selamat pagi

shingeki no kyojin (c) hajime isayama

warning: ooc, typo, pastinya crackpairing.

.


.

"For the love of God, Sasha!" Jean hanya berdiri di depan pintu unitnya, menghalau Sasha yang berusaha masuk sambil memeluk beberapa botol bir, "Gue udah bilang, kan, kalau gue mau berhenti?"

"Gak, tuh!" bantah gadis yang berdiri di depannya, kemudian memasang wajah cemberut. "Lagian, kenapa mau berhenti, sih?"

"Gue gak mau punya beer belly(1)," gelengnya, "Sorry, Sha."

Dengan kesal, Sasha kembali ke unitnya yang berada tepat di samping Jean. Tak lama kemudian, Sasha kembali mengetuk pintu unit milik Jean.

"Apa sekarang?"

"Bukan bir," balasnya sambil menyengir, kemudian menggoyang-goyangkan sebotol dry gin tepat di wajar Jean. "Sekarang lo gak punya alasan untuk gak nemenin gue minum, kan?"

Jean hanya memutar bola matanya. Tanpa menunggu dipersilahkan, Sasha langsung nyelonong masuk ke dalam unit milik Jean dan meletakkan dry gin di atas meja ruang tengah. Sasha mengambil dua buah gelas kosong dan sebotol sprite zero dari dapur tanpa izin, seakan memang ini tempatnya.

"Gue gak minum, Sha," ujar Jean yang duduk di sofa setelah menutup pintu.

"Lagi nonton apa?" tanya Sasha, menganggap pernyataan Jean bagaikan angin lalu.

"Black mirror."

"Oh!" dengan entusiasme tinggi, Sasha menuangkan dry gin ke dua gelas kemudian menambahkan dengan sprite zero hingga nyaris memenuhi gelas, "Gue denger-denger katanya emang seru, ya?"

Perlahan, Sasha menyodorkan salah satu gelas ke arah Jean. Ada senyum penuh arti yang menghiasi wajah gadis itu.

"Fine! Fine! Astaga!" Jean kini mulai frustrasi dengan kelakuan sahabatnya yang agaknya sudah menjadi alkoholik, "Satu aja!"

"Yakin? Satu aja?"

Ada helaan nafas panjang yang keluar dari mulut Jean, sebelum akhirnya menenggak isi gelas yang sengaja diletakkan di depannya.

"Gitu dong!" tawa Sasha memenuhi ruang tengah tersebut, diikuti dengan dirinya yang meminum isi gelas miliknya juga. Tak tanggung-tanggung, Sasha langsung menenggak habis miliknya. Tak seperti Jean yang sengaja disisakan setengah.

"What's the occasion?" Jean kemudian mengganti Netflix dengan channel TV biasa, menayangkan acara TV yang tidak pernah ia tonton. "Kita ngerayain sesuatu yang gue gak tahu, nih?"

Sasha menuangkan gelas kedua untuk dirinya sendiri, "Eh, gak ada. Cuma sesuatu yang kecil, sih."

"Oh?"

Pelan-pelan, Jean menyesap isi gelasnya. Salah satu alisnya terangkat sambil menunggu apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut sahabatnya. Paling sesuatu yang tidak penting, batinnya.

Gadis yang duduk di sampingnya hanya nyengir lebar sebelum mengatakan alasan mengapa mereka minum-minum hari ini, "Oke, jadi, tadi gue ketemu cowok di lobby."

"Oh, ternyata memang gak penting."

"Eh!" ia hanya tertawa sambil menyikut Jean, "Cemburu?"

"Idih, males banget!" omelnya. "Masih banyak hal penting yang bisa gue pikirin ketimbang cemburu sama lo doang."

Sasha hanya menjulurkan lidahnya, sebelum menenggak habis gelas keduanya dalam satu kali jalan. Perutnya mulai kembung karena soda dan kepalanya sudah mulai enteng. Ia bersendawa.

"Jorok banget sih!" kini Sasha menjadi sasaran lemparan bantal oleh Jean, yang mulai mempertanyakan mengapa mereka bisa bersahabat hingga sekarang.

"Bawel ya lo, kayak lambe turah(2)!"

Jean hanya menggelengkan kepalanya, melihat Sasha yang berjalan ke arah kulkas dan mengambil beberapa cemilan yang memang sengaja Jean stok untuk beberapa hari ke depan. Hatinya menangis ketika Sasha memakan dark chocolate yang sengaja ia sembunyikan di balik beberapa belanjaan.

"Jadi, tentang cowok ini," Sasha membuka pembicaraan tanpa berhenti mengunyah, "Dia kayaknya baru pindahan sama temennya, deh. Soalnya tadi mereka bawa koper dan kardus banyak banget."

"Terus? Apa yang mesti kita rayain? Lo bahkan gak kenal sama dia."

"Ya kalo gitu kenalan, dong!" senyum agaknya tidak pernah absen dari wajah Sasha. "Mungkin kalau ketemu di lobby lagi mau gue sapa, deh."

"Semoga beruntung," Jean berusaha menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir dengan cara mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, "Gue rasa lo ngajak minum memang karena gak ada occasion khusus, ya? Lo memang lagi pengen aja."

Kini Sasha sudah pada gelas ketiganya, tidak mencampur dry gin dengan soda lagi. Rasa alkoholnya terasa semakin kuat, aromanya pun begitu.

"Hehehe. Gue cuma mau spend time aja sebelum kita mulai semester baru besok."

"Sha, kita tinggal sebelahan."

"Still!" setelah menenggak habis gelas ketiganya, bicara Sasha sudah mulai berantakan, "Inget gak…?"

Ada jeda karena Sasha butuh waktu untuk mengontrol dirinya, "Dulu kita ngabisin goon(3) empat liter sama Connie dalam satu hari?"

"Gila, itu dua tahun yang lalu, kan?" kini giliran Jean cekikikan melihat Sasha yang kesusahan menuangkan gelas keempatnya.

"Tapi, ini udah semester lima," ia mengangkat kelima jarinya tepat di depan wajah Jean yang sibuk menahan tawa. Sasha kini selalu mengambil jeda sebelum lanjut berbicara, "Lo sibuk, gue sibuk."

"Iya."

Sasha kembali menenggak habis isi gelasnya dalam sekali coba, "Terus nanti lo punya pacar, gue punya pacar, sama-sama sibuk."

"Iya, Sha," Bertahun-tahun mereka bersahabat, Jean sudah hafal mati bahwa Sasha kelewat jujur bila sedang mabuk, dan memang hobi ngelantur.

"Nanti gue hangout sama siapa?! Connie udah di luar kota, jarang ketemu…, kan gue sedih!"

"Gak apa-apa, silahkan sedih, pokoknya jangan muntah di karpet gue," Ia bergidik ngeri mengingat kejadian tahun lalu, ketika Sasha muntah di karpetnya karena terlalu banyak minum.

"K—kayaknya," Sasha mulai mengerjapkan matanya berkali-kali, mengantuk, "Kayaknya gue udah terlalu tua untuk alkohol, deh."

"Lo masih 20 tahun, Sha."

"Anywaaaays!" gadis itu berdiri, dan langsung terduduk kembali karena kepalanya mulai terasa pusing, "Love you, Jean-boy! Gue bobo dulu yaaa!"

Ia berusaha merangkak ke kamarnya, sebelum jatuh dari sofa di ruang tengah Jean dan menyerah begitu saja. Kini Sasha tergeletak di atas karpet, persis di celah sempit antara coffee table dan sofa. Jean hanya menghela nafas pasrah dengan kelakuan sahabatnya, yang tidak sampai 30 menit menghabiskan waktu dengannya tapi sudah tumbang. Ini bahkan belum jam sepuluh malam.

"Kayaknya memang lo udah terlalu tua untuk handle alkohol, ya?"

"I think sooo," jawab Sasha, wajahnya masih menghadap karpet bulu yang empuk. Suaranya terhambat karpet, "Alsooo, gue tadi belum makan malam. Makanyaaa…, lebih cepat mabuk."

"Pantesan," Jean mendorong sofanya ke belakang, kemudian berusaha memapah badan Sasha untuk kembali ke unit sebelah, "Yuk, balik."

"Okaaay."

.


.

Tidak butuh waktu lama bagi Jean untuk membawa Sasha kembali ke kamarnya. Setelah memapahnya kembali dan membawanya ke atas kasur, Jean izin meminjam kunci kamar Sasha, hanya untuk kembali membawa beberapa butir Advil dan stok cemilan dari kamar sebelah. Diletakkannya itu semua di atas meja kecil yang berada di samping kasur Sasha. Ia mengusap pelan kepala gadis yang sudah setengah tidur tersebut, kemudian kembali ke kamarnya.

Sasha memang sudah setengah tertidur, namun kepalanya masih sangat berdenyut hebat. Bahkan merambat ke matanya, memaksanya untuk tetap terbuka. Ia menatap langit-langit kamarnya, kemudian memutuskan untuk mengambil segelas air dari keran dapurnya, dan menelan sebutir Advil.

Ditambah lagi dengan dentuman heboh dari unit atas, disusul dengan tawa menggelegar yang menyeruak keluar karena pintu balkon mereka yang dibiarkan terbuka. Kemudian barang-barang sengaja dijatuhkan lagi. Dan lagi.

Ia terduduk di ujung kasur, memandangi pintu kaca yang tersambung dengan balkon unitnya. Dengan tertatih-tatih, ia menyeret dirinya sendiri untuk menikmati udara luar. Sasha membiarkan angin malam menciumi wajahnya yang kaku menahan sakit kepala. Mual makin menjadi-jadi.

Bodo amat, batinnya yang sudah memantapkan diri akan membersihkan muntahannya besok pagi, bila memang ia akan muntah saat ini juga. Ingin sekali ia memarahi orang yang tinggal di atas karena membuatnya tidak bisa tidur. Ia bukanlah gadis penakut, orang tuanya tidak mengajarinya begitu. Namun dirinya terlalu lemas dan kepalanya masih berdenyut hebat.

"Baguuus," Sasha mengernyitkan dahi, berdecak kesal. Ingin rasanya ia ditelan hidup-hidup saja, di tempat ini dan sekarang juga.

Kini ia terduduk di bangku yang terletak di sudut balkon, berusaha merilekskan pikirannya dan syaraf matanya dengan memandangi bintang-bintang yang berterbaran. Ia tinggal di lantai delapan, dan gedung-gedung di depannya tidak menjadi penghalang bagi dirinya atau orang lain untuk menikmati pemandangan malam hari.

Ia menikmati ketenangan di tengah malam, namun tentu saja ada yang merusaknya.

Ada langkah kaki terdengar persis dari balkon atas, kemudian bunyi bangku ditarik. Ingin rasanya Sasha minggat dan kembali masuk ke kamarnya karena, demi Tuhan, bila orang di atasnya mulai bercengkrama dengan entah-siapa-Sasha-tak-peduli, kepalanya akan berdenyut makin hebat. Ia tak bisa menangani kebisingan dalam bentuk apapun. Namun ia masih bersandar lemah pada bangkunya, dan memejamkan matanya karena tak mampu berpikir jernih.

Tak disangka, hanya ada petikan gitar yang mengalun indah, ditambah dengan suara halus yang menyanyikan lagu bertempo lamban. Halus sekali, hingga membuat Sasha mengantuk. Sebelum ia benar-benar terbangun, ia menggunakan sisa tenaganya untuk berteriak agar terdengar oleh siapapun yang sedang memainkan lagu di balkon atas.

"Halooooooo?" sapa Sasha yang masih menyeret perkataannya, "Haloooooo! You play good yaaa! Sukaaaa!"

Petikan gitarpun berhenti mendadak. Ada jeda yang lumayan panjang sebelum yang berada di balkon atas bertanya pelan, nadanya terdengar sedikit bingung,

"Lo ngomong sama gue?"

"Yesss!"

"Ooh, okay," lelaki tersebut terbatuk di sela-sela bicaranya, "Maaf, gue ganggu ya?"

"No no no no nooo!" pekik Sasha berusaha menyela pertanyaannya, "Bagus! Tapi gue pusiiing banget…, sekarang, jadi ya…, kalau boleeeh…."

Perbincangan kacau tersebut kembali diisi dengan keheningan yang canggung. Sasha berhenti berbicara, dan lelaki yang berada di atas mulai khawatir.

"Uh, lo gak apa-apa?"

"Oh!" kini Sasha kembali sadar dari ketidakhadirannya, "Me is fineee, me is goood. Iya kalau boleh yaa…, besok mau request lagu yaa…."

"…okay?" balas pria tersebut, bingung.

"Oh, oh oh!" Sasha berusaha melihat siapa yang berada di atas, namun usahanya sia-sia. Kini ia melambaikan tangannya agar dilihat oleh lawan bicaranya, "Gue Sashaaa! Sasha Braus!"

Ragu bercampur bingung, laki-laki itu mulai menunduk berusaha melihat Sasha. Dilihatnya wajah Sasha yang teler, wajahnya masih berusaha untuk tersenyum walaupun terlihat menyedihkan. Tangannya juga masih dilambaikan menggunakan sisa tenaganya yang tinggal sedikit.

Ia terkejut melihat keadaan Sasha, "Oh! Astaga! Mabuk, ya?"

"Hehehehe," Sasha kini merangkak masuk ke dalam kamarnya, "Malaaam… harus tidur."

"Please rest well!" pekiknya, berusaha agar terdengar oleh Sasha. Sedangkan Sasha hanya mengangguk, tak sadar bahwa lawan bicaranya tidak dapat melihat gesturnya. Kini ia tengkurap di atas kasurnya. Tubuh atletisnya sekarang dapat diajak berkerja sama. Tak lama setelah ia memejamkan kedua matanya, kini ia sudah berada di alam mimpi. Tanpa kepala yang berdenyut hebat. Tanpa mual yang mengganggu.

Sedangkan lelaki yang sedari tadi bercengkrama di atas langsung masuk kembali ke dalam unitnya.

"Tadi lo ngobrol sama siapa, Bertolt?"

"Oh," wajahnya memerah, "Reiner, tadi ada orang mabuk ngajak gue ngomong."

"Ya ampun," yang dipanggil Reiner hanya tertawa, "Kok bisa diajak ngomong, sih? Siapa dia memangnya?"

Bertolt berusaha mengingat nama yang diberikan sebelumnya, "Kurang yakin, kayaknya Sasha. Sasha siapa gitu…, besok gue cek deh ke resepsionis."

"Ngapain?"

"Gak tahu," ia menyandarkan gitarnya di samping TV. Kamarnya masih terlihat berantakan karena belum semua barang pindahan tersusun rapi. "Cuma mau mastiin apa dia baik-baik aja."

"Suit yourself."

"Terus," ia menggaruk pipinya yang tidak gatal, namun wajahnya semakin memerah, "Dia bilang dia mau request lagubesok."

Reiner hanya mengangkat salah satu alisnya.

"Lo memang gak jago sama cewe, ya," senyumnya tergantikan dengan tawa yang hangat, "Tapi entah kenapa gue seneng, sih."

Bertolt mengangkat salah satu alisnya sembari membantu Reiner yang sedangkan mengeluarkan barang-barang pindahan miliknya dari kardus.

"Kenapa? Kok seneng?"

"Well, gue udah jarang liat lo ngomong sama cewek. Bukannya apa ya, gue tau lo masih stuck sama dia dan lo selalu menghindar dari lawan jenis."

"Oh." Bertolt tersenyum masam. Ia melirik salah satu kardus yang berada tepat di depannya. Lelaki bertubuh jangkung itu tahu persis apa yang berada di dalamnya. Sama halnya dengan Reiner, yang langsung menyadari kekalutan dalam benak sahabatnya.

"Kardus yang itu mau ditaruh di mana?"

"Mana aja," Bertolt langsung mengalihkan fokusnya dengan membuka kardus lain, "Mungkin di bawah meja TV. Entahlah, pokoknya yang bakal jarang terlihat."

.


.

Sasha terbangun dari tidurnya. Ia lupa menutup tirai semalam, alhasil sinar matahari tidak perlu berebut masuk dari celah-celah tirai yang biasa menghalangi setiap pagi. Gadis itu melirik jam yang terletas di atas meja di samping kasurnya. Jam sembilan pagi. Ia masih ada waktu untuk tidur beberapa jam lagi sebelum kelas pertama mulai di semester baru.

Matanya masih setengah tertutup, namun tangannya meraih handphone secara tak sadar. Ia melihat ada notifikasi Line dari Jean.

'Jangan telat buat kelas nanti. Kabarin kalau butuh apa-apa, ya.'

'Minum air yang banyak!'

'Oi?'

Ia tertawa kecil. Walaupun tampangnya lumayan galak dan terkesan cuek, Jean adalah mom friend(4) terselubung.

'Makasih loh cemilan dan Advilnya! :D nanti mau makan siang bareng?'

Setelah membalas pesan dari Jean, Sasha kembali memejamkan matanya sebentar. Ingatannya kembali secara perlahan. Ia ingat ia berada di tempat Jean untuk beberapa menit saja, karena ia tumbang setelah meminum empat—atau lima?—gelas alkohol.

Ia samar-samar juga mengingat Jean yang memapahnya kembali ke kamar. Tangannya yang kasar sempat menepuk-nepuk kepala Sasha dengan lemah lembut, sebelum akhirnya pergi. Kini ia mengernyit heran karena ia yakin ia tidak langsung tidur setelah hal itu terjadi.

Ding!

Jarang sekali ada yang menghubungi Sasha melalui Facebook, apalagi di pagi hari. Perlahan ia membuka matanya dan meraih handphone yang terletak persis di samping bantalnya. Kemudian kedua mata gadis itu terbelalak, terkejut.

'Selamat pagi. Ini Bertolt. Gue tinggal di unit nomor 979 persis di atas unit lo. Maaf ya gue tiba-tiba ngemessage lo.'

Ada jarak sebelum pesan selanjutnya masuk. Ia tidak mengenal siapa 'Bertolt' ini, dan apa pula urusan dengan dirinya? Sasha memicingkan kedua matanya, tidak bergerak dari tiga titik yang terus berkedip di layar handphone miliknya.

Ia memutuskan untuk melihat foto profit 'Bertolt' ini.

'I just want to make sure that you're okay, karena kemaren lo ngajak ngobrol dan kayaknya mabuk parah. Let me know if you need anything :)'

Kini wajah Sasha merah padam, karena ingatannya berangsur kembali tentang kejadian tadi malam. Ditambah lagi, Bertolt adalah lelaki yang sempat mencuri perhatiannya ketika tatapan mereka berdua bertemu di lobby.

Ada pekikan yang keluar dari mulut gadis itu, malu mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Suara itu tak ayal terdengar oleh Reiner yang sedang merokok di balkon milik Bertolt.

"Oi, Bertl?" panggilnya.

"Ya?" sahut Bertl dari arah dapur, si jangkung baru saja memulai masak sarapan setelah mengirim pesan untuk Sasha.

"Didengar dari teriakannya," Reiner tersenyum lebar memamerkan deretan giginya, berusaha tidak menertawakan gadis yang menjerit dari unit bawah, "Kayaknya dia sehat-sehat aja, tuh."

.


.

(1) beer belly: perut buncit karena terlalu banyak minum bir

(2) lambe turah: akun gosip kebanggaan tanah air

(3) goon: box wine yang terkenal di Australia karena bikin cepat mabuk dan murah (as in, empat liter untuk 16 dolar)

(4) mom friend: teman yang ngejagain teman-teman lainnya, mengayomi banget pokoknya

.


.

Note(s):

Alayya butuh asupan dan kasih sayang. Terima kasih dan sekian :') berjumpa di lain waktu ya kawan-kawan sekalian hehehe