Sebelumnya aku terimakasih pada reviewer yg telah berkenan merieview drabble JongKi pnyaku kemaren Ahhhh~~ sebenernya itu ff lama yang dah berdebu di fb'ku trus aku nekada re-publish lagi di akun ini ^^

Yosh! Kali ini aku bawa cerita yang sedikit ngawur dan jelek. Mohon dimaklumin #bow

Bagi yang gak suka, gak usah baca yaa~~

HAPPY READING!

Warning : OOC, typos(s), alur berantakan, bahasa ngebosenin, istana sentris(?), Mpreg, BoyxBoy

FTISLAND FANFICTION

PAIRING :

JongKi, WonKi

Betrayal by Hikari

.

.

;

"Hongki, kau boleh menggugurkannya jika kau mau."

Hongki hanya diam menunduk sambil kedua tangannya memegang perut ratanya. Apa ini jalan yang terbaik baginya? Atau malah memperburuk?

"Tapi… aku tidak bisa eomma."

"Baiklah. Semua keputusan ada ditanganmu nak."

Wanita paruh baya itu berjalan pergi menjauh dari Hongki, anaknya. Walaupun wanita paruh baya itu tidak menunjukkan wajah khawatir, tapi sebenarnya dalam hati dia sangat amat cemas dengan kondisi psikologis anak semata wayangnya itu. Setelah kejadian itu, dia menjadi lebih pediam dan memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal sendiri. Eommanya sering menjenguknya, hanya sekedar mengetahui kondisinya. Semua karena dia. Laki-laki itu telah merenggut semua dari Hongki. Sungguh! Sebagai ibunya, dia ingin sekali membunuhnya jika dia sekarang ada dihadapannya. Iblis macam apa dia? Setelah mengambil semua yang berharga dari Hongki, sekarang ia pergi tanpa pertanggungjawaban? Lihatlah! Hongki tak pernah lagi menunjukkan wajah cerianya. Hanya garis horizontal yang tercetak dibibir manisnya itu sekarang. Sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, tentu ia menginginkan yang terbaik dari anaknya. Benih yang ia tanamkan membuat anaknya dua kali merasakan guncangan hati yang cukup membuatnya lebih terpuruk. Setelah apa yang ia lakukan dengan paksa, kini Hongki harus menanggung akibatnya. Dia tidak mau menyimpan benih dari laki-laki brengsek itu, namun juga dia sangat kasihan dan tak tega jika harus menyudahi kehidupan makhluk yang bahkan belum membentuk tubuh manusia itu.

"Nak, aku yakin kau akan memutuskan yang terbaik."

Ruangan kecil dan gelap ini terlihat sangat berantakan. Hampir semua benda itu tidak tertata rapi. Di sudut ruangan itu, terduduk seorang namja yang berparas cantik dengan air mata yang hampir mongering. Pandangannya kosong –entah apa yang ia pikirkan, dia hanya diam sambil menerawang langit-langit rumah kecilnya seakan hanya itu yang menjadi objek yang paling menarik untuknya. Tangannya yang semula digunakan untuk menghapus air matanya, kini sedikit demi sedikit turun menuju perutnya. Ya… kini ada makhluk hidup disana, mana mungkin Hongki –namja cantik itu- melupakannya. Tentu tidak. Andai waktu itu dia bisa mencegahnya dan melawannya. Andai saja dia waktu itu tidak pergi pada malam itu… ingin sekali Hongki memutar waktu lagi. Tapi itu tidak bisa. Dia akan menerima makhluk yang kini hidup ditubuhnya dengan senang hati jika yang menebar benih ini adalah orang yang dicintainya. Tapi ini…. Hongki kembali memukul-mukul perutnya yang masih rata. Dosa apa yang ia lakukan sampai orang itu tega berbuat hal ini kepadanya dan tak mau bertanggung jawab atas apa yang dilakukannnya. Tiba-tiba dia teringat pada sosok yang telah mengisi hari-harinya dulu dengan penuh cinta. Bahkan dia merasa hina hanya dengan mengingatnya. Di sudah mengkhianati cinta suci darinya. Hongki telah menodai janji suci yang mereka buat dulu sebelum dia pergi untuk memenuhi tugas dari sang raja untuk menjaga perbatasan kerajaan.

"Maafkan aku… aku tidak bisa menjaga janji kita." Dia terisak kembali setelah sebelumnya air matanya mongering.

"Maafkan aku juga. Aku akan… merawat anak ini."

"JAEJIN!" Hongki memasuki rumah kecilnya yang sudah hampir tujuh tahun ia tempati dengan perasaan gusar. Dia mengarahkan pandangannya kesegala arah untuk mencari sosok yang ia panggil tadi.

"JAEJIN! DIMANA KAU?"

Masih belum menemukan sosok yang dicarinya di dalam rumah kecilnya, Hongki mencarinya dihalaman belakang. Dan benar, dia ada disana. Sosok kecil yang sedang bermain sendirian dengan pasir tanpa seorang teman.

"E-eomma."

"Jaejin! Apa yang kau lakukan hah?!"

Sosok kecil itu menyerengit bingung. Belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh eommanya itu.

"Wae eomma?"

Hongki mendekat, menarik tangan Jaejin dengan paksa sehingga dari semula Jaejin berjongkok, kini ia berdiri –ada sedikit rasa takut dalam dirinya melihat eommanya seperti ini.

"Kau kembali menyakiti temanmu?!"

"Mi-mianhe. Itu semua ada alasannya aku seperti itu."

Hongki menghela nafas berat. Ini sudah keberapa kalinya anaknya membuat ulah dengan teman-temannya. Dan akibatnya, Hongki yang terkena imbasnya. Dimarahi oleh orang tua anak tersebut, menganggap bahwa Hongki tidak mengurus anaknya dengan baik.

"Eomma… aku benci jika disebut tidak mempunyai appa. Aku punya appa kan eomma?"

"KAU –"

"Ne eomma! Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengatakan tentang appa lagi."

Jaejin segera memotong ucapan eommanya kala tangan eommanya seperti akan memukul dirinya. Dia tidak bermaksud untuk membuat eommanya marah. Hongki memang sangat marah jika Jaejin sudah menanyakan tentang ayahnya. Itu akan mengingatkannya dengan rasa pahit yang ingin sekali dia hapus dalam benaknya.

Hongki tak akan segan-segan memukul bahkan menampar Jaejin jika sudah seperti itu. Dalam hati Hongki memang tidak tega menyakiti anak sematawayangnya, darah dagingnya sendiri diperlakukan seperti itu olehnya. Tapi semakin hari, semakin dia beranjak besar, wajahnya semakin mirip dia. Sosok yang membuat Hongki mengubur rasa cintanya pada kekasihnya dan harus menjadi ibu tanpa seorang suami, dan itu membuatnya kadang tak mau melihat wajah anaknya sehari penuh. Itu membuatnya bertambah sakit. Lihatlah! Sudah hampir tujuh tahun sejak dia melahirkan Jaejin kedunia, apakah sosok yang harusnya bertanggung jawab atas semua ini menunjukkan batang hidungnya? Tidak sama sekali.

Hongki menghempaskan tangan kecil milik Jaejin dengan kasar. Tanpa melihat wajah anaknya yang kini berlinang air mata, Hongki pergi tanpa mengetahui perasaan yang mendera dalam hati Jaejin.

"Eomma…"

Dengan marah, Hongki mengunci dirinya didalam kamar, menangis sepuasnya tanpa ada yang mengganggunya. Ini sering terjadi sejak Jaejin selalu bertanya tentang status ayahnya. Jangankan ingin menceritakan sosok apa ayahnya itu, menyebutkan namanyapun Hongki sangat enggan. Dalam masa mengandung Jaejin, Hongki berpuluh-puluh kali berpikir untuk mengugurkan kandungannya. Namun itu dosa besar! Dia tidak ingin dikutuk oleh Tuhan setelah dia kotor. Semua beban itu ia emban sendiri, tak ada yang membantunya. Terlebih lagi saat empat bulan kehamilannya, eommanya yang dia anggap akan ikut merasakan beban penderitaannya meninggal karena sakit yang ia derita.

"Oh Wonbin… kau akan membayar akibatnya."

Sosok kecil itu kini duduk manis di depan meja makan, senyum dari bibir mungilnya tak hentinya ia tebarkan. Sambil sesekali memainkan sumpit dengan kedua tangannya, ia masih setia menunggu seseorang yang sangat ia harapkan kehadirannya sekarang ini. Siapa lagi kalau bukan sesosok yang special baginya, yang ia sebut dengan panggilan eomma. Makanan yang sebagai menu sarapannya sudah tersaji lezat diatas meja, membuat ia tak sabar untuk melahap semua masakan eommanya itu.

Walaupun seringkali ia mendapat pukulan dan kata yang kasar dari eommanya, Jaejin yakin bahwa itu untuk kebaikannya. Apapun yang terjadi, Jaejin akan terus dan selalu menyayanginya. Dan kehidupannya mungkin akan semakin lengkap jika dia mempunyai sosok appa. Terkadang ia merasa sedih saat teman-temannya bercerita tentang appanya masing-masing. Entah itu pekerjaannya, hadiah yang appanya berikan dan masih banyak lagi. Sering ia berpikir bahwa Tuhan tidak adil padanya. membiarkannya yang masih sekecil ini, tidak pernah mendapatkan kasih saying dan bahkan tidak mengenal sosok appanya. Jangankan mengetahui seperti apa appanya itu, bertanya saja dia sudah kena pukul eommanya. Dalam kepala kecilnya dia berpikir –kenapa eommanya sendiri bersikap seperti itu jika dia menanyakan segala hal tentang appanya?

BLAM

Suara pintu yang tertutup membuat Jaejin kembali dari dunia lamunannya, menangkap pandangannya pada sang namja cantik itu yang baru keluar dari kamarnya dengan senyum tulusnya.

Namun senyum itu begitu cepat pudar saat namja cantik itu melewatinya begitu saja, tidak seperti pikirannya bahwa eommanya akan menuju meja makan dan akan sarapan bersama dengannya.

"Eomma, tidak sarapan dulu?"

Namja cantik itu terus saja berjalan kearah pintu depan sehingga Jaejin turun dari kursi dan mengikutinya.

"Eomma –"

"Tidak. Kau sarapan sendiri saja." Belum sempat Jaejin menyelesaikan pembicaraannya, sosok cantik itu sudah memotongnya terlebih dulu.

Jaejin menunduk lesu, padahal dia sangat berharap bisa sarapan bersama pagi ini. Ya.. walaupun dia sangat tahu bahwa hanya kesunyian yang tercipta saat mereka makan. Memang itu sikap eommanya, Jaejin tak mengeluhh sedikitpun.

"Aku harus membuka toko lebih awal di pasar. Tidak ada waktu untuk sarapan."

Jaejin tahu itu hanya alasan eommanya. Dia memang sangat tidak suka terhadap dirinya ini. Jaejin sudah merasa walau umurnya masih sangat belia.

"Eomma, maafkan kejadian kemarin. Aku –"

"Sudahlah! Jangan bahas lagi."

Hongki –sosok cantik itu –membuka pintu untuk keluar, meninggalkan Jaejin yang masih tertunduk sedih meratapi nasibnya sendiri. Dia terima jika eommanya bersikap seperti ini padanya daripada dia harus ditinggal sendiri tanpa sosok yang menemaninya.

"Kakek, kayu ini ditaruh dimana?"

"Disitu saja nak."

Jaejin berjalan menuju pohon tinggi yang ditunjuk oleh kakek itu. Menaruh beberapa potong kayu dibawah pohon itu kemudian menatanya.

Ya… ini memang sering ia lakukan semenjak Jaejin mengenal kakek tua baik hati yang ia sebut dengan kakek kayu. Entah kenapa Jaejin sangat suka membantunya. Mungkin lebih baik melakukan sesuatu yang baik daripada harus berdiam diri di rumah sambil menunggu eommanya pulang dari pasar.

Merasa lelah, kakek itu berjalan menuju gubuk kecil yang ada dihutan itu dengan pelan. Melihat itu, Jaejin berlari dan memegang salah satu tangan kakek itu untuk membantunya berjalan.

"Ahh… tulang-tulang tua memang cepat sekali merasa lelah."

Dengan hati-hati Jaejin masih saja membantu kakek itu duduk di gubuk itu. Tubuh kecilnya seakan tak mengenal lelah sedikitpun setelah membawa cukup banya kayu bakar.

"Maka dari itu, aku selalu membantu kakek kayu membawa kayu-kayu bakar itu."

Kakek itu terkekeh sehingga kuli-kulitnya yang sudah keriput tercetak jelas.

"Kau masih saja memanggilku dengan sebutan itu. Kau memang anak yang baik. Ibumu pasti bangga padamu, nak."

Mendengar itu, wajah Jaejin kembali redup.

"Eomma tidak pernah bangga padaku, kek."

Jaejin tersenyum miris mengingat bahwa ibunya hampir tidak pernah memujinya selama ini.

"Benarkah?"

Jaejin mengangguk.

Jeda beberapa saat, tidak ada seorangpun dari mereka berdua berbicara lagi. Jaejin memandang dedaunan kering yang berserakan ditanah, seakan itu hal yang menarik untuknya saat ini.

"Kek, apa mungkin aku bukan anak eommaku?"

Kakek itu memandang Jaejin, tidak menjawab pertanyaan Jaejin. Masih menunggu bocah itu untuk meneruskan ceritanya.

"Kata teman-temanku, aku ini anak haram. Aku bahkan tidak tahu haram artinya apa."

"Kau terlalu berlebihan nak."

"Benar kek. Aku tidak pernah melihat eommaku tersenyum ketika memandangku tidak seperti eomma-eomma yang lain terhadap anaknya, selalu kena pukul jika aku menanyakan tentang appaku."

Kini mata Jaejin memerah, menahan air mata yang siap tumpah kapan saja dari pelupuk matanya.

Merasa prihatin, kakek itu mengangkat sebelah tangannya menuju kepala Jaejin. Mengelusnya dengan halus.

"Dengar nak, tidak ada anak haram di dunia ini. Anak adalah karunia dari Tuhan. Dan apa yang dikaruniai oleh Tuhan, itu yang terbaik untuk kita."

"Banarkah itu, kek?"

Kakek kayu itu mengangguk tersenyum.

"Dan aku yakin kau anak kandung ibumu."

"Kenapa kakek bisa yakin?"

"Hahaha…. Jangan tanyakan alasannya,nak."

Jaejin kini sedikit demi sedikit mulai kembali tersenyum. Bercerita pada kakek kayu sangatlah menyenangkan. Seakan seluruh beban berat yang ia tanggung terbuang habis tanpa sisa.

Jaejin beranjak dari duduknya dan berjalan menjauhi kakek itu.

"Hei nak, mau pergi kemana?"

"Mencari kayu bakar lagi untuk kakek."

"Hei Hongki!"

Hongki mencari asal suara yang memanggil namanya itu. Tersenyum kearahnya saat dia sudah menemukan sosok namja tampan bertubuh tegap yang ia sangat kenal. Tengah tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Perlu bantuan?"

"Tidak perlu."

Tanpa mengalihkan pandangannya dari buah-buah dagangannya yang masih tersisa, Hongki masih saja merapikannya agar tokonya segera ia tutup karena hari yang semakin sore.

Namun, orang itu masih saja membantu Hongki meski Hongki sudah menolak tawarannya.

"Jaejin hari ini tidak mengikuti pembelajaran, kenapa?"

Seketika itu, Hongki yang sedang beres-beres langsung menghentikan aktifitasnya tersebut.

"Jaejin tidak hadir?"

Namja tampan itu mengangguk.

"Hongki-a, tolong jangan lampiaskan kebencianmu dengan namja itu kepada anakmu. Dia tidak salah apapun."

"Aku tahu. Kau sering mengatakannya beberapa kali Yonghwa hyung."

"Dia sering tidak memperhatikan saat aku sedang mengajar. Sikapmu padanya membawa dampak buruk baginya yang masih kecil."

Hongki terdiam, hanya menunduk. Ya. Yonghwa adalah salah satu orang yang mengetahui masa lalu Hongki yang kelam, hanya orang itulah yang bisa Hongki berkeluh kesah.

"Hyung, aku merasa sudah sangat bersalah pada Jaejin."

"Ya.. dan kau harus merubah semuanya. Sayangilah dia, karena dia titipan Tuhan untukmu."

Ucapan Yonghwa masih teringat jelas didalam pikirannya. Hongki telah sadar, bahwa tindakannya selama ini pada Jaejin, buah hatinya sendiri salah. Dia melampiaskan kebenciannya pada namja brengsek itu kepada Jaejin karena semata-mata dia darah daging orang itu.

Hongki mengacak surai kecoklatannya dengan frustasi. Ya Tuhan… apa yang aku perbuat selama ini padanya? –itulah yang Hongki pikirkan saat ini.

Dia hanyalah seseorang yang menjadi korban dari kebejadan namja itu. Jaejin tak mengerti apapun. Kenapa Hongki harus marah padanya? bukankah dia telah memutuskan untuk melahirkan Jaejin kedunia dan harusnya ia rawat.

Dengan langkah gontai, Hongki masuk kerumah kecilnya itu. Terlihatlah sosok kecil itu yang tidur dikursi depan, tanpa selimut yang membungkus tubuh kecilnya. Lihatlah! Bahkan ia rela menuggui Hongki sampai larut malam. Anak yang lain mungkin sudah membenci orang tuanya jika mendapat perlakuan tidak mengenakan, tapi tidak bagi Jaejin. Dia bahkan semakin menyayanginya, meski perlakuan buruk yang Hongki beri padanya. seharusnya Hongki sangatlah bersyukur mempunyai anak yang sangat baik hati itu.

Hongki melangkah mendekati tubuh yang terlelap itu. Mengelus rambut buah hatinya. Hongki sedikit meneteskan air matanya saat ia mengingat perlakuan tidak adil padanya.

"Jaejin-a, maafkan eomma."

.

.

.

.


Jelek? Gaje? mending dihapus atau lanjut? maka dari itu kirim review kalian pada fanfic ini yaa teman-teman ^^

RNR Please...?