"Uuh… Ahh…Hmm.."

Anak-anak yang menyaksikan video itu tertawa keras. Video yang menunjukkan sebuah seks dengan dua lelaki yang berkisar seumuran dengannya atau lebih tua darinya.

Dia tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi ketika menyaksikan video itu dari kejauhan. Mengabaikan komentar pedas teman-temannya yang mulai mengganggunya atau tatapan para murid sekolahnya yang seakan menjatuhkannya.

Memang benar. Dia sudah jatuh ke lubang tidak berdasar yang disebut kematian.

Video itu tersebar pagi tadi. Saat murid-murid berkumpul ketika bel istirahat berbunyi. Jelas sekali pelakunya adalah seniornya atau teman seangkatannya, ia tidak tahu. Ia tidak bisa memikirkannya sejauh itu.

Video seksnya bersama dua laki-laki dengan wajah dan bagian tubuh telanjang mereka di blur dengan baik, membuat dirinya tidak bisa mengenali dengan jelas siapa mereka. Yang pasti, mereka memanipulasinya dengan mudah dan dibantu dengan teknologi canggih masa kini semakin menyempurnakan niat jahat mereka padanya.

Dua video yang tidak pernah dia tahu kesebar luas di kalangan sekolah. Video yang berisikan dia masturbasi di atas meja makan dan dirinya yang disetubuhi dua lelaki yang secara total tidak diketahui. Bahkan, warna rambut yang mungkin bisa dia kenali, benar-benar dihilangkan. Dia menyerah.

"Well, masih memiliki tekad kuat untuk pergi duduk di kelas rupanya setelah video memalukanmu tersebar," goda gadis berambut panjang dengan mata birunya memicing tajam pada dirinya.

Dia bangkit dari kursinya setelah mengambil tas punggungnya. Berlari ke luar kelas dengan tangisan yang tertahan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menutup diri dari dunia luar untuk selama-lamanya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Chandelier

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sakura menyentuh bahunya yang terasa pegal dengan sebelah tangannya. Ia memejamkan matanya, menikmati sensasi rasa pijatan yang ia berikan pada bahunya. Rasa sakit dan terasa ngilu bercampur menjadi satu.

"Sakura, kau sudah lelah. Pulanglah."

Suara Yamanaka Ino yang lembut membuat kedua matanya kembali membuka. Sakura hanya mampu mengeluarkan desahan dan kembali memijit bahunya.

"Kau besok libur. Gunakanlah waktumu untuk pergi berlibur atau pergi ke sebuah tempat pijat dan spa agar lebih rileks," tutur Ino lembut. Matanya sedikit menyipit ketika melihat wajah Sakura yang beberapa kali meringis karena rasa sakit di bahunya.

Sakura membuka matanya, ia meminum gelas terakhir kopi susunya dan merapikan kertas-kertasnya. "Kau benar. Aku tidak kembali ke rumah sejak tiga hari yang lalu. Tapi, aku harus mengerjakan proyek ini. Ini benar-benar menguntungkan kita, Ino."

Ino mendengus. "Kau bisa menyelesaikannya setelah kau libur. Pihak hotel memberikanmu waktu dua minggu untuk menyelesaikannya," Ino melirik kertas dengan gambar sebuah hotel besar yang digambar oleh Sakura. "Kau sudah menyelesaikan separuh dari gambar itu. Kau bisa menyempurnakannya nanti. Atau ketika kau berada di rumah, kau bisa menyelesaikannya. Santai saja."

Sakura menatap sketsa gedung yang ia buat lirih. Berhari-hari ia habiskan untuk menggambar sketsa gedung yang akan dipergunakan untuk membangun sebuah hotel mewah di pusat kota.

"Baiklah."

Ino tersenyum manis. "Aku akan merapikan semua kekacauan sialan ini. Kau pulang saja, aku menyuruh supir untuk membawa kendaraanmu. Kau tidak bisa menyetir malam ini. Kau kelelahan, Sakura."

Sakura hendak membuka mulutnya lagi sebelum suara tegas Ino menginterupsinya.

"Tidak ada bantahan."

Sakura hanya bisa mendesah tetapi kemudian tersenyum.

.

.

Sakura membuka rumah mungilnya dengan kunci yang ia bawa. Semenjak sang Ayah pergi meninggalkannya dalam kecelakaan mobil tiga tahun yang lalu, Sakura hanya ditinggalkan sebuah rumah sederhana yang menjadi tempatnya tumbuh selama dua puluh lima tahun ini.

Ia sendiri tidak pernah memusingkan mengenai harta warisan sang Ayah yang tersimpan rapi di dalam bank yang ia sendiri tidak tahu dimana. Sakura tidak pernah menanyakan hal itu secara pribadi pada sang Ayah. Mereka memiliki ikatan yang buruk ketika Sakura memilih untuk keluar dari sekolah menengah atas dan memilih untuk belajar sendiri di rumah.

Dia tidak kuat dengan semua olok-olokkan dan hinaan yang menimpa dirinya karena video sialan itu.

Ayahnya baru mengetahuinya setelah Karin, sepupunya yang menjadi senior di sekolahnya, memberitahukan pada sang Ayah.

Sakura tidak begitu melihat bagaimana reaksi Ayahnya karena wajahnya yang ia sembunyikan di dalam lipatan tangannya dan menangis keras-keras di sana ketika suara Ayahnya yang keras seakan menampar tubuh rapuhnya.

Semenjak itu, sang Ayah memiliki jarak yang tidak bisa Sakura raih seperti sebelumnya. Hanya sang Ayah yang ia miliki ketika Ibunya pergi meninggalkannya seorang diri dan menikah dengan pria muda yang jauh dibawah umurnya.

Hanya Karin yang satu-satunya menjadi dekat dengannya. Wanita itu memiliki ikatan yang kuat dengannya setelah pertengkaran hebat antara Sakura dengan Ayahnya. Hanya Karin yang diperkenankan tinggal serumah dengannya di saat sang Ayah pergi untuk urusan bisnis. Tapi, semenjak kematian sang Ayah, Karin juga memutuskan kedekatan mereka dan memilih untuk memberikan jarak yang jauh antara dirinya dan Sakura.

Sakura melempar tasnya ke atas sofa besarnya. Mengambil sebotol anggur dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas. Sakura butuh anggur untuk meringankan beban tubuhnya yang terasa berat. Kepalanya sedikit pusing dan ia memutuskan untuk langsung tidur tanpa harus membersihkan dirinya terlebih dahulu.

.

.

Uchiha Sasuke melangkah tergesa-gesa menuju kamar rumah sakit dimana sang Ibu sedang terbaring lemah dengan alat-alat listrik berat yang menancap di tubuh kurusnya.

Ia langsung memutar kemudi mobilnya ketika pihak rumah sakit menghubunginya kalau kondisi sang Ibu kembali menurun dan harus segera dilarikan ke ruang gawat darurat untuk ditangani lebih lanjut lagi.

Sasuke sudah menghubungi Ayahnya namun nihil, sebagai anggota dewan di Jepang, Ayahnya memiliki kesibukan yang jelas sekali tidak bisa diganggu oleh siapapun bahkan dengan keluarganya sendiri.

Terkadang, ia ingin sekali membenci Ayahnya, namun ia tidak bisa.

Dokter yang menangani sang Ibu keluar dari dalam ruangan. Dia melepas masker penutup hidungnya, menatap Sasuke yang memandangnya penuh cemas.

"Nyonya Uchiha baik-baik saja. Jantungnya sedikit memiliki tekanan yang membuat kondisinya menurun drastis. Seingatku, empat jam yang lalu Tuan Uchiha datang ke sini untuk menjenguk Nyonya."

Sakura mengerutkan dahinya. "Benarkah?"

Dokter berkacamata tebal itu mengangguk mantap. "Aku sangat yakin. Kau bisa bertanya langsung dengan suster yang merawat Ibumu."

Sasuke mengangguk setelah mengucapkan terima kasih. Kondisi sang Ibu kembali stabil setelah rumah sakit menanganinya dengan cepat sebelum terjadinya komplikasi yang lebih parah lagi. Sasuke berulang kali menghubungi sang Ayah, tetapi tidak diangkat.

Kedua tangannya terkepal di dalam saku jasnya. Sasuke baru saja kembali dari kantor, ingin pulang untuk makan malam dan berganti pakaian setelah itu pergi ke rumah sakit untuk menunggu sang Ibu yang terbaring lemah di atas ranjang satu tahun yang lalu karena penyakit jantungnya.

Dokter menyarankan operasi dan Sasuke menyetujuinya. Ia melakukan apapun agar sang Ibu bisa sembuh. Dia tidak perlu meminta persetujuan sang Ayah yang jelas-jelas menolak operasi itu dengan alasan yang tidak Sasuke mengerti. Namun, Sasuke tetap bersikeras untuk memaksa sang dokter agar melakukan operasi pembedahan pada sang Ibu.

Namun, sayangnya operasi itu baru bisa dilaksanakan ketika kondisi Ibunya bergerak stabil dan segala kemungkinan yang terjadi akan sangat kecil jika kondisi sang Ibu stabil dan normal.

Pintu kamar terbuka, Sasuke menatap lirih ketika Ibunya membuka matanya setelah melewati masa-masa sulit menghadapi penyakit mematikannya. Perawat memberikannya waktu untuk berbicara dengan sang Ibu.

Sasuke masuk ke dalam ruangan dengan pakaian khususnya, sorot matanya tampak terluka ketika sang Ibu perlahan-lahan membuka matanya dan menatap matanya.

"Sasuke, kau disini?"

Sasuke mengerjapkan matanya yang berair. Ia tidak mungkin menangis di depan sang Ibu. Ia tidak ingin membuat Ibunya semakin sedih. "Tentu, Ibu. Aku takut sekali."

Ibunya tersenyum disaat selang penyalur makanan masih menempel di pipi dan masuk melalui sudut mulutnya.

"Ayahmu datang berkunjung tadi pagi," Sasuke mengeratkan genggaman tangannya pada sang Ibu yang tampak bergetar. "Dia benar-benar akan mencalonkan diri menjadi perdana menteri setelah kekuasaan Yujin runtuh. Kau tahu apa akibatnya jika Ayahmu naik tahta menjadi perdana menteri di Negara ini?"

Sasuke tanpa sengaja melepas tautan tangannya dengan sang Ibu yang berlinang air mata di depannya. Sasuke memundurkan tubuhnya tanpa sadar, mulai menjauh ketika sang Ibu memanggilnya dengan nada lirih dan terluka.

Tidak akan hanya ada dua orang yang terluka nanti, tapi akan ada orang lain yang terluka setelah ini. Sasuke sangat yakin itu.

.

.

Sakura mengambil semangkuk sarapannya yang berisi salad sayur-sayuran dan segelas susu hangat. Biasanya, ia akan menyantap sereal yang diberi susu dingin atau sepiring kacang-kacangan agar tubuhnya tetap fit dan bugar. Ia sudah menjalani rutinitasnya selama dua tahun belakangan ini.

Sakura memilih untuk beristirahat di rumah dan menghabiskan waktu untuk membersihkan kebun belakang dan juga beberapa ruangan tak terpakai bekas sang Ayah dulu. Sudah berhari-hari ia melupakannya. Mungkin ruangan itu sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba atau tempat beranaknya tikus-tikus kecil yang sangat dibenci Sakura.

Petugas koran belum melemparkan korannya pagi ini. Sakura memilih untuk menyalakan televisi dan melihat kabar terbaru dari dunia luar yang tak pernah disentuhnya selama ini.

Selama lima tahun belakangan ini, Sakura tidak pernah berpergian keluar rumah selain membeli pakaian atau belanja bulanan untuknya. Dia juga tidak lagi berkunjung ke apartemen Karin semenjak sang Ayah meninggal. Karin tidak pernah menghubunginya atau sekedar berbasa-basi mengajaknya untuk minum kopi bersama. Karin melupakannya, tentu saja.

Sakura mengerutkan dahinya ketika sosok Uchiha Fugaku ada di layar televisinya sedang menggelar jumpa pers yang biasa dilakukan anggota dewan yang lain. Sang Ayah, Haruno Kizashi juga pernah melakukan hal yang sama dulu, tapi seingatnya, jabatan Uchiha Fugaku jauh lebih tinggi dari Ayahnya. Tidak heran, jika pria itu sangat terkenal di Negara ini.

Sakura memakan saladnya dalam diam. Ia mendengarkan secara seksama apa yang dikatakan pria yang Sakura taksir berumur lima puluh tahun ke atas itu dengan wajah serius. Ia benar-benar ingin tahu apa yang akan dilakukan Uchiha Fugaku selanjutnya.

"Aku akan mencalonkan diri menjadi Perdana Menteri selanjutnya setelah masa Yujin akan berakhir."

Sakura menarik sudut bibirnya, tersenyum ketika Uchiha Fugaku dengan lantang menyebut keinginannya di masa depan. Ia tidak bisa menampik fakta kalau Uchiha Fugaku sangat berjasa di kelasnya. Sebagai anggota dewan, dia banyak melakukan perubahan-perubahan yang bertujuan untuk kepentingan rakyat dan banyak dari mereka yang menyukainya. Sakura sendiri terkena dampaknya.

Fasilitas umum yang rusak juga diperbaiki karena usulan dan tindakan tegas darinya. Para petindak kriminal diberi hukuman yang berat atas perbuatan-perbuatannya dan itu sangat membantu masyarakat yang hidup tinggal di kota besar seperti Sakura.

Sakura menyuap salad terakhirnya dan menoleh ke arah pintu ketika bunyi ketukan mengusiknya. Sakura meminum separuh susunya dan pergi untuk melihat siapa tamunya.

"Selamat pagi, Nona Haruno."

Sakura membuka pintunya agar lebih lebar lagi. Ia menyuruh sosok pria berambut perak masuk dan duduk di ruang tamunya. Memberikannya segelas air putih dan pria itu mengucapkan kata terima kasih dengan lugas.

"Aku Yamaji, aku pengacara Tuan Kizashi," lanjutnya.

Sakura menghembuskan napas lega ketika mendengarnya. Ia takut jika orang ini adalah salah satu dari pelaku kejahatan atau apapun perampok yang berkedok orang penting agar lebih mudah mengambil barang-barang di rumahnya.

Ketika pria itu memberikan identitas resminya, Sakura sangat percaya padanya. Ayahnya memang tidak pernah mengatakan sesuatu tentang kehidupan pribadinya selain untuk dirinya. Ia tidak pernah ingin Sakura tahu apa yang pernah di alaminya selama menjabat sebagai anggota dewan dan bekerja selama separuh umur disana. Dalam waktu yang sangat lama, Sakura yakin, kalau Ayahnya pernah memiliki masalah yang berat dan ia tidak pernah menceritakannya pada siapapun.

Bahkan, tentang video itu…

"Ayahmu meninggalkan sebuah tanah yang telah dibangun penginapan berlantai dua di pinggir kota. Bersisian dengan taman bunga terbesar di Jepang, tanah itu satu-satunya menjadi warisanmu ketika Ayahmu meninggal tiga tahun lalu."

Sakura membulatkan matanya. "Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?"

Pria itu memasang wajah menyesal. "Aku minta maaf. Aku benar-benar memiliki urusan yang sangat banyak ketika Ayahmu meninggal dalam kecelakaan mobil tiga tahun lalu. Aku baru sempat melihatnya beberapa bulan belakangan ini dan menulisnya secara resmi untukmu."

Sakura mendesah sebagai jawaban. Ia meremas tangannya kuat di atas pangkuannya.

"Apa adalagi selain ini yang Ayahku tinggalkan?"

Pria itu tampak gelisah di tempat duduknya dan Sakura berhasil menangkap wajah pucat pria itu sebelum akhirnya ia menyerah dan menggeleng mantap.

"Tidak ada. Hanya rumah ini dan penginapan di pinggir taman yang ada di bukit selatan."

Sakura menarik napasnya dalam-dalam.

"Baiklah."

Sakura menandatangani surat itu tanpa bertanya lebih jauh lagi. Urusannya dengan pengacara itu selesai sudah. Semua yang Ayahnya titipkan padanya, sudah disampaikan dengan baik pada Sakura. Ini juga salahnya karena ia tidak pernah mau terbuka dengan orang lain semenjak insiden memalukan itu. Sakura tidak ingin orang lain tahu video menjijikan itu setelah sang Ayah mengambil tindakan untuk menghapusnya dari seluruh situs yang tersebar sebelum adanya kekacauan lebih jauh lagi.

"Apakah, Ayahku pernah menceritakan hal lain padamu?" tanya Sakura hati-hati.

Pria itu tampak berpikir sebentar, "Ya. Mengenai kasus yang menimpa dirimu dan pihak kepolisian yang menutupnya karena tidak bisa menemukan pelakunya."

Sakura menggigit bibir bawahnya dengan gemetar. "Aku mengerti."

Pria itu menunjukkan wajah menyesal yang berhasil tertangkap oleh lensa mata Sakura. Namun, Sakura sangat yakin kalau sang Ayah sudah mengupayakan segala cara untuk tidak membuatnya sedih di belakangnya dimana Sakura tidak mengetahuinya.

Kasus itu sudah ditutup bertahun-tahun yang lalu karena polisi tidak bisa menemukan siapa pelaku penyebar video itu dan siapa sosok laki-laki yang ada di video itu. Sakura sendiri juga mengupayakan segala cara agar penyebar dan pelaku yang memperkosanya waktu lalu berhasil tertangkap dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya.

Pengacara sang Ayah segera bangkit dari kursinya dan berpamitan pada Sakura yang terlihat lebih membutuhkan waktu sendiri setelah kejadian yang seluruhnya menimpanya. Ketikadaan orang terdekat membuat Sakura lebih menghargai hidup dan tidak ingin membuat keadaannya jauh menderita lagi.

"Terima kasih atas bantuanmu." Sakura mengulurkan tangannya dan dijabat hangat oleh tangan besar pria itu. Dan mengundurkan diri untuk pergi.

Sakura menutup pintu rumahnya dan bergegas untuk membaca surat-surat yang ditulis oleh tangan Ayahnya sendiri yang Sakura tidak pernah baca sebelumnya. Surat itu sengaja dititipkan sang Ayah pada pengacara pribadinya untuk diserahkan kepadanya saat waktunya tiba nanti.

Kerutan di dahinya terlihat jelas ketika Sakura membaca tulisan terakhir yang terselip di ujung kertas yang berukuran kecil.

.

.

Berhati-hatilah dengan Karin.

.

.

Ino masuk dengan membawa dua gelas kopi panas dan cemilan ringan untuk mengisi waktu kosong mereka sejenak. Sakura mendorong jauh kertas dan pensilnya agar tidak terkena tumpahan air kopi.

Yamanaka Ino, Sakura tidak bisa menjelaskan secara detail bagaimana Ino sangat berarti baginya. Tumbuh bersama di lingkungan yang sama, membuat kedekatan mereka bagaikan sebuah saudara kandung antara satu sama lain. Ino terlahir sebagai anak tunggal dan Sakura pun sama. Mereka sama-sama tumbuh menjadi gadis dewasa tanpa lengkapnya sebuah keluarga.

Ayah Ino adalah seorang pemabuk yang tewas karena overdosis obat-obatan di sebuah klub malam. Dan semenjak saat itu, Ibu Ino memilih untuk merawat Ino seorang diri tanpa harus memikirkan untuk mencarikan Ayah baru bagi putrinya. Bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah bank ternama, membuat Ino hidup berkecukupan sampai ia lulus dengan nilai memuaskan dan bekerja bersama Sakura dalam membangun bisnis yang cukup maju.

Sedangkan Sakura sendiri berhasil masuk ke perguruan tinggi setelah melakukan ujian berulang kali agar ia bisa mendapatkan beasiswa selama bersekolah. Ia tidak ingin merepotkan sang Ayah lebih jauh lagi. Hubungan mereka berjalan tidak baik dan Sakura tidak ingin membebani sang Ayah dengan biaya-biaya sekolahnya.

Dan untuk masa lalu terkelam Sakura, hanya Ino yang mengetahuinya secara jelas dari mulutnya sendiri. Sakura memang berniat membaginya bersama sahabat seumur hidupnya, Ino. Hanya karena dia yang tidak pernah meninggalkan Sakura di hari-hari terberatnya sampai saat ini.

Ino meneguk kopi hitamnya sembari sesekali melirik Sakura yang melamun.

"Bagaimana harimu?"

Sakura tersenyum masam. "Baik. Aku membersihkan kebun belakang dan kamar Ayah. Sisanya hanya aku habiskan untuk makan dan tidur. Itu saja."

Ino tersenyum geli ketika melihat wajah bosan Sakura. "Kau terlihat menikmatinya."

"Ya, begitulah."

Sakura memakan roti isi yang Ino bawakan untuknya. Ia menggigit ujung roti itu dengan perlahan dan mengunyahnya dalam diam.

Ino mengerutkan alisnya ketika menatap Sakura. "Hei, Sakura, aku punya berita buruk untukmu."

Sakura menghentikan gerakan mulutnya dan menatap Ino dalam. "Apa yang terjadi?"

Ino terlihat gelisah sekarang. Wajah wanita itu berubah pucat seketika saat sorot mata Sakura tajam menatapnya.

"Bank yang membiayai seluruh keperluan bisnis kita bangkrut. Aku berusaha mengajukan proposal pada bank lain dan mereka tidak menerimanya. Satu-satunya jalan adalah dengan menghubungi CEO dari Uchiha Company, Uchiha Sasuke."

Sakura hampir saja menjatuhkan roti isi ke lantai jika Ino tidak cepat-cepat menghentikannya. Dia merasa panik sekarang.

"Sakura, tenanglah, tidak akan ada yang terjadi jika kita tetap tenang," terang Ino.

Sakura menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Ia berusaha agar menjaga emosinya tetap stabil dan tidak panik. Bagaimana dengan kelanjutan usaha yang ia rintis sejak awal ini? Apakah akan berakhir sia-sia?

"Aku kenal siapa Uchiha Sasuke. Dia adalah seniorku saat di bersekolah dulu," kata Sakura sembari memijit kepalanya yang pening. "Apakah ini benar-benar terjadi, Ino? Aku pikir semuanya baik-baik saja."

Ino memasang wajah menyesal yang membuat Sakura semakin sedih karena hampir meragukan kemampuan sahabat terbaiknya. Sakura memegang lengan Ino di atas mejanya, mengusap dengan lembut sembari tersenyum. "Maaf, Ino. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku sangat percaya padamu. Aku tidak akan bisa sesukses ini jika tanpa dirimu."

Ino balas memegang telapak tangan Sakura yang bergetar. Wanita itu menyunggingkan senyum manisnya. "Tidak apa, Sakura. Aku mengerti. Aku berusaha sebaik mungkin dan Sai bilang padaku, kau bisa bertemu dengan Uchiha Sasuke untuk hal ini. Dia paling mengerti dalam segala hal. Banyak yang meminta bantuan darinya dan semua berjalan baik-baik saja. Semoga kita juga termasuk dari yang beruntung itu, Sakura."

Sakura menatap Ino dengan lirih. Hatinya berdesir antara harus atau tidak. Ia sangat takut. Menatap wajah Uchiha Sasuke sama saja berkaca dengan masa lalunya. Dimana semua murid-murid yang berada di satu atap dengannya, melihat video memalukan itu.

"Kalau kau tidak bisa, biar aku yang bertemu janji dengannya," sergah Ino cepat ketika melihat wajah terluka Sakura.

Sakura tersenyum, ia sudah memantapkan hatinya untuk bertemu lelaki itu. Ini sudah lima tahun berlalu dan beranjak enam tahun. Uchiha Sasuke pastinya melupakan kejadian memalukan itu. Ia tidak termasuk di dalam orang-orang yang ikut menghina dan mengoloknya. Lelaki itu terkenal sangat pendiam dan tidak peduli dengan sekitarnya.

Seharusnya ini bagus untukmu, Sakura.

"Tidak, Ino, biar aku saja." Sakura tersenyum meyakinkan pada sahabatnya dan Ino hanya bisa mengangguk. Berusaha mempercayai Sakura yang terlihat tidak yakin dengan dirinya sendiri saat ini.

.

.

Uchiha Sasuke masuk ke dalam sebuah taman besar dengan dua pria yang mengikuti di belakangnya. Dua pria itu tidak lain adalah asisten dan tangan kanan kepercayaannya. Ibunya menyuruhnya untuk pergi ke taman di dekat bukit selatan kota, melihat sebuah rumah penginapan yang membuat Ibunya jatuh hati dan sangat bersemangat mengajaknya berlibur kemari ketika Ibunya masih sehat dulu.

"Rumah ini milik Haruno Sakura?" tanya Sasuke pada salah satu pria yang kini berdiri bersisian dengannya.

Pria itu mengangguk. "Ya, tanah dan rumah ini sebelumnya beratasnamakan Haruno Kizashi. Sekarang rumah dan tanah ini secara resmi menjadi milik Haruno Sakura."

Sasuke tampak berpikir sebentar. Ia tahu kalau Ibunya sangat menginginkan mempunyai rumah di pinggir taman besar dengan pemandangan bukit yang indah. Baik sang Ayah maupun dirinya sendiri belum bisa mewujudkan impiannya.

"Kita cari tahu dimana Haruno Sakura saat ini."

.

.

"Bisa aku bertemu dengan Uchiha Sasuke?"

Saat Sakura tiba di lobi gedung, Sakura disambut ramah dengan pegawai wanita yang menjabat sebagai sekretaris di sana dan memperkenalkan diri bernama Matsuri.

Matsuri tampak melihat jadwal dari balik layar komputernya. Matanya mencari-cari di sana dan Sakura masih sabar menunggunya.

"Tuan Sasuke tidak ada di ruangannya. Menurut sekretarisnya, ia pergi sejak satu jam yang lalu." Jawab Matsuri.

Sakura sedikit menjambak rambut panjangnya yang terikat dengan keras. Pilihannya hanya dua, tetap menunggu atau kembali.

"Kapan dia kembali?"

Matsuri tampak bingung dengan jawaban apa yang akan ia berikan. Wanita itu kembali menatap layar komputernya dan tersenyum menyesal pada Sakura.

"Tidak tahu, Nona. Tuan tidak memberikan kabar jelasnya kapan ia kembali. Mungkin, setelah pulang nanti aku akan mengabarimu atau ada pesan yang ingin kau titipkan?" tanyanya halus.

Sakura menggeleng dengan senyum. Ia kembali mengambil tasnya dan hendak pergi keluar sebelum ada sosok lelaki yang sedikit mengganggu indra penglihatannya dan berlalu begitu saja melewati tubuhnya.

"Tuan Sasuke, selamat datang."

Sakura menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya dan pancaran mata berbinar sekaligus penuh harapan tercermin di mata hijau cerahnya. Secepat kilat, Sakura mengejar langkah Sasuke dan berdiri tepat di depan lelaki itu.

"Uchiha Sasuke, bisa aku berbicara denganmu?" tanyanya formal dan terkesan sopan.

Sasuke sedikit mengerutkan alisnya. Ia tampak tidak menyetujui usulan Sakura. Dan Sakura sedikit bergetar, takut jika Sasuke masih mengingat video memalukan itu dan tidak ingin berdekatan dengan dirinya. Takut jika segala kemungkinan yang ada bisa menghancurkan kehidupan para pegawainya. Sakura tidak bisa berpikir sejauh itu hanya karena masa lalu bodohnya.

"Haruno Sakura?"

Sakura mengangguk kecil. "Ya. Tentu kau masih ingat padaku?"

"Tidak juga." Sasuke sedikit mengerutkan dahinya.

Sakura menghembuskan napas. "Aku benar-benar harus berbicara padamu." Sakura melupakan kata formal yang seharusnya ia gunakan di saat bertemu dengan orang penting. Mau bagaimana lagi? Ia merasa kenal dengan lelaki ini walaupun mereka tidak pernah berbicara sebelumnya. Bahkan saling menyapa semasa di sekolah dulu juga tidak. Mereka berdua sangatlah berbeda. Dan Sakura merasa, Uchiha Sasuke saat ini jauh lebih menawan daripada sebelumnya. Pesona mematikannya tidak hilang walau umur semakin bertambah.

"Oke. Aku menunggumu di café depan gedung. Kurasa tidak apa jika kita berbicara dengan minum teh bersama?" tanyanya pelan.

Sakura menarik sudut bibirnya, tersenyum. "Tidak apa tentu saja. Aku akan menemuimu di sana. Sampai jumpa."

Sakura pergi lebih dulu mendahului Sasuke yang masih berbicara dengan para pegawainya. Sakura yang tidak biasanya bersikap ramah, menjadi berbeda hari ini. Sebenarnya, ia bukanlah wanita ceria seperti yang dikatakan sang Ayah, dia hanyalah wanita biasa yang terlalu banyak memendam luka.

Sakura segera mengambil mobilnya dari parkiran dan pergi menuju tempat mereka bertemu.

.

.

Sakura memesan segelas teh dingin dengan sedikit perasan lemon kepada pelayan ketika mereka menghampiri mejanya. Sasuke belum datang untuk menemuinya. Mungkin lelaki itu memiliki urusan lain yang belum ia selesaikan, begitu pikirnya.

Pelayan datang dengan membawakan minuman pesanannya. Sakura sedang tidak ingin makan apapun hari ini. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dan itu baru membuatnya tenang. Ia tidak akan memikirkan hal lain lagi selain masa depan pegawainya dan juga bisnisnya.

Bel café berbunyi dan Sakura mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Uchiha Sasuke masuk dengan menyampirkan jas hitamnya di bahu kirinya dan berjalan santai mengabaikan tatapan memuja dari para pengunjung wanita yang terhipnotis ketika melihatnya. Sakura pernah merasakan hal yang sama ketika dia masuk di sekolah untuk pertama kalinya. Pesona Uchiha Sasuke sama sekali tidak berubah.

"Apa kau menunggu lama?"

Sakura menggeleng. "Tidak. Baru lima belas menit."

Sasuke memesan kopi hitam pada pelayan dan sepiring roti panggang untuknya. Pelayan itu segera menurutinya tanpa diminta dua kali dan masuk ke dalam dapur untuk membuatkan pesanannya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Sakura menarik napas panjang. "Bank yang menjadi dana terbesar di dalam bisnisku bangkrut secara tiba-tiba dan kerugian yang kami terima sangat besar. Aku baru mengetahuinya dari asistenku. Dia bilang, ini baru terjadi kemarin dan pihak bank diam saja dalam hal ini. Kerugian yang kami dapatkan sangat banyak dan aku tidak bisa menutup kerugian itu hanya dalam satu malam."

Sasuke memandangnya dari balik gelas kopinya. Sakura bahkan tidak sadar kalau pesanan lelaki itu sudah tiba sejak tadi. Ia terlalu fokus berbicara.

"Hanya itu?" Salah satu alisnya terangkat.

Sakura mengangguk dengan dahi berkerut. "Hanya itu saja. Aku tidak memikirkan diriku sendiri atau bagaimana masa depanku. Aku memikirkan para pekerjaku. Mereka bekerja untukku siang dan malam dan mereka juga harus menghidupi keluarga mereka. Jika bisnis ini hancur, mereka akan menjadi pengangguran untuk waktu yang lama."

"Apa pekerjaanmu?"

"Arsitek."

Sasuke diam.

"Aku sudah mengajukan proposal pada beberapa bank ternama di sini dan mereka menolaknya. Aku tahu, beberapa dari mereka bekerja untukmu. Jadi, bisa kau bantu aku? Aku akan melakukan apapun untuk membalas kebaikanmu." Sakura berkata dengan wajah pasrah namun keinginan yang kuat masih terpancar di mata hijaunya. Sasuke bisa melihat itu dengan jelas dan ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Sasuke menaruh gelas kopinya dan sedikit mendorong ke belakang kursinya. "Itu mudah."

Sakura tersenyum masam. "Tentu saja. Kau merajai beberapa anak Perusahaan di Negara ini. Kau bisa melakukan apa saja hanya dengan menjentikkan jarimu."

Sasuke hanya menarik sudut bibirnya dan Sakura merasa kalau kata-katanya kelewatan kali ini.

"Sebenarnya, aku punya permintaan untukmu."

Sakura menghentikan gerakan jemarinya dan menatap bingung pada Sasuke. "Apa?"

Sasuke menyunggingkan senyum misterius padanya.

"Mudah saja, aku menginginkan rumah penginapan beserta tanahnya. Aku akan membelinya jika kau menginginkannya. Kau sebut harganya dan aku akan menuliskan cek untukmu."

Sakura menutup mulutnya yang terbuka secara spontan ketika lelaki itu dengan santainya mengutarakan keinginannya pada Sakura. Apa-apaan ini? Rumah itu baru saja menjadi miliknya. Harta satu-satunya yang ditinggalkan sang Ayah untuknya. Dan lelaki ini ingin merebutnya?

Sakura menatap tajam Sasuke yang kini menunggu jawabannya.

"Tidak. Kau bisa meminta apapun padaku tapi tidak dengan rumah itu. Demi Tuhan, aku juga menginginkan rumah itu. Itu rumah milik Ayahku. Aku tidak akan memberikannya pada siapa pun."

Bibir Sasuke terkatup rapat ketika jawaban yang tak diinginkannya keluar begitu saja dari bibir wanita di depannya. Sasuke tentu saja mengenalnya, Haruno Sakura yang sangat terkenal di masa sekolahnya dulu. Pihak sekolah berusaha mengubur aib memalukan ini namun tetap saja, berita sudah tersebar meskipun video itu sudah dihapus untuk selamanya.

Mata Sasuke tidak sengaja menangkap goresan yang teramat jelas terlihat di pergelangan tangannya. Kulit putih wanita itu harus ternoda dengan bekas luka goresan yang terlihat jelas di pergelangan tangannya.

"Percobaan bunuh diri, heh?"

Sakura mengerutkan alisnya seketika. Ia mengikuti arah pandang Sasuke pada tangannya. Wanita itu segera menurunkan tangannya dari atas meja dan menyembunyikannya di bawah meja. Sakura bodoh sekali melupakan jam tangan yang biasa ia pakai untuk menutupi bekas lukanya.

"Bukan urusanmu. Lagipula, ini bukan apa yang seperti kau pikirkan." Jawab Sakura datar.

"Lalu, apa? Orang lain mencoba membunuhmu dengan memotong pergelangan tanganmu, begitu?" tanya Sasuke sarkatis.

Sakura memutar matanya. Ia memberikan Sasuke sebuah senyum dingin. "Aku bilang, ini bukan urusanmu."

Sasuke hanya mengangguk dan wajahnya yang sedikit menampilkan ekspresi menyerah membuat Sakura sedikit lega. Ia beruntung Sasuke tidak bertanya lebih tentang bekas lukanya.

"Jadi, mengapa kau menginginkan rumah itu?" tanya Sakura setelah beberapa lama mereka larut dalam keheningan.

Sasuke menaikkan alisnya. "Kau berniat menjualnya?"

"Tidak. Aku hanya bertanya."

Sasuke mengusap pelipisnya pelan. "Ibuku menginginkannya. Ia ingin pergi dari keramaian kota untuk selamanya. Dia sering menginap di sana, di rumah penginapanmu selama beberapa lama untuk pergi dari kota dan memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya di sana. Dia jatuh cinta dengan rumah itu."

"Dan dimana Ibumu?"

Sorot mata Sasuke kosong menatapnya. "Rumah sakit. Lemah jantung dan komplikasi ginjal yang membuatnya harus tidur di sana selama satu tahun lebih."

Wajah Sakura berubah sedih detik itu juga. Dan dengusan Sasuke yang menjadi respon membuatnya terkejut.

"Tidak perlu dikasihani. Aku sudah lelah dengan pandangan mengiba orang lain yang hanya pura-pura bersimpati pada keluargaku."

Tatapan mata Sakura melunak ketika mata kelam itu memandangnya. "Aku, aku hanya benar-benar bersedih. Semoga Ibumu cepat sembuh."

Sasuke hanya mengangguk singkat dan keheningan kembali melanda mereka.

"Rumah itu milik Ayahku, aku tidak mungkin memberinya pada orang lain. Meskipun kau bisa membayarnya dengan mudah, aku tidak bisa memberikannya. Jika, Ibumu ingin tinggal di sana, tidak apa. Aku memperbolehkannya. Dia bisa kesana kapan pun dia mau jika sembuh nanti."

Sorot mata Sasuke terlihat lebih bercahaya dari sebelumnya. "Benarkah?"

Sakura tersenyum lebar. "Tentu saja. Tapi, bagaimana dengan masalah kita?"

Sasuke mengerutkan dahinya tampak berpikir sesuatu dan telunjuknya mengetuk-ngetuk di atas meja dengan pelan.

"Menikahlah denganku."

Mata Sakura membulat seketika.

"Aku bisa membantumu dalam jangka waktu yang lama. Ini bukan masalah bagiku, aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya, tapi aku akan mengusahakannya jika kau mau."

Sakura tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Tatapan matanya kosong ketika memandang netra gelap itu. "Kau bercanda?"

"Aku serius."

Sakura mendengus. "Kau gila."

Sasuke mengusap wajah lelahnya. "Kau benar. Jadikan ini sebagai pernikahan kontrak. Kita menikah sampai Ibuku sembuh total dan terbebas dari penyakitnya. Baru setelah itu kita bercerai."

Sakura menutupi wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. Bahunya tampak bergetar karena beribu ingatan mulai berdatangan memasuki kepalanya.

"Setelah apa yang pernah aku alami semasa sekolah dulu? Kau sedang tidak sehat. Kumohon, kita bicarakan ini lagi nanti." Sakura bersiap untuk beranjak dari kursinya sebelum tangan Sasuke dengan sigap menahan pergelangan tangannya. Pancaran mata yang Sasuke tunjukkan sungguh berbeda dari sebelumnya. Sakura merasa tersentuh dalam beberapa saat kemudian, dan ia menyerah.

Sakura kembali duduk di kursinya. Wajahnya terlihat pucat dan panik secara bersamaan.

"Aku melupakan apa yang pernah kau alami dulu. Aku bersumpah padamu. Aku tidak lagi mengingatnya. Itu bukan urusanku. Aku hanya melihatnya dan selesai. Aku tidak berkomentar apapun." Seru Sasuke.

"Tapi, kau melihatnya! Pasti kau juga sempat mengira kalau aku ini wanita murahan, benar 'kan? Jangan bohong, Sasuke."

Sasuke menarik kursinya maju agar ia bisa lebih dekat dengan Sakura.

"Tadinya. Tapi, itu sudah lama berlalu. Itu bukan masalahku, aku tidak mungkin membahasnya. Yang aku inginkan kau hanya menikah denganku, masalahmu selesai dan masalahku selesai. Jika, Ibuku bangun dan melihatku sudah menikah, dia akan termotivasi untuk sembuh dan kembali melanjutkan hidupnya."

"Kau bisa mencari wanita lain, bukan? Masih banyak wanita yang rela menunggu hanya untukmu." Sakura masih tetap pada pendiriannya.

"Tidak ada yang kupikirkan selain kau saat ini. Kita sama-sama membutuhkan. Kau menginginkan masa depan bisnismu, dan aku menginginkan kehidupan Ibuku."

Sakura memejamkan matanya. Dadanya naik turun dan napasnya berubah tidak teratur. Setelah ini, tidurnya tidak lagi nyenyak. Sakura berani bertaruh.

"Kita akan bercerai jika Ibuku sudah pulih total." Sasuke masih bersikeras untuk meyakinkan Sakura yang terlihat ragu dengannya.

Sakura terdiam sejenak. Ia menatap kosong pada gelas minumannya. Tangannya terkepal di sisi gelas itu dan kalau ia bisa, mungkin ia akan meremukkan gelas itu hingga pecah dan melukai tangannya.

"Baiklah. Aku melakukan ini demi masa depan orang lain dan kau juga melakukan hal yang sama."

Sasuke mengangguk singkat. Wajahnya kembali menampilkan ekspresi serius yang ditangkap lensa mata Sakura.

"Kita sepakat?" Sasuke mengulurkan tangannya di atas meja. Tatapan mata sakura jatuh menatap lirih pada uluran tangannya dan Sasuke masih dengan sabar menunggunya. Berharap kalau wanita ini mau menyetujuinya dan harapan kecil lainnya yang terkubur hidup-hidup di dalam hatinya kembali bangkit.

"Kita sepakat." Sakura mengulurkan tangannya untuk membalas jabatan lelaki itu.

Dan panggung sandiwara akan segera dimulai.

.

.

.

.

.

Tbc.

.

.

.

.

.

Author Note:

Sebenarnya, idenya dapet dari fic lama, Falling to Pieces yang beberapa waktu lalu resmi dihapus dari akun ini. Ya, kalau bahasanya sih remake aja. Intinya, ini agak beda dan mungkin too far different.

Anw, saya gatau gimana Jepang itu secara keseluruhan. Jadi, kalaupun ada atau tidaknya bukit, ini hanya pure imajinasi saya saja. Maafkan kalau menyalahi aturan yang berlaku.

Well, saya sebisa mungkin mengupdate fic ini dua hari sekali karena masa-masa ujian saya akan segera berakhir dan digantikan dengan beberapa jam kosong yang saya gunakan buat nulis fic. Selama saya enggak kena wb, saya akan tetap nulis. Dan untuk chapter sendiri, targetnya hanya sampai lima atau enam. Sama seperti Falling to Pieces kemarin.

See u next chapter!

Lots of Love

Delevingne