Hi, everyone!

Anne muncul lagi, nih. Ini adalah fic pertama Anne di tahun 2016. Uyee.. Selamat tahun baru, ya! Happy New Year! Bagaimana kabarnya? Kalau Anne agak capek gara-gara tugas.. mau UAS juga. Jadi agak lama mau buat fic baru. Terima kasih Anne ucapkan untuk semua pembaca yang support Anne di tahun lalu, tahun Anne mulai muncul di fanfiction dot net. Anne nggak tahu kalau nggak ada kalian, bisa-bisa Anne nggak bakalan bisa terus bertahan sampai sekarang. Semangat Anne semangat kalian. Yeay..

So, Anne juga terima kasih atas saran-sarannya. Kalaupun memang salah, Anne mohon maaf. Kalau tulisan Anne nggak sesuai dengan selera kalian, Anne juga mohon maaf. Karena apa yang Anne tulis sebenarnya muncul dari rasa nyaman Anne dalam menulis. Apa yang Anne tulis adalah apa yang Anne suka. Karena itulah yang sebaiknya penulis pilih untuk memulai membuat sebuah tulisan.

Baiklah.. seperti rencana. Sebenarnya Anne mau buat fic bertema ayah (dari sudut pandang Harry) tepat di ulang tahun ayah Anne tanggal 3 Januari kemarin. Tapi.. gara-gara terhalang tugas yang.. hampir Anne stress, Anne baru bisa post sekarang. Ya, di IG Anne sudah share info soal fic ini. Bagi yang minta sinopsisnya.. langsung baca saja, ya! Ini adalah hasil requestan dari salah satu pembaca Anne yang baik. Rencananya juga.. ini akan Anne buat sequelnya, dari requestan pembaca Anne juga.

Tapi, cerita ini berdasarkan inspirasi dari kata-kata Ayah Anne, tentang hidup seorang pria itu memiliki beberapa momen kehidupan yang sangat berkesan sepanjang hidupnya. Momen apa saja itu? Ikuti saja kisah Harry, ya!

Oke, Anne mungkin langsung saja..

Happy reading!


Tubuh Ginny meliuk ke kanan. Mataku mendelik saat hampir saja kepalanya menghantam salah satu tiang gawang. Demi jenggot Merlin, sebagai penonton, jujur saja ini terasa lebih menakutkan dibandingkan bermain secara langsung. Seluruh penonton di sekitarku berteriak heboh memanggil nama tim beranggotakan para wanita di tengah lapangan sana. Holyhead Harpies. Tapi tidak denganku.

Aku memang berteriak, tapi hanya memanggil namanya.

"Oh, Harry. Panggilanmu tak akan didengarnya. Kau sendirian memangil Ginny di sini. Suaramu kalah keras dengan supporter lain."

Oliver Wood jadi teman menonton pertandingan Quidditch Ginny sore ini. Orang pertama yang mengajariku tentang Quidditch saat aku sebelas tahun dulu selalu menggodaku setiap aku mengungkit-ungkit tentang Ginny. Aku berhasil menghubunginya karena aku yakin ia pasti mau aku ajak menonton. Dengan iming-iming dua tiket gratis, Oliver turut serta membawa putra keduanya untuk pergi.

Aku mengambil alih Carson dari pangkuan Oliver. Bayi satu tahun setengah ini lucu sekali. Matanya bulat biru cerah. Rambutnya.. Sedikit keriting mirip. Putra keduanya ini 90% mirip Lita, istri Oliver. "Kau juga suka Quidditch, buddy?" kucium belakang kepalanya lembut. Mengajaknya bermain untuk menghilangkan rasa gugupku dari pertanyaan Oliver.

"Dia sudah berteriak kegirangan saat aku ajak terbang naik sapu, Harry." Jawab Oliver.

"Wow, pasti seru sekali mengajak Carson terbang." Aku lihat wajah Carson begitu bersemangat. "Dulu aku mau mengajak Teddy naik sapu, tapi aku dialarang oleh Andromeda."

Oliver membalasnya dengan senyuman khasnya. Tangannya merentang ke arahku berniat untuk mengajak Carson kembali. Rupanya Carson menolak, ia memegang kerah jaketku begitu erat. Tak mau lepas dari pelukanku. Aku semakin tak tega melepasnya. "Nanti dulu, Daddy. Carson masih mau sama Uncle Harry, right?" Godaku menirukan Carson yang sebenarnya masih sulit berbicara.

Carson terkikik geli lantas menenggelamkan mukanya ke dalam lipatan jaketku. "Hey, nanti kau capek, Harry. Kalau Carson benar-benar tak mau lepas darimu, kau harus menginap ke rumahku dan temani dia tidur sampai besok." Kata Oliver memberikan ancaman gila. Walaupun sebenarnya aku mau-mau saja. Carson anak yang lucu.

Setelah sedikit aku rayu, Carson akhirnya mau kembali duduk di pangkuan Oliver. Aku serahkan anak laki-laki itu pada sang ayah dengan wajah cemberut. Oliver terbahak melihatku.

"Kau sudah pantas jadi ayah, Harry. Aku lihat putra profesor Lupin dekat sekali dengamu. Cucu-cucu Weasley juga. Anak-anak itu terlihat sangat nyaman kalau di dekatmu, Harry."

Benar juga. Banyak anak-anak yang begitu nyaman jika bersamaku. Salah satunya adalah Teddy. Putra baptisku itu memang tak ubahnya seperti anak kandungku sendiri. Beberapa tahun di awal, ia sempat memanggilku Daddy. Aku sangat terharu sekali, tapi aku segera membiasakannya untuk cukup memanggilku Uncle. Aku tak mau membuatnya melupakan ayah dan ibu kandungnya sendiri. Bahkan Victoire, putri pertama Bill terang-terangan mengatakan jika aku akan jadi paman terfavoritnya jika aku benar menikah dengan Ginny nantinya. Oh.. menikah. Itu impianku.

"Jadi ayah katamu? Menikah saja belum," protesku cepat.

"Nah, tunggu apa lagi—" Oliver langsung menghentikan kalimatnya ketika suara hantaman keras terdengar dari arah lapangan. Tiang gawang berbunyi keras karena tubuh salah satu pemain. Oh, Merlin! Itu Ginny.

"Ginny!" teriakku.

Ginny terjatuh ke arena setelah mencetak poin terakhir yang mengantarkan timnya menang sore ini. Pertandingan selesai saat wasit menyatakan snitch berhasil didapatkan oleh tim lawan. Namun hasil akhirnya, skor Holyhead Harpies unggul lima puluh poin.

"Oh, no!"

Aku dan Oliver, begitu juga Carson, bergegas ke bagian ruang ganti pemain di salah satu gate tepat di bawah lantai posisi duduk kami. Aku harus mencari tahu kabar Ginny secepatnya. Aku sampai di depan pintu sampai seorang pria berteriak ke arahku. Suaranya seperti membentak.

"HEY!"

Carson sampai menangis di pelukan Oliver. Aku siap dengan tongkat kuacungkan ke depan. Tepat saat sepatah kata mantra penyerang akan aku ucapkan, aku tertegun dengan siapa yang berada di depanku. "Mr. Weasley?" teriakku.

"Oh, tahan, nak. Ini aku. Maaf sudah mengejutkanmu. Aku kira kau fans fanatik di luar sana yang memaksa untuk masuk melihat Ginny. Lalu bagaima—"

"Mr. Weasley, aku juga tak tahu bagaimana Ginny di dalam. Aku baru sampai di sini." Kataku sambil menyempatkan mengusap pelan kepala Carson. Oliver mengangguk pelan kepada Mr. Weasley memberi hormat.

Mr. Weasley baru sadar, jika teriakannya tadi mengusik Carson. "Oh, maafkan aku, boys. Aku menyesal." Ujar Mr. Weasley pada Carson. Ia memberikan ciuman singkat di pipi Carson ketika anak itu sudah kembali tenang.

"Harry, pintunya terbuka. Kita bisa masuk untuk melihat Ginny. Aku kenal pelatihnya."

Syukurlah, selain pengalamannya yang pernah bermain di tim Puddlemere United, ia juga sering mengikuti berbagai pertemuan para pelatih yang diselenggarakan oleh Kementerian. Ya, Oliver yang kini bekerja di Kementerian, tepatnya di Departemen Permainan dan Olahraga Sihir sangat mengenal banyak orang-orang penting di dunia Quidditch Inggris. Salah satunya pelatih Holyhead Harpies.

Oliver yang pertama masuk bersama Carson. Aku dan Mr. Weasley cemas menunggu apakah kami boleh masuk untuk bertemu Ginny. Beberapa saat setelah Mr. Weasley bercerita tentang perasaannya yang tidak karuan pada Ginny hari ini, Oliver muncul dan tersenyum padaku.

"Masuklah, mereka membolehkan kalian masuk." Panggil Oliver.

Aku bergegas masuk setelah Mr. Weasley. Di dalam sana, tampak Ginny di dudukkan di atas kasur kecil. Tangan kanannya dibebat kain yang dikaitkan pada lehernya. Apakah ada yang patah?

"Ow, my baby.. kau tak apa?"

"Aku bukan bayi lagi, Dad. Yeah.. lenganku patah."

Benar, kan! Aku cepat-cepat menghampirinya lalu menyapanya pelan. "Sakit?" tanyaku khawatir. Tapi apa yang ia perbuat? Ginny tersenyum lebar ke arahku.

"Bloody hell, Ginevra! Masih bisanya kau tersenyum dalam kondisi seperti ini?" Mr. Weasley murka melihat respon putrinya yang tidak sebanding dengan rasa khawatirnya sejak tadi. Ginny memang luar biasa.

"Daddy, sakitnya belum terasa. Nyerinya mungkin nanti. Jadi.. I'm OK." Jawabnya. Matanya mengekor ke arahku. Kukulum senyuman terindah padanya. Oliver terbatuk-batu aneh. Aku tahu dia mulai menggodaku. Oh, dan Carson juga.

Seorang rekan Ginny memberikan sebuah tas jinjing kepadaku. Itu milik Ginny. Semua barang-barangnya sudah dikemasi. "Kalian membiarkanku pulang? Jahat sekali!" kata Ginny pada teman-temannya.

"Tanganmu patah. Kita bisa buat pesta kemenangan lagi spesial untukmu besok. Pergi sekarang ke St. Mungo, Ginny. Lenganmu butuh di obati lebih lanjut." Pesan sang pelatih. Benar juga, Ginny harus segera diperiksa lanjut. Memang ia sudah diperiksa, tapi hanya dilakukan pemijatan dan pemberian mantra penyembuh ringan oleh ahli cedera tim. Dan itu belum cukup.

Ginny mendapatkan pelukan hangat dari teman-temannya sebelum keluar. Ia harus merelakan tidak mengikuti pesta perayaan kemenangan sore ini. Tapi aku berjanji padanya, jika hari ini.. akan ada pesta spesial yang sudah aku siapkan bahkan berminggu-minggu yang lalu.

"Harry, biarkan aku yang membawa pulang tas Ginny. Aku masih ada urusan di Kementerian. Bisa kau antar Ginny ke St. Mungo? Kau tak sibuk? Tak ada tugas Auror lagi?" tanya Mr. Weasley setelah mengambil tas Ginny dari tanganku.

Aku menggeleng cepat pada Mr. Weasley. "Tidak ada, Mr. Weasley. Tentu saja. Akan aku antar Ginny ke St. Mungo."

Oliver pun meminta ijin untuk kembali pulang. Aku ucapkan terima kasih sebelum ia dan Carson meninggalkan aku dan Ginny berdua di depan pintu. Carson melambaikan tangannya ke padaku sambil berteriak, "bye, unca ai!" Astaga, anak itu.

"Sejak kapan namamu berubah?" Ginny tertawa mendengar panggilan Carson tadi.

"Sejak Carson mengenalku. Tapi cukup dia saja yang memanggilku begitu, karena aku yakin beberapa tahun lagi dia pasti bisa memanggil namaku dengan baik dan benar." Aku genggam tangan kirinya dan menuntunnya keluar. Aku bersiap mencari perapian di bagian sudut arena untuk segera menuju ke St. Mungo.


Masih menggunakan jersey timnya, Ginny menjalani pengobatan tulang dan cedera di salah satu unit St. Mungo. Healer wanita yang memeriksanya begitu cekatan. Ia menarik pelan tangan kanan Ginny, memijatnya pelan dari pundak hingga ke ujung jari. Sesekalai Ginny meringis, sesekali juga ia tertawa terbahak.

Aku perhatikan punggungnya ketika Healer memintanya berputar. Aku baca nama Weasley tercetak jelas di bagian atas nomor punggungnya. Dalam hati kecilku berkata, sebentar lagi Ginny harus memesan jersey baru dengan nama baru, dan aku tak sabar menunggu itu benar-benar terjadi.

"Harry—"

Aku tersadar dari lamunanku. Ginny menepuk pipiku dengan tangan kirinya. Tangan kanannya kembali di kalungkan pada kain khusus dari lehernya. Pemeriksaannya sudah selesai. Ya, selesai. Sekarang?

"Pulang?"

"No!"

Cepat-cepat aku tahan tubuhnya agar tak bergegas menuju perapian. Ginny melihat tanganku menahan lengannya. Lama. Lalu aku melepasnya cepat. Kami sama-sama gugup. Ada yang ingin aku katakan padanya. Tapi.. Merlin, sulit sekali mengatakannya! Padahal aku sudah persiapkan kata-kata yang indah untuk memon ini.

"Harry," panggil Ginny lembut. Oh, suaranya makin membuat pikiranku kacau.

"I-iya.. ehh, begini. Melihatmu bertanding tadi, aku jadi ingin.. bermain quidditch juga."

Bodoh! Aku berteriak dalam hati merutuki kebodohanku. Aku mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal. Di saat penting begini? Entah mengapa quidditch yang pertama kali melintas di kepalaku.

"Bermain quidditch? Bersamaku?" ulangnya.

Aku mengangguk membenarkan. Kepalaku memanas. Aku hanya bisa menatap mata coklatnya, bibirku kaku sekali. "Kita ke lapangan quidditch di belakang St. Mungo, yuk—"

"Tapi kata Healer aku tak boleh menggerakkan tangan kananku dulu sehari ini. Aku tak bisa jika hanya dengan satu tangan. Mungkin besok, jadi kita pulang dulu the Burrow, pasti Dad sudah meminta Mum untuk memasak banyak untuk kemenanganku." Tunjukknya pada tangan kirinya. Ia tersenyum. Mungkin Ginny sudah semakin kebal dengan rasa sakit.

Cukup lama kami saling terdiam di lorong St. Mungo. Aku berusaha mencari alasan lain agar aku bisa tetap bersamanya. Menahannya untuk pulang.

"Harry—"

"Kita hanya terbang saja. Aku sudah lama tak naik sapu."

Bodoh lagi. Aku mengingat Carson di saat-saat seperti ini. Aku ingat Oliver bercerita jika Carson senang sekali diajak terbang dengan sapu. Naik sapu berdua? Terdengarnya asik.. dan romantis.

Ginny akhirnya setuju. Kami bergegas masuk ke perapian dan menghilang.

Lapangan quidditch tua ini sudah lama tak digunakan untuk pertandingan. Rencananya, lahan luas ini akan diambil alih oleh pihak St. Mungo untuk menambah jumlah ruang rawat. Aku rasa itu memang pilihan yang tepat. Daripada lahan ini tak terurus, lebih baik dibangun gedung baru yang lebih bermanfaat.

"Harry, aku menemukan satu sapu di sini."

Ginny memanggilku dari arah ruangan kecil penyimpanan sapu. Rupanya masih ada sapu terbang di sana. "Sudah sedikit tua. Tapi—"

Tangan Ginny bergerak kecil memerintahkan sapu yang tergeletak di atas tanah untuk naik. "Masih bisa berfungsi." Ujarnya senang.

Tidak ada sapu lain selain sapu ini. Aku mengambilnya dan duduk di atasnya. Ginny hanya melihat ekspresiku sambil tersenyum geli. "Aku seperti melihat anak tahun pertama baru berlatih mengendalikan sapu." Guraunya.

"Apa aku masih terlihat seperti anak sebelas tahun? Aku sudah hampir 23 tahun. Tidak lucu!"

Ginny mendekatiku lantas mengelus pipi kananku. Dadaku berdetak cepat, aku sesak napas tiba-tiba. Oh Ginny, kau apakan aku?

"Kau memang lucu, sayang."

Entah bagaimana, kata-katanya itu seolah memanggilku untuk menyentuh bibirnya. Alam rupanya ikut mendukungku, kami hanya berdua. Lantas.. kami pun berpagut. Aku rasakan bibir lebutnya untuk ke sekian kalinya. Tangan kirinya bergerak menyentuh tengkukku. Mengusik anak rambut hitamku dan menyisirnya pelan dengan jemarinya. Kutarik pinggangnya agar duduk bersamaku, di atas sapu. Ginny sama sekali tak menolak. Susah sekali mengendalikan sapu ini dengan satu tangan kanan.

Bagaimana tidak, aku bersama Ginny. Hanya tangan kananku yang bisa memegang gagangnya ketika perlahan sapu ini aku gerakkan naik. Tangan kiriku merengkuh pinggulnya. Kami perlahan melayang. Ada sedikit gerakan terkejut dari Ginny saat kami mencapai di ketinggian 16 kaki.

"Aaagghh, Harry!" Ginny memekik keras. Ciuman kami sontak terlepas. Tubuhnya hampir saja terjungkal ke depan. Karena kurangnya persiapan, posisinya adalah duduk menyamping di depanku. Posisi ini benar-benar kurang nyaman untuknya.

Kami hanya melayang tanpa bergerak maju. "Aku tak pernah tahu jika ada pasangan yang berpacaran di atas ketinggian seperti ini. Kau tahu Harry, sapu ini bisa saja patah tiba-tiba." Katanya sambil tertawa. Aku geli juga menyadarinya.

Aku melirik ke arah depan dan belakang sapu. Kayunya memang sudah rapuh dimakan usia, keseimbangannya pun sulit dikendalikan. Ginny memelukku cepat saat keseimbanganku mulai terganggu. "Pegangan! Tetap jaga keseimbanganmu juga, Ginny." Ia pun paham.

Kami saling beradu pandang. Aku yakin padanya bahwa kami masih bisa bertahan di atas sini beberapa saat. Ginny atlit Quidditch yang tak perlu diragukan lagi skill terbangnya. Aku rasa ini waktu yang cukup hebat jika dari ketinggian.. aku melamarnya.

"Aku rasa, kurang dari lima menit lagi, kita bisa jatuh, Harry." kata Ginny membuyarkan khayalanku.

"Benar sekali." Jawabku canggung. Aku sudah tak banyak waktu lagi.

Beberapa saat aku bersiap mengutarakan keinginanku, "Ginny—" aku panggil namanya.

Krakk!

Tepat di bawah pantatku, ada sesuatu yang patah. Oh, jangan sekarang.

"Iya, Harry? Ada apa? Sapunya mulai patah, kan?" Ginny mulai panik.

"I-iya, tapi.. bukan itu. Ma-maksudku—"

Krakk!

"Aggghh!"

Ginny semakin panik. Sapu ini semakin tak kuat menahan beban tubuh kami berdua. Ya, kami bukan anak sebelas tahun lagi. Hanya dengan satu tangannya, Ginny meremas ujung jaketku. Kami harus siap menerima hukuman gravitasi dari posisi setinggi ini. "Ginny, aku—"

"Cepat, Harry! Ada apa? Kita bisa mati berdua! Kau mau mati sekarang—"

"Jangan, paling tidak setelah kau menjawab permintaanku."

Krakk!

Semakin tak ada waktu lagi. Gagang bagian depan, tepat di belakang Ginny retak. Ginny bergidik ngeri. "Aku baru saja jatuh, kau mau minta tangan kiriku patah juga, hah?"

Krakk!

"Agghh!" kami berteriak bersama.

"Ginny—"

"Harry!" Dia balik memanggilku.

Kutelan ludahku susah payah. Pelan-pelan aku lepas pegangan tangan kiriku dari pinggulnya mencari sesuatu dari dalam saku jaketku. Sebuah cincin. Ginny akhirnya melihat benda berkilau ini. Aku menunjukkanya. "Ginevra Molly—"

Krakk!

Ginny mendelik. "Weasley." Aku sebut nama terakhirnya. Aku harus menyelesaikan kalimatku. SEKARANG. "Will you marry me?"

Krakk! Bagian depan telah patah dan jatuh ke tanah. Ginny semakin mengeratkan pelukannya padaku. "Ginny—"

"No! No!" jawabnya. Aku tak salah dengar, kan?

"Really?"

"I mean.. no, setidaknya bukan seperti ini, Ha—"

Krakk!

"Lalu?" tanyaku.

"Aku membayangkan jika kau akan melamarku dengan cara yang indah dan— Aagghh!"

Kami tak punya tempat lagi untuk berpijak. Parahnya, sapu ini sudah kehilangan kendalinya. Aku tak bisa membuatnya turun. Aku menggeleng pada Ginny. Aku pasrah. "Setidaknya kau memberikan jawabnya sebelum aku mati, Ginny. Agar aku tenang."

"Yes, of course!" jawabnya sambil tersenyum padaku. "Ini sungguh romantis, Harry.. dan gila." Lanjutnya. Ia melepas perlahan pegangan tangannya dari jaketku dan mengarahkanya tepat ke depan. Pelan-pelan aku masukkan cincin bermanik berlian itu ke jari manisnya. Pas.

Dan akhirnya.. kami benar-benar harus menyerah.

"Aresto momentum!" Teriakku secepat yang aku bisa. Aku berhasil meraih tubuh Ginny kembali ke pelukanku sebelum tubuh kami berhenti perlahan di udara.

Brukk!

"Ouchh!" Aku lebih dulu terjatuh. Menghantam tanah sambil menjaga tubuh Ginny agar aman. Tubuhnya mendarat di atas tubuhku. Menindih tangan kananku.

Rasanya sungguh sakit. Sakit sekali. "Mungkin, yang patah sekarang adalah tangan kananmu, Harry."

Aku tertawa sambil tetap menahan sakit. Ginny memang luar biasa, bisa menahan rasa sakit seperti ini.. hanya dengan senyuman. Oh, aku rasa aku juga bisa. Rasanya memang tak sakit jika bersamanya, hanya.. bahagia. Bahkan ditindih tubuh berat Ginny sekalipun.

"Thank you, Ginny. I love you!"

Aku kecup bibirnya sekali lagi.

"I love you too, Harry!"

- TBC -


#

Huahhh.. bagaimana chapter pertama? Anne sudah persiapkan untuk moment pernikahan Harry Ginny nanti. Kapan? Tunggu saja, berdoa saja Anne bisa update cepat. Anne tunggu review kalian. Semoga terhibur, ya! Anne sayang kalian. Selamat tahun baru!

Thanks,

Anne xoxo