut mendapati Aomine ternyata bisa bicara sepanjang itu.. lagipula dia juga manusia kan?

"Maaf, tapi kau memang belum menjelaskan alasannya, Saudara Aomine," sanggahku, "dan kukira tadi kau tidak akan berminat menjelaskannya."

Aomine membalas sindiranku dengan jutaan ton aura permusuhan. "Kau pikir aku akan berminat menggagahinya kalau Kise adalah bocah pungutan yang kutemukan tanpa sengaja di pinggir jalan?" Alisku naik. Sebenarnya aku sama sekali tidak berpikir begitu—maksudku, bukannya Aomine Daiki memang sudah lama diketahui tinggal serumah bersama Kise Ryouta?

"Kalau begitu jelaskan. Aku akan mengetik keteranganmu, Saudara Aomine."

Sejak dulu aku adalah penganut silogisme yang taat. Ekspresi yang tersemir dalam wajah tersangka ini sangat sulit ditebak meskipun bukan berarti mustahil. Premis-premis acak mulai kususun, sangat hati-hati, takut kalau tiba-tiba semua dugaanku yang tersusun rapi dalam otak tumbang seperti domino tersentil jari. Otakku mulai berusaha berpikir teratur bagai meniti tali-temali, tidak ingin kecolongan.

"Aku tidak bisa menahan diri kalau melihat Kise," katanya, "bokongnya selalu minta kutampar-tampar."

Dahiku berkerut secara sadar—baiklah, tersangka mulai bersedia bercerita tentang korban—maka dari itu aku bergegas mengais hipotesa, mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak rasional. Seperti apa arti mata tersangka Aomine yang memandang kosong (apakah Ia sedang membayangkan Kise? Ataukah orang ini mulai menyesali apa yang dilakukannya? Ataukah memang punya gangguan jiwa hingga tidak bisa diajak berkomunikasi secara normal dan pikirannya terus melayang tak terfokus seperti ini), dan sebagainya, dan seterusnya.

"Apa Saudara benar memerkosa Kise Ryouta?"

Nada itu tidak terdengar mengambang. "Ya," jawabnya.

"Apa hubungan Saudara dengan korban?"

"Hubungan," Ia menjeda, "hubungan badan."

"Apa Saudara juga membunuhnya dengan sengaja?"

"Ya, aku membunuhnya."

"Apa alasan Saudara melakukan itu?"

"Aku menginginkan Kise Ryouta. Apalagi."

"Maksudnya atas dasar suka sama suka?" Tanganku terus mengetik. Aku bisa melihat nama Kise Ryouta tergenggam erat dalam kepala tersangka—benar, Aomine seperti terhantui meskipun tidak mengakui.

"Kise Ryouta bersedia digagahi tanpa syarat? Begitukah?" Aku tercenung. Mungkin setelah hari ini aku harus rajin meminjam novel-novel detektif yang rajin dikoleksi Shin-chan sampai memenuhi separuh perpustakaan rumah kami agar sedikit punya inspirasi.

"Aku menginginkan Kise Ryouta," Aomine akhirnya berucap statis. "Tapi entah bagaimana perasaannya terhadapku, aku tidak tahu karena dia sudah keburu mati sebelum kutanyai." Napasku tertarik dalam. Ini rumit. Kasus macam apa yang sebenarnya sedang dibicarakan di sini? Cinta terlarang? Perselingkuhan? Pembunuhan atas nama cinta? Rose Bukater rela mati demi Jack Dawson? Aku kehabisan ide.

_dalam perkara ini tersangka terancam dijerat pasal berlapis berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana_

_dengan hukuman sekurang-kurangnya 25 tahun penjara atau seberat-beratnya hukuman mati_

_tidak ada saksi terpercaya yang dapat meringankan jerat hukum bagi tersangka_

Lagi-lagi Aomine membaca tulisanku.

"Sebelum kalian akan melubangi kepalaku di lapangan tembak—"

Aku sama sekali tidak melihat ada riak emosi saat pria dingin itu mengatakan ini.

"—biarkan aku bertemu dengan Ryouta sebelum aku dipenjara, diadili dan dihukum mati."

Mungkin sampai seterusnya pun aku tidak akan pernah mengerti ketenangan macam apa yang ditunjukkan Aomine di ruang penyidikan hari ini. Hati manusia terlalu jauh untuk ditebak sekalipun itu adalah hati seorang penjahat.

"Baik. Kami akan membawamu menemui Kise Ryouta, tapi dengan catatan bahwa Saudara tidak diperkenankan untuk menyentuhnya." Aku berkata menyanggupi, tentu saja atas nama lembaga kepolisian. "Kuharap Saudara Aomine tidak keberatan kalau kami memborgol tanganmu."

Bahu Aomine terangkat malas. "Tidak masalah. Sekadar melihatnya saja juga sudah cukup."

"Ya, kurasa pihak kepolisian akan menyetujui permintaanmu. Kami akan membawa Saudara bertemu dengan Kise Ryouta besok pagi. Selamat malam." Aku menoleh pada rekanku, "Kagami-kun, kau bawa Aomine Daiki kembali ke dalam sel."

_demikianlah Berita Acara Pemeriksaan ini saya buat dengan sebenar-benarnya di bawah kekuatan sumpah jabatan yang mengikat saya selaku penyidik dan prajurit kepolisian yang patuh terhadap undang-undang.

Sekarang tinggal aku saja di dalam ruangan ini. Lembar yang masih dalam bentuk kopian lunak siap untuk dicetak—aku buru-buru menyalakan printer. Kupikir Shin-chan yang menungguku di rumah sudah memanaskan makanan dalam microwave karena aku akan pulang terlambat lagi hari ini.

Asakusa, 1 Desember 2015.

.
.

Bolpoin hitamku tergores stabil di atas kertas.

.
.

Tertanda,

Midorima Kazunari.

[Next page: MIDORIMA SHINTAROU]

a/n: hai para readers tercintaahh~ lama tidak berjumpa dengan author maso ini '^')9 setelah sekian lama saya mencari waktu luang dari tugas-tugas kampus yang begitu menyiksa akhirnya dapat juga waktu luangnya. ;u; /author curhat/ ff ini berisikan perasaan saya yang begitu suram karena tugas-tugas kampus yang tak pernah habis ;;;;; /curhat lagi/ jadi sampai disini dulu pembicaraan absurd saya. Mau tau kelanjutannya? Don't forget to review yah readers tercintaahh~ salam maso! '^')9