Judul : Hogwarts's Bizzare Love
Fandom : Harry Potter
Timeline: Tahun keenam Harry dkk di Hogwarts.
Pairing : Ginny-Harry - OC?
Disclaimer: Mayoritas karakter dan istilah yang dipergunakan di sini adalah ciptaan Master JK.Rowling.
Aku cuma nambahin seorang karakter rekaan sebagai salah satu tokoh utama yang bernama Madeline dan beberapa karakter yang numpang lewat sebagai anggota utama tim Quidditch Slytherin, juga sedikit tambahan istilah untuk mendukung cerita. Sebenernya aku ga puas ama pairing Harry-Ginny yang bagiku terlalu tiba-tiba. So, aku pengen tau gimana kalau kita belokkan dikit. Gimana kalau ada sedikit riak kecil dalam pairing dari Master J.K. Rowling ini?
Perlu diingat : Fanfic ini berkaitan dengan buku keenam "Harry Potter And The Half Blood Prince." Secuplik kisah di sana akan disuguhkan dari sudut pandang yang berbeda dan ada beberapa missing scene yang belum terjawab, juga banyak kisah baru yang pure created by me. Beda ama Dramione Apocrief yang bagus banget di tret sebelah, umpatan2 di fanfic ini termasuk sopan (coz aku ga tega mau pake kata2 kasar. Hehehe). So, ratingnya bolehlah 13+. Ni fanfic pertamaku dan aku nyadar betul kalo masih banyak sekali kekurangan. Yang mau komen, boleh banget. Yang mau kasi saran, kritik, masukan, pujian (kalo ada, hehe) juga yuuuk mari. Hope you'll enjoy.
Tips Penting : Biar kalian yang baca ga cape, ada baeknya kalo disimpen dulu dalam flashdisk (terutama buat yang ngenet di warnet) and ntar dicopy paste ke Microsoft Word aja, terakhir diprint (kalo perlu sih). Ni biar ngebacanya bisa lebih santai and enak aja. Konflik dalam fanfic ini aku bikin fun and simple buat mengurangi bobot bahasa yang baku.
Thanx to : First, buat temen baekku sedunia yang udah jadi inspirator menulisku selama ini, Yuzuriha a.k.a Luna Lufgut. Special thanx 2 Apocrief buat dukungan, ajaran2, tips2 ama kebaekan hatinya padaku selama ini. Kudoain smoga sukses skripsinya. Buat Ambudaff, muchas gracias atas dorongannya yang bikin aku berani nulis fanfic. Juga buat smua temen2 di HPI yang ga bisa kesebut semua namanya (coz aku ga hafal. Hehe). Last, makaci banget buat my lovely cute little brother atas kesabarannya (yang luar biasa) selama ini. Sori2 aja kalo internet di rumah, aku yang kuasai. Muahahaha ketawa sadis mode on.
Semula ku tak pernah sadar
Kupikir hitam akan slalu kelam
Begitupula putih akan terus cemerlang
Dua hal tak sinergi yang tetap bergejolak
Berkecamuk hingga meremukkan aura perdamaian
Meleburkankan satu dimensi menjadi serpihan
Menampakkan bilur pemudar tak terobati
Juga menghancurkan ketentraman kalbu
Begitulah pemikiran murni polosku
Sampai aku bertemu dirimu
Bagian 1
Hogwarts di senja hari,
Madeline menenteng sapu terbangnya, Windbooster, dengan langkah ringan memasuki stadion. Seragam Quidditchnya yang berwarna kombinasi hijau-perak berkibar tertiup hembusan angin. Angin dingin dan cuaca yang kurang mendukung saat ini tidak mampu menyurutkan langkahnya untuk tetap nekat berlatih. Apalagi pertandingan melawan Griffindor sudah sangat dekat.
Sungguh dia tak tahu kegilaan macam apa yang mampu menggerakkan hatinya untuk berlatih di stadion. Dia bisa saja berlatih ringan di sebuah tanah lapang di sisi terluar hutan terlarang, tempat latihan favoritnya selama ini. Namun entah bagaimana, tiba-tiba saja dia ingin sekali berlatih di stadion, Walau sebenarnya dia tahu betul kalau sore ini stadion sudah menjadi jatah tempat berlatih tim Griffindor dan tentu saja mereka tidak akan senang melihat kehadiran dirinya.
"Sial! Mereka masih saja berlatih," umpat Madeline saat memergoki beberapa orang berseragam merah-emas terbang melesat kesana-kemari dan mempertujukkan kebolehan mereka mengoper bola satu sama lain di udara.
Buru-buru Madeline bersembunyi di balik salah satu pilar besar yang ada di tribun penonton. Persembunyiannya ini berada cukup jauh dari tempat tim Griffindor berlatih dan sangat memungkinkan bagi Madeline untuk mengintip progam latihan mereka dengan seksama tanpa ketahuan.
Tentu Urquhart, kapten tim Slytherin, akan senang sekali kalau Madeline bisa memberi bocoran strategi apa yang dipakai tim Griffindor dan juga kelemahan-kelemahan mereka. Gadis itu sadar kalau sekarang kondisi tim Slytherin sedang gawat. Seeker andalan mereka, Malfoy, sering bolos latihan tanpa alasan jelas. Belum lagi Chaser yang juga pencetak skor terbaik mereka, Vaisey, mendapat kecelakaan parah siang ini saat latihan dan dikhawatirkan dia tidak bisa bertanding besok. Semua itu memberi alasan bagi Madeline untuk merasa berhak menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan. Mengesampingkan perasaan bersalah yang mendadak menyelinap di dadanya, Madeline memutuskan untuk terus mengintai.
Mengalahkan Griffindor adalah sesuatu yang sangat prestisius bagi Slythertin. Griffindor sudah mencetak hattrick dengan memenangkan kejuaraan sebanyak tiga kali berturut-turut (walau harus disela dengan penyelenggaraan Turnamen Triwizard di tahun keempat) dan akan sangat bodoh jika Madeline membiarkan mereka merebut gelar juara sekali lagi.
Tidak! Kali ini Slytherinlah yang berhak menjadi juara. Kamilah yang paling pantas mengangkat piala kemenangan di akhir musim nanti. Bukan Griffindor atau siapapun! Slytherin yang akan membuat Griffindor menjadi pecundang besar musim ini. Tunggu saja!
Di kejauhan, pasangan Beater baru Griffindor, Peakes dan Coote, terbang menukik saling bersilangan dan menghalau serbuan sepasang Bludger dengan beberapa kali pukulan ganas, membuat Bludger-Bludger itu terbang dengan bunyi desing mengerikan dan menghantam keras dua sisi tembok stadion secara bersamaan. Susah payah Madeline menahan diri untuk berdecak kagum. Dulu dia sempat mengagumi kehebatan dua Beater Griffindor sebelumnya, Fred dan George Weasley. Kedua Beater baru ini memang belum pantas disejajarkan dengan pasangan kembar itu, tapi tetap saja mereka tidak bisa diremehkan.
Tak lama, Madeline mengalihkan perhatiannya dari para Beater ke Keeper Griffindor, Ronald Weasley, dan langsung terkikik geli.
Jadi ini Keeper pengganti Oliver Wood yang terkenal itu. Penampilannya sama sekali jauh dari kata mengesankan. Madeline bertanya-tanya dalam hati mengapa orang setolol itu bisa terpilih menjadi seorang Keeper, posisi yang sangat penting dalam Quidditch di bawah posisi seorang Seeker.
Dengan Keeper idiot semacam ini, Griffindor akan kebobolan banyak angka dan memaksa Seeker mereka untuk lekas-lekas menangkap Snitch sebelum tim lawan mencetak dua ratus poin.
Selain harus berusaha keras agar tidak terus-menerus menangkap angin alih-alih bola, Weasley nampaknya harus belajar membedakan mana kawan dan mana lawan. Madeline menyeringai sinis saat menyaksikan Weasley membentak semua Chaser yang baru saja mencetak gol ke gawangnya seolah-olah kegagalannya menangkap bola adalah karena kesalahan para Chaser itu sendiri.
"Konyol sekali!" gumam Madeline.
Baik. Jadi kelemahan terbesar tim Griffindor ada pada Keeper mereka. Beri dia serangan bertubi-tubi. Buat dia gugup dan frustrasi. Hancurkan konsentrasinya sekaligus alihkan perhatian semua anggota tim dari strategi menyerang menjadi bertahan. Buat mereka pontang-panting di daerah pertahanan mereka sendiri.
Madeline menyipitkan kedua matanya. Terbayang bagaimana Urquhart akan memujinya jenius.
Bagus sekali, Madeline! Dengan begini kapten sekaligus Seeker Griffindor akan lebih mengkhawatirkan gawangnya sendiri daripada Snitch. Malfoy akan lebih leluasa mencuri kesempatan untuk menangkap Snitch. Kita akan menang dengan gemilang!
Perkataan Urquhart dalam bayangannya ini seakan menonjok ulu hati Madeline. Tidak. Bukan ini yang diinginkan gadis itu. Dia tahu kalau perbuatannya ini salah besar. Bagaimanapun Quidditch justru akan lebih menarik kalau tidak ada kecurangan. Dia memang tidak senang kalah dari Griffindor, tapi bukan begini caranya. Memenangkan pertandingan secara sportif tentu akan lebih membanggakan.
Madeline menarik nafas panjang. Detik berikutnya dia berusaha keras memblokir semua pemikiran buruk tentang bagaimana cara-cara licik memenangkan pertandingan besok. Sesaat kemudian tubuhnya merosot lemas di ubin batu yang dingin dan menyesali pernah berpikir untuk berbuat curang seperti ini.
Seorang Slytherin seharusnya pantang menyesal. Apalagi jika sudah terlanjur melakukan perbuatan yang akan mendatangkan keuntungan bagi mereka dan merugikan orang lain di satu sisi. Teman-teman satu timnya pasti akan mencemooh habis-habisan kalau tahu Madeline mengurungkan niat yang sudah ada di depan mata. Mereka semua pasti akan menganggapnya idiot.
Tapi tak ada seorangpun yang tahu atau tidak akan pernah tahu, kalau berulangkali Madeline menyesali keputusannya memilih masuk ke asrama Slytherin.
"Seharusnya aku memilih Ravenclaw," keluh Madeline.
Keluhan ini sudah dihafal Madeline di luar kepala setiap kali merasa dirinya sedang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya. Ravenclaw mungkin tidak lebih baik dari Slytherin atau Griffindor, tapi siapa tahu dia bisa menemukan jati diri di sana.
Ingatan Madeline terbang ke masa dimana dia baru saja melangkahkan kaki memasuki aula besar bersama rombongan murid baru yang lain. Dia masih belum lupa bagaimana telapak tangan dan kakinya berkeringat dingin. Juga desahannya setiap kali menyaksikan seorang murid baru telah selesai diseleksi dan segera bergabung ke salah satu meja panjang diiringi sorak-sorai kawan-kawan satu asramanya. Saat itulah Madeline merasa kecemasan terbesar dalam hidupnya baru saja datang menghampiri.
Rasa nervous parah seketika menderanya saat Professor McGonagall memanggil nama "Madeline Ambrosia…" dengan nama belakang berawalan L yang sesungguhnya sangat membebani Madeline selama ini. Tak terbayang bagaimana malunya saat dia maju dan berdiri di muka aula besar. Seketika itu pula Madeline merasakan hujaman sorot tak bersahabat dari semua orang. Tapi mungkin itu hanyalah halusinasi belaka, mengingat saat itu kepalanya tertunduk dalam-dalam demi menghindari kontak mata dengan siapapun. Professor McGonagall terpaksa harus meminta gadis itu untuk sedikit mengangkat kepala agar Topi Seleksi tidak tergelincir saat menyeleksinya.
"Sedikit membingungkan…" sahut Topi Seleksi serta merta setelah bertengger di kepala Madeline, "…kau punya bakat besar, kecerdasan luar biasa untuk diasah dan kepercayaan diri tinggi. Kau tentu cocok di Ravenclaw…"
"Itu tidak mungkin!" balas Madeline cepat-cepat.
"Kenapa?"
Madeline menjawab dengan ragu-ragu, "Karena… karena seluruh keluargaku masuk Slytherin. Orangtuaku juga Slytherin. Kurasa mereka sangat menginginkanku masuk asrama yang sama."
"Benarkah?" Topi Seleksi menanggapi pernyataan Madeline dengan nada heran yang kentara. "Kupikir kau memang punya kecenderungan ke arah situ. Kau punya ambisi besar, sangat haus perhatian, dan kau sangat menginginkan kekuasaan. Kau selalu ingin mendapatkan pengakuan kalau dirimu sangatlah penting."
"Jadi?"
"Tetap saja kau akan lebih baik di Ravenclaw. Percayalah!"
"Masukkan aku ke Slytherin!" seru Madeline dan menyambung cepat-cepat, "Kumohon!"
"Kau yakin?"
Jawaban yang tepat adalah TIDAK. Namun Madeline merasa dia tak punya pilihan lagi. Dia tak ingin dipermalukan beramai-ramai oleh keluarga besarnya yang terhormat dan berdarah murni. Menjadi penghuni Slytherin sudah menjadi sebuah tradisi bagi keluarganya. Dan pasti akan aneh rasanya kalau hanya Madeline seorang yang tidak mengikuti tradisi ini. Karena itulah dia menjawab, "Tentu saja!"
Topi Seleksi mengalah dan meneriakkan kata Slytherin dengan sangat lantang. Teriakan ini dibalas dengan suara gemuruh dari arah meja panjang Slytherin. Tak diragukan lagi, mereka semua sangat senang menyambut kehadiran Madeline di tengah-tengah mereka. Walau gadis itu berusaha terlihat senang menerima sambutan meriah ini, tak pelak dia berpikir kalau keramahan di meja Slytherin adalah berkat nama belakangnya, tak lebih.
Susah payah Madeline meladeni semua uluran tangan kawan-kawan seasramanya. Zabini, Goyle, Crabbe, Parkinson dan banyak lagi nama-nama yang berebut ingin berkenalan dengannya. Kemudian suara bernada angkuh datang menyapa dan membuat gadis itu tertegun.
"Sudah kukira kau akan bergabung di sini bersamaku, sepupuku, Madie. Selamat datang!"
"Terima kasih, Draco," balas Madeline sambil nyengir terpaksa.
Dia tak tahu lagi harus bagaimana menanggapi seringai puas di wajah pemuda berambut pirang dan berhidung runcing yang sedang berdiri tepat di hadapannya saat ini. Draco dan semua penghuni asrama Slytherin tak tahu apa yang sudah diperbuat Madeline demi bergabung dengan mereka semua.
Suasana hening yang tidak mengenakkan membangunkan Madeline dari lamunannya. Saat tersadar, gadis itu segera bangkit dan celingukan mencermati keadaan sekeliling. Lapangan sudah tampak kosong melompong. Tim Griffindor pasti sudah selesai berlatih dan kembali ke asramanya.
Setelah memastikan tidak ada seorangpun selain dia di stadion, Madeline keluar dari tempat persembunyiannya dan melangkah menuju ke arah lapangan. Kali ini gilirannya berlatih.
Langit yang sudah gelap dan berada seorang diri di tempat sebesar ini membuat hati Madeline sedikit ciut. Dia merasa seakan-akan ada seorang yang sedang menguntitnya saat mendengar gema dari langkah kakinya sendiri.
Lalu ketika gadis itu mendongak, mengamati langit-langit lorong stadion yang tinggi dan berdebu, dia berpikir kalau dia tak layak berada di sini. Tentu saja dia tak layak. Hasil uji coba Quidditch telah dimanipulasi sedemikian rupa agar gadis itu bisa menjadi salah satu anggotanya. Andaikan tidak dimanipulasipun, Madeline yakin dia tetap bisa bersaing. Kemampuan terbangnya lumayan. Hanya saja dia punya sebuah alasan krusial yang membuatnya tidak cocok menjadi seorang atlet Quidditch.
Langkah Madeline terhenti di ujung lorong stadion. Hamparan rumput telah menyambutnya. Begitupula dengan gawang berbentuk tiga buah lingkaran bertiang tinggi di kedua sisi lapangan yang tampak sedang menantikan gol-gol spektakuler malam ini.
Dalam suasana suram begini dan hanya mengandalkan sedikit penerangan sinar bulan purnama, lapangan Quidditch telah berubah serupa lautan permadani abu-abu. Hawa dingin semakin menusuk saja. Madeline membenahi kerah jubahnya agar lehernya tidak terasa kebas. Tak lama kemudian dia menggigil. Bukan hanya karena kedinginan, dia juga merasa seseorang sedang mengawasinya diam-diam.
"Kurasa seharian menguasai stadion tidak membuatmu puas, Lestrange," tegur suara bernada dingin dari arah belakang.
Madeline menelan ludah dengan kesulitan. Dia kenal betul suara siapa ini. Bagaimana tidak? Hanya mengamati sosok pemilik suara ini dari kejauhan saja sudah mampu membuat gadis itu sesak nafas dan gemetar tak karuan. Apalagi kalau dia diberi kesempatan untuk bisa saling berhadapan dengannya.
Ragu-ragu, Madeline berbalik dan mendapati seorang pemuda bertubuh tegap dan berambut gelap agak awut-awutan sedang duduk meluruskan kedua kaki sambil menatapnya tajam-tajam dari balik kacamata bulat. Poni berantakan di dahinya sedikit terkuak dan menampakkan luka berbentuk sambaran petir yang melegenda, kenang-kenangan mengerikan dari Yang Mulia Pangeran Kegelapan.
Dalam hati, Madeline merutuk, menyesali kebodohannya. Bagaimana bisa dia berjalan melewati pemuda itu tanpa sadar? Pada situasi normal, biasanya Madeline segera kabur entah kemana dan sembunyi-sembunyi mengamati semua gerak-gerik pemuda itu. Di saat mereka berdua berpapasan tanpa sengaja di salah satu koridor sekolah, Madeline selalu lekas-lekas berjongkok untuk berpura-pura membetulkan tali sepatunya yang tidak terlepas, dan bergegas bangkit hanya untuk mengamati punggung pemuda itu setelah dia melewatinya begitu saja.
Madeline sudah terbiasa tak diacuhkan oleh pemuda Griffindor ini, yang selalu mendengus dan membuang muka setiap kali mereka bertemu. Namun kejadian di akhir tahun lalu membuat pemuda Griffindor yang diam-diam dikaguminya ini berubah drastis. Dia tak lagi mengabaikan kehadiran Madeline ataupun hanya sekedar membuang muka. Sebaliknya, dia malah menggunakan setiap pertemuan mereka untuk menghujani gadis itu dengan tatapan mengadili yang sangat-sangat tidak mengenakkan. Akibatnya Madeline selalu merasa seolah-olah dia adalah sampah tak berharga di mata pemuda itu. Perasaan menyakitkan yang ironisnya datang dari sosok yang selalu dipujanya sejak tahun pertamanya di Hogwarts.
"Err…" Madeline membasahi bibirnya dan melanjutkan dengan suara mengambang. "Itu sama sekali bukan urusanmu, Potter!"
"Benar. Itu memang bukan urusanku," sahut Harry seraya bangkit dan membersihkan butiran-butiran tanah yang menempel di bagian belakang celananya. "Tapi tetap saja aku ingin tahu."
Madeline menahan nafas. Harry berjalan menghampirinya tanpa menyadari kalau setiap senti jarak yang tersisa di antara mereka membuat jantung Madeline semakin berdebar kencang tak terkontrol. Meski penerangan sangat minim, Madeline masih saja mampu mengagumi betapa gagahnya Kapten Griffindor ini. Dada yang bidang, sorot mata tajam dan suara tegas penuh wibawa membuat Madeline semakin terlarut dalam aura pesona Harry. Untung saja, Harry menghentikan langkahnya sekitar semeter dari tempat Madeline berpijak. Kalau tidak, pasti gadis itu sudah mendapat serangan jantung dadakan.
"Apa alasanmu kemari?" tuntut Harry.
Madeline terhenyak. Semula dia berimajinasi kalau Harry akan melontarkan pertanyaan penuh perhatian seperti "Apa kabar?" atau "Bagaimana latihanmu tadi?". Tapi tentu saja Harry tidak akan bertanya hal-hal baik seperti itu. Sebaliknya, dia malah hendak menginterogasi Madeline.
"Aku… tidak… " Madeline gelagapan.
Mereka belum pernah ngobrol selama ini, hanya saling melempar tatapan benci sebagaimana murid-murid Slytherin dan Griffindor lain. Berduaan dengan Harry di dalam kegelapan dan dengan posisi sedekat ini membuat Madeline gugup bukan main. Wajahnya memanas dan pipinya merona. Dadanya terasa semakin sesak akibat jantungnya berdebar semakin hebat. Cepat-cepat dia berusaha menguatkan diri. Dia murid Slytherin bukan? Maka dia harus bertingkah seperti Slytherin pada umumnya, bersikap angkuh dan provokatif.
"Kau mengintip latihan timku, kan?" tuduh Harry tanpa menunggu Madeline menyelesaikan ucapannya. "Well, cerdik sekali. Benar-benar tipikal seorang Slytherin sejati. Aku tak heran orang sepertimu bisa masuk tim Quidditch. Sungguh, aku tak heran!"
Sindiran tajam dari Harry membuat Madeline tak mempercayai pendengarannya. Dia beranggapan pemuda seperti Harry tidak akan mungkin berkata setega ini kepada siapapun, namun ternyata selama ini dia sudah dibutakan.
"Taktik kotor macam apalagi yang kalian jalankan? Setelah berhasil menguasai lapangan selama seharian penuh dengan bantuan Kepala Asrama kalian yang baik hati itu, dan juga menggusur waktu latihan kami sekaligus mengacaukan jadwal latihan yang sudah kususun dengan susah payah, sekarang kau bahkan memata-matai latihan kami!"
"Tidak…"
"Sebegitu inginnya kalian menang sampai-sampai harus menghalalkan segala cara seperti ini. Hebat! Brillian!"
"Kau salah…"
"Kau yang salah besar!" sambar Harry emosi. "Kau kira kami akan kalah dengan kelicikan kalian ini. Tidak! Sebaliknya kami yang akan menghantam kalian telak. Kalian hanya pengecut kotor yang hanya bisa memanfaatkan otak kalian untuk perbuatan curang dan tak terpuji. Kalian sangat menyedihkan!"
"Terserah kau mau ngomong apa. Yang jelas aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu, tahu!"
Harry tersentak kaget. Mendadak kedua tangan Madeline mencengkram kerah jubahnya dan menariknya erat. Tinggi gadis itu hanya sebatas telinga Harry dan dia tampak sama sekali tidak takut jika harus berkontak fisik dengan anak laki-laki.
"Aku tidak mengintai kalian walau aku sangat ingin melakukannya, jelas?" Madeline melotot. "Okelah. Aku datang di saat latihan kalian hampir selesai dan aku sempat mengintip sedikit. Tapi aku sama sekali tidak bermaksud mencuri tahu apa strategi kalian untuk pertandingan besok."
"Itu tak ada bedanya," kata Harry geram dan balas melotot. "Tetap saja kau melihat latihan kami."
"Memang. Tapi apa yang sudah kulihat tak akan banyak berguna. Hanya buang-buang waktu saja mengintip tim Griffindor yang payah. Jangan besar kepala dulu, Potter! Tak ada yang bisa dibanggakan dari timmu yang berisi kumpulan orang-orang konyol yang sepertinya baru saja belajar naik sapu hari ini. Terutama setelah aku melihat performa Keeper kalian yang 'luar biasa' itu. Dia sukses membuatku mual," cecar Madeline.
Madeline sudah kehabisan kesabaran. Tak peduli siapapun, Sang Terpilih atau apa. Tak ada yang boleh memperlakukan dirinya seperti seekor binatang hina. Namun detik berikutnya dia menyesal sudah berkata sekasar itu. Ucapan-ucapan penebar kebencian yang dipelajarinya dari Draco malah membuat perasaan bersalahnya semakin dalam.
Sontak Harry bungkam. Ucapan gadis di depannya ini terasa baru saja menghantamnya tepat di kepala. Gadis ini benar. Tim Griffindor sedang tidak berada dalam performa terbaik. Dia memang memiliki anggota tim berpotensi dengan kualitas yang sangat dibutuhkan untuk memenangkan kompetisi pertamanya sebagai kapten. Namun masalah internal mengacaukan segalanya. Ketidakpercayaan diri Ron telah menghancurkan tim mereka secara psikologis. Semua keluhan dan gerutuan Ron tentang betapa payahnya dia membuat Harry frustrasi. Sangat frustrasi hingga tak mampu lagi berpikir jernih dan malas kembali ke asrama untuk menemui kawan-kawannya.
"Apa perkataanku salah?" tanya Madeline lirih.
Melihat ekspresi terpukul Harry membuatnya merasa tidak enak. Seperti ada sesuatu yang menyakitkan menyelubungi sekujur tubuh gadis itu dan kemudian menyerbu masuk melalui seluruh pori-porinya untuk mengacaukan sistem kerja organnya. Dia merasa begitu buruk. Perlahan-lahan dia melepaskan cengkraman tangannya pada kerah jubah Harry.
"Maafkan aku, Potter…"
Harry mendelik. Wajahnya begitu menakutkan hingga membuat Madeline mundur dua langkah dengan perasaan semakin tak karuan. Tapi dia tetap saja bungkam, hanya terus mencermati ekspresi ketakutan Madeline dengan sorot tak bersahabat.
Dalam hati Harry keheranan. Kenapa dia tak bisa menumpahkan segala kebenciannya kepada gadis ini? Bukankah gadis ini membawa darah dari seorang pembunuh keji, Bellatrix Lestrange, wanita kejam yang telah membunuh orang yang paling berharga dalam hidupnya, Sirius.
Ingatan tentang kejadian mengerikan itu tidak akan pernah terhapus begitu saja. Harry sendiri menyaksikan bagaimana kekejaman Bellatrix saat meluncurkan kutukan tak termaafkan paling sadis kepada Sirius dan membuat walinya itu kemudian pergi menghilang untuk selama-lamanya, mati menyedihkan tanpa pernah diketahui dimana jasadnya. Kepedihan ini selalu saja menghantui Harry, terutama setiap kali dia melihat Madeline.
Madeline Lestrange. Walaupun dia membawa nama belakang seorang pelahap maut sadis, tapi penampilan gadis itu sama sekali tidak menampakkan kalau mereka punya pertalian darah. Rambutnya lurus dan berwarna coklat keemasan, bukan keriting coklat gelap seperti ibunya. Matanya yang hijau jamrud punya sinar memukau dan menentramkan, sama sekali berbeda dengan mata Bellatrix yang haus darah. Begitu pula dengan bentuk rahangnya yang mungil dan halus, berlawanan dengan rahang kuat milik wanita pembunuh Sirius. Saat mata Harry menjelajahi wajah Madeline, dia menemukan paras bersih tanpa jerawat itu berwarna cerah dan semakin membedakannya dengan kulit gelap Bellatrix.
Terdengar suara lembut di dalam kepala Harry.
Gadis ini bukan Bellatrix. Bukan dia yang membunuh Sirius. Dia tak bersalah sama sekali.
Kali ini suara bernada dingin dan kasar segera menyahut.
Tapi dia putrinya. Dia anak seorang pelahap maut jahat yang sangat loyal terhadap Voldemort. Tak ada jaminan dia tidak akan mengikuti jejak ibunya. Suatu saat nanti dia pasti akan menjadi seorang pelahap maut. Dia juga akan membunuh banyak orang nantinya, sama seperti Bellatrix. Ingat, dia Slytherin.
"Kau baik-baik saja?" usik Madeline.
Seketika Harry tersadar.
"Tidak! Aku sama sekali tidak baik-baik saja, tahu!" semprotnya.
Madeline kaget, dan Harry senang melihat wajah gadis itu semakin pucat pasi. Mungkin memang amarah Harry salah sasaran. Madeline yang sudah sangat lama terpisah dari ibunya dan tentu saja dia tak terlibat sama sekali dalam pembunuhan Sirius ataupun punya kaitan dengan gerakan para Pelahap Maut, hanyalah berperan sebagai pelampiasan kemarahan Harry.
Tuduhan mengintai latihan tim Griffindor adalah kamuflase belaka. Sangat wajar jika sebuah tim terkadang diam-diam mencari tahu seberapa kuat calon lawan mereka. Sebenarnya, Harry hanya mencari-cari alasan untuk melancarkan kegundahan hatinya selama ini.
Sirius telah pergi. Ya, dia telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan Harry seorang diri. Harry tak tahu lagi kepada siapa dia harus menyalurkan kesedihan dan kemurkaannya. Kematian Sirius telah begitu parah melukai dirinya dan Harry tahu betul tak akan ada yang mampu mengembalikan Sirius lagi. Ini semua karena ulah Bellatrix, ibu Madeline.
Meneriaki Madeline dengan kata-kata pedas membuat perasaan Harry sedikit lega. Apalagi melihat gadis itu diam tak berdaya, hanya menggigit bibirnya dan mengepalkan kedua tinjunya kuat-kuat tanpa ada keinginan untuk membalas perbuatan Harry.
"…kau dibesarkan dengan darah kotor mengalir di setiap nadimu. Darah seorang pembunuh keji, lebih tepatnya begitu…!"
Madeline masih saja diam seribu bahasa. Rahangnya terkatup semakin rapat.
"…kau turunan orang-orang terburuk yang pernah ada…!" lanjut Harry. "…bahkan kau tak akan pernah lebih baik dari semua leluhur busukmu!"
Wajah Madeline merah padam menaham marah.
"Kau, ibumu, beserta seluruh saudara sedarahmu kecuali Sirius adalah keluarga terkutuk! Seharusnya kau menyesal pernah dilahirkan di dunia ini! Camkan itu baik-baik!"
Nafas Harry memburu. Tak lama kemudian, dia berusaha mengatur nafas. Dadanya sudah berangsur-angsur ringan. Semua umpatan dan caci maki sudah dia lontarkan kepada gadis dengan nama belakang Lestrange yang masih kukuh berdiri tegak di depannya ini. sekarang Harry terdiam, menanti bagaimana reaksi Madeline. Apakah dia akan menangis, balas marah atau tertawa sinis seperti yang sudah jamak dilakukan oleh Malfoy dan kawan-kawan sesama Slytherinnya?
"Kau sudah puas, Potter?"
"Apa?"
Madeline menarik nafas panjang. Tangannya bergerak memegangi dadanya seolah sedang menahan jantungnya yang hampir meloncat keluar.
"Kutanya kau sekali lagi. Apa kau sudah puas sekarang?"
"Belum," jawab Harry sekenanya. "Sampai pembunuh Sirius mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya."
"Jadi kau ingin melihat kematian?" tanya Madeline tajam. "Kau menginginkan kematian ibuku untuk menebus kematian walimu?"
"Kau atau ibumu yang akan mati duluan, tak ada bedanya untukku. Aku hanya ingin kalian merasakan bagaimana besar rasa kehilangan yang kualami. Begitu perih dan menyakitkan! Kau tak akan pernah tahu seperti apa rasanya kehilangan seseorang yang sangat peduli padamu. Tak ada yang pernah tahu bagaimana kesedihanku!" hardik Harry tanpa pikir panjang.
"Kalau aku yang mati, apakah ini artinya dosa ibuku sudah tertebus?"
"Mungkin tidak bagi orang-orang yang juga kehilangan keluarga dan seseorang yang mereka sayangi akibat ulah ibumu beserta kroni-kroninya. Tapi untukku itu cukup setimpal. Ibumu sudah membuatku kehilangan orang yang sangat kusayangi, maka aku ingin dia juga merasakan hal yang sama denganku."
Madeline mengangguk pelan. Kali ini dia tersenyum pahit.
"Aku mengerti…"
Harry yang merasa amarahnya sudah mereda dan moodnya kembali pulih, berpikir kalau tak akan berguna menghabiskan waktu berlama-lama dengan putri seorang pembunuh. Maka dia bergegas meninggalkan Madeline sambil sengaja menabrakkan bahunya keras-keras saat melewatinya.
"Semoga Tuhan memberkatimu, Potter."
Harry mendengus. Dia sudah tak mau tahu dan juga tak ingin lagi berurusan dengan Madeline. Namun ketika dia baru saja melangkahkan kaki sejauh dua-tiga meter, terdengar suara sesuatu terjatuh dari arah belakang.
"Lestrange?"
Harry terkesiap. Dia berbalik dan menemukan tubuh Madeline terkapar di atas hamparan rumput. Wajah gadis itu benar-benar pucat dan nafasnya megap-megap. Kedua belah telapak tangannya menekan bagian dada, seperti berusaha menahan rasa sakit yang tak terkira.
"Kau kenapa?" tanya Harry panik.
Tergopoh-gopoh, Harry menghampiri Madeline dan berjongkok mencermati keadaan gadis itu. Sambil berharap apa yang dilakukannya benar, Harry mengangkat kepala Madeline dan memposisikannya lebih tinggi dari badan. Tanpa pikir panjang, Harry menggunakan pahanya sendiri sebagai bantal untuk kepala Madeline.
Sementara itu, Madeline merasa kepalanya sangat berat. Dadanya sesak sekali dan terasa sakit seperti baru saja dihujani tusukan pedang secara bertubi-tubi. Dia kesulitan bernafas. Kerongkongannya seperti terbakar saat dipaksa untuk bernafas.
"Katakan kau kenapa, Lestrange?" Harry mengulangi pertanyaannya, semakin panik saja.
"Kau bilang, kau ingin aku mati saja…" bisik Madeline terpatah-patah. "Keinginanmu akan segera terkabul."
"Apa?" Harry tersentak.
Sungguh, Harry tidak punya maksud apapun saat berkata demikan. Dia hanya ingin Madeline tahu seberapa dalam rasa sakit hatinya karena kepergian Sirius. Dia hanya ingin menyalahkan seseorang atas kematian walinya itu. Harry tidak pernah berpikir kalau Madeline menganggap semua ucapan ini serius.
"Kau tak perlu bunuh diri untuk menebus kesalahan orang lain!" teriak Harry agak histeris.
Harry mengedarkan pandangan ke segala arah. Mencari di mana tongkat, pisau ataupun racun yang digunakan Madeline untuk menyakiti dirinya sendiri. Tapi dia tak menemukan apapun di sekitar mereka.
"Aku…tidak bunuh diri. Ini…penyakit jantung…bawaan…" kata Madeline agak tersengal. "Sering terjadi… kalau aku… shock berat… atau kelelahan."
"Kau punya penyakit jantung?" Harry semakin terkejut. "Tapi kau bisa masuk tim Quidditch?"
Madeline mengangkat sebelah alisnya dan nyengir, "Aku merekayasa… hasil test kesehatan… pada saat uji coba."
"Kenapa kau sebodoh itu?"
"Kupikir…Quidditch sangat keren."
Harry menggelengkan kepala tak percaya. Ternyata ada juga orang nekat yang bersedia mempertaruhkan nyawa demi masuk tim Quidditch. Tanpa berlama-lama, dia segera membantu Madeline duduk dan bersiap hendak memapahnya.
"Ayo! Kita harus segera ke Madam Pomfrey secepat mungkin."
"Aku… akan mati… dalam perjalanan, Potter," tolak Madeline yang bertahan dalam posisi duduknya.
"Jangan bilang begitu!" sergah Harry. "Bertahanlah!"
Wajah Madeline semakin pucat hingga nyaris menyerupai patung lilin. Harry merasakan denyut nadi gadis itu semakin melemah saat meraih pergelangan tangannya. Begitu pula nafasnya yang semakin tak terdengar.
Tanpa sadar, Harry menggigit bibirnya. Belum pernah dia merasa menyesal sedalam ini. Bukanlah sebuah kesalahan jika Madeline dilahirkan dari seorang pembunuh berdarah dingin. Tentu dia tak bisa memilih siapa orang yang pantas melahirkannya ke dunia, kan? Apalagi selama ini gadis itu tidak pernah berbuat jahat kepada Harry. Lalu kenapa Harry mampu menyakiti Madeline dengan begitu mudah? Mengapa dendam kesumat bisa mengalahkan akal sehatnya? Jika Madeline benar-benar mati karena semua perkataan kejam tadi, maka secara tak langsung Harry telah menjadi seorang pembunuh. Ya, dia akan menjadi seorang pembunuh sama seperti Bellatrix.
"Apa… yang kau… lakukan?" tanya Madeline lirih.
"Mencoba memberimu nafas buatan," jawab Harry cepat. "Wajahmu mulai membiru karena kurang oksigen. Kukira hanya ini cara satu-satunya untuk menolongmu…"
Kini wajah Madeline berubah menjadi ungu. Tak lama lagi mungkin jantungnya akan berhenti berdetak jika Harry tidak lekas-lekas menjauhkan wajahnya dari wajah Madeline. Saat nafas Harry yang hangat menerpa kulit mukanya, jantung Madeline semakin meronta-ronta kuat. Dan ketika mata mereka semakin lekat, kepala Madeline terasa ringan, dia ingin pingsan saja.
"Hentikan!"
Mendadak tinju Madeline meluncur deras ke muka Harry. Meski tidak terlalu kuat, namun sanggup membuat pipi kanan Harry seakan mati rasa.
"Aww!" pekik Harry kesakitan sambil memegangi pipi kanannya. "Sakit, tahu!"
Raut muka Madeline berubah masam. Kenapa pemuda ini bodoh sekali sih?
"Aku… bawa obat," tukas Madeline dengan suara parau.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!"
"Kukira… kau serius… ingin aku mati," kilah Madeline putus-putus. "Ada… di saku jubah…"
Serta merta, Harry menggeledah kedua saku jubah Madeline. Namun dia hanya menemukan beberapa butir kacang segala rasa dan coklat kodok di saku kiri, juga sekeping Galleon dan tongkat sihir milik Madeline di saku kanan. Tidak ada sebutir kapsul ataupun tablet obat yang dimaksud Madeline.
"Tidak ada obat!"
Kali ini Harry benar-benar histeris. Apalagi saat Madeline menanggapi enteng, "Mungkin jatuh… di suatu tempat…"
Harry memegangi kepalanya yang seketika terasa pening dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya menyangga tubuh Madeline agar tetap duduk tegak. Madeline keheranan melihat tingkah Harry.
"Sekarang katakan apa yang harus aku lakukan, Lestrange! Aku tidak bisa membiarkanmu mati, tidak seperti ini!"
Madeline memutar bola matanya, hampir menyerah karena kebodohan Harry. Sementara itu, dia semakin kesulitan bernafas
"Gunakan otakmu…Potter!"
Dengan tangan gemetar, Madeline memungut tongkatnya sendiri yang tadi dilemparkan Harry begitu saja saat mencari-cari obat.
"Accio!"
Harry terpana. Kenapa dia sama sekali tidak berpikir sampai kesana? Kepanikan bukan main telah membuat otaknya tidak mampu berpikir secara jernih. Aneh sekali, mengingat setiap kali dia berhadapan dengan bahaya, dia selalu mampu bersikap tenang dan mengambil langkah-langkah tepat yang nyaris tak pernah salah. Hampir setiap tahun Harry selalu berurusan dengan seseuatu yang membahayakan jiwa, tapi dia selalu lolos dari maut. Lalu mengapa di depan gadis yang semula mati-matian dibencinya ini, semua kehebatan itu sirna?
Jauh di atas sana sesuatu yang mungil melesat menuju ke arah mereka. Harry baru bisa melihat dengan jelas wujud benda itu saat mendarat mulus di atas telapak tangan Madeline. Sebuah botol kecil berisi ramuan berwarna merah berpendar. Cepat-cepat Harry meraihnya dan melepas sumbat botol mungil itu, lalu segera membantu Madeline meminumnya.
Tak sampai lima detik, wajah Madeline sudah cerah kembali, dan bahkan merona merah seperti tomat. Dia mulai bisa bernafas normal seperti semula. Tampak gadis itu sudah membaik.
"Kau sudah bisa menjauhkan tanganmu dariku, Potter."
Agak kaku, Harry beranjak menjauh dari Madeline dan tanpa ragu lagi mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu berdiri. Walau heran, Madeline menyambut uluran tangan Harry dan berdiri dengan sedikit kesulitan.
"Well… " Harry kesusahan menemukan kata yang tepat. "Senang melihatmu sudah baikan, Lestrange."
"Terima kasih, Potter," balas Madeline riang. "Kau tahu, kau bisa memanggilku Madeline atau Madie jika kau mau. Kukira nama belakang berawalan L milikku sangat mengganggumu selama ini."
"Kau benar," kata Harry pelan. "Dengan begini, aku bisa menilaimu sebagai dirimu sendiri, Madie."
Madeline tersenyum manis, "Aku senang sekali, Potter."
"Panggil aku Harry saja. Teman-temanku memanggilku begitu."
"Tapi aku bukan temanmu," Madeline menggeleng muram.
"Mulai sekarang kau temanku."
Sontak Madeline membekap mulutnya sendiri, tak percaya dengan indra pendengarannya. Sekarang dia berteman dengan Harry? Seorang Slytherin berteman dengan salah satu penghuni Griffindor?
"Apakah ini hanya lelucon untuk mengejekku atau apa?" desak Madeline, meski rasa senang sedang menyesaki dadanya dan rasa sesak ini bukan karena serangan jantung. "Kita berdua sama-sama tahu Slytherin dan Griffindor tak akan mungkin akur."
Sekarang Harry yang tersenyum ramah, "Aku melihat jauh ke dalam matamu dan dari sinarnya aku tahu kalau kau berbeda dari kawan-kawanmu. Kau Slytherin yang berbeda."
Madeline tertawa merdu. Tak lama dia menyahut, "Di antara Slytherin yang lain, akulah yang paling tidak beres. Kupikir bahkan aku tidak pantas berada di sana."
Tanpa punya maksud tertentu, Madeline menuturkan rahasia yang selama ini tersimpan rapat, bahwa dahulu dia berada di antara Ravenclaw dan Slytherin, dan dia memilih Slytherin hanya karena tidak ingin mempermalukan diri sebagai satu-satunya Ravenclaw di antara keluarganya yang seluruhnya Slytherin.
"Kalaupun kau memilih Ravenclaw, kau bukan satu-satunya orang yang 'tidak beres' dalam keluargamu, Madie," kata Harry lirih. "Sirius juga begitu. Dia mungkin satu-satunya Griffindor di antara keluarganya yang kebanyakan Slytherin. Kupikir itu bukan suatu keanehan."
"Benarkah?"
Mau tak mau, Madeline kembali merasa bersalah telah mengingatkan Harry kepada Sirius. Kalau Sirius dan ibu Madeline adalah saudara sepupu, maka Sirius boleh dikatakan sebagai paman Madeline.
"Percayalah kalau kau bukan satu-satunya yang pernah berada di antara dua pilihan sulit seperti ini. Dan percayalah sekali lagi kalau kau sudah membuat pilihan yang tepat dengan bergabung ke dalam Slytherin. Mungkin saja kau memang seorang Slytherin sejati. Di sanalah tempat yang paling cocok untukmu," Harry mengingat-ingat kejadian serupa yang juga pernah menimpanya di awal tahun pertama masuk Hogwarts dulu dan sebuah peristiwa besar pada tahun kedua yang memantapkan kalau Griffindor memang paling layak untuknya.
"Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadamu jika saja dulu kau bergabung ke dalam Ravenclaw. Kau punya masalah dengan nama belakangmu yang berawalan L itu."
"Kau benar, Harry," kata Madeline sambil tertunduk lesu. "Tak ada asrama yang akan cocok bagiku dengan nama belakang ini kecuali Slytherin. Mana mungkin anak dari seseorang yang jelas-jelas menyatakan diri sebagai pengikut Pangeran Kegelapan akan diterima dengan tangan terbuka selain di asrama Slytherin, asrama tempat sebagian besar Pelahap Maut berasal."
Harry mengedikkan bahu, "Begitulah."
"Berkat nama belakangku, aku sangat dihormati di sana. Aku tidak bilang aku senang punya seorang ibu yang kaki tangan Kau-Tahu-Siapa. Tapi paling tidak, ini cukup membantuku merasa betah di Hogwarts. Di luar Hogwarts, aku tak punya siapapun, Harry. Aku tidak kenal siapa ayahku dan aku tak pernah bertemu dengan ibuku sejak lama sekali. Ibuku sudah dikurung di Azkaban saat aku baru berusia kurang dari setahun kurasa."
"Aku tak tahu kalau kita 'hampir' senasib. Senasib, karena kita nyaris tak mengenal kedua orangtua kita. Hampir, karena kau masih punya seorang ibu."
"Kita terlahir di tahun yang sama, Harry. Tahun dimana banyak kejadian bersejarah. Pernahkah kau berpikir bagaimana nasib kami, anak-anak dari Pelahap Maut yang tertangkap pada masa itu? Kami juga tak pernah merasakan sentuhan kasih orang tua sepertimu. Mungkin kami lebih menyedihkan darimu karena kami dibesarkan nyaris tanpa cinta, bahkan hanya dendam dan kebencian yang ada. Tapi nasib kami lebih baik darimu karena kami tidak membawa beban besar di pundak untuk menyelamatkan dunia. Itu kalau kau memang benar-benar Sang Terpilih seperti yang diberitakan Daily Prophet kapan hari."
Harry terdiam untuk beberapa lama. Misteri mengapa kebanyakan anak Slytherin bukanlah pribadi yang menyenangkan sedikit terjawab. Siapa tahu Madeline benar. Mereka semua dibesarkan tanpa cinta kasih orang tua.
"Bagaimanapun juga, terima kasih atas kesediaanmu menjadi temanku. Hanya saja kau terlalu gegabah. Kau tak tahu apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar seorang Slytherin sejati seperti yang kau bilang tadi," timpal Madeline. "Apa kau seorang Legilimens handal?"
Harry tergelak, "Tentu saja bukan!"
"Syukurlah. Karena aku juga tidak punya bakat menjadi seorang Oclumens," balas Madeline sambil nyengir geli.
"Um… maukah kau memaafkan aku? Gara-gara ucapanku yang kejam tadi, penyakit jantungmu kambuh. Aku benar-benar menyesal. Aku hanya…"
"Emosi?" Madeline membantu menyelesaikan perkataan Harry.
"Yeah. Emosi. Begitulah," kata Harry sambil menunduk dan menggesek-gesekan sepatunya. "Belum pernah aku meledak separah ini. Kadang emosi membuatku lupa diri. Kau tak tahu siapa orang pertama yang menjadi sasaran amukanku dulu… Dum… Err…"
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Harry. Aku pantas mendapatkan amukanmu. Aku pantas mendapatkan amukan dari semua orang yang menjadi korban kejahatan ibuku…"
"Tapi ini tidak adil, Madie," potong Harry. "Tidak seharusnya kau menanggung kesalahan yang tidak pernah kau lakukan. Kau bukan penjahat, juga bukan pembunuh. Kau tidak bersalah."
Madeline tersenyum tipis dan mengangkat wajahnya sendiri agar bisa mengamati ekspresi Harry, "Kau tahu apa yang kusuka dari para Griffindor? Mereka bijaksana dan berjiwa besar."
Untuk sejenak Harry tak bisa berkata-kata. Susah payah dia menahan diri agar tidak terlihat tersipu malu dengan cara terus saja menunduk.
"Hubunganmu dengan Sirius pasti sangatlah dekat. Kau tampak sangat terpukul dengan kepergiannya. Sedangkan aku, walau juga ikut berduka, aku tak terlalu mengenal Sirius," usik Madeline seraya menatap wajah Harry lekat-lekat.
"Kami jarang bertemu. Tapi dia selalu menaruh perhatian melebihi segala-galanya untukku. Aku tahu dia menyayangiku seperti anaknya sendiri. Juga menghargaiku sebesar penghargaannya kepada ayahku. Kepedulian Sirius membuatku merasa berarti. Aku sangat merindukan surat-surat darinya setiap waktu karena selama ini tak ada seorangpun yang mengirimiku surat kecuali dia. Sirius sangat melindungiku. Dia datang secepat mungkin tanpa pikir panjang untuk menolongku di kementerian. Walau akhirnya dia harus…. " Kerongkongan Harry tercekat saat berusaha melanjutkan. "Di sanalah pertemuan terakhir kami."
Madeline mendengarkan setiap patah kata dengan seksama tanpa ingin menyela. Di saat Harry sudah kehabisan kata, dia menepuk lembut pundak Harry sambil berkata, "Aku turut menyesal. Kuakui aku iri menyadari betapa bahagianya jika ada seseorang yang memperhatikan kita sebesar itu. Aku sendiri tak pernah mendapatkan perhatian seperti yang kau dapat dari Sirius. Kurasa kau memang patut marah dan sedih, Harry."
"Tapi tidak ke semua orang," balas Harry, mengangkat kepala untuk mencari tahu reaksi Madeline. "Maafkan aku, ya?"
"Maukah kau tidak membahas masalah ini lagi? Kurasa permasalahan di antara kita sudah selesai. Karena…err… bukan aku yang bermasalah denganmu, kan?"
Tanpa sengaja mata mereka berdua saling bertumbukan. Semakin lama Harry mencermati kilau di mata Madeline, dia semakin yakin kalau gadis ini memang tidak bersalah atas kejadian yang sudah menimpa dirinya di akhir tahun lalu. Dan Harry terpukau melihat binar di mata gadis itu saat dia berkata, "Kau benar, Madie. Yang berurusan denganku adalah orang lain, bukan kau."
"Senang mendengar itu, Harry."
Mulut Harry setengah terbuka. Dia terpesona melihat senyum di wajah Madeline. Kenapa baru sekarang dia menyadari kalau gadis di hadapannya ini cantik sekali? Harry memang sering mendengar para murid laki-laki bergosip dan gadis Slytherin inilah yang bahan pembicaraan mereka. Semula Harry menyangka mereka menggosipkan Madeline karena sudah bosan mengobrolkan gadis populer lain. Ternyata dia salah. Madeline memang punya semua hal yang menarik untuk dibahas kaum pria. Sepasang mata indah, wajah yang molek, kulit yang lembut dan mulus, suara merdu serta gaya bicara yang menantang.
Mereka berdua saling mendiamkan selama beberapa saat. Tak lama, Harry mendongak dan menyadari malam sudah semakin larut. Akan sangat berbahaya jika ada seseorang yang memergoki mereka sedang berduaan di tempat seperti ini, apalagi pengamanan Hogwarts semakin diperketat.
"Tak terasa kita sudah menghabiskan banyak waktu di sini," kata Harry, berusaha keras menyamarkan rasa enggan dalam nada bicaranya. "Sudah saatnya kita kembali ke asrama."
"Aku setuju," kata Madeline sambil mengamati keadaan sekeliling dengan ekspresi resah. "Sampai jumpa di pertandingan besok pagi, Harry. Kupikir kondisi tim kita sama-sama tidak bagus. Kita hanya bisa mengharapkan keberuntungan akan berpihak ke siapa, tim Slytherin atau Griffindor."
"Keberuntungan?"
Harry terbelalak. Wajahnya tampak terkejut bukan main.
"Ada apa?" tanya Madeline penasaran, takut kalau kali ini Harry yang kena serangan jantung.
"Kau memberiku ide cemerlang. Terima kasih, Madie! Sampai jumpa!" Harry menjabat kedua belah tangan Madeline dengan semangat berkobar-kobar, sebelum bergegas meninggalkan tempat itu secepat kilat.
"Kenapa dia?" gumam Madeline kebingungan. "Apa maksudnya dengan ide cemerlang? Memangnya apa yang sudah kukatakan tadi?"
