"Jadi? Apa yang akan kau lakukan?" sepasang mata milik sosok gadis bersurai hitam mulai berkaca-kaca. Ditatapnya seorang pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya dengan tatapan penuh harap.
Sementara itu sang objek tatapan tetap bergeming. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar menatap sepasang manik dari orang yang telah disakitinya.
Gadis itu mengepalkan tangannya saat tidak menerima jawaban apapun dari si lawan bicara. "Fang!" ia meninju pelan dada kanan sang pemuda. "Berikan aku jawaban!"
Bibir Fang bergetar. Ia ingin sekali menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Namun sayang, ia tidak cukup memiliki keberanian. Lain halnya dengan Fang yang tidak bereaksi apapun, gadis tadi mengusap kedua matanya yang semakin basah akibat air mata.
"Seharusnya dulu aku tidak mengenalmu kalau jadinya begini," itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh gadis tersebut sebelum melangkah pergi. Fang tak berusaha menghentikannya. Toh, kalau pun ia berhasil menghentikan gadis itu, ia tetap saja tak berani berkata.
"Aku ini memang bodoh," ucapnya sembari tersenyum getir dan segera meninggalkan taman, tempatnya berjanji untuk bertemu dengan gadis tadi.
.
.
.
UNTITLED
Genre : Romance, Hurt/Comfort, Humor (nyelip doang)
Pairing : FangLice / FangBoy / BoyLice (hayoooo dipilih-dipilih /plaaak)
Main Pairing : FangLice
Rated : T
Warn : typo(s), alur ngebut, shounen-ai nyelip sedikit
Warn 2 : Saya ga tau ini baik untuk puasa atau gak XD /gampar-ed
Cover by : Healice Adelia
Don't Like Don't Read!
.
.
.
Gadis berumur 13 tahun itu menangis sejadi-jadinya. Kedua tangannya terus meremas bantal biru tak berdosa. Kacamata yang selalu mempermanis wajahnya pun sudah tidak tahu pergi kemana. Yang ia pikirkan sekarang adalah sosok bersurai biru tua dan sosok bertopi oranye.
Cukup dengan kondisi gadis itu. Mari lihat kamarnya yang sudah tak karuan penampilannya. Benar-benar mirip kapal pecah. Selimut sudah berada di pojok ruangan, baju-baju sudah keluar dari lemari, dan beberapa remasan tisu yang sebagiannya sudah basah karena air mata pun tidak luput dari penglihatan.
Ralat. Sebenarnya kamar itu tidak terlalu parah kondisinya. Masih sedikit rapi sana-sini.
"Fang… sialan!" gadis itu kembali meremat bantal yang berada di dekapannya dan voila, bantal malang itu sobek.
"Eh?" dia menatap bantal sobek dengan tatapan heran. "Healice… kau kelewatan hehe~"
Sosok gadis bernama Healice itu tersenyum kecut. Lalu terkekeh pelan. Dan kembali menangis saat mengingat Fang.
"Itu…," Healice mengusap air matanya. Ia memeluk kedua lututnya dan membenamkan kepalanya. "…terlalu cepat."
Gadis bersurai hitam legam itu tersenyum lebar sembari menunggu di ambang pintu kelas. "Fang! Kau terlalu lambat!" serunya dengan sedikit nada ejekan di dua kata terakhir.
Fang mendengus kesal. "Lice, kau yang tidak mau mebantuku beres-beres. Padahal aku sudah membantumu tadi," ia menutup tasnya.
"He? Itu kan kau yang membantuku. Aku tidak minta bantuanmu hahaha~!" Healice tertawa keras, membuat sebuah perempatan urat muncul di dahi Fang.
"Gadis licik," bisik Fang seraya menyeringai tipis. Namun dua kata yang dilontarkan Fang tadi tidak termasuk sebuah bisikan karena terbukti oleh Healice yang sudah mulai bertanduk dua.
"Apa kau bilang hah?!" Healice berteriak dengan tangan kanan meninju udara.
Merasa aura pembunuh berputar-putar disekitar Healice, Fang buru-buru menghampiri gadis beriris biru itu. Tangannya menepuk pelan pundak Healice yang agak tertutup karena rambut panjang Healice.
Fang tersenyum ramah. "Ngambek?" tanya Fang. Tangannya meraih dagu Healice dan menempelkan dahinya dengan dahi sang gadis berparas cantik itu. "Kau yakin?"
Healice seketika membatu malu. Wajahnya memerah sampai ke telinga. Matanya terbelalak kaget. Lututnya yang terbuat dari tulang pun mendadak melemas seperti jelly.
"A-a-a… Fa-Fang…"
Tetapi bukan Fang namanya kalau tidak pernah merusak momen romantis. Ia segera menjauhkan wajah Healice dan kemudian berlari menjauh. Fang menengok sebentar ke belakang, tampak Healice masih bergeming di tempat. Tentu saja Fang langsung tertawa.
"Healice si tukang ngambek~!" ejek Fang dengan lidah terjulur.
Sedetik.
Dua detik.
"FANG!" Healice mulai tersadar dari lamunannya dan berlari mengejar Fang dengan kecepatan cahaya. Alhasil, kerah baju Fang tertarik dengan tidak elitnya, menyebabkannya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Healice yang menyadari Fang akan jatuh pun langsung kelabakan panik. Fang sebelumnya berhasil mengembalikan keseimbangan tubuhnya, namun karena Healice yang panik, kedua kakinya terpeleset dan menubruk kaki Fang yang berdiri tepat di hadapannya.
Narasi yang rumit, tetapi semoga kalian faham bagaimana kejadiannya.
"KYAAA—" jeritan Healice benar-benar memperburuk keadaan.
Fang memutar badannya 180 derajat sebelum benar-benar terjatuh seperti Healice yang sudah tersungkur di tanah. Healice yang segera tahu kalau Fang akan jatuh diatasnya kembali menjerit ria.
"KYAAAA—" Healice memejamkan matanya.
Hening.
Healice membuka kedua kelopak matanya saat ia merasa tidak tertimpa apa-apa. Namun ketika iris birunya berhadapan dengan iris violet yang tersembunyi dibalik lensa cekung, seketika wajah Healice memerah padam.
Jarak hidung mereka hanya berjarak 1 centimeter dan itu juga membuat Fang merona hebat. Jantungnya seperti melompat-lompat dibalik tulang rusuknya. Dalam hati ia berharap suara degupan jantungnya tidak terdengar oleh sosok gadis tanpa kacamata yang tepat berada di bawahnya.
Dan kenapa Fang tidak menindih Healice? Bersyukurlah kepada kedua telapak tangan Fang yang mampu menopang tubuhnya.
Untung saja kondisi sekolah sudah sepi. Sebenarnya tidak terlalu sepi, masih ada satu atau dua orang dari setiap kelas yang sedang menjalani tugas piket. Lagi-lagi mereka diberuntungkan oleh keadaan lorong yang sepi.
"Fang! Me-menyingkirlah dariku!" ucap Healice gagap. Tak perlu dibuat sebuah ruang diskusi untuk membahas alasan kenapa Healice mendadak gagap itu.
Fang menggeleng. "Tanganku terlalu sakit untuk bangkit. Kau kira jatuh dengan tangan duluan itu tidak sakit?" balasnya. Jujur, tangannya memang terasa sakit.
Bukannya berusaha menyingkir sedikit atau apa, ia mala mencegah Healice yang tengah mencoba bangkit. "Kau tahu? Kalau kau mendekat sekali lagi, kita akan berciuman."
Dua pertanyaan barusan sukses membuat usaha Healice sia-sia. Ia kembali ke posisinya semula dan memilih untuk menunggu Fang yang menyingkir.
"Ka-kalau begitu, cepatlah menying—"
Tanpa basa-basi lagi, Fang menyingkir dari Healice daripada harus mendengar ocehan si gadis cantik. Ia duduk disamping Healice yang ikut duduk.
Salah satu kaki Fang dibiarkan tak tertekuk sementara kaki lainnya menekuk dan tangannya diletakkan diatas kaki yang menekuk. Iris matanya menatap lurus ke depan tanpa peduli dengan ocehan Healice yang mulai terdengar.
"Healice, aku mencintaimu."
"Ya aku juga mencintaimu, bodoh!"
"Eh?" Fang tersentak dan menoleh ke Healice. Lain ceritanya dengan Healice yang masih agak sebal dan memanyunkan bibirnya.
Merasa rishi karena terus-menerus diperhatikan, Healice menatap intens Fang. "Apa?!"
Fang yang merasa kalau Healice mengucapkan kalimat tadi diluar kesengajaan langsung terkekeh. "Kau tidak sadar?"
Healice mengerutkan dahinya. "Maksudmu?"
"Hmmm~" Fang malah bersenandung riang, tidak mengacuhkan Healice yang memohon meminta jawaban.
Akhirnya dengan terpaksa, Healice mengingat-ingat apa yang telah diucapkannya. Lalu sesuai dugaan Fang, Healice seketika merona hebat. Sampai-sampai ada asap yang mengepul-ngepul diatas kepala Healice.
"Hahaha," Fang terkekeh lagi. "Tenang saja, aku juga mencintaimu."
Healice semakin malu sekaligus geram. Tangannya memukul-mukul pelan pundak Fang. "Dasar idiot!"
.
…I was too shy to say if I love you…
.
Fang mengacak surainya, membuat tampilannya semakin tidak karuan. Namun bagi Fang itu bukan masalah, masalahnya adalah bagaimana mengatur hubungan antara dirinya dengan Healice yang semakin buruk tiap detiknya.
Tangannya sedari tadi sudah menggenggam ponsel untuk menelpon Healice. Namun ia tak cukup berani untuk menghubunginya. Bukan karena ia takut berbicara dengannya, bukan. Melainkan karena ia tidak kuat mendengar apabila gadis itu menangis lagi.
Ini semua salahnya. Fang tahu itu. Bahkan meski fisiknya diakui dengan ribuan jempol, namun untuk masalah kali ini ia justru seperti agar-agar yang lemah. Memalukan memang.
"Bang es-em-es siapa itu baaang~ Bang es-em-es siap—"
Fang langsung menyambar ponselnya saat nada dering dari pesan singkat yang masuk terdengar. Bukan apa-apa, ia hanya malu karena nada dering tadi terdengar kuno bagi laki-laki bergelar 'pangeran sekolah' seperti dirinya.
[From : Boboiboy
Hai Fang :) Kau tidak lupa rencana kita sore ini kan?]
Ternyata sebuah pesan singkat dari Boboiboy, orang yang kini diberikan jabatan sebagai kekasihnya. Fang terdiam dan membalas pesan tersebut.
[To : Boboiboy
Ya, aku tidak lupa.]
Singkat sekali, memang benar-benar karakter Fang. Ia hanya berharap sang penerima balasan bisa memaklumi sifatnya yang satu ini.
Fang melirik ke arah jam dinding dan menghela nafas panjang sebelum bersiap-siap menuju taman, tempat ia dan Boboiboy akan bertemu –sekaligus tempat dimana Healice marah kepadanya.
Tidak butuh waktu lama bagi Fang untuk bersiap-siap. Jaket ungu tua yang dibiarkan terbuka dan menampakkan kaus putih polos lalu dilengkapi dengan celana yang biasa dikenakannya sudah dirasanya cukup. Lagipula menurutnya ini pertemuan yang tidak terlalu penting baginya.
Dirinya langsung disambut oleh lambaian tangan dari sosok pemuda bertopi jingga begitu sudah sampai di taman. Pemuda itu mengukir senyum lebar di wajahnya yang terlalu cantik untuk dikatakan sebagai seorang lelaki. Dan Fang berani bertaruh kalau senyum itu akan bertahan lama.
"Sudah lama?" tanya Fang sembari berbaring diatas hamparan rumput yang luas. Ia tidak melirik Boboiboy sedikitpun, tetapi hanya memandangi pohon yang menjadi tempatnya berteduh. Fang hanya fokus kepada perseteruan dedauan akibat hembusan angin.
Boboiboy pun ikut berbaring disamping Fang. "Tidak. Aku juga baru datang kesini."
Fang melirik Boboiboy sekilas. "Kita mau apa disini?"
"Tentu saja menghabiskan waktu bersama, hehe~!"
Fang membuang nafas kasar. Pasti ini akan menjadi sore yang panjang.
.
…but when I can say if I love you, it's too late…
.
Healice menatap keluar jendela, memperhatikan ribuan bintang yang bersinar. Tangannya masih menggenggam pulpen yang entah mau dipakai untuk apa sementara tangan kirinya digunakan untuk menopang kepala.
Fang. Boboiboy.
Dua nama pemuda yang saling bergelut di benaknya. Fang, dengan paras tampannya. Boboiboy, dengan paras tampan yang lebih condong ke cantik. Sebelumnya hubungannya dengan mereka berdua baik-baik saja, sebelum—
"Ya, akulah penyebabnya…," Healice mendongakkan kepalanya, berusaha supaya tidak ada setetes air mata pun yang turun. Ingatannya tentang Boboiboy mulai muncul dan ia bohong kalau ingatan itu tidak membuatnya menyesal.
.
…but she gave me a chance to have you…
.
"Boboiboy! Kembalikan bukuku!" seru sosok gadis berkaca mata geram. Matanya tertuju pada satu arah, buku diary yang kini berada di genggaman pemuda bertopi dino.
"Healice, kau tidak bisa mengambilnya?" Boboiboy menjulurkan lidahnya. Healice semakin geram. Ia kembali melompat-lompat bak anak kangguru. Namun Boboiboy terlalu gesit, jadi Healice harus berusaha sekuat tenaga.
Tidak. Yang dilakukan Healice selanjutnya memang tidak bisa dikatakan baik, tetapi cukup cerdik.
"Hyaaah—" Healice menginjak kaki Boboiboy dengan amat dan amat menyakitkan.
Hup!
"Dapat!" Healice menarik bukunya dan akhirnya buku itu sukses berada di dekapannya. "Untung saja buku ini bisa kudapatkan!"
Boboiboy meringis seraya memegangi kakinya yang berdenyut-denyut karena serangan Healice barusan. "Ya jangan menginjak kakiku dong!"
Healice melirik ke Boboiboy. "Aku tidak sengaja," jawabnya watados.
"Kalian! Bisa diam sebentar?!"
Baik Boboiboy maupun Healice, mereka langsung menengok ke sumber suara. Oh, itu ternyata seruan dari sang pemuda berdarah china.
"Fang?" Healice memiringkan kepala bingung. Ia tidak menyadari kapan pemuda itu masuk kelas. Seingatnya, ia tadi hanya bersama Boboiboy di kelas. Atau jangan-jangan Fang masuk kelas saat mereka tengah asyik 'rebutan' buku? Entahlah.
Tiba-tiba Healice merasa ada sesuatu yang janggal. Menyadarinya langsung membuat si gadis bergelar 'kekasih Boboiboy' itu menengok ke sang empunya topi oranye.
"Bo-Boboiboy?"
Dilihatnya Boboiboy terpaku menatap Fang.
.
…now nobody can have you…
.
Fang berdoa supaya ketika ia masuk kelas nanti, Healice tidak marah atau menjauhinya. Ia ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada Healice karena insiden 2 hari lalu. Fang sungguh tidak tahu kenapa kejadian itu bisa diketahui oleh Healice.
Suasana sekolah sangat hening pagi ini. Fang maklum-maklum saja, ini masih pukul enam lewat dua puluh tiga menit. Mana ada murid yang datang sepagi ini.
Tetapi terkaan Fang dibuktikan salah karena ia mendapati ada orang lain yang sudah memasuki kelas mendahului dirinya. Sosok berkaca mata dengan lensa minus. Beriris biru dan bersurai hitam. Siapa lagi kalau bukan—
Fang berdiri di samping daun pintu yang terbuka. "Healice?" Fang memanggil setengah berbisik.
'Apa yang dilakukannya pagi-pagi begini?' Fang menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari posisi yang pas untuk memperhatikan Healice yang tengah berdiri di depan papan tulis.
Healice sedang menulis sesuatu dengan spidol dan Fang begitu penasaran akan apa yang ditulis olehnya. Namun Fang seketika terdiam saat menyadari apa yang Healice tulis. Ia menundukkan kepalanya, tangannya terkepal sementara rasa penyesalan lagi-lagi muncul di hatinya.
Healice sedang menulis namanya (Fang) dan Boboiboy. Fang semakin menyesal saat samar-samar terdengar suara gumaman Healice.
"Fang… Boboiboy… Fang… Boboiboy… tidak… Fang… Boboiboy…"
Fang meninju kusen pintu dengan kekuatan yang tak bisa dikatakan pelan. Sontak saja bunyi dari tulang yang bertemu dengan kayu membuat Healice menjatuhkan spidolnya dan menengok ke belakang.
"Fa-Fang!" mulut Healice bergetar. Fang tahu kalau gadis itu pasti tengah ketakutan dan bertanya-tanya kenapa ia bisa ada disana.
Sepasang manik Healice mulai berkaca-kaca. Ia segera berlari menuju pintu, hendak keluar kelas. Namun tentu Fang tidak akan membiarkannya lolos. Tangan kanannya yang sedikit lecet dan luka sana-sini langsung menangkap lengan Healice.
Selanjutnya tangan kiri Fang ditempelkan ke daun pintu, mencegat Healice untuk kabur. Diperlakukan seperti itu oleh Fang tentu membuat Healice mati kutu. Ia tak berani berkutik apalagi Fang yang menundukkan kepalanya seolah sedang mengeluarkan arua 'jangan pergi atau kau mati'.
"Healice… kejadian dua hari yang lalu itu bukan—"
"…diam," Healice memotong ucapan Fang dan ikut menundukkan kepalanya. Ia pun mulai mengeluarkan aura yang sejenis dengan aura Fang. Sehingga aura mereka saling beradu di udara.
"Sungguh… aku tidak sengaja," lanjut Fang tidak peduli dengan sikap Healice yang tidak peduli pada omongan Fang.
"…pergi. Menyingkirlah dariku."
"Healice!" Fang menggertak yang jujur saja membuat Healice bergidik ngeri. Tetapi ia tetap berusaha bersikap dingin, ia tidak mau Fang tahu apa yang dirasakannya.
"Dengarkan aku!"
.
…but why you don't love me?...
.
Fang bersandar pada tembok yang berdiri kokoh di pinggir jalan, menunggu Boboiboy melanjutkan kata-katanya. Sementara itu Boboiboy sendiri tengah bersandar di samping Fang. Jalan ini cukup sepi ketika malam hari, jadi lumayan enak kalau mau membicarakan sesuatu yang penting disini.
"Aku putus dengan Healice…," ujar Boboiboy lirih. Fang tersentak dan segera menengok ke Boboiboy.
Alisnya mengerut heran. "Kenapa? Bukankah kau—"
"Dia tidak mencintaiku lagi, Fang," Boboiboy tersenyum pahit. Ia mengucek-ucek mata kanannya yang mulai berkaca-kaca. "…semenjak pertemuanmu dengannya."
Fang terperanjat sampai-sampai minuman soda yang dipegangnya terlepas. "A-apa maksudmu?!"
"Dia sekarang mencintaimu, Fang."
"Tidak tidak tidak," Fang menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. "Kau tidak boleh putus—"
"Ada tiga alasan kenapa aku tidak mau memaksanya tetap menjadi kekasihku," Boboiboy menundukkan kepalanya. "Pertama, ia tidak mencintaiku dan kedua…"
Boboiboy menggantung kalimatnya sambil tersenyum kembali dan Fang harus bersabar menanti kalimat Boboiboy selanjutnya. "Aku sejujurnya mencintaimu Fang."
Boboiboy langsung memeluk Fang yang sedikit lebih tinggi darinya. Fang terparanjat kembali untuk kesekian kalinya. Boboiboy semakin erat memeluknya seakan tidak ikhlas kalau Fang pergi darinya.
Lain ceritanya dengan Boboiboy, Fang bahkan tidak membalas pelukan Boboiboy. Ia justru membelalakkan matanya, menatap lurus ke depan. Merasa Fang masih kaget, Boboiboy melepas pelukannya dan mengecup pelan bibir Fang.
"Fang…," Boboiboy kembali memeluk Fang.
Namun Fang hanya bergeming dan berkeringat dingin di tempat. Ia bukan peduli dengan kecupan Boboiboy, melainkan ia peduli dengan sosok gadis yang tengah berdiri jauh di depannya, menatapnya horror.
'Healice!' Fang berharap ini tidak akan bertambah buruk.
.
…then I know what is your reason…
.
"Sudah mengerti?" Fang menurunkan kedua tangannya, melepas 'penjara' yang menahan Healice. Healice bergeming. Ia menyimak betul-betul cerita Fang.
"Jadi sebenarnya Boboiboy itu mencintaimu?" tanya Healice memastikan. Fang mengangguk cepat.
Healice kembali diam. Fang yakin gadis ini pasti tengah memikirkan sesuatu dan Fang berharap kalau Healice akan menceritakannya kepada Fang. Tetapi Healice justru buru-buru pergi, meninggalkan Fang seorang diri.
.
…and your reason is Healice…
.
TBC
A/N : Okeh, aslinya ini ga mau multi chapter. Tapi ya karena WB menghadang, jadinya dipotong dulu XDD. Mungkin chap 1 masih gaje, masih pada bingung alurnya, ntar di chap dua dijelasin kok.
Fic ini khusus dipersembahkan *eaaaak* untuk Healice Adelia. Kenapa? Karena dia yang bikin aku kenal fanfic, yang ngebangkitin jiwa tulis-menulisku, pokoknya aku berterima kasih banget sama dia /tebarbunga.
Udah ah, ga mau panjang lebar. Review please? :3
