"Memaafkanmu?"
"Ya." Yukiatsu memberikan senyuman herannya. Dihadapannya, Anaru duduk dengan santai walau menunjukkan ekspresi bingung. "Sepertinya itu membuatmu kehilangan kata-kata?"
"Tentu saja." Balas gadis berambut jingga terang. "Aku bahkan tak tahu tentang apa ini,"
Pemuda berambut coklat dan bergaya belah-tengah nan rapih—pemuda cerdas yang berasal dari sekolah unggulan menatap sisi luar dari balik jendela lebar WcDonald. "Kau tahu, semenjak kepergian Menma—untuk kedua kalinya, aku merasa isi kepalaku menjadi semakin jernih."
Anaru tersenyum. Yukiatsu melanjutkan. "Maafkan aku karena sudah 'berniat' memanfaatkanmu sebelum ini."
"Oh." Hanya itu. Naruko Anjou kini tersenyum pada lawan bicaranya. "Aku tidak pernah mengingatnya lagi, 'kok. Jadi anggap saja impas."
"Terima kasih," Pria muda tampan tersebut kini memangkukan satu pipinya pada tapak tangan. "Tapi, kesampingkan itu, kau memang gadis yang sangat menarik hati."
"Ap-ap-ap-" Keteteran, Anaru merasakan wajahnya membara dengan hebat. "Tap-tapi aku hanya menyukai-"
Awalnya Yukiatsu hanya menahan tawanya, namun karena tidak kuat—alih-alih melihat wajah itu, ia melepaskannya. "Ya, ya. Aku tahu itu.
Tapi aku heran, dengan kepolosanmu itu bagaimana jika siswa lainnya benar-benar 'menembakmu' seperti ini?"
"It-itu bukan urusanmu!" Sontak Anaru dengan lantang. Ia menghalangi dadanya menggunakan kedua lengan dari hadapan sahabat masa kecilnya yang satu ini. "A-Aki dan Haruna selalu melindungiku, jadi-"
"Hm, aku mengerti. Wanita memang sulit diterka. Ada apa dibalik sikap mereka itu? Apa mereka takut kau direbut lelaki lain sementara mereka tidak laku… Atau,"
"Ma-mana kutahu,"
"Ha ha ha, anggap saja aku sedang mengigau."
Naruko kini memangkukan dagunya pada satu tangan, melirik luar jendela. "Aku selalu menganggapmu seperti itu."
"…Tapi, tetap saja," Kata-kata pelan Yukiatsu kembali mengalihkan perhatian Anaru. "Sepertinya, masih akan susah ya… Mendekati 'dia' lebih jauh."
"…Aku, aku bisa bersabar."
Anaru menjawabnya seperti mengigau. Namun Yukiatsu mengerti bahwa gadis ini benar-benar serius dengan keputusan bulatnya itu. Jintan, kau benar-benar pria yang beruntung, batinnya.
"Lalu Tsuruko?"
"Hm? Tsuruko seperti biasa. Er, bagaimana menyebutnya—'agak dingin'?"
"Jangan bilang padaku kalau kau tidak bisa menggombal dengannya?" Anaru berpikir, sepertinya sudah tiba waktu untuk membalikkan posisi diantara mereka saat ini. Ia tersenyum jahil. "Hei, ayo Yukiatsu, katakan lebih banyak lagi tentang kalian."
"Tidak ada yang bisa kukatakan. Tapi, yaah, jika aku boleh jujur sepertinya ia sudah banyak tersenyum belakangan ini. Aku tidak tahu. Sepertinya karena nilainya meningkat belakangan ini." Ia menggerakkan bahunya, mengalihkan wajah dan bingung ingin menyampaikan apa.
Anaru tahu apa yang dipikirkan sahabatnya ini. Walau dengan semua gombalan kelas kakap, dan juga sikapnya pada Anaru tempo hari, Yukiatsu tetap tak berkutik pada gadis seperti Tsuruko. Tapi memang, jika ada seseorang yang bisa mengerti Yukiatsu dengan sangat baik, gadis itu hanyalah Tsuruko seorang.
Anaru melambaikan tangannya ke arah Yukiatsu yang membalas dengan hal serupa. Mereka berpisah selagi matahari sore telah tenggelam semakin dalam.
Jintan mengirimkan email ke selpon milik Anaru semenjak setengah jam yang lalu. Namun ia belum membalasnya. Ia jarang bertemu dengan Yukiatsu 'sih. Satu obrolan langsung dalam dua minggu sepertinya bisa sedikit memberikan gambaran mengenai hubungan si pria dengan sahabat perempuan terbaik Anaru saat ini. Posisi Anaru diantara keduanya adalah sebagai makcomblang. Apapun yang terjadi, ia akan menyatukan kedua sahabatnya itu suatu saat nanti.
Anaru tersenyum senang. Rambutnya bersinar akan sinar matahari, memberikan efek glow pada rambutnya yang memang sudah berwarna terang.
Sekali lagi, ini semua berkat Menma. Ia melepaskan beban Yukiatsu dan Tsuruko. Tidak itu saja, ia melepaskan penderitaan kami semua, pikir Naruko, mengingat-ingat penampilan Menma yang seumuran dengannya pada saat itu. Dan juga…
"Hai,"
"A-Anaru? Aku sudah bilang akan menjemputnya ke rumahmu, 'kan?"
Jintan yang kelabakan dihadapan Anaru menggaruk belakang kepalanya. Ia mengenakan kaos oblong (seperti biasa) berwarna putih yang bertuliskan kanji 'konjou' pada bagian abdomen.
Anaru mengambilkan beberapa buku catatannya dari dalam tas dan menyerahkannya pada Jintan. "'Nih. Lain kali cobalah untuk tidak tidur di kelas."
"A-aku tidak ketiduran! Hanya mengantuk, dan…"
"Itu tertidur namanya." Si gadis tersenyum lembut melihat sifat unik yang tidak pernah dimiliki oleh 'Jintan-yang-dulu'. Jintan yang pintar dan atletis. Bukan Jintan si murid 'drop-out' yang saat ini tengah berusaha merubah sifat-sifat buruk dan memperbaiki diri dalam bidang akademik. Tapi Anaru senang. Dia senang melihat Jintan yang telah kembali semangat (walau sedikit) dan secara perlahan membuka dirinya dengan dunia seperti dulu.
Jintan melangkah keluar, berdiri di sebelah Anaru dan menutup pintu rumahnya. "Kau mau keluar?"
"Ke markas rahasia. Poppo mengajakku belajar bersama."
"He he, Poppo ya."
"Ya. Dia sepertinya sedang semangat-semangatnya belajar." Jintan tersenyum, walau grogi ketika berhadapan mata dengan Anaru. Ia memutar arah pandangnya ketika hal demikian terjadi.
"Itu bagus. Tapi jika dua anak bodoh seperti kalian belajar bersama pasti tidak akan menghasilkan apa-apa." Anaru mengisenginya.
"Hei, tidak sopan. Kami berusaha dengan cara kami sendiri!" Jintan membela dirinya. "J-jadi, kau lewat mana?"
Anaru terkejut. Wajahnya mendadak menjadi hangat. "Le-lewat sini. Memangnya mau lewat mana lagi?" Ap-ap-apa Jintan akan menemaniku pulang?
"Baiklah."
"K-kau akan mengantarku pulang!?"
Jintan berbalik. "Um… Apa seaneh itu kedengarannya?"
"Ti-tidak! Tidak aneh, ha ha ha!"
"H-hei, jangan kencang-kencang. Mengganggu tetangga."
Matahari sudah tidak ada untuk memberikan sinar hangatnya. Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak pada komplek yang cukup asri. Rumah Jintan dan Anaru hanya berjarak lima blok—tidak terlalu jauh. Hanya memerlukan waktu kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki.
"J-jadi! B-bagaimana belajarmu, Jintan!"
"B-berhenti berteriak-teriak, Anaru…" Jintan menarik dirinya sedikit menjauh dari si gadis, menutup sebelah telinganya yang terasa bising karena bersebelahan tepat dengan Anaru.
"A-aku tahu…tap-tapi," Kh! Tenanglah Naruko Anjou. Namun ini memang pertama kalinya dalam hidup Anaru semenjak 10 tahun yang lalu, ketika dirinya dan Jintan berjalan hanya berdua. Jika waktu itu ia menemani Jintan ke rumahnya karena terluka, kali ini ia menemani Anaru pulang karena sudah meminjamkannya buku catatan.
Jintan sekali lagi menggaruk kepalanya. "Sepertinya tak ada masalah. Otakku memang sudah karatan, dan perlu penyegaran lebih jauh. Tapi ada beberapa pelajaran yang masih bisa kuingat dengan cukup baik. Jadi, yaah syukurlah…"
"Hm. Syukurlah."
Kini mereka terdiam. Tak ada kata-kata yang sanggup terungkap oleh mulut mereka. Anaru melirik Jintan yang mengalihkan wajahnya agar tidak bertemu pandang selama perjalanan.
"K-kau ingin kita berbicara mengenai topik lain? Uh…ini sangat aneh, 'kan—diam seperti ini?"
"Ya! Err, ya boleh, maksudku…" Jawab Jintan, sedikit kikuk. Seolah isi kepalanya yang mengharapkan hal demikian berhasil diterka oleh Anaru.
"Mm, apa ya… Kau tahu, Nokemon Black 2 dan White 2 sudah rilis, 'kan?"
Jintan mendadak meledakkan senyuman riangnya. "Oh, ya?! Sungguh?" Anaru mengangguk. Walau ia terpaku, tapi ekspresi riang tanpa halangan milik Jintan inilah yang paling ingin dilihat oleh si gadis.
"Mungkin sekali-sekali kau bisa datang juga ke toko. Tetsu-san menyukai kinerjamu. Dia ingin kau bekerja di toko lagi."
"Oh. Hm, mungkin aku bisa datang sekali-sekali."
"Bagus!"
"Yeah…" Jinta dan Anaru berhenti. Mereka telah sampai di pagar depan rumah si gadis. "Jadi…sampai ketemu besok di sekolah, Anaru."
Apa? Sudah sampai?—Ce-cepat sekali!?
Ada sesuatu di dalam diri Anaru yang ingin menghentikan waktu ketika melihat wajah lembut namun jantan milik Jintan tersenyum cerah. Namun ia tahu, Jintan belum bisa mengalihkan perasaan cinta hebatnya terhadap Menma yang telah tenang dan kembali ke surga sebulan yang lalu.
Namun, Anaru pikir, ini sudah cukup untuk saat ini. Jika dia terus memaksakan perasaannya, itu hanya akan melukai Jintan 'lagi.' Selama ia memiliki hubungan yang baik-baik saja dengan Jintan, semuanya terasa begitu mendamaikan. Ia mencintai Jintan. Sangat. Mungkin tak ada yang mampu mengukurnya. Dan akan tetap terus begitu.
Tapi, ia bisa menunggu. Ya, ia dapat menunggu.
Setelah semua pikiran panjangnya yang dituntaskan dalam kurang dari sedetik, Anaru menghela napas. Uap panas awal musim dingin mengebul dihadapannya. Ia merasakan wajahnya masih merona, bertumbukan dengan bekunya udara petang musim dingin. "Terima kasih sudah mengantarku."
Jintan mengangguk, dan mulai berbalik sebelum- "Ji-Jintan!" Ia kembali berbalik ke arah Anaru. "S-sampai jumpa juga."
Semuanya akan baik-baik saja. Anaru bisa menunggu Jintan selama ia masih mampu bernapas.
-o0o-
"Hm, pesan masuk?" Jintan memegang ponsel dan mengarahkan sepasang matanya pada layar utama. "Tsuruko dan… Yukiatsu?"
Tsuruko: "Aku dengar dari Anaru, kamu sedang berusaha dengan pelajaranmu. Tidak usah sungkan jika membutuhkan bantuanku, ya Jintan."
Yukiatsu: "Bagus jika kau sudah kembali aktif. Katakan bila ada yang tidak kau mengerti, Jintan."
Jintan tidak bisa menahan senyuman simpulnya. Memiliki sahabat setia terasa begitu luar biasa. Sudah sepuluh tahun lamanya ia tidak merasakan kehangatan ini. Dia bersyukur bahwa masih ada orang-orang yang begitu memperdulikannya. Ayahnya, Anaru, Tsuruko, Yukiatsu, dan Poppo. Walau sedikit, mereka adalah keberadaan yang tak tergantikan bagi Jintan.
"…Terima kasih." Ia tak menyadarinya kalau matanya menjadi sedikit berair. Jintan membalas pesan email tersebut dan meneruskan jalannya ke bukit.
Ia melihat Poppo mengayunkan tangan dengan riang dari depan markas rahasia Super Peace Buster. "Woii! Jintan! Keren, kita akan belajar bersama lagi!"
"Ha ha."
Ini semua berkatmu, bunga musim panasku. Arigatou, Menma…
~Bersambung
