Disclaimer : GUNDAM SEED/Gundam Seed Destiny by SUNRISE
Story by me terinspirasi dari lagu 'NO MORE—BEAST'
Tittle : No More
Genre : Romance, Hurt/Comfort, Angst, Family.
Rate : T
Warning : Alternative Universe. OOC, nggak bakat diksi, minim deskriptif, typo(s), dll.
.
.
Summarry: Di dalam kenanganku, aku akan menghapus suaramu. Di dalam kenanganku, aku bahkan akan menghapus namamu. Aku pikir aku sudah cukup menderita dengan rasa sakit ini. Setiap kali aku selalu mengingatmu dan patah hati. Namun dengan bodohnya aku masih mencintaimu.
.
.
A/n: Hallo, salam kenal, saya author fandom sebelah. ^^
Pertama kalinya bikin fanfiction GS/GSD karena onee-chan saya yang suka chara KiraXLacus request fict tentang mereka. Saya nggak paham teknologi ataupun robot-robotan, jadi saya mau nyoba bikin fict AU aja, maklum saya nggak bisa kalau harus bikin fict canon. Jadi di cerita ini tidak ada yang namanya ultimate coordinator ataupun coordinators, mereka semua hanya manusia biasa.
Awalnya saya mengira pairing di GS itu KiraXCagalli karena rasanya ya cocok aja. Kira yang kalem dan Cagalli yang tempramen. Saya pikir mereka bisa saling melengkapi, eh ternyata mereka saudara kembar, tapi menurutku AthrunXCagalli and KiraXLacus juga cocok, jadi nggak masalah, saya juga suka mereka.
Oke, sekian dulu perkenalnya. RnR please! ^^
.
Chapter 1 :Rain in my Heart
.
'No more, no more, I'm not someone you can lean anymore. Fine, cry all you want, if that's what it takes to wash me all away…'—Kira—
oooOONoMoreOOooo
.
.
Dia menangis lagi. Belahan jiwaku. Aku melihatnya menangis lagi. Apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya? Aku ingin melihatnya selalu tersenyum. Aku ingin melihatnya tertawa. Aku sungguh mengharapkan kebahagian untuknya. Ia yang sangat aku sayangi. Ia seseorang yang berharga bagiku.
Tiba-tiba aku mendengar suara bel. Aku pun sudah bisa menebak siapa yang datang. Dia datang seperti malam-malam biasanya. Di luar hujan masih turun dengan deras. Aku pun membawa payungku dan keluar dari rumahku untuk membukakan pintu gerbang. Tebakanku benar, dia adalah sahabatku. Dia berdiri di sana, di bawah payung yang melindunginya dari derasnya air hujan dan dia tersenyum simpul kepadaku.
"Cagalli, malam ini aku mau menginap disini, boleh tidak?" tanyanya.
Aku menghela nafas. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku juga tidak tega bila harus mengusirnya. Pada akhirnya aku pun tersenyum dan mengangguk. Aku kemudian membukakan pintu gerbang dan mengajaknya masuk.
"Kebetulan sekali kau datang, Lacus. Aku tidak ada teman untuk berbagi karena ayah dan ibuku belum pulang dari luar negeri, nampaknya mereka masih sibuk sekali disana." ceritaku.
"Bukankah ada Kira?"
"Ya, tapi dia kan bukan ibuku. Aku tidak mungkin membeberkan semua rahasiaku padanya, kan? Aku kan malu, Lacus."
Sahabatku, Lacus Clyne, tertawa kecil, "Benar juga. Masa iya masalah yang merupakan privasi wanita pun harus kau ceritakan padanya."
"Ya, itu kan tidak mungkin." kataku dan kami pun segera masuk ke dalam rumah.
"Bajumu agak basah, Lacus, mau pinjam punyaku?"
"Boleh." katanya dan aku pun meminjamkan salah satu pakaianku kepadanya.
Setelah Lacus berganti pakaian, aku mengajaknya ke ruang tengah, menyalakan televisi dan menyiapkan minuman serta cemilan untuk kami. Lacus memperhatikan jam dinding dengan wajah sendu. Aku ikut memperhatikan. Rupanya sudah pukul 19.45.
"Cag, apa dia sudah tidur?"
Sudah kuduga dia pasti menanyakan Kira.
"Kau ingin bertemu dengannya?"
"Ya, ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Bisa tolong panggilkan Kira!"
"Baiklah, tapi aku tidak yakin ia mau menemuimu. Tunggu sebentar, ya…" kataku yang lekas pergi ke kamarnya.
Pintu kamarnya masih sedikit terbuka seperti tadi. Aku pun kembali mengintip seperti sebelumnya untuk memastikan ia sudah tidur atau belum. Rupanya ia sedang memperhatikan ponselnya. Aku langsung melesat ke arahnya dan duduk disampingnya untuk melihat apa yang sedang ia lihat.
"Membuka instagramnya lagi?" tanyaku sambil tersenyum.
"Hhh, kenapa kau selalu seenaknya masuk ke kamarku?"
"Memangnya kenapa? Kau kan adikku!"
"Siapa yang adik? Kau yang adik!"
"Tidak, yang adik itu kau! Aku kakakmu!"
"Okaa-san bilang aku terlahir lebih dulu darimu. Bagaimana bisa aku menjadi adik?"
"Memang tidak boleh jika aku menganggapmu adik. Sudahlah, kita kembar, after all."
"Terserah…" balas Kira yang sepertinya sudah menyerah berdebat denganku. Aku pun tertawa penuh kemanangan.
"Selama ini kau masih terus memperhatikannya, ya? Setiap hari kau pasti melihat instagramnya. Kau masih penasaran dengan apa yang dia lakukan? Sudahlah, jangan menyiksa dirimu sendiri! Bilang saja kau masih mencintainya. Dia juga nampaknya belum bisa move on darimu."
"Tidak. Tidak lagi!"
"…tapi sekarang dia ada disini, katanya ada yang ingin dia bicarakan denganmu."
"APA?"
"Dia ada di ruang tengah."
"Si bodoh itu—" kata Kira yang langsung pergi meninggalkanku.
Seharusnya aku tidak boleh menguping tapi aku penasaran. Jadi aku memutuskan untuk mengikuti Kira. Tenang saja aku hanya akan mengamati mereka dari jauh. Aku tak akan mengganggu mereka.
"Mengapa kau datang mencariku lagi?"
"Kira, aku… aku merindukanmu. Aku masih mencintaimu, Kira. Aku sudah berusaha menghapusmu dari hidupku tapi aku tidak bisa!"
Lacus… dia mulai menangis. Tahukah kau Lacus, hari ini bukan hanya kau yang menangis tapi Kira juga. Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri seperti ini. Aku tahu kau sangat mencintai Lacus.
"Kenapa kau masih saja menyukaiku seperti orang bodoh? Aku sudah melukaimu!"
'Dan melukai dirimu sendiri.' pikirku.
"Tidak, Kira. Bagiku kau adalah orang baik."
"Huh! Kenapa aku masih seperti orang baik bagimu? Ini sudah hampir beberapa bulan sejak kita berpisah tapi kenapa kau masih hidup dalam setiap kenangan itu?"
"Aku tidak mau berpisah denganmu. Kaulah yang memutuskan hubungan kita secara sepihak."
"Begitu banyak pria baik disekitarmu. Tidak masalah jika kau memulai cinta yang baru dengan seseorang. Aku sungguh mengharapkan kebahagian dan tawa untukmu."
"Kau sendiri, kenapa tidak memulai cinta yang baru?"
"Itu karena kau terus seperti ini. Aku terus melihatmu disekitarku. Buket bunga mawar putih yang pernah kuberikan padamu, kenapa masih kau simpan, kau foto, lalu kau upload di instagrammu? Bunga itu sudah mengering dan sudah tidak jelas bentuknya, busuk, sama seperti perasaanku padamu tapi kenapa kau tidak membuangnya?"
Hentikan Kira! Kau sudah menyakitinya lagi. Tidak, kau juga menyakiti dirimu sendiri. Kau mengabaikan nasihatku untuk yang kesekian kalinya.
"Tingkahmu yang memuakkan itu membuatku tidak bisa merasakan damai setiap harinya sehingga aku tidak bisa memulai kisah cinta yang baru. Hari ini kau bahkan berfoto dengan boneka yang pernah kuberikan. Tersenyum seakan kau bahagia. Pergi ke Cafe tempat biasa kita kencan dan lagi-lagi mengupload foto-fotomu ke dalam instagram? Aku muak melihat senyum palsumu itu!"
Kira bodoh! Sekarang kau malah membuatku menangis. Kau pria yang jahat. Jelas-jelas kau masih mencintainya tapi setiap hari sikapmu malah semakin dingin terhadapnya. Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya aku? Kenapa kau seperti ini?
"SUDAH KUBILANG AKU TIDAK BISA MELUPAKANMU!" teriak Lacus dengan air mata yang semakin berlinang membasahi wajahnya. Kau benar-benar jahat, Kira. Kau pengecut!
"Aku hanya lelaki pengecut yang membiarkanmu pergi! Apa lagi yang kau harapkan dariku? Kenapa kau datang mencariku lagi, ketika aku sudah melupakan semua itu. Melupakan semua kenangan tentang kita."
Tidak! Kau bohong, Kira! Lagi-lagi kau berbohong! Kenapa kau tidak berterus terang saja padanya?
"Kira, doushite? Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku tanpa sadar telah melukai hatimu sampai kau mengakhiri hubungan kita beberapa bulan yang lalu? Tolong katakan apa salahku agar aku bisa memperbaikinya, agar aku bisa mengobati luka di hatimu. Kau ingin aku tidak dekat dengan lelaki manapun? Untukmu akan kulakukan apapun! Meskipun kau menyuruhku untuk menjauhi sahabatku, Athrun, aku akan melakukannya!"
Tidak, Lacus, kau tidak salah apa-apa, sungguh. Kalian berdua tidak salah. Kalian hanya dipermainkan oleh takdir. Kau tidak perlu menangis seperti itu, Lacus.
"Kau tidak salah. Hanya saja tidak ada lagi kehangatan yang bisa kubagi denganmu."
"Apa maksudmu? Tidak mungkin kau memutuskan hubungan kita tanpa alasan, kan? Ini pasti karena aku, karena sebuah kesalahan yang tidak kusadari. Bagiku kau adalah tempatku bersandar. Bagiku kau adalah segalanya. Katakan apa salahku agar aku bisa menebusnya!"
"Tidak lagi, tidak, aku bukan tempatmu untuk bersandar lagi."
"Kira—" kata Lacus, kulihat ia semakin mendekati Kira dan mengenggam tangannya, tapi Kira malah menepis tangan Lacus dengan kasar dan menatapnya dengan dingin.
"Jangan menyentuhku! Baiklah, menangislah seperti yang kau inginkan, jika itu bisa melunturkan tentangku. Jika itu bisa menghapus semua kenangan yang tersisa di hatimu."
"Kira, aku tidak bisa, sungguh! Aku tidak mau menghapus semua kenangan tentang kita. Dua tahun. Itu bukan waktu yang singkat…"
"Pergilah dari hidupku, Lacus! Aku tidak layak merasakan sakit seperti yang kau rasakan. Semua sudah berbeda. Aku bukan orang yang sama dengan dulu. Aku tidak ingin membohongimu dengan mengatakan, aku membiarkanmu pergi karena aku mencintaimu."
Tidak, Kira! Itu bukanlah sebuah kebohongan. Pada kenyataannya kau memang membiarkannya pergi karena kau mencintainya.
"Hanya untuk hari ini aku tidak akan mengusirmu. Hanya untuk hari ini aku sengaja menemuimu. Hanya untuk hari ini kita bisa bersama. Fine, hanya untuk hari ini aku akan memenuhi keinganmu. Kau ingin aku mengenggam tanganmu atau menciummu? Aku akan melakukannya! Tapi setelah itu, bangunlah dari mimpimu dan cepat lupakan aku!"
"Aku tidak mau jika seperti itu. AKU TIDAK MAU! Aku ingin bersamamu selamanya!"
"Kau tidak bisa kembali, kau tahu itu. Kau tidak akan bahagia bila bersamaku."
"Kenapa? Kenapa kau berpikir begitu, Kira? Sudah kubilang, kebahagiaanku adalah kau!"
"Tolong hentikan! Aku akan semakin dingin setiap harinya. Dan aku takut itu akan melukaimu lebih dalam. Hiduplah bahagia dan tunjukkan itu padaku!"
Itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar dari Kira untuk Lacus karena setelahnya ia langsung pergi meninggalkan Lacus sendirian disana. Dari atas tangga ini, aku bisa melihat Lacus menjatuhkan tubuhnya dan menangis semakin kencang. Dan sekarang kau berpapasan denganku. Sejak tadi aku hanya bisa melihat punggungmu karena kau menghadap Lacus tapi sekarang aku bisa melihatmu dengan sangat jelas, Kira. Wajahmu sangat pucat, apa kau baik-baik saja. Tidak! Tentu saja kau tidak baik-baik saja. Aku paham tangisan Lacus kini menjadi belati tajam yang menghujam jantungmu. Kau melukainya lagi dan malah semakin melukai dirimu sendiri.
Aku mengikutimu diam-diam. Aku ingin memastikan kalau kau baik-baik saja tapi kau malah mengunci pintu kamarmu. Aku mengerti kau ingin sendirian sekarang sampai kau tidak mau membiarkanku masuk dan disini aku mendengar tangis sedihmu dari balik pintu. Kira, kau adalah saudara kembarku. Rasa sakit ini. Rasa sakitmu… aku juga bisa merasakannya.
Hujan nampaknya belum juga berhenti, begitu juga hujan di dalam hatiku. Aku sangat menyayangimu Kira dan aku juga menyayangi Lacus sebagai sahabatku. Pada akhirnya aku tidak tahan lagi. Lututku terasa lemas hingga akhirnya tubuhku lunglai ke lantai. Disinilah aku sekarang. Dibalik pintu, ikut menangis untuk kalian tapi aku tidak ingin kau tahu. Jadi aku menutupi mulutku dengan telapak tanganku untuk meredam suara isak tangisku.
.
.
.
—Author POV—
Merasa lelah karena menangis terus, Lacus pun lekas berdiri. Ia berjalan menuju kamar Cagalli. Ia ingin mengungkapkan isi hatinya pada Cagalli, tetapi ternyata Cagalli tidak ada di kamarnya. Lacus pun duduk di ranjang Cagalli. Ia menundukkan wajahnya. Mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Kira.
.
Flashback
.
"Athrun, ayahmu memintaku untuk menemuinya di Helliopolis Hospital, rumah sakit tempat beliau bekerja sekaligus rumah sakit milik beliau. Katanya ada hal penting yang ingin beliau bicarakan denganku tapi aku kan baru pindah ke Orb, aku tidak tahu dimana alamatnya. Tolong kirim alamatnya via email!" kata Lacus berbicara melalui telepon.
"Ayahku itu benar-benar tidak mau repot, ya? Harusnya dia sendiri yang menemui bukan kau!" kata suara disebrang sana.
"Sudahlah, tidak apa-apa, beliau kan orang tua, sudah selayaknya kita menghormati beliau."
"Baik, akan segera ku kirimkan alamatnya. Sekarang kau ada dimana?"
"Di jalan. Aku sedang menyetir."
"Hey, menelpon sambil menyetir itu berbahaya!" tegur Athrun.
"Kau tenang saja, aku memakai fasilitas handfree. Di luar hujan deras nih, jalanan licin, aku ingin segera sampai di Helliopolis Hospital… cepat kirim alamatnya!"
"Iya, cerewet." Dua menit setelah Athrun berkata demikian, email dari Athrun pun sampai dan Lacus langsung membuka dan membaca pesan tersebut.
"Sudah kukirim alamatnya, kau tahu harus kemana, kan?"
"Umm, tidak tahu. Aku belum hapal jalanan di Orb."
"Hah, kau ini… Ya sudah, bertanya saja pada seseorang. Sekarang aku sedang sibuk. Aku tutup ya teleponnya!"
"Hey, Athrun!"
Lacus memukul stir, sedikit kesal karena Athrun seenaknya memutus sambungan telepon. Setelah menghela nafas, ia pun kembali focus menyetir sambil sesekali melihat keberadaan seseorang di luar.
"Tidak ada siapa-siapa! Bagaimana kalau aku tersesat? Memalukkan, masa remaja 14 tahun masih suka tersesat! Huh, ayah dan anak itu selalu merepotkanku." gerutu Lacus.
Lacus terus menyetir hingga akhirnya ia melewati sebuah halte. Genangan air dan caranya menyetir dengan kecepatan tinggi membuat seseorang dengan malangnya terkena cipratan air tersebut. Lacus bisa melihat gesture tubuh orang yang sedang berdiri di halte itu dari kaca spionnya. Celaka, sepertinya pakaian orang itu basah dan dia terlihat kesal sekali. Lacus pun memutuskan untuk meminta maaf, ia memundurkan mobilnya. Setelah memarkirkan mobilnya Lacus membuka kaca jendela.
"Maaf ya, aku tidak sengaja. Masuklah, aku akan mengantarmu ke tempat kau mau pergi." ujar Lacus sambil tersenyum.
"Tidak usah, aku sedang menunggu bus."
"Jangan begitu, aku sudah membuat pakaianmu basah, anggap saja ini sebagai permintaan maafku."
"Baiklah, kurasa kau memang harus bertanggung jawab!" kata orang itu.
Lacus tersenyum karena akhirnya orang itu menerima tawarannya dan duduk disamping kursi kemudi yang ia dudukki.
"Namaku Lacus Clyne. Siapa namamu?"
"Kira. Kira Hibiki."
"Salam kenal, Hibiki-kun. Sekali lagi maaf ya, aku benar-benar tidak sengaja."
"Hn."
"Arigatou…"
Lacus melirik Kira sekilas. Rambut dark brown-nya nampak terawat. Sepasang bola mata amethyst-nya yang indah seakan memancarkan ketenangan, kelembutan, dan kehangatan.
'Anak yang tampan…' ujar Lacus dalam hati.
"Jadi kau mau pergi kemana?"
"Tentu saja pulang ke rumahku."
"Ano, sebelum aku mengantarmu pulang, maukah kau menunjukkan jalan menuju Helliopolis Hospital?"
"Apa?"
"Kenapa kaget begitu? Tolong bantu aku, aku baru pindah ke Orb minggu lalu nih, jadi aku belum tahu jalan!"
"Haah! Merepotkan…"
"Gomen."
"Berhentilah meminta maaf. Baik, akan aku tunjukkan jalannnya. Pertama-tama putar balik dulu. Lalu saat menemui pertigaan belok kanan…" kata Kira, Lacus mengangguk mengerti.
Lacus terus menyetir sambil mendengarkan petunjuk Kira. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di rumah sakit. Lacus tak menyangka kalau tadi itu sebenarnya dia sudah dekat. Saat ia melewati pos satpam setelah mengambil tiket parkir, seorang satpam yang menjaga berteriak,
"Hey, kau… dasar anak nakal!"
"Apa dia berteriak padaku?" tanya Lacus merasa heran dan tidak terima. Bukannya menjawab Kira malah memalingkan wajahnya dari pak satpam itu.
"Apa-apaan pak satpam itu, aku bahkan tidak mengenalnya!" gerutu Lacus nampak kesal. Selesai memarkirkan mobilnya Lacus kembali menoleh pada Kira.
"Hey, ayo turun!"
"Kenapa aku harus ikut turun?" tanya Kira nampak enggan.
"Memangnya kau mau menunggu di mobilku selama berjam-jam? Aku mau menemui seseorang dan berbicara sebentar dengannya, tahu!" kata Lacus pula. Kira pun terpaksa menuruti Lacus.
Lacus menarik tangan Kira. Ia menyeret Kira untuk menemaninya. Saat berjalan di koridor rumah sakit, Lacus merasa heran karena Kira langsung menunduk menatap lantai saat mereka berpapasan dengan seorang dokter.
"Hey, Kira! Kau habis kabur lagi?" teriak dokter tersebut.
Lacus jadi semakin heran. Apa maksud pertanyaan dokter itu? Kenapa dokter ber-nametag Yuto Asuka itu seperti mengenal Kira.
"Kemari kau!" lanjut dokter itu seraya menarik Kira dari Lacus.
"Hey, tunggu! Anda mau membawa Hibiki-kun kemana?"
"Nak, maaf ya, aku harus bicara dengan pasienku yang bandel ini!"
"Eh? Pasien anda?"
"Yup!"
Dan akhirnya, Lacus benar-benar ditinggal sendirian. Tak ingin ambil pusing, ia pun segera pergi menuju tempat resepsionis untuk menanyakan dimana ruangan dokter Patrick Zala.
.
Flashback End
.
"Pada akhirnya, hari itu aku tidak jadi mengantar Kira pulang. Setelah berbicara dengan Papa Athrun, aku tidak bisa menemukannya dimana pun. Akhirnya aku langsung pulang karena kupikir Kira sudah pulang. Lalu saat aku bertemu dengan Kira untuk yang kedua kalinya dan bertanya tentang hari itu… Kira cuma bilang, kalau waktu itu dia terkena Typhus dan Yuto Asuka adalah dokternya saat itu—eh tunggu sebentar…." kata Lacus yang baru saja tersadar.
Lacus pun segera menelpon Patrick Zala yang merupakan kepala rumah sakit Helliopolis.
"Moshi-moshi, ada apa Lacus-chan? Apa kau tidak bisa menghubungi Athrun? Tapi Athrun sedang tidak bersama Om? Om masih kerja…" jawab suara disebrang sana.
"Tidak, paman. Aku tidak sedang mencari Athrun…"
"Lalu untuk apa kau menelponku?"
"Ano, ada yang ingin kutanyakan… apa anda mengenal dokter Yuto Asuka?"
"Asuka-sensei, ya? Dia dokter spesialis jantung di rumah sakitku!"
"APA? Dokter spesialis jantung?"
"Ya, Asuka-sensei lumayan terkenal karena ia dokter spesialis jantung yang hebat tapi kenapa kau menanyakannya Lacus-chan?"
"Etto, juniorku di sekolah ada yang bermarga Asuka. Aku hanya ingin memastikan apa Asuka-sensei benar adalah ayahnya?"
"Oh, Shinn, ya? Memang ada apa lagi dengan anak itu? Apa dia membuat masalah lagi di sekolah?"
"Ya, begitulah. Sudah dulu ya, paman. Maaf mengganggu…"
"Ya, tidak apa-apa, Lacus-chan." Kata Patrick Zala pula yang kemudian memutus sambungan teleponnya dengan Lacus.
Lacus menjatuhkan ponselnya ke tempat tidur. Ia masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa maksudnya ini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Matanya kembali berkaca-kaca. Tiba-tiba Cagalli masuk ke kamarnya.
Lacus mengalihkan pandangannya pada Cagalli, mata Cagalli terlihat sembab seolah dia habis menangis seperti dirinya. Cagalli menggumamkan kata maaf tanpa suara lalu duduk di samping Lacus.
"Lacus, kau masih menangis karena Kira?" tanyanya.
"…."
"Dia tidak bermaksud menyakitimu, sungguh!" lanjut Cagalli.
"Cagalli, apa Kira sakit?" tanya Lacus to the point.
"Tentu saja, dia pasti merasakan rasa sakit yang sama denganmu. Aku yakin dia pasti menyesal karena sudah memperlakukanmu seperti tadi."
"Maksudku bukan itu! Maksudku adalah… selama dua tahun ini, kenapa kalian merahasiakan hal sepenting ini dariku?"
"Sebentar, aku tidak mengerti apa maksudmu?"
"Kira memutuskan hubungannya denganku bukan tanpa alasan, kan? Dia melakukannya karena penyakitnya, iya, kan?"
Cagalli tersentak kaget. Bagaimana Lacus bisa tahu?
"Dia bilang, aku tidak akan bahagia bila bersamanya, jadi ini yang dia maksud?"
"Lacus kau—"
"Kau mau bertanya, kenapa aku bisa tahu?" potong Lacus.
"Dia pasien Asuka-sensei, kan? Aku sudah tahu kalau Asuka-sensei itu dokter spesialis jantung! Cagalli, kenapa kalian jahat sekali? Dua tahun… kalian menyembunyikan kenyataan ini dariku selama dua tahun lamanya?"
"Maafkan aku Lacus. Aku benar-benar minta maaf. Kira yang menyuruhku untuk tidak mengatakan apapun mengenai penyakitnya."
"Ceritakan semuanya padaku! Semuanya! Sejak kapan dia sakit?"
"Kira, ia tidak sesehat yang kau lihat.. kondisinya sebenarnya sangat lemah." kataku sambil menggenggam tangan Lacus. Aku bisa merasakan tubuh Lacus gemetar.
"Jadi Asuka-sensei benar adalah dokternya?"
"Kira menderita kelainan jantung sejak kecil. Yuto-sensei bilang jantungnya lemah. Menurut Yuto-sensei, mungkin ini penyakit jantung bawaan sejak lahir. Lalu empat bulan yang lalu, ibuku bilang… keadaan Kira semakin lemah. Kondisi jantungnya semakin memburuk…"
"APA?"
"Kira sangat mencintaimu, Lacus. Dia bilang, apa boleh dia bersikap egois? Yuto-sensei memvonis kalau hidupnya mungkin tidak lama lagi. Di bulan pertama sejak vonis itu, Kira tidak terlalu memikirkannya. Dia tetap menikmati hari-harinya bersamamu, tetapi setelah itu… ya, kau tahu sendiri bagaimana kelanjutannya?"
"Hubungan kami semakin renggang. Lalu dia minta putus denganku…." lanjut Lacus yang langsung menangis lagi. Cagalli memeluk Lacus. Air matanya juga kembali menetes.
"Kenapa, Cag? Selama dua tahun bersamanya, dia tidak pernah terlihat sakit. Dia selalu terlihat sehat dan segar bugar di mataku."
"Kau hanya tidak pernah melihatnya karena Kira selalu menyembunyikannya darimu. Dia tidak ingin membuatmu khawatir dan melihatmu sedih. Itulah sebabnya Lacus, seperti yang dikatakan Kira, sebaiknya kau move on."
"Itu tidak mungkin apalagi sekarang aku sudah tahu semuanya!"
"—tapi Kira tidak punya banyak waktu lagi dan dia ingin melihatmu bahagia!"
"Kira pasti bisa sembuh, kan?"
"Satu-satunya cara agar Kira tetap hidup hanya transplantasi jantung tapi sampai sekarang mereka belum menemukan donor yang cocok untuk Kira. Lacus, sebaiknya kau lupakan saja dia!"
"Jika kau menjadi aku, apa kau akan melakukannya? Apa kau bisa menjauhinya dan melupakannya?"
"Tentu saja tidak. Aku sayang Kira."
"Begitu juga denganku, Cagalli. Aku tidak bisa melakukannya."
Cagalli mengangguk mengerti. Ia pun menepuk-nepuk punggung Lacus untuk menenangkannya. Cagalli memperhatikan jam yang tertempel di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Rupanya Lacus sudah menangis selama satu jam lamanya. Pantas saja sekarang dia tertidur di dalam pelukkannya. Ia pasti lelah karena menangis terus. Cagalli pun membaringkan tubuh Lacus dengan benar, lalu menyelimuti tubuhnya hingga dada. Cagalli kemudian keluar dari kamarnya dan menuju kamar Kira.
'Pintunya masih dikunci…' pikir Cagalli setelah menarik engsel pintu.
"Kira tolong buka pintunya! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan untuk mendobraknya!" kata Cagalli.
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Akhirnya pintu itu terbuka.
Cagalli langsung memeluk Kira lalu menyentuh pipinya.
"Sebaiknya kita ke rumah sakit, ya! Mukamu pucat sekali!" kata Cagalli cemas.
"Tidak usah! Aku sudah minum obat…"
"Tidak! Pokoknya kita ke rumah sakit sekarang juga! Kalau tidak, aku akan menelpon Otou-san dan Okaa-san!"
"Hobimu itu mengancam orang, ya?"
"Kira kumohon jangan membantahku kali ini!"
"Lalu Lacus? Kau akan meninggalkannya sendirian?"
"Kurasa hanya ini satu-satunya cara… aku akan menelpon Shinn, biar dia saja yang mengantarmu ke rumah sakit. Aku akan tetap disini menemani Lacus, sekarang dia sudah tidur…"
"Ini sudah malam. Jangan merepotkan orang lain, Cagalli!"
"Rumah keluarga Asuka tepat di depan rumah kita. Itu tidak merepotkan."
"Baiklah, kau menang!"
"Aku memang selalu menang darimu!" kata Cagalli sambil menyeringai. Ia pun segera menelpon Shinn.
"Moshi-moshi.. Ada apa Cagalli?"
"Tidak sopan! Aku ini lebih tua dua tahun darimu. Panggil aku Cagalli-Nee!"
"Kau mengganggu saja! Aku sedang menunggu telepon dari Stella, tahu! Sebenarnya apa maumu?"
"Ckck, kau selalu ketus seperti biasanya! Bantu aku hari ini saja…"
"Cepat katakan, apa maumu!"
"Malam ini temanku sedang menginap di rumah kami. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri."
"Lalu apa hubungannya denganku?"
"Tolong antarkan Kira ke rumah sakit!"
"Kenapa lagi dia?"
"Masih nanya lagi! Kau pasti sudah tahu jawabannya, kan?"
"Iya, iya, aku akan segera kesana!"
"Hey! Dia selalu saja menutup teleponku seenaknya!" teriak Cagalli. Ia mengatur nafasnya, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Kira.
"Shinn, sebentar lagi akan datang…" kata Cagalli yang kemudian berjalan ke arah lemari, lalu mengambil sweater tebal dan menyerahkannya pada Kira.
"Pakai itu, di luar masih hujan, aku tidak mau kau kedinginan."
"Arigatou…" kata Kira yang kemudian segera mengenakan sweaternya.
"Kira…"
"Mmm?"
"Lacus… dia sudah tahu kalau kau sakit tapi bukan aku yang memberitahunya, kok. Sungguh! Aku tidak bohong!" kata Cagalli pula.
Kira memijat keningnya. Ia memang sudah menduga ini akan terjadi. Sejak awal dia sadar kalau cepat atau lambat Lacus pasti akan mengetahuinya.
"Bagaimana dia bisa tahu?"
"Aku juga tidak tahu. Untuk sementara ini kau tidak perlu memikirkan Lacus. Konsentrasi saja pada pemulihanmu. Minggu depan Otou-san dan Okaa-san akan segera pulang, kau tidak mau membuat mereka khawatir, kan?"
'Tiitt! Tiitt!' terdengar suara klakson mobil.
"Shinn sudah datang. Ayo, aku antar kau sampai teras depan!" kata Cagalli pula.
Kira hanya mengangguk. Rasanya ia sudah tidak punya tenaga lagi bahkan untuk sekedar berbicara. Hujan masih belum berhenti. Cagalli pun memberikan payung untuk Kira.
"Hati-hati!" teriak Cagalli sambil melambaikan tangannya. Setelah Shinn dan Kira pergi, ia pun kembali masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu dan kembali ke kamarnya.
oooOONoMoreOOooo
.
.
Shinn masih focus menyetir. Kira kembali mengingat pertengkarannya dengan Lacus tadi… lagi-lagi ia sudah bersikap kasar pada gadis itu. Untuk yang kesekian kalinya ia membuat sang puteri pink menangis. Ia menyesal sudah membentak Lacus seperti tadi. Bayangan Lacus yang sedang menangis pilu tergambar jelas dibenakknya. Dadanya tiba-tiba terasa sakit. Sangat sakit. Ditekannya dada kirinya yang sakit dengan tangan kanannya, berharap rasa sakit itu akan hilang atau setidaknya berkurang tapi dadanya tetap terasa sangat sakit. Kira terus berusaha menahan sakitnya. Tubuhnya semakin tertunduk. Tangan kanannya terus meremas dadanya yang sakit sementara tangan kirinya mengenggam erat jok mobil, berusaha menopang tubuhnya yang terasa semakin lemah.
"Apa kau merasa sakit? Sebaiknya kau meminum obatmu!" kata Shinn sambil melirik Kira sekilas.
"Aku sudah minum obat satu jam yang lalu." Jawab Kira dengan suara lirih.
"Minum lagi! Kau tidak terlihat baik-baik saja. Aku bahkan berani bertaruh kalau sebentar lagi kau akan pingsan."
Shinn jadi kesal karena Kira diam saja. Ia bahkan tidak bisa melihat muka Kira dengan jelas karena wajah itu tertupi rambut, "Hey, Kira!" teriak Shinn tetapi tidak ada sahutan dari lawan bicaranya.
Shinn pun memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Kira tidak bergerak. Shinn jadi panik dan langsung menyentuh tubuh Kira. Saat itu juga kepala Kira langsung lunglai ke bahunya dan kedua matanya terpejam. Dengan cemas Shinn langsung menarik tangan Kira dan memeriksa denyut nadinya.
"Dia benar-benar pingsan…" kata Shinn yang kemudian membenarkan posisi duduk Kira dan lekas menelpon ayahnya.
"Otou-sama, suruh beberapa perawat standby di depan pintu UGD, sebentar lagi aku akan segera sampai di rumah sakit."
"Kenapa? Apa kau sudah menabrak orang?" suara ayahnya terdengar panik dan sedikit emosi.
"Aku membawa Kira-Nii dan dia sudah tidak sadarkan diri. Aku akan meningkatkan kecepatan mobilku karena denyut nadinya sangat lemah."
"Hey, jangan terlalu ngebut, nanti malah kecelakaan!" tegur ayahnya.
"Jangan khawatir, itu tidak akan terjadi!" balas Shinn yang langsung mematikan sambungan telepon dan kembali menyalakan mesin mobilnya.
.
.
Cagalli melirik Lacus yang sudah tertidur lelap sejak tadi. Ia jadi iri karena ia sendiri malah tidak bisa tidur. Perasaannya benar-benar tidak enak. Ia pun menelpon Shinn.
"Moshi-moshi…" suara disebrang sana terdengar lelah.
"Shinn, terimakasih sudah mengantar Kira ke rumah sakit. Bagaimana keadaannya sekarang? Dia baik-baik saja, kan?"
"Apanya yang baik-baik saja? Ayahku bahkan langsung memindahkannya ke ruang ICU!"
"APA?"
"Kudengar dia kritis tapi ini sudah larut malam, kau tidak perlu ke sini!"
"—tapi Shinn…"
"Aku tahu kau cemas tapi kalau kau ingin menjaganya, malam ini kau harus tidur dengan nyenyak. Dan jangan menghubungiku lagi karena sekarang aku mau tidur. Untung saja besok masih libur sekolah jadi aku bisa tidur dengan nyenyak sampai siang. Kututup teleponnya, ya!"
Dan dengan itu sambungan telepon pun terputus. Cagalli meletakkan ponselnya di atas meja. Cagalli kembali berbaring di tempat tidurnya dan memandang langit-langit kamarnya. Pandangan matanya terasa buram karena air mata yang lagi-lagi keluar tanpa bisa ia tahan.
'Jika kau ingin menjaganya, malam ini kau harus tidur dengan nyenyak.' Perkataan Shinn tadi terngiang-ngiang di kepalanya.
"Benar, aku harus tidur dengan nyenyak agar besok ada tenaga untuk menjaganya." gumam Cagalli yang kemudian mencoba mememejamkan matanya. Beberapa menit kemudian, ia pun tertidur.
.
Lacus terbangun dari tidurnya. Di sampingnya Cagalli masih tertidur lelap. Lacus pun tersenyum.
"Aku akan mandi duluan lalu menyiapkan sarapan untuk kalian, setelah itu baru aku akan membangunkanmu. Aku tidak tega kalau membangunkanmu sekarang." kata Lacus yang lekas meminjam handuk Cagalli lalu segera masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Lacus langsung ke dapur dan membuatkan sandwich. Ia juga mengupas beberapa buah apel dan buah pear sebelum memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. Setelah itu Lacus memasak air untuk menyeduh susu. Sambil menunggu air masak, ia kembali ke kamar Cagalli untuk membangunkannya.
"Cag, bangun!" kata Lacus seraya mengguncang-guncang tubuh Cagalli pelan.
Lacus tersenyum saat Cagalli mulai terbangun dan memperlihatkan mata ambernya, "Aku sudah membuatkan sarapan. Sebaiknya kau segera mandi!"
"Arigatou Lacus."
"Etto… sepertinya Kira juga belum bangun. Apa dia akan marah jika aku yang membangunkannya?"
"Kira tidak disini…"
"Maksudmu saat aku tertidur, dia langsung pergi untuk menginap di rumah temannya karena tidak ingin melihatku lagi?" tanya Lacus dengan wajah sedih.
"Dia di rumah sakit. Ayo kita kesana setelah kita sarapan!"
"APA? Apa yang terjadi semalam? Kalau begitu sebaiknya kita pergi sekarang juga!" kata Lacus panik.
"Ada Shinn yang menemaninya. Kita akan kesana setelah sarapan. Kira juga tidak akan suka kalau kita pergi tanpa sarapan dulu." kata Cagalli pula. Ia pun segera memasuki kamar mandi.
Lacus mengerti. Ia kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya tadi. Lacus mulai melamun. Mengingat-ngingat kenangan satu tahun yang lalu.
.
Flashback
.
Hari ini Via Hibiki—Ibunya Kira dan Cagalli— mengundang Lacus dan teman-teman mereka untuk makan siang bersama. Via sudah menyiapkan banyak sekali makanan enak. Dia bilang hal ini untuk merayakan awalnya debut mereka di Dominion High School. Via Hibiki ingin mengucapkan selamat pada mereka semua karena sudah berhasil naik ke tingkat Senior High School. Via juga terlihat senang dan bangga karena Kira mendapatkan nilai tertinggi di sekolah seperti biasanya. Tentu saja Lacus juga ikut senang, Kira memang jenius. Dia selalu menjadi murid yang terbaik di angkatannya.
Setelah acara makan-makan selesai, Via meminta Cagalli untuk membuatkan jus dan mencuci piring-piring kotor tapi Cagalli malah cemberut dan menolak. Akhirnya Lacus langsung menawarkan diri untuk melakukannya. Tentu saja hal itu membuat Cagalli senang dan Kira langsung melayangkan death glare pada adik kembarnya itu.
"Jangan merepotkan tamu!" tegurnya.
"Lacus sendiri yang mau, kok." sahut Cagalli innocent.
Lacus pun tertawa untuk mencairkan suasana, "Tidak apa-apa, biar aku saja Kira!" katanya.
"Aku juga akan membantu." kata Miri yang langsung menyusul Lacus ke dapur untuk membuatkan juice strawberry.
Keluarga Hibiki memiliki kebun buah-buahan sendiri. Jadi buah strawberry-nya pun masih segar-segar karena baru dipetik tadi pagi.
"Miri, kau mau menemaniku membeli makanan ringan?" tanya Flay seraya menghampiri mereka.
"Aku mau membantu Lacus dulu, Flay. Kau pergi sendiri saja!" tolak Mirialia. Tentu saja Flay langsung terlihat kesal. Lacus menghela nafas. Flay memang tipikal anak bangsawan manja yang menyebalkan.
"Tidak apa-apa Miri. Sebaiknya kau temani Flay!"
"Benar tidak apa-apa?"
"Tak masalah, pekerjaan seperti ini bisa kulakukan sendiri."
"Baiklah. Maaf ya, Lacus."
"Tidak. Kau tidak perlu meminta maaf Miri." kata Lacus dan mereka berdua pun langsung pergi.
"Kau kelihatan sibuk..."
Lacus yang sejak tadi tertunduk karena sibuk menuangkan jus ke dalam gelas mengangkat kepalanya saat mendengar ada seseorang berbicara padanya.
"Athrun..." kata Lacus kaget saat dilihatnya Athrun sudah berada dihadapannya.
"Tidak ada yang membantumu, ya? Dimana Mirialia? Kenapa kau sendirian disini?" tanya Athrun.
"Miri sedang keluar sebentar untuk membeli makanan ringan." jawab Lacus sambil kembali menuangkan jus dari blander.
"Perlu bantuan?"
"Mmmm..." Lacus tampak sedang berpikir sebentar lalu melanjutkan kata-katanya, "Kau bisa bawakan ini ke depan?" katanya sambil menunjuk minuman yang sudah selesai dibuat Miri.
"Tentu saja..."
"Arigatou, maaf merepotkan."
"Kau ini tidak perlu merasa sungkan pada tunanganmu sendiri..." kata Athrun sambil beranjak pergi dengan membawa gelas-gelas berisi minuman yang tadi disiapkanLacus.
Baru beberapa langkah dia berjalan pergi, Athrun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Lacus. Dilihatnya Lacus sudah berdiri membelakanginya dan sibuk dengan kegiatannya yang lain.
"Lacus..." panggil Athrun pelan
"Ha'i...?" kata Lacus sambil membalikkan badannya supaya bisa melihat Athrun yang memanggilnya.
Athrun hanya berdiri mematung sambil menatap Lacus tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sebenarnya ada yang ingin Athrun katakan pada Lacus, tapi ia ragu dan bibirnya terasa kaku.
"Athrun, ada apa?" tanya Lacus lagi.
"Mengenai pertunangan kita… Aku tahu orang tua kita yang mengaturnya. Aku paham kau mencintai Kira tapi apa yang akan kau lakukan jika aku mulai menyukaimu?" tanya Athrun dengan suara lirih.
"EH?"
"Iie, aku akan kembali lagi untuk membantumu." kata Athrun yang segera pergi meninggalkan dapur sementara Lacus masih terus menatap kepergiannya dengan bingung.
'Sebenarnya apa maksud Athrun?' batinnya.
Akhirnya Lacus kembali membalikkan badannya dan melanjutkan pekerjaannya, mencuci piring. Saat sedang sibuk membersihkan piring-piring yang kotor, tiba-tiba Lacus merasakan ada seseorang yang datang dan berdiri di sampingnya, lalu mengambil beberapa piring yang sudah dibilas dan meletakkannya di tempat piring bersih.
"Athrun, cepat sekali kau sudah kembali ke dapur..." katanya sambil mengangkat wajahnya untuk memandang orang yang berdiri di sampingnya. Dilihatnya pria yang telah membantunya meletakkan piring yang sudah bersih di tempatnya. Betapa terkejutnya dia saat mendapati pria yang berdiri di sampingnya itu bukanlah Athrun.
"Kira?" katanya dengan terkejut.
"Ha'i, ini aku, Kira, bukan Athrun..." jawab Kira sambil tersenyum pada Lacus.
"Gomen, aku pikir kau Athrun, tadi dia baru dari sini dan membawakan minuman ke ruang tengah..." jelas Lacus pada Kira.
"Aku mengerti, Lacus. Kau tidak perlu memasang tampang bersalah seperti itu..."
Lacus akhirnya tersenyum mendengar ucapan Kira. Kira pun ikut tersenyum. Diperhatikannya Lacus dengan tatapan yang lembut. Wajahnya yang cantik dan kulitnya yang putih. Matanya yang berwarna baby blue dan rambut sewarna Sakura di musim seminya yang nampak begitu halus dan terawat.Ditatap seperti itu membuat Lacus menjadi salah tingkah. Lacus pun blushing.
"Lacus…" kata Kira.
"Ya?"
"Kau ini mau cuci piring atau mau keramas?"
"Nani?"
"Ada busa sabun menempel di rambutmu..." kata Kira seraya mengelus lembut rambut Lacus untuk menyingkirkan busa sabun itu.
"Benarkah?" kata Lacus sambil mengangkat tangannya, hendak mengusap rambutnya dengan tangannya sendiri tapi segera di cegah Kira dengan memegang tangan Lacus yang terangkat itu.
"Ya ampun, Hime-sama! Apa kau benar-benar akan mencuci rambutmu dengan busa sabun pencuci piring?" kata Kira sambil memegangi tangan Lacus, sementara Lacus hanya menatapnya dengan bingung.
Kira lalu mengalihkan pandangannya ke tangan Lacus yang di pegangnya. Lacus pun mengikuti arah pandang Kira dan tertawa sendiri saat melihat tangannya itu ternyata penuh dengan busa sabun pencuci piring. Pantas saja Kira mencegahnya untuk mengusap rambut dengan tangannya itu, kalau tidak, akan ada semakin banyak busa yang menempel di rambutnya.
Melihat tingkah Lacus itu, Kira pun akhirnya ikut tertawa.
"Kira, apa kau sedang menertawakanku?" tanyaLacus sambil mencubit hidung Kira dengan tangannya yang penuh dengan busa sabun, membuat beberapa busa sabun menempel di hidung pria itu.
"Lacus, apa yang kau lakukan?"
"Menempelkan busa-busa ini ke wajahmu..." jawab Lacus sambil menempelkan busa-busa sabun yang tersisa di tangannya ke pipi, kening dan dagu Kira.
"Hahahaha…"
"Hey, kau mau menjahiliku, ya?"
"Iie, aku mau melanjutkan pekerjaanku..." kata Lacus sambil tersenyum puas pada Kira lalu berpura-pura kembali sibuk dengan cucian piringnya yang masih tersisa, tapi tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang menggores telunjuk kanannya,
"Aaw...!" pekik Lacus yang segera menarik tangannya menjauh dari piring-piring yang masih kotor. Dilihatnya telunjuknya telah mengeluarkan darah dan Lacus pun meringis karena merasa perih.
"Daijoubu? Jarimu berdarah..." tanya Kira yang terlihat cemas
"Daijoubu, hanya tergores sedikit..." jawab Lacus sambil terus memegangi telunjuknya yang berdarah.
"Huh, siapa yang menaruh pisau itu di situ?" tanya Kira lagi, terlihat kesal saat melihat ada pisau diantara tumpukkan piring-piring kotor
"Tadi aku yang menumpuk semua perabotan yang kotor menjadi satu di situ..." jawab Lacus sambil nyengir pada Kira.
"Kau ini... benar-benar tipikal seorang puteri." kata Kira lagi. Ia kemudian meraih tangan Lacus yang berdarah dan berkata, "Biar kulihat lukamu…"
Kira kemudian menarik telunjuk Lacus yang berdarah ke arahnya lalu menempelkan bibirnya ke telunjuk Lacus yang berdarah itu. Lacus hanya berdiri tertegun sambil memandang lurus ke arah Kira, merasa shock akan perlakuan Kira padanya. Ia merasakan Kira sedang menghisap darah yang keluar dari telunjuknya dan dadanya kini berdebar sangat kencang dan seluruh tubuhnya terasa membeku dan tidak dapat digerakkan.
"Sepertinya darahnya sudah berhenti keluar..." kata Kira setelah menjauhkan telunjuk Lacus dari bibirnya, "Sakit tidak?" tambahnya lagi sambil memandang Lacus yang masih diam terpaku.
Tidak ada jawaban dari gadis itu. Lacus masih terdiam di tempatnya dengan semburat merah yang kini menghiasi pipinya.
"Lacus..." panggil Kira lagi sambil sedikit mengguncangkan tubuh Lacus, membuat Lacus kembali tersadar.
"Ya?" tanya Lacus gugup.
"Tunggu sebentar, aku ambilkan plester dulu..." kata Kira sambil beranjak ke tempat kotak P3K yang masih terletak di sekitar dapur. Sementara Lacus masih terus berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun.
Kira segera kembali dengan membawa plester dan menempelkan plester itu di telunjuk Lacus yang terluka.
"Sudah..." kata Kira setelah selesai menempelkan plester di telunjuk Lacus "Ayo!" tambahnya lagi seraya menggandeng tangan Lacus.
"Kemana?" tanya Lacus polos.
"Tentu saja ke ruang tengah."
"Cucian piringnya?"
"Biarkan saja. Ayo!" Kira lalu membawa Lacus keluar dari dapur dan menuju ke ruang tengah untuk bergabung dengan yang lainnya.
.
.
Cagalli hendak menuju dapur saat dilihatnya seseorang sedang berdiri mematung di depan pintu dapur sambil memandang lurus ke arah dapur.
'Sedang apa Athrun berdiri disitu?' batin Cagalli dalam hati.
Cagalli lalu berjalan mendekat ke arah Athrun. Athrun nampak sangat serius sampai-sampai tidak menyadari Cagalli telah berdiri tepat di belakangnya. Cagalli kemudian mengikuti arah pandang Athrun. Di dapur ada Lacus dan Kira. Cagalli melihat Kira sedang memegang tangan Lacus dan mereka berdua sedang tertawa. Cagalli kembali melirik ke arah Athrun. Pria itu masih terus menatap lurus ke dapur, memandangi Lacus dan Kira. Cagalli pun kembali mengalihkan pandangannyake dapur. Kali ini dia melihat Lacus sedang menempelkan busa-busa sabun di tangannya ke wajah Kira. Mereka berdua benar-benar seperti sepasang kekasih yang sangat bahagia.
'Kira, apa kau benar-benar merasa bahagia bersama Lacus?' batinnya lagi.
Cagalli kembali menatap Athrun saat tiba-tiba ia mendengar suara Lacus yang memekik seperti kesakitan. Dilihatnya Athrun mengerakkan tubuhnya hendak masuk ke dapur saat mendengar pekikkan Lacus, tapi Athrun mengurungkan niatnya dan kembali ke posisi semula. Cagalli kembali mengalihkan pandangannya ke dapur untuk mengetahui apa yang terjadi. Sekarang ia melihat Kira sedang memegang tangan Lacus.Menarik tangan itu ke arahnya dan menempelkan bibirnya ke telunjuk Lacus. Tepat di saat yang bersamaan, Athrun membalikkan tubuhnya, membuatnya kini dalam posisi berhadap-hadapan dengan Cagalli. Athrun terlihat sangat kaget, begitupun Cagalli. Mereka berdua hanya saling pandang tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Cagalli menatap mata zamrud Athrun. Mata itu terlihat berkaca-kaca. Athrun segera menghindari tatapan Cagalli dengan memalingkan wajahnya dan segera pergi meninggalkan Cagalli dengan ekspresi yang sulit Cagalli mengerti.
'Ada apa dengan Athrun? Kenapa dia? Dia tidak menyukai Lucas, kan?' batinnya lagi penuh tanya.
.
.
Athrun duduk termenung sendirian di taman belakang rumah keluarga Hibiki. Pikirannya melayang membayangkan kejadian yang baru saja dilihatnya di dapur. Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat adegan yang terjadi di tempat itu. Rasanya Athrun ingin sekali melupakan semua yang telah dilihatnya, tapi semuanya sia-sia karena kejadian itu terus membayangi pikirannya. Athrun mencoba menutup matanya, berharap bayangan kejadian itu akan menghilang, tapi yang terjadi justru bayangan setiap adegan didapur itu malah menjadi semakin jelas. Athrun segera kembali membuka matanya, dan pada saat itu dia melihat seorang gadis telah berdiri di hadapannya.
"Sedang apa kau disini?" tanya gadis itu, kemudian ikut duduk disamping Athrun.
"Tidak sedang apa-apa." jawab Athrun.
"Sepertinya kau sedang ada masalah..."
"Masalah apa?"
"Entahlah tapi aku rasa karena kejadian di dapur barusan..."
"Cagalli, a-apa maksudmu?" tanya Athrun yang terlihat kaget sambil menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya itu.
"Sepertinya apa yang kau lihat barusan di dapur membuat hatimu terluka." kata Cagalli sambil terus menatap lurus ke depan.
"Kenapa hatiku harus terluka?" tanya Athrun yang kembali mengarahkan pandangannya ke depan.
"Kenapa kau tanya aku? Yang merasakan itu semua kan kau sendiri..."
"Aku tidak merasakan apa-apa."
"Benarkah...? tapi matamu berkata lain."
"Cagalli, sejak kapan mata bisa berbicara? Kau ini, kalau begitu mulutku ini harus ku gunakan untuk apa? Hahaha..." kata Athrun mencoba becanda dengan tawa yang dipaksakan, berusaha terlihat ceria seperti biasanya di depan Cagalli tapi sepertinya semuanya sia-sia karena Cagalli sama sekali tidak tertawa mendengar kata-kata Athrun, bahkan sekedar tersenyum pun tidak.
"Athrun, kau tau? Actingmu sama sekali tidak bagus..." kata Cagalli serius sambil memandang Athrun dengan tatapan dalam.
"Apa?"
"Aku punya saudara kembar yang pemurung dan pendiam. Terkadang dia sangat tertutup. Jadi aku mulai belajar memahami perasaannya yang sesungguhnya lewat sorot matanya. Sejak itu, dia tidak pernah bisa berbohong padaku. Dan sekarang hal itu berlaku padamu, Athrun."
"Apa maksudmu?"
"Kau tetap tidak bisa menutupi keadaanmu yang sebenarnya dengan berpura-pura terlihat senang di depanku…"
Senyum Athrun menghilang seketika dan wajahnya kembali muram.
"Semua yang kukatakan benar, kan?" tanya Cagalli sambil terus memandang Athrun.
"Cagalli…"
"Hatimu terluka saat melihat kejadian di dapur barusan, kan? Hatimu terluka melihat Kira dan Lacus berduaan di dapur dan mereka terlihat begitu bahagia, kan?"
"Cagalli…"
"Doushite? Kau masih tidak mau mengakuinya?"
"Mengakui apa?"
"Mengakui perasaanmu yang sebenarnya pada Lacus."
"Cagalli…"
"Kau sebenarnya menyukai Lacus, kan?"
"Cagalli!"
"Kenapa kau terus menerus memanggil namaku?"
"Karena kau terus-menerus berbicara."
"Kalau begitu sekarang kau jawab pertanyaanku!"
"Pertanyaan yang mana?"
"Tentu saja pertanyaanku tadi..."
"Tadi kau banyak sekali bertanya..." kata Athrun membuat Cagalli menarik nafas panjang.
"Baiklah, sekarang katakan padaku, kau menyukai Lacus, kan?"
Deg, Pertanyaan Cagalli itu membuat Athrun tertegun. Padahal tadi Cagalli sudah sempat menanyakan hal yang sama padanya. Tapi untuk kali ini, pertanyaan Cagalli itu membuat Athrun benar-benar bingung harus menjawab apa.
"Bagaimana bisa aku menyukai Lacus?" jawab Athrun pada akhirnya.
"Kenapa tidak?"
"—tapi Lacus itu..."
"PacarKira—sahabatmu sekaligus saudara kembarku." kata Cagalli memotong kalimat Athrun, "Athrun, kau punya hak untuk menyukai gadis manapun, tidak terkecuali Lacus." tambahnya lagi
"—tapi aku tidak bisa menyukai Lacus..." ucap Athrun dengan suaranya yang lemah, matanya terus menatap lurus ke depan.
"—karena Kira?"
"Ha'i…"
"Kau rela mengorbankan perasaanmu untuk kebahagiaan Kira?"
"Ha'i!"
"Lalu, apa kau merasa bahagia?"
"Nani?" Athrun kembali memandang Cagalli, merasa bingung dengan pertanyaan yang diajukan gadis itu.
"Kau rela melepas Lacus karena kau tahu kondisi Kira, kan? Kau tahu kalau Kira sakit…"
"Ya dan kulihat Kira sangat bahagia bersama Lacus." kini air mata Athrun menetes. Ia tidak bisa menahan kesedihannya lagi.
"Aku tidak mengerti…" Cagalli kembali berbicara, "Aku benar-benar tidak mengerti, apakah cinta harus seperti ini?" tanyanya pada Athrun.
Cagalli terus memandang Athrun dalam-dalam. Pria itu benar-benar terlihat sangat sedih dan terluka, sangat jauh berbeda dengan Athrun yang selama ini ia kenal. Cagalli tahu semua ini pasti berat untuk Athrun. Menyukai gadis yang sangat disukai oleh sahabatnya dan harus merelakan gadis yang disukainya itu bukan untuk dirinya.
"Cagalli..." Athrun kembali berbicara, "Kalau ini terjadi padamu, kalau misalnya Kira bukan saudara kembarmu dan kau menyukai Kira sama sepertiLacus, apa kau akan berusaha untuk mendapatkan Kira?"
Cagalli terdiam dan membayangkan kalau hal itu benar-benar terjadi padanya. Di satu sisi dia sangat menyukai pria itu, tapi di sisi lain, Lacus adalah sahabat terbaik yang dimilikinya, yang bahkan sudah dianggapnya seperti keluarganya sendiri. Apakah ia akan tega menyakiti hati Lacus? Apakah dia akan membiarkan sahabatnya itu terluka? Apakah ia akan bisa bahagia melihat Lacus terluka?
"Aku akan melepaskan Kira untuk Lacus..." jawabnya pada Athrun. Dilihatnya pria itu tersenyum padanya. Senyum getir yang membuat Cagalli iba padanya.
"Aku akan melakukan hal yang sama bila itu terjadi padaku." kata Athrun lagi.
"Kau yakin kau bisa melakukannya?"
"Aku harus bisa..." jawab Athrun. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya, menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya lagi, kemudian kembali berbicara pada Cagalli yang masih duduk di tempatnya. "Cagalli, ayo kita masuk, yang lain pasti menyadari kalau kita telah menghilang!" katanya dengan nada suara yang lebih riang dan senyuman manis yang kembali menghiasi wajah tampannya.
Cagalli menengadahkan kepalanya, memandang Athrun yang telah berdiri di hadapannya. Wajah muram Athrun telah berganti dengan ekspresi riang. Athrun terlihat telah kembali seperti Athrun yang dikenalnya. Athrun yang kuat, tegar, dan bersemangat.
"Ayo!" kata Athrun lagi sambil mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Cagalli yang masih duduk di kursi taman.
Cagalli pun bangkit dari tempat duduknya, hendak melangkahkan kakinya menyusul Athrun yang telah berjalan beberapa langkah menjauhinya, saat tiba-tiba terlintas satu pertanyaan di benaknya,
"Athrun!" panggil Cagalli, membuat Athrun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahnya. "Kalau saja Kira tidak pernah menyukai Lacus sama sekali, apakah kau akan berusaha untuk mendapatkan Lacus?"
Athrun hanya berdiri diam dan mulutnya kembali membisu.
Cagalli berjalan beberapa langkah mendekati Athrun dan kembali bertanya, "Kau akan melakukannya?"
"Cagalli, apa kau benar-benar ingin melihat kami bersama sebagai sepasang kekasih?" Athrun malah balik bertanya pada Cagalli.
"Sudah jawab saja pertanyakanku tadi!"
"Jika Kira tidak pernah jatuh cinta pada Lacus, tentu saja aku akan berusaha untuk mendapatkan hati Lacus. Aku mencintai Lacus sejak kami masih kecil. Sejak aku dan Lacus masih tinggal di PLANT."
"APA?"
Tiba-tiba Athrun dan Cagalli mendengar suara familiar seseorang dan betapa terkejutnya mereka saat melihat sosok orang-orang yang telah berdiri di depan mereka. Kira dan Lacus. Lacus nampak bingung. Sementara kira tertawa kecil, "Aku tidak percaya ini!"
.
Flashback End
.
.
Lacus ingat, hari itu Athrun bilang kalau Athrun mencintainya sejak kecil dan Kira menampakkan ekspresi yang sulit ia baca, makanya saat Kira memutuskan hubungan mereka beberapa bulan yang lalu… Ia pikir alasannya adalah karena Athrun. Dan ia harus menjauhi Athrun, tapi sekarang ia sudah tahu alasan Kira yang sebenarnya. Hatinya benar-benar terasa sakit. Kira tahu kalau Athrun mencintainya, makanya Kira memintanya untuk memulai kisah cinta yang baru. Tidak hanya Kira tapi Cagalli juga memintanya untuk move on. Ia tidak akan bisa melakukannya. Ia pun kembali menangis.
"Lacus, kenapa kau menangis lagi?" tanya Cagalli sambil menghampirinya.
"Aku hanya teringat kejadian satu tahun yang lalu. Saat aku berduan dengan Kira di dapur ini. Itu adalah kenangan yang tidak akan pernah bisa aku lupakan karena pada hari itu, aku bisa melihat senyum Kira dan mendengar tawanya."
Mendengar cerita Lacus itu, Cagalli jadi teringat apa yang terjadi selanjutnya setelah Kira dan Lacus tidak sengaja mendengar sebagian pembicaraannya dengan Athrun.
.
"Cagalli, apa menurutmu aku harus melepas Lacus untuk kebahagiaan sahabatku?"
.
"Hmm. Ayo, kita sarapan dulu. Setelah itu kita ke rumah sakit!" kata Cagalli sambil menyunggingkan senyumnya pada Lacus.
.
.
Continued…
.
.
Maaf kalau fictnya OOC dan banyak kesalahan. Well, karena ini fict pertama saya di fandom ini, saya mohon kritik dan saran yang membangun dari teman-teman semuanya. Arigatou. ^^
