Disclaimer : As always, BTS bukan milikku *hiks
Warning : Rated M (dengan lemon yang busuk), BoyxBoy, AU, OOC, typo(s), etc.
Please buat yang masih di bawah umur, menjauhlah ya, Nak. Atau pastikan kalian bisa membedakan baik dan buruk dengan benar. Aku tidak bertanggung jawab jika ada hal-hal yang tidak diinginkan setelah membaca fict nista ini kkk~
Dan jangan tanya siapa uke atau siapa seme di sini. Biarkan cerita ini mengalir begitu saja. Seme atau ukenya siapa, tidak perlu dibuat pusing ok *woy!*
Ah iya, aku jadi pengen curhat dikit. Sebenarnya aku berniat untuk leave dari FFn karena yah kemarin waktu aku publish NO sama chapter pertama 39 Senja, gaada yang review. Aku jadi ngerasa kaya yang;
"oh yaudah berarti gaada yang baca, gausah publish lagi deh. Berarti aku emang gabisa bikin fict bagus."
Tetapi tiba-tiba bxjkv-ssi review terus bikin aku ngerasa kaya ada member Twice nyanyiin lagu Cheer Up di depan mata.
So terima kasih banyak untuk bxjkv. Aku bener-bener ngerasa beruntung sebagai seorang penulis amatir direview dengan begitu amazing, hiks terharu T.T
Ini khusus untuk kamu, iya kamu XD
Happy reading~
x
x
CONCLUSION
(Sequel: Frozen Heart)
x
x
Sudah lebih dari 14 bulan sejak kejadian itu berlalu, tetapi Jungkook dapat merasakan semuanya dengan teramat nyata, teramat jelas seolah semua itu terjadi beberapa menit yang lalu.
Ia benci mengatakannya, tetapi hatinya masih saja berdenyut nyeri saat mendengar nama itu, Kim Taehyung.
Melihat wajah itu, wajah Kim Taehyung.
Mendengar suara itu, suara milik Kim Taehyung.
Jungkook sudah merasa bahwa hidupnya tidak mudah. Setelah patah hati yang dialaminya, hidupnya sedikit banyak berubah.
Ia menolak beasiswa yang ditawarkan sebuah Universitas terkemuka di Seoul dan memilih menerima beasiswa dari Universitas Swasta yang tidak begitu jauh dari rumahnya.
Ini semua karena Taehyung.
Jungkook tidak ingin mengambil resiko nantinya akan bertemu dengan Taehyung di Seoul, atau kemungkinan lain yang lebih buruk dari itu. Karena Jungkook sudah terluka dan ia tidak ingin menambah lukanya.
Selama satu tahun ia berusaha bangkit dari keterpurukannya, berusaha mengenyahkan Taehyung dari fikirannya. Ia sudah berusaha bedamai dengan kenyataan, beruntunglah ia karena Jimin selalu ada di sisinya seperti dulu.
Jungkook ingat bagaimana setiap malam Jimin akan menelfonnya untuk membuat ia sibuk agar tidak memikirkan Taehyung walau sering kali telfon itu akan berakhir dengan Jimin yang menenangkan Jungkook yang terisak-isak. Mengeluh tentang takdir, memaki Taehyung atau meratapi dukanya.
Jungkook malu jika mengingat saat-saat ia berubah menjadi selemah buih di lautan.
"Jungkook-ah."
Jungkook menoleh mendapati Min Yoongi, kakak sepupunya menatapnya dengan pandangan tidak terartikan.
"Kau tidak mendengarkanku?" Selidik Yoongi.
Jungkook tersenyum kecil, "Maafkan aku, Hyung."
"Kau masih saja banyak melamun, apa selama ini belum cukup?" Yoongi merangkulnya akrab, mereka baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Berjalan kaki menuju mobil Yoongi yang terparkir di basement.
"Yah," Jungkook mengangkat bahunya, "waktu sudah banyak membantuku." Jungkook tersenyum lebih lebar, "kau, Mama, Jimin. Kalian banyak membantuku."
"Kau benar, setidaknya sekarang kau bukan lain Jeon Jungkook pemuda yang hidup seperti zombie, menolak makan, tidak pernah tersenyum, kerjanya melamun dan menangis sepanjang malam."
"Hyung, jebal."
Yoongi tertawa kecil, "Bagaimana kabar Jimin?"
Jungkook mengangkat bahu, "Ia baik, kurasa."
Yoongi memandangnya tidak suka, "Itu jawaban yang kau berikan saat aku menanyakan kabar kekasihmu?"
"Hyung, kau tahu aku melakukan ini "
"Mencari pelarian?" Putus Yoongi, "atau kasihan karena Jimin selalu menunjukan bahwa ia tulus padamu meski setiap waktu kau selalu memikirkan Taehyung?"
Jungkook merasakan hatinya teremas mendengar nama yang tidak ingin ia dengar di hidupnya, "Aku menyayangi Jimin, Hyung demi Tuhan."
"Sayang seperti kau menyayangiku?"
"Ya seperti itu," Jungkook melihat raut wajah Yoongi mengeruh, "mungkin lebih banyak." Tambahnya cepat.
"Kau tidak pandai berbohong," Yoongi membuka pintu mobilnya, " terutama kepadaku." Lalu duduk di bangku kemudi.
Jungkook membuka pintu kemudian duduk di samping kemudi, "Aku tahu aku salah."
"Kau memang salah, Kook-ah." Yoongi menginjak pedal gasnya, "tapi mau bagaimana lagi?" Kemudian mobil itu melaju pelan.
Jungkook mengalihkan pandangannya ke samping, hari sudah mulai malam. Hari ini Yoongi mengajaknya membeli beberapa pakaian, memakan banyak junk food, bersenang-senang merayakan keberhasilan Yoongi. Karena Yoongi berhasil mendapat beasiswa di Harvard, itu luar biasa.
Sebelum nantinya Yoongi pergi dan Jungkook akan kehilangan salah satu orang yang peduli padanya, ia hanya ingin bersenang-senang sekali saja.
x
x
x
Jungkook baru saja meletakkan paper bag berisi pakaian yang di belinya dengan Yoongi saat ponselnya berdering.
Jin-hyung is calling
Jungkook mengernyit heran, tidak biasanya Jin menelfonnya. Jungkook mengusap layarnya sebelum pekikan Jin terdengar nyaring.
"Jungkook-ah, Jimin sakit!"
Dan Jungkook merasa respirasinya terhenti, "Maksudmu, Hyung?" Dan malah pertanyaan bodoh seperti itu yang meluncur dari bibirnya.
"Dia sakit, sudah 4 hari. Tapi ia memintaku tidak memberi tahu siapapun termasuk kau." Jin menghela nafas panjang, "Besok pagi aku harus pergi ke Jeju, aku tidak bisa membatalkan tiket pesawatku. Juga tidak bisa meninggalkannya sendiri." Suara gemerisik terdengar samar, "bisakah kau ... "
"Aku akan ke Seoul malam ini." Jawab Jungkook cepat, "terima kasih sudah menghubungiku, Hyung. Sampai jumpa."
Lalu Jungkook meraih bagpacknya, memasukkan beberapa kaus dan pakaian dalam. Sesekali ia merutuk, sungguh Jimin tidak pernah mengatakan bahwa ia sedang sakit.
Tergesa ia meraih ponselnya dan melihat percakapan terakhirnya bersama Jimin via Kakaotalk, sudah hampir 4 jam Jimin tidak mengirimi Jungkook pesan dan Jungkook bahkan lupa pada Jimin.
Jungkook menuruni tangga, bersyukur masih ada Yoongi di sana sedang bercakap-cakap bersama Ibunya.
"Kau mau kemana, Jungkook-ah?" Ibunya bertanya heran melihat Jungkook dengan bagpack besar di punggungnya.
"Ke Seoul, Ma." Jawab Jungkook cepat sembari duduk di samping Ibunya, "Jimin sakit."
"Ya Tuhan, bagaimana keadaannya?" Ibunya memberi ruang lebih untuk Jungkook duduk, "bagaimana kuliahmu besok?"
"Aku belum tahu, kudengar sudah empat hari ia sakit dan besok teman sekamarnya akan pergi ke Jeju," Jungkook meraih gelas teh Yoongi di hadapannya, meminumnya tanpa permisi, "Jimin bodoh itu bahkan tidak memberi tahu orang tuanya. Dia benar-benar seperti itu," Jungkook membuang nafas keras, "aku libur sampai lusa kok, Ma."
Ibunya sudah mengenal Jimin dengan baik, ia dan Jimin sudah bersahabat sejak mereka masih sangat kecil. Bahkan Ayahnya dan Papa Jimin bersahabat sejak mereka masih sangat muda. Dan Ibunya jelas tahu seperti apa Jimin. Pria itu selalu memikirkan orang lain lebih dari dirinya sendiri dan selalu bersikap tidak ingin merepotkan siapapun.
"Antarkan aku ke subway, Hyung." Pinta Jungkook pada Yoongi yang sedang mengenakan jaketnya.
"Aku sudah akan melakukannya." Jawab Yoongi cepat.
Jungkook mengecup pipi Ibunya sekilas, "Aku akan pulang saat Jimin sembuh nanti, Ma."
Ibunya mengangguk, ia memeluk Jungkook sekilas, "Sampaikan salamku padanya. Semoga ia cepat sembuh."
Kemudian Yoongi membungkuk sekilas bersamaan dengan Jungkook dan bergegas meninggalkan ruangan.
Ibu Jungkook menatap kepergian putranya dengan pandangan tidak bisa diartikan, teringat pada satu tahun sebelumnya saat Jungkook pulang dari Seoul dalam pelukan Jimin, terisak hebat dan hancur.
Ia hanya khawatir hal yang sama akan terulang. Ia benci melihat putra semata wayangnya terluka.
Saat deru mobil Yoongi terdengar meninggalkan halamannya, saat itu pula ia meraih ponselnya membuka akun i-bankingnya dan mengirim sejumlah uang pada rekening putranya.
Pandangannya menerawang, "Kumohon jaga mereka semua, Tuhan."
x
x
x
Jungkook sampai di apartement Jimin setelah hampir 3 jam di perjalanan, sesungguhnya Yoongi ingin mengantar Jungkook sampai ke Seoul tetapi ia harus mengurus perizinannya besok.
Di perjalanan beberapa kali ponsel Jungkook berdering, Jin mengatakan agar ia berhati-hati dan berniat menjemputnya tetapi Jungkook menolak karena tidak ingin Jimin tinggal sendirian di kamarnya.
Jungkook mengetuk pintu beberapa kali, tepat ketika Jin membuka pintu ia memeluk Jungkook hangat.
"Jimin akan mencekikku kalau sampai ia tahu aku memberitahumu, Jungkook-ah." Ucapnya sembari membuka perlahan pintu kamar Jimin.
"Tidak, Hyung. Aku akan memastikan ia tidak akan mencekikmu." Kata Jungkook perlahan.
Matanya sedikit membulat melihat Jimin terbaring di kasurnya, berselimut tebal dengan kompresan di keningnya.
"Aku sudah membawanya ke dokter, sebenarnya dokter menganjurkan ia dirawat di rumah sakit, " Jin menjelaskan saat Jungkook duduk di tepi ranjang Jimin, "tapi kau tahu seberapa banyak Jimin membenci rumah sakit."
Jungkook mengangguk, meraih pipi Jimin dengan punggung tangannya, merasakan seberapa panas suhu tubuhnya, "Astaga. Panas sekali."
"38.6 derajat terakhir kali aku mengeceknya," Jin memandang Jungkook tidak enak, "maafkan aku memintamu jauh-jauh datang kemari. Aku tidak tahu teman Jimin selain kau dan Taehyung, tapi Taehyung berkata ia sedang tidak ada di Seoul."
"Tidak apa, Hyung." Jawab Jungkook pelan.
"Kau lapar?"
Jungkook menggeleng, pandangannya masih terfokus pada Jimin.
"Aku akan membuatkanmu teh hangat."
Sebelum Jin beranjak, Jungkook berseru cepat, "Tidak perlu, Hyung. Aku bisa membuatnya sendiri." Jungkook berbalik melihat wajah Jin yang kelelahan dan warna kehitaman di bawah matanya, "kau istirahatlah, Hyung. Mata pandamu benar-benar mengerikan." Kelakarnya kemudian.
Jin terkekeh pelan, "Maafkan aku, Jungkook-ah." Kemudian Jin menguap lebar, "kau benar. Sepertinya aku butuh istirahat."
"Selamat tidur, Hyung. Biar aku yang menjaga si bodoh ini."
Jin mengangguk, mengacak rambut Jungkook sebelum ia meninggalkan kamar Jimin. Mengucapkan selamat malam yang pelan sebelum ia benar-benar menutup pintu kamar Jimin.
Jungkook mengamati wajah Jimin yang tertidur. Beberapa kali melihat wajah itu mengerut seolah tidurnya terganggu namun ia tidak membuka matanya sedikitpun. Bibirnya pucat dengan wajah basah oleh keringat dingin.
"Bodoh." Jungkook menggeram, "kau mengirimiku pesan seolah kau baik-baik saja dan sekarang apa ini?" Jungkook meraih tangan Jimin di hadapannya, menggenggamnya cukup erat.
Jungkook teringat pada suatu malam, 4 bulan yang lalu saat Jimin pulang ke Busan. Ia yang dengan bodohnya meminta Jimin menghapus Taehyung dari ingatannya. Ia yang meminta Jimin menjadi kekasihnya agar ia mampu melupakan cintanya pada Taehyung. Ia yang membuat hubungan keduanya menjadi rumit. Jungkook tahu Jimin selalu menyayanginya, dan ia merasa begitu buruk menjadikan Jimin sebagai pelariannya. Ia merasa begitu bodoh karena berfikir ia dapat melupakan Taehyung jika ia memiliki kekasih. Ia dengan semua fikiran pendeknya baru saja membuat luka baru untuk Jimin yang sampai saat ini masih belum bisa dicintainya sekeras apapun Jimin mencoba membuat Jungkook jatuh cinta kepadanya.
Tetapi melihat Jimin yang sekarang terbaring tanpa senyuman bodohnya, tanpa perhatiannya pada Jungkook, Jimin tanpa suaranya yang menenangkan Jungkook membuat Jungkook merasa bahwa ia begitu buruk.
"Bagaimana bisa aku terus menyakiti pria sebaik kau, Jim?" Desahnya frustasi.
Jimin dengan segala perhatiannya, dengan semua kebaikannya, dengan semua bisikan menenangkannya.
Sekali saja Jungkook ingin membalas semua yang Jimin lakukan padanya. Pada Jimin yang selalu memeluknya saat ia hancur, pada Jimin yang mendatanginya ke Busan hanya karena Jungkook flu, pada Jimin yang selalu menanyakan kegiatannya, mendengar cerita Jungkook tentang kesehariannya, pada Jimin yang selalu mendoakan kebahagiaanya, pada Jimin yang mendengar semua keluhannya tentang Taehyung, pada Jimin yang bertahan mencintainya meski ia tahu Jungkook belum atau bahkan tidak bisa mencintainya.
Akhirnya pertahanan Jungkook runtuh, ia menangis. Ia terduduk di lantai, menangis sembari mengenggam tangan Jimin. Meletakkan dahinya pada punggung tangan Jimin yang kali ini terasa panas. Kali ini tangisannya bukan karena Taehyung, tetapi karena Jimin. Kali ini ia menangisi perlakuannya pada Jimin. Kali ini ia hancur di hadapan Jimin bukan karena Taehyung.
Jungkook tidak tahu seberapa lama ia menangis saat tiba-tiba ia merasa ada yang membelai kepalanya.
Jungkook segera menegakkan tubuhnya, menemukan Jimin tersenyum dengan bibir pucatnya. Jungkook segera mengusap wajahnya yang belepotan oleh air mata menggunakan kaus yang ia kenakan.
"Kapan kau datang?" Suara nyaring Jimin terdengar serak dan dalam.
"Belum lama ini." Jungkook melepaskan kausnya menatap Jimin dengan mata yang kembali basah, "kau ingin minum?" Mengusap sebelah matanya menggunakan punggung tangannya sendiri, "atau mau ke toilet?"
Jimin menggeleng, mencoba bangkit yang kemudian langsung ditahan Jungkook.
"Tidur saja, Jim." Jungkook meraih kompresan di dahi Jimin, mencelupkan kain basah itu ke dalam sebuah mangkuk berisi air hangat yang disiapkan Jin, memerasnya kuat sebelum kembali meletakkannya di kening Jimin.
"Jin Hyung yang memberi tahumu?"
Jungkook mengangguk, "Jangan marah padanya," Jungkook kembali duduk di tepian ranjang Jimin, "Kau membuatku khawatir, demi Tuhan. Jangan seperti ini lagi, Jim."
"Aku hanya tidak ingin merepotkan siapapun." Sergah Jimin lemah.
"Persetan." Jungkook menggigit bibir bawahnya, "lain kali terbukalah padaku."
Jimin mengangguk samar, tangannya meraih tangan Jungkook mengenggamnya dengan lemah, "Mengapa kau menangis? Teringat Taehyung?" Jimin mengusap punggung tangan Jungkook dengan jemarinya, "maafkan aku, aku tahu kau tidak suka Seoul dan akhirnya kau terpaksa ke sini lagi gara-gara aku."
"Siapa bilang terpaksa?" Jungkook membalas genggaman Jimin pelan, "demi Tuhan, Park Jimin. Berhenti meminta maaf dan mengatakan hal-hal konyol."
Jimin meringis mendapat omelan Jungkook, "Maafkan aku."
"Lagi?" Tanya Jungkook skeptis.
Dan Jimin hanya tersenyum kecil.
"Aku mencintaimu, Kookie."
Jungkook tersenyum kecil, merasa bodoh karena sampai saat ini ia tidak bisa membalas ucapan cinta dari Jimin.
"Aku tahu, Jim. Aku tahu." Dan hanya ucapan bodoh seperti itu yang selalu Jimin dapatkan.
"Kau sudah makan?" Jimin menatap Jungkook dengan matanya yang sayu, "kau akan menginap 'kan?"
"Sudah. Aku makan banyak sekali tadi bersama Yoongi Hyung." Jungkook meraih sebuah sapu tangan di atas nakas, mengelap wajah dan leher Jimin yang basah karena keringat, "tentu aku menginap. Kau fikir aku akan membiarkanmu ?"
Jimin tersenyum kecil, "Tidur bersamaku?" Tawarnya.
Jungkook menggeleng, "Aku akan menjagamu. Aku bisa tidur di karpet nanti."
"Please?" Pinta Jimin dengan mata menggenang karena demam.
Jarang sekali melihat Jimin nampak lemah dan bercelah sehingga akhirnya Jungkook tidak bisa menolak, "Baiklah."
Senyuman Jimin melebar, membuat matanya menyipit. Benar-benar senyuman yang menular sehingga Jungkook akhirnya tersenyum juga.
Jungkook melepas jaket yang ia kenakan sebelum naik ke atas ranjang Jimin dengan kikuk, Jimin menggeser tubuhnya.
Jungkook akhirnya merebahkan dirinya di samping Jimin, berbaring menyamping dan menahan bahu Jimin yang hendak menyamping juga, "Nanti kain kompresnya jatuh." Katanya.
"Maaf," Jimin menjilat bibir bawahnya sekilas, "bukan bermaksud tidak sopan atau memanfaatkan keadaanku yang seperti ini," Jimin mengehela nafas gugup melihat dahi Jungkook mengerut menunggu ucapan Jimin selanjutnya, "tapi bisakah kau memelukku?" cicitnya nyaris 'tak terdengar.
Jungkook tersenyum kecil, "Bersyukurlah karena kau sedang sakit, Jim. Jadi aku akan bersikap sedikit lebih baik."
Lalu Jungkook memeluk Jimin dengan sebelah tangannya sementara tangan satunya menyusup dibawah tengkuk Jimin.
"Tidurlah lagi, Jim."
Jimin tidak tahu apakah ini efek dari obatnya atau ini efek dari keberadaan Jungkook di sampingnya, seiring belaian Jungkook di lengannya, kantuk itu menyeret Jimin cepat pada sebuah tidur yang begitu lelap.
x
x
x
Jimin tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi suara berisik di luar kamarnya membangunkan tidurnya. Jimin melirik Jungkook melalui ekor matanya, Jungkook duduk di sampingnya dengan tangan kanan memegang ponsel sementara tangan kirinya sibuk mengurai helaian rambut di kepalanya.
"Tidak tidur, Kookie?" Cicitnya.
Jungkook mengalihkan pandangannya dari ponsel, meletakkan benda itu di samping tubuhnya, "Aku terbangun belum lama. Teman Jin Hyung sudah datang sepertinya."
Tidak lama pintu kamar Jimin terbuka perlahan dan kepala Jin melongok gamang, "Eh, sudah bangun? Apa aku membangunkanmu?" Tanyanya sembari masuk ke kamar Jimin, nampak kasual dengan celana jeans robek-robek dan kaus putih polos yang dilapisi kemeja kotak-kotak berwarna biru.
"Tidak, Hyung." Jungkook menyahut cepat, tangannya beranjak dari helaian rambut milik Jimin, "Sudah mau berangkat?"
Jimin ingin protes karena tangan Jungkook menghilang dari puncak kepalanya tetapi akhirnya diam saat ia melihat pria berambut silver memasuki kamarnya, pria itu membungkuk sopan lalu tersenyum memamerkan lesung pipinya.
"Hai Jiminie, sudah baikan?" Tanyanya sembari mendekati ranjang Jimin.
"Sudah, Hyung." Jawab Jimin dengan suaranya yang sudah tidak separau tadi.
"Ah Jungkook-ah, kenalkan ini temanku." Kata Jin sembari mengerling ke arah pria itu, mengisyaratkan untuk berkenalan.
Pria itu mengulurkan tangannya yang langsung dibalas Jungkook, "Aku Kim Namjoon. Senang bertemu denganmu."
Jungkook tersenyum ramah, "Aku Jeon Jungkook, senang berkenalan denganmu, Hyung."
"Aku sudah memasak sarapan untukmu, Jungkook-ah. Dan bubur Jimin tinggal dipanaskan saja, ya." Terang Jin.
Jungkook mengangguk lalu melirik Jimin yang berbisik padanya, "Dia kekasih Jin Hyung. Kami sering mengobrol lewat skype, seorang profesor di New Zealand."
Jungkook mengangguk maklum, pantas aura Namjoon sangat berbeda.
"Kau lihat, Joon. Jimin itu sakit rindu," Jin menyenggol pelan rusuk Namjoon, "begitu Jungkook menemuinya ia mendadak baikan."
Namjoon tertawa pelan, "Jangan menggodanya, Jin-ah."
"Ini karena obat yang diberikan Dokter Lee sangat manjur," sergah Jimin sebelum merapatkan selimut di dadanya, "dan jangan menggodaku, Hyung. Kau sudah melanggar janjimu." Ketusnya kemudian.
Jin tertawa kecil, sebelum mermbuka laci dan mengeluarkan kotak P3K, "Jungkook-ah obat Jimin ada di dalam sini ya, di dalam plastik bening." Katanya sembari menyelipkan sebuah termometer di ketiak Jimin, "Kau tidur bersamanya, Jungkook-ah? Asal kau tahu dia belum mandi selama dua hari."
"Hyung!" Jimin memekik kecil.
"Pantas saja kau bau, Jim." Jawab Jungkook cepat.
"Hei, aku mau mandi kalau begitu," Jimin baru saja akan beranjak dari tidurnya ketika Jin mendorong tubuhnya cepat.
"36.7 derajat." Desisnya lega, "kau tidak boleh mandi." Ia mengelap termometer di tangannya menggunakan tisu sebelum kembali meletakkannya ke dalam kotak P3K, "Demammu turun begitu Jungkook datang, luar biasa. Padahal beberapa hari yang lalu demammu terus naik setiap hari."
"Sudah kubilang obat dari Dokter Lee sangat manjur."
"Sakit rindu pada Jeon Jungkook—"
"Hyung." Protes Jimin.
Namjoon tersenyum, "Mungkin cinta bisa jadi alternatif obat untukmu, Jiminie."
Jimin merasa wajahnya panas, "Sudah siang, sana pergi. Bulan madu yang jauh." Katanya sebal.
Jin tertawa kecil melihat Jimin yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, "Aku harus berangkat sekarang." Ucap Jin kemudian menunduk menyingkap kain di kening Jimin dan mengecupnya singkat, "jangan merepotkan Jungkook-ah, Jimin."
Jimin mengangguk acuh. Jungkook menerima pelukan dari Jin dan sebuah kecupan sayang di keningnya juga. Namjoon hanya tersenyum dan menepuk bahu Jimin dan Jungkook bergantian.
"Maafkan aku harus pergi, Jungkook-ah." Kata Jin tepat di pintu apartementnya.
Jungkook mengangguk, "Tidak apa, Hyung. Semoga liburanmu menyenangkan."
"Nanti kita belikan mereka sepasang kaus yang sama persis, Jin-ah." Kata Namjoon sembari menyeret koper milik Jin.
"Ya, dan harus warna pink."
Jungkook tertawa, kemudian ia melambaikan tangannya pada Jin yang melambaikan tangannya heboh saat pintu lift akan tertutup, di sampingnya Namjoon memeluk pinggang Jin tanpa sedikitpun rasa canggung. Jungkook merasa iri melihat begitu mudahnya Jin menunjukkan afeksinya pada Jimin, padanya dan pada Namjoon.
Dalam hati Jungkook berjanji, ia akan memperlakukan Jimin dengan lebih baik setelah ini.
x
x
x
Jimin sudah lebih baik sekarang, demamnya sudah turun. Suhu tubuhnya sudah normal meski ia terlihat masih sedikit lesu. Setelah kemarin Jungkook menemaninya seharian, hari ini Jimin harus pergi ke kampus.
"Kau bisa istirahat sehari lagi sampai benar-benar pulih, Jim."
"Dan aku akan digorok Profesor Kang, demi Tuhan dia menakutkan sekali kalau sampai aku remidial." Katanya sembari memakan nasi goreng kimchi buatan Jungkook.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak. Kau belum punya izin mengemudi, Kook."
"Aku sudah sering menyetir mobil Yoongi Hyung, kok."
Jimin meneguk susu di gelasnya, "Aku tidak mau mengambil resiko tertangkap polisi, Kook." Jimin mengusap bibirnya yang basah menggunakan punggung tangan, "ini mobil milik Jin Hyung lho."
"Baiklah, kalau begitu aku harus membiarkanmu yang belum terlalu sehat ini naik bus begitu?"
Jungkook mengetatkan dagunya dan akhirnya membuat Jimin tidak mempunyai pilihan lain selain mengangguk.
"Oke, antarkan aku." Ujarnya mengalah.
Jungkook teringat tadi pagi ketika Jimin keluar dari mobil beberapa mahasiswi langsung mengerubutinya, menanyakan kabarnya dan bersikap centil di depannya. Dari kemudi Jungkook ingin sekali tertawa melihat Jimin kewalahan menghadapi gadis-gadis itu, sedikit tidak menyangka ternyata Jimin populer juga.
Perhatian Jungkook tersita pada wanita cantik berambut hitam panjang yang mengamit tangan Jimin khawatir, bahkan ia menempelkan punggung tangannya di pipi Jimin, mengecek suhunya.
Dan Jungkook tidak ingin mengakuinya tetapi sesuatu seperti membara di sudut hatinya dan ia tidak suka itu.
"Kookie, hati-hati di jalan." Jimin berteriak keras ketika Jungkook ingin menutup kaca mobilnya.
Jungkook mengangguk kecil.
"Aku sangat mencintaimu." Teriaknya lebih keras.
Jungkook hampir saja menginjak pedal gas terlalu keras, dari sudut matanya ia melihat Jimin terkikik melihat ekspresi gadis-gadis di sampingnya yang seolah ingin menelan Jungkook hidup-hidup.
Jungkook bergidik ngeri teringat akan hal itu.
Jungkook mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Ia tidak tahu sekarang pukul berapa, ia hanya berinisiatif menunggu Jimin di kafe yang tidak terlalu jauh dari gedung fakultasnya setelah Jungkook mampir ke Perpustakaan kota sebenarnya. Toh kata Jimin ia tidak akan lama.
Jungkook melirik ponselnya yang berdenting satu kali, membuyarkan lamunannya tentang apa yang terjadi tadi pagi.
'Tunggu aku sebentar lagi, Kookie. Aku sudang berlari ke kafe ke~'
Jungkook mendengus kecil, dalam hati bersyukur karena Jimin tidak berubah. Ia menekan salah satu emoticon sebagai balasannya pada Jimin.
"Hei."
Jungkook menoleh mendapati Jimin tersenyum kecil dengan wajah yang masih sayu, bibir pucat dan mata cekung yang menyedihkan.
"Kau pusing?"
Jimin menggeleng sebagai jawaban, ia mendudukan dirinya di samping Jungkook lalu menjatuhkan kepalanya ke meja dan mendecit kecil, "Sedikit lelah kurasa."
Tanpa sadar jemari Jungkook terulur, meraih helaian rambut hitam di puncak kepala Jimin kemudian menyisirnya halus.
"Aku sudah menyarankanmu untuk istirahat satu hari lagi, Jim." Kata Jungkook dengan nada yang sarat akan kepedulian.
Jimin tersenyum cerah sekali, "Kalau dengan sakit bisa membuatmu bersikap semanis ini, aku tidak keberatan sakit setiap hari."
Belaian Jungkook berubah menjadi satu jitakan halus, "Bodoh."
Jimin baru saja akan mengaduh protes namun suara lain menginterupsinya.
"Jimin-ah."
Jungkook dan Jimin menatap asal suara itu bersamaan. Wanita berambut pirang bergelombang dengan skinny jeans dan t-shirt polos berlari kecil ke arah meja mereka. Hyuna.
Dan di belakangnya sosok Taehyung yang sudah satu tahun tidak Jungkook lihat, menampakkan dirinya begitu jelas. Masih dengan wajah angkuh yang sama, aura mengintimidasinya yang ketara, dan Jungkook akui warna lilac pilihan yang bagus sebagai pilihan cat rambut barunya.
"Tidak keberatan kami bergabung?" Tanya Hyuna ceria.
Jungkook mengangguk kaku, ketegangan terlihat jelas di wajahnya. Sungguh setelah kejadian itu ia tidak pernah bertemu Taehyung, meski berusaha sekeras yang ia bisa, Taehyung seolah tidak sudi bertemu dengannya. Dan ini kali pertamanya bertemu Taehyung setelah sekian lama.
"Oh, tentu." Jimin tersenyum kecil, "hei aku lama tidak melihatmu, Tae."
Hyuna duduk di hadapan Jungkook, Taehyung di sampingnya berhadapan dengan Jimin.
"Aku sedikit sibuk," Taehyung tersenyum sekilas, "apa kabar? Maaf kemarin aku tidak bisa merawatmu. Aku dan Hyuna sedang ke luar kota."
"Tidak apa," Jimin mengibaskan tangannya sekilas, "lagipula Jungkook sudah datang."
"Ah iya Jungkook-ah, lama tidak melihatmu." Hyuna memekik kecil, "kupikir kau akan kuliah di sini."
Jungkook memaksakan seulas senyum, "Tidak, Noona."
"Ah, mau makan siang?" Jimin berusaha melepas kecanggungnan.
"Aku tidak lapar." Taehyung menjawab kecil, "kau mau makan, Sayang?"
Hyuna mengerucutkan bibirnya lucu, "Kita belum makan dari pagi. Ayo pesan sesuatu."
Hyuna mengangkat tangannya mengisyaratkan pegawai di kafe itu untuk mendekat.
"Aku mau salad sayur dan sandwich, lalu jus mangga tanpa gula." Hyuna menyebutkan pesanannya cepat, tangannya sibuk membalik buku menu, "pesanlah sesuatu, Sayang."
Taehyung menggenggam sebelah tangan Hyuna, membuat Jungkook di hadapannya meringis nyeri. Rasanya ia ingin berlari menjauh , ternyata masih saja menyakitkan.
"Americano," bisik Jungkook kemudian ia menjilat bibir bawahnya sekilas, "terima kasih."
Satu detik netra Taehyung sedikit membelalak, terkejut. Itu kopi yang biasa diminumnya dan ia tahu persis Jungkook tidak suka kopi.
"Sejak kapan kau minum kopi?" Tanpa sadar pertanyaan itu terlontar dari bibir Taehyung.
"Sudah cukup lama, Hyung." Jungkook membuang pandangannya ke arah apron yang dikenakan pegawai kafe. Ia memang meminum kopi yang biasa diminum Taehyung untuk mengobati rasa rindunya meski sedikit.
"Ada lagi?" Tanya pegawai itu sopan.
Taehyung menggeleng kecil, "Capucinno. Less sugar dan um, mungkin ayam goreng."
Pegawai kafe itu mengangguk cepat, kemudian mencatat pesanan Taehyung.
Jimin melirik Jungkook yang berkeringat hebat, tampak begitu merana. Apalagi Taehyung seolah sengaja menunjukan afeksinya kepada Hyuna di hadapan Jungkook.
"Ayam juga," Jimin melirik buku menu di hadapannya, "dan cola."
Jungkook di sampingnya hendak memprotes pesanan Jimin tetapi pegawai itu sudah berlalu dari hadapan mereka.
"Hei, siapa bilang kau boleh makan makanan sampah begitu?" Jungkook menggeram tidak suka.
"Ayolah, Kook. Aku bosan makan bubur." Rajuk Jimin.
Hyuan terkikik kecil, "Ummm. Kalian dating?"
Jimin merasa pipinya memanas, ia melirik Jungkook meminta persetujuan.
"Ya, Noona." Jawab Jungkook dengan bibir gemetar.
"Wah, selamat!" Hyuna memekik ceria sepenuhnya tidak menyadari kecanggungan di antara mereka.
"Semakin hari bumi semakin menyeramkan, ya." Taehyung mengeluarkan ponselnya, "bisa saja seratus tahun lagi manusia sudah tidak bisa berreproduksi," bibirnya menyeringai tipis, "kalau abnormal semakin banyak seperti ini."
"Tae," Jimin menggeram, "sebaiknya kau jaga ucapanmu."
Taehyung terkekeh pelan, "Calm, Jim. Kau dan kekasihmu pengecualian." Bibirnya menyeringai lebih lebar, "karena kau sahabatku dan sebagai sahabat aku harus mendukung kebahagiaanmu jadi kalian normal kok."
Jimin bersumpah ia ingin sekali meninju wajah Taehyung di hadapannya, namun di bawah meja jemari Jungkook yang menggenggam jemarinya bergetar halus. Bibirnya terlipat dan kepalanya menggeleng samar.
Hyuna tersenyum kikuk, "Ah, kalian sudah nonton film terbarunya Jang Hyunbin?" ia berusaha mengalihkan pembicaraan, "aku ingin menontonnya malam ini. Kalian bisa 'kan?"
"Maaf, Noona." Jungkook menggelengkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca, "Jimin masih belum sembuh betul."
Jimin berusaha mengabaikan seringai Taehyung mendesah kecil, "Yah. Mungkin lain kali, Hyuna-ah."
Hyuna mengangguk maklum, "Baiklah. Mungkin lain kali," ia beranjak dari duduknya, "aku mau ke toilet sebentar." Ia mengisyaratkan Taehyung untuk beranjak dari duduknya.
"Jangan lama," Taehyung mencium bibir Hyuna sekilas, "nanti aku kangen." Kemudian ia mengecup bibir Hyuna sekali lagi.
Dan Hyuna terkikik kecil, "Astaga ada teman-temanmu," Ia mengibaskan poni di dahinya, "mengobrolah dulu bersama mereka."
Taehyung berpura-pura ngambek, "Baiklah. Jangan lama pokoknya."
Dan setetes air mata meluncur dari mata Jungkook yang segera dihapusnya namun Jimin menyadarinya. Ini luar biasa sakit, melihat Taehyung bersama orang lain, menggenggam tangan orang lain, berbicara selembut itu pada orang lain, mencium bibir lain yang bukan milik Jungkook. Semuanya bukan untuk Jungkook, Jungkook merasa hatinya teremas teramat kuat sementara perutnya teraduk ngilu membayangkan hal yang tidak seharusnya melintas di otaknya di saat-saat seperti ini.
"Ah iya, sejak kapan kau menjadi kekasihnya, Jim?" Tanya Taehyung cepat.
"Bukan urusanmu." Desis Jimin.
"Astaga, kau marah karena perkataanku barusan?" Taehyung tertawa kecil, "harusnya aku yang marah." Ia mencongdongkan tubuhnya ke arah Jimin, "kau berpacaran dengan mantan kekasih sahabatmu sendiri."
"Hyung, kau membuangku. Berhentilah bicara seolah Jimin yang merebutku." Bisik Jungkook bergetar.
"Ah, Jungkook-ah. Maaf, tapi aku tidak berpikir begitu." Taehyung membuang nafas keras, "kau tidak berarti sebanyak itu."
Dan setetes air mata meluncur dari pertahanan Jungkook.
"Tutup mulutmu, Brengsek." Sergah Jimin cepat, "kau melukainya lagi."
Taehyung tertawa sinis, "Bukan urusanku 'kan Jim?"
Jungkook ingin sekali menghilang dari hadapan Taehyung sekarang juga. Karena ia nyaris saja menunjukan sisi lemahnya di hadapan Taehyung, "Ya. Ini bukan urusanmu, Hyung." Desisnya dengan intonasi dingin, persis ketika dulu Jimin menemukan Jungkook di tengah hujan salju.
x
x
x
Jungkook berubah menjadi pendiam sejak ia bertemu dengan Taehyung, Jimin berusaha mengajaknya bicara, mencoba membuatnya tertawa dan tidak ada satupun yang berhasil. Jimin membuang nafas keras, acara yang ditontonnya di televisi di hadapannya tidak menarik karena otaknya terus memikirkan Jungkook.
Jungkook bilang ia sedang ingin sendiri, tetapi Jimin tidak bisa membiarkannya sendirian lagi.
Ia menekan tombol off sebelum akhirnya mengabil langkah panjang-panjang menuju kamarnya sendiri.
"Kookie," panggilnya pelan pada Jungkook yang terbaring menyamping.
"Aku sedang ingin sendiri."
Jimin memutar pandangannya sebal, "Jangan seperti ini, Kook. Demi Tuhan." Ia mengacak rambutnya sebal, "apa yang harus aku katakan pada Ibu dan Ayahmu nanti kalau kau seperti dulu."
Jungkook bangun, ia duduk di tepian ranjang sembari menunduk, "Sakit, Jim."
Jimin mendekat, mendudukan dirinya di samping Jungkook, "Kau punya aku, oke?" ia menarik bahu Jungkook agar menghadap ke arahnya, "kau bisa membaginya denganku." Kemudian Jimin menarik Jungkook ke dalam pelukannya.
Jungkook hanya pasrah, tidak melawan dan tidak membalas pelukan Jimin.
Jimin bersenandung kecil, tangannya mengelus belakang kepala Jungkook dengan sayang sementara bibirnya mengecup pelipis Jungkook beberapa kali.
Cukup lama keduanya terdiam dalam posisi yang sama sbelum akhirnya Jungkook mendorong tubuh Jimin perlahan, "Bantu aku melupakan, Tae-hyung."
Jimin tersenyum, ia mengusap sudut mata Jungkook yang basah, "Aku selalu mencoba membantumu bangkit, bukan melupakan Taehyung." Ujarnya kalem.
Jimin meraih tangan Jungkook mengecup punggung tangannya sekilas.
"Jim," Jungkook menarik tangannya dari genggaman Jimin hanya untuk mendaratkan tangannya di pipi Jimin, menangkup pipinya yang bulat, "aku ingin terlepas dari Taehyung," Jungkook menjilat bibir bawahnya gugup, "kau bisa membantuku sedikit lagi 'kan?"
Jimin tidak tahu debar macam apa yang mengetuk dadanya, "Te-tentu." Dan entah mengapa ia merasa sedikit gugup.
Jungkook tersenyum miris, begitu palsu dan menyakitkan. Perlahan ia menarik wajah Jimin mendekat.
Jimin hampir saja menjatuhkan kedua bola matanya saat ia sadar bibirnya menyentuh bibir Jungkook.
Jungkook memejamkan matanya khidmat, ciuman itu tidak berlangsung lama. Hanya 3 sekitar detik. Ciuman yang halus, dan polos selayaknya ciuman pertama. Dan yah memang ini ciuman pertama Jimin, Jimin merasa bibirnya begetar hebat. Sementara jantungnya berdegup semakin cepat.
Seolah tidak peduli pada kenyataan bahwa Jimin baru saja melepas ciuman pertamanya, Jungkook tidak peduli pada debar di dada Jimin maupun getar di bibirnya.
Tangannya mendekap pinggang Jimin sementara yang satunya aktif melakukan usapan-usapan di pipi Jimin membuat Jimin seketika mabuk dan lupa akan segalanya.
Bibirnya mengejar bibir milik Jimin, memenjarakannya dalam lumatan yang memabukkan. Jimin tidak tahu ia harus melakukan apa, sepenuhnya mengandalkan insting tertuanya.
Jimin membalas lumatan Jungkook, ketika belah bibir Jungkook terbuka dan menangkap bibir bawahnya, Jimin melakukan hal yang sama dan memenjarakan bibir atas Jungkook di belah bibirnya.
Saling mengulum, menjilat dan menghisap.
Jimin merasa otaknya kosong, beberapa kali ia membuka matanya dan melihat Jungkook masih memejamkan matanya erat.
Jungkook menarik dagu Jimin, mengisyaratkan Jimin untuk membuka mulutnya dan Jimin langsung menurutinya. Tidak butuh waktu lama Jimin merasa benda asing yang basah dan lunak menggeliat di dalam mulutnya. Membuat gerakan membelai geligi dan langit-langit mulutnya.
Jungkook menggeram di sela pagutannya karena Jimin bersikap pasif, "Gunakan lidahmu, Brengsek." Umpatnya dengan mata terpejam.
Seolah tidak mendengar umpatan Jungkook, Jimin menggeliatkan lidahnya ketika Jungkook kembali menyatukan kedua mulut itu. Lidah Jungkook masuk ke dalam mulutnya membelit lidahnya dengan gerakan sensual yang rasanya tidak bisa Jimin jabarkan.
Jimin hanya melenguh persis seperti Jungkook yang beberapa kali menggeram penuh nafsu.
Kedua lidah itu membuat gerakan yang sama, saling bergesek dan berputar di dalam mulut Jimin. Jimin mengenyahkan pikiran betapa joroknya ciuman mereka karena sungguh Jimin hanya ingin merasakan Jungkook sepenuhnya. Menunjukan gairah yang sama, keinginan yang sama bahkan mungkin perasaan yang sama.
Jimin mendorong lidah Jungkook keluar dari mulutnya, Jungkook menurut dan mempersilakan ruang untuk lidah Jimin. Jimin merasa Jungkook menghisap lidahnya pelan, menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dalam tempo yang lambat, lidah Jungkook membelai lidahnya membuat Jimin merasa getaran 'tak masuk akal di tengkuknya.
Ia dapat merasakan rasa Jungkook, manis seperti permen dan sedikit pahit seperti rasa americano yang ditenggaknya siang tadi.
Saliva keduanya melebur menjadi satu ketika Jungkook mendorong tubuhnya ke kasur. Tangannya tetap meremat kaus di pinggang Jimin sementara tangan satunya menjaga berat tubuhnya di samping Jimin.
"Hyung~" Desah Jungkook ketika ciuman itu terlepas.
Jimin ingin mengabaikan desahan Jungkook, tetapi ia sedikit terhenyak ketika sadar Jungkook tidak pernah memanggilnya Hyung meski usia mereka terpaut 3 tahun. Jimin menggeleng kecil, mencoba mengabaikan prasangkanya ketika Jungkook menenggelamkan wajahnya di leher Jimin.
Mengecupnya lambat, menjilatnya perlahan sebelum menghisapnya kuat diiringi beberapa gigitan yang cukup menyakitkan. Jimin tahu bagaimana bercinta itu, astaga ia pemuda berusia nyaris 22 tahun dan ia pasti tahu. Tetapi sungguh Jimin tidak tahu jika rasa foreplay akan semenyenangkan ini.
Jungkook mengehembuskan nafas tepat di samping telinga Jimin yang membuat Jimin semakin bergidik dan merasa ada kembang api meletup di dalam perutnya sebelum Jungkook menghirup nafas dalam-dalam, menangkap aroma Jimin sebanyak mungkin.
Jimin ingin mengumpat ketika bagian bawah tubuhnya yang tegang bergesekkan dengan bagian bawah tubuh Jungkook yang sama-sama tegang. Jungkook bergerak begitu agresif di ceruk lehernya, dan Jimin menyadari satu hal: Jungkook terus memejamkan matanya erat-erat.
Tanpa aba-aba Jungkook membalik posisi mereka, membuat Jimin menggeram karena pening yang menyerang kepalanya, dasar demam sialan.
Jungkook meletakkan kedua tangannya di bagian belakang kepala Jimin, menariknya dalam ciuman panjang yang memabukkan sekaligus membengkakkan sebelum ia menekan kepala Jimin kuat-kuat ke lehernya, meminta lebih.
"H-hyung~" Desahnya terbata ketika Jimin menjilat leher Jungkook yang terlampau sensitif dan Jimin merasakan hatinya mencelos berkali-kali mendengar Jungkook yang bukan menyebut namanya, meski begitu ia tetap membuang pikiran seperti itu jauh-jauh.
Jimin masih mampu menguasai nalarnya sehingga ia hanya menjilat dan mengecupi leher Jungkook, menghisap dan menggigit selembut yang ia bisa karena ia tidak ingin memulangkan Jungkook ke Busan dengan penuh tanda dan membuat Tuan Jeon mememenggal kepalanya saat itu juga.
Jimin meraih kemeja Jungkook dan membuat Jungkook membuka matanya ketika pergerakan Jimin terhenti, ia mengangguk kecil sebagai konfirmasi. Yang langsung dituruti Jimin dengan membuka seluruh kancingnya, mengecupi dada dan menjilati aerolanya. Membuat Jungkook memejamkan matanya kemudian mendesah keras dan Jimin hampir kehilangan rasionalitasnya ketika Jungkook menggapai bagian bawah tubuhnya dan meremasnya pelan.
"Jungkook," Jimin bangkit dari posisinya, "jangan begini," Jimin menjilat bibir bawahnya yang bengkak, "cukup." Ceguknya kemudian.
Ia hendak mengancingi kemeja Jungkook sebelum menangkap Jungkook membuka matanya separuh, menggelap karena nafsu ia menghardik tertahan, "Lakukan, Brengsek!"
"Ta-tapi."
Jungkook mengurut bagian bawah tubuh Jimin, "La. Ku. Kan." Tekannya.
Hanya menyisakan seperempat logikanya, Jimin membuka kancing celana Jungkook dengan jemari bergetar. Ini pengalaman pertamanya dan ia tidak percaya akan melakukan sampai sejauh ini.
Ia merebahkan tubuhnya tepat di depan bagian bawah tubuh Jungkook yang masih ditutupi celana dalam berwarna abu-abu, dengan ragu ia mendekatkan wajahnya menghirup aroma sejati Jungkook dan seketika kecanggungannya menguap. Ia menarik celana dalam Jungkook dalam satu kali sentakan, tergulung di lutut Jungkook bersama dengan celana jeans pendek yang Jungkook kenakan.
Dalam hati Jimin mengakui jika aroma sejati milik Jungkook begitu membuatnya tergoda. Jimin memulai dengan mengecupi paha dalam Jungkook yang lagi-lagi membuat Jungkook kembali mengerang hebat.
Tangannya mengurut bagian bawah tubuh Jungkook sementara mulutnya sibuk mengulum testikel kembar di bawah sana, ia membuat gerakan lambat dengan menjilati seluruh bagian itu tetapi menghindari puncak kesejatiannya. Membuat Jungkook menggeram semakin frustasi, keruh karena nafsu.
Ketika lidah hangat Jimin membelai puncaknya, Jungkook merasa akalnya terempas jauh ke dasar neraka.
Jimin memulainya dengan lembut, penuh kehati-hatian sebelum akhirnya ia menghisap keras, membuat gerakan maju mundur dengan tempo lambat yang semakin lama berubah cepat.
"Hyung," Jungkook mengeliat pelan, "Hyung."
Jimin mempercepat gerakannya dibantu oleh telapak tangannya yang mungil, ia sibuk menjilati bagian bawah puncaknya ketika ia merasa bagian bawah tubuh Jungkook berkedut ringan. Jimin menghentikan seluruh gerakannya mulut dan tangannya ketika ia merasa hangat mengaliri rongga mulutnya, asin dan pahit yang asing.
"Hyung," Jungkook melempar kepalanya semakin jauh melesak ke bantal yang mengalasi kepalanya, "Tae-hyung." Desahnya keras.
Jimin menelan getir di hatinya dan pahit di mulutnya. Benar saja, sesuai dugaannya.
Terlepas dari euforianya, Jungkook membuka matanya dan melihat Jimin menatapnya dengan pandangan tidak terartikan. Seketika ia sadar satu hal: ia membayangkan percumbuan itu dengan Taehyung. Ia menutup matanya agar melihat wajah Taehyung.
"Jim." Panggilnya tertahan.
Jimin tersenyum kecil, "Masih ingin lanjut?"
"Ti-tidak," Jungkook bangkit dari tidurnya, "hentikan."
Jimin mengangguk kecil, mengandalkan logikanya yang tinggal seperempat ia menarik selimut untuk menutupi bagian bawah tubuh Jungkook.
Kemudian ia bangkit dengan wajah terluka, "Aku mau mandi dulu, Kook. Tisu basah ada di dalam laci."
Lalu ia meninggalkan Jungkook sendiri. Lengkap dengan seluruh perasaan bersalahnya.
Demi apapun, Jungkook tahu semua ini pertama bagi Jimin. Dan di bawah sana, itu pertama kali bagi Jungkook.
Dan dengan semua kehinaan yang ada di dunia, ini baru saja membayangkan percumbuan dengan mantan kekasihnya? Ia mencumbu kekasihnya sembari membayangkan percumbuan itu dengan mantan kekasihnya?
Jungkook tidak menyangka ia sebrengsek itu.
Jungkook memukul kepalanya kesal sebelum mengelap tubuhnya sendiri dengan tisu basah.
Jungkook ingin menyusul Jimin, karena tadi ia lihat Jimin keluar tanpa membawa pakaian ganti.
Jungkook menggenggam pakaian yang dibawanya, lengkap dengan celana katun hitam favorit Jimin dan celana dalam bewarna hitam yang membuat Jungkook merona ketika ia ingat ia menggoda Jimin dengan begitu jalangnya tadi.
Semakin dekat dengan kamar mandi, Jungkook melihat pintu kamar mandi tidak tertutup rapat. Persetan dengan tata krama atau larangan Ibunya tentang tidak boleh mengintip, Jungkook memicingkan mata melihat lebih jelas melalui celah itu.
Samar ia bisa melihat tubuh Jimin bergetar di bawah shower lengkap dengan pakaiannya.
Jimin terduduk memeluk lututnya, dihujani air, dan mencengkeram erat dadanya membuat dada Jungkook seolah teremat juga.
Bagaimana tubuh itu bergetar, bagaimana Jimin mencoba meredam suaranya dengan menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat.
Sesekali Jungkook bisa mendengar isakan Jimin di sela riuh rintik air berjatuhan. Terdengar begitu pedih.
Membuat dada Jungkook sakit sekali.
Akhirnya Jungkook duduk memeluk lututnya tepat di samping pintu kamar mandi.
Terlalu pengecut untuk masuk ke dalam dan menarik Jimin dalam pelukan sambil mengucap maaf berulang-ulang.
Namun ia pun tidak bisa melihat Jimin seperti itu, terlebih karena ulahnya.
Jungkook merasa matanya memanas.
Dan malam ini, Jungkook merasa ia orang paling tidak tahu diri di dunia.
x
x
to be continue
x
x
Well, hallo everyone.
Aku balik lagi bawa sequel dari Frozen Heart yang bahkan lebih panjang haha
Ada gitu ya sequel yang lebih panjang dari cerita utamanya ToT
Jadi sebenarnya ini Oneshoot, tapi kupotong jadi 2 bagian karena ini bakal terlalu panjang kalu dijadiin Oneshoot. 15000 character lebih soalnya XD
Sampai jumpa di bagian kedua~
With Love,
December D.
