The Werewolf's Tale? Bab 21 dari City of Bones? Benar sekali. Sudah lama ingin mencoba membuatnya menjadi kisah cinta Valentine dan Lucian. Oh yah, mereka berdua itu mencurigakan. Dan akhirnya baru bisa mewujudkannya sekarang, bisa menyelesaikan fic ini berarti Raziel telah memberkati. XD

Rate M untuk sedikit Lemon dan Rape. Kemudian Evil!Valentine, karena memang begitulah dia. Dan selebihnya karena saya memang author rate M. #hei

Enjoy!


Idris adalah tempat yang sangat indah, dengan pinus-pinus mengilap di musim dingin, tanah hitam, dan sungai-sungai beku yang seperti kristal. Setiap Nephilim pasti akan menyesal jika tidak pernah mengenal Idris. Idris adalah rumah bagi para Shadowhunter.

Di sana ada jaringan kota-kota kecil dan sebuah kota besar, yaitu Alicante, tempat dimana Clave berkumpul. Mereka menyebutnya Kota Kaca karena menara-menaranya dibuat dari bahan penolak iblis yang sama seperti pisau seraph. Di bawah sinar matahari, kota itu tampak berkilauan.

Ketika Lucian Graymark sudah cukup besar, di sanalah ia dikirim—ke Alicante untuk besekolah. Dan di sanalah ia bertemu dengan Valentine Morgenstern. Tempat semua kisahnya bermula, dan tempat dimana semua berakhir.

-o-o0o-o-

The Werewolf's Tale

By Niero

The Mortal Instruments © Cassandra Clare

-o-o0o-o-

.

Part I

.

Pertama yang dirasakan Lucian saat memasuki Akademi mungkin adalah kekaguman, bangunan menjulang dengan halaman luas berumput hijau, pohon-pohon tinggi berjajar di sisi lain. Dan semua pemandangan yang tertangkap matanya itu, belum dari keseluruhan komplek dimana ia akan menjalani pendidikan. Namun kemudian, ia merasa rendah berada di sini. Pertanyaan muncul di benaknya, satu belum terjawab, bahkan sudah muncul pertanyaan baru. Pantaskan ia? Ia hanya pemuda desa biasa, tidak kaya, tidak cemerlang. Pun bukan dari garis Pemburu Bayangan alami. Dan di saat yang sama juga, dengan dasar pemikiran itu, otaknya memerintahkan kakinya untuk segera meninggalkan Alincante, kembali pulang ke rumah dengan menanggung rasa malu. Menjadi pemuda biasa, bukan siapa-siapa. Atau menjadi mundane saja sekalian.

"Lucian,"

Sayangnya, suara seorang gadis yang begitu familiar memanggilnya, menghentikan gerak kakinya yang sedikit tergesa. Pelan ia mengangkat wajah, berbalik untuk menghadap asal suara, "Jocelyn. Hai," sapanya kaku.

Gadis itu, Jocelyn Fairchild. Cantik, berbakat, dan baik—begitulah setidaknya Lucian menilai. Ia sudah mengenalnya sejak masih anak-anak. Katakan mereka besar bersama.

"Kenapa kau masih di sini, ayo kita masuk. Aku tidak mau kita terlambat dalam pelajaran pertama." ucap gadis muda Fairchild itu dengan semangat menggebu, ia bahkan menarik paksa pergelangan tangan Lucian.

Lucian tidak memiliki kesempatan lagi untuk kabur. Saat melihat Jocelyn, bahwa ia kemudian memiliki tekat tidak akan menyerah untuk menjadi seorang Shadowhunter. Meski ketika pelajaran dimulai ia bahkan harus berjuang mati-matian untuk bisa mengikutinnya, mencatat apapun yang diajarkan. Tapi tentu saja itu bukan hal mudah bagi Lucian, ia tidak tahan dipasangi rune teringan sekalipun. Dan tidak bisa mempelajari teknik-teknik yang paling sederhana.

Sudah berjalan berminggu-minggu namun tetap saja Lucian belum bisa menyamai kemampuan teman-teman sekelasnya.

Ia menjadi yang paling tertinggal, tidak memiliki teman, tidak begitu bisa bergaul. Ia bahkan sering menghabiskan waktu sendirian, seperti sekarang ini—selesai pelajaran ia memilih termenung di bawah pohon dengan buku-buku beserakan di sekitar kakinya, ia hanya mencoba bejalar. Dan dari sudut matanya acap kali ia melihat beberapa pemuda berjalan bersama dan sesekali tampak bercanda. Lucian bahkan tidak berani membayangkan untuk berteman dengan mereka.

Yang salah satunya adalah Valentine Morgenstern, siapa yang tidak mengenal keluarga Morgenstern. Golongan Shadowhunter terkaya dan terpandang di Idris. Di samping pemuda itu tak lain adalah Stephen Herondale, kemudian Michael Wayland, dan Robert Lightwood. Mereka semua bukan dari keluarga sembarangan. Namun, satu kali saat Lucian tanpa sadar memandang mereka, tanpa sengaja matanya bertemu pandang dengan Valentine—dan ia tidak akan melupakan kejadian itu seumur hidupnya.

Valentine tersenyum padanya. Valentine, Valentine Morgenstern yang itu tersenyum pada Lucian Graymark.

Jika Lucian sedikit mempunyai keberanian. Mungkin ia akan bertanya—atau minta diajari berbagai hal pada Valentine, seperti yang dilakukan Robert, tidak jarang pemuda Lightwood itu mendatangi Valentine, membawa beberapa lembar kertas dan kemudian Valentine dengan sabar mengajari apa yang tidak dimengerti pemuda berambut hitam itu. Tapi sayangnya, Lucian tahu diri. Ia bukan dari golongan yang akan pantas jika bergaul dengan orang-orang seperti Valentine.

Merasa lelah, Lucian merapikan bukunya—dan segera kembali ke tempat ia tinggal selama di Alicante. Ia tidak melihat Jocelyn belakangan ini, gadis itu lebih sering bersama Maryse dan Celine.

.

"Ada yang menarik, Valentine?"

Stephen Herondale, yang sedang bermain-main dengan sebilah belati memandang sahabatnya itu dengan heran. Pertanyaannya tadi terasa sedikit retoris, karena sebagai sosok yang sering di samping pemuda Morgenstern itu, ia mengerti kalau Valentine sering mengamati pemuda penyendiri yang... siapa namanya, Gray—entahlah ia sendiri tidak merasa penting untuk mengetahuinya. Lagi pula tidak ada yang menarik dari pemuda itu, ia justru heran kenapa Valentine kadang terlihat penasaran.

"Kau tahu di kamar mana Lucian tinggal?"

"Siapa?"

Valentine terlihat jengkel, merebut belati Stephen. "Lucian Graymark, yang suka duduk di bawah pohon itu," jelasnya sambil menunjuk arah pohon di kejauhan. "Tadi dia masih di sana. Seriously, Stephen, setidaknya kau harus tahu nama-nama anak-anak di Akademi, paling tidak teman sekelasmu sendiri."

"Erh, aku tidak tahu. Tapi aku bisa mencari tahu kalau kau memang ingin tahu." ia tahu jawaban seperti ini tidak akan membuat Valentine senang. "Kau tahu, Michael?" tanyanya kemudian pada pemuda yang terlihat sibuk sendiri dari tadi.

Pemuda yang ditanyai hanya menggelengkan kepala, dan meneruskan mencoret-coret lengan Robert.

"Apa sih yang kalian lakukan?" Valentine mau tidak mau penasaran dengan dua sahabatnya yang memang tak terpisahkan—dimana ada Michael disitu pula ada Robert, dan sebaliknya.

"Menggambar rune Parabatai." kata Robert, dan Michael mengangguk, meyakinkan.

Valentine dan Stephen serentak berdiri mendengar jawaban itu, setahu mereka rune Parabatai tidak boleh digambar sembarangan. Dan kemudian keduanya menyesal telah bersusah payah beranjak untuk menyaksikan hal yang konyol—menurut mereka.

"Aku tahu kalian terobsesi untuk menjadi Parabatai. Tapi tidak segitunya sampai menggambar rune-nya dengan tinta." Stephen berucap dengan sedikit nada melecehkan. "Kalian bisa sabar tidak sampai cukup umur dan menghadap ke Dewan untuk melakukan upacaranya dan disahkan sebagai Parabatai?" ia masih melanjutkan menggerutu.

"Apa salahnya, kami berdua hanya yakin kalau suatu saat akan terikat dengan Tanda yang sebenarnya. Bilang saja kau iri karena tidak memiliki seseorang yang siap kau jadikan pasangan."

"Siapa yang iri!"

Valentine bungkam, kembali duduk dan menulikan diri terhadap Robert dan Stephen yang sepertinya mulai sedikit adu mulut. Ia lebih memilih memikirkan Lucian, pemuda itu—ada yang berbeda. Lucian berbeda dari teman-temannya di sini. Di balik wajah lembut Lucian, dan ekspresinya tiap kali merasa kebingungan, kadang bahkan terlihat menggemaskan—Valentine tertarik untuk mengulurkan tangannya, membawa pemuda itu masuk dalam lingkaran hidupnya. Membawanya untuk bersama-sama dengan Stephen, Michael, Robert, menjadi pendukungnya. Teman-teman yang akan setia kepadanya.

"Aku akan mencarinya sendiri." Valentine meninggalkan tempatnya duduk.

"Mencari Graymark itu?" tanya Stephen, sepenuhnya telah mengacuhkan Robert dan Michael. "Perlu aku temani?"

Valentine menggeleng, "Tidak perlu, Stephen, kau kembalilah ke kamar dulu. Dan kalian juga Michael, Robert."

.

Lucian baru saja menarik selimutnya, ia harus tidur lebih cepat. Karena esok ia harus bangun pagi-pagi untuk berlatih sebelum murid-murid lain mengunakan ruang berlatih. Namun ketukan di pintu kamarnya membuat ia kembali melempar selimutnya, menduga kalau Jocelyn yang datang—ia tidak memiliki teman, jadi satu-satunya kemungkinan hanya perempuan itu. Hanya saja, seingatnya Jocelyn tidak berambut pirang pucat, lagipula rambut Jocelyn panjang, tidak terpotong pendek seperti ini. Dan yang paling penting, Jocelyn itu perempuan, sedangkan yang berdiri di depan pintunya ini adalah…

Lucian ingin menggosok matanya dengan punggung tangannya sendiri. Namun tidak ia lakukan, sosok di depannya terlalu mempesona—dan sekaligus tidak ia percayai. Demi Malaikat, apakah ia tadi sudah tertidur, dan sebenarnya sekarang sedang bermimpi. "Morgenstern?"

Valentine menyunggingkan senyumnya, melirik ke dalam kamar yang gelap. "Apakah tadi kau sudah tidur, Lucian?"

Untuk sesaat Lucian membatu, meyakinkan diri kalau telinganya tadi tidak menelan suara yang salah. Ia mendengar nama depannya disebut. Valentine tahu namanya.

"Boleh aku masuk?" lanjut Valentine.

Lucian tanpa sadar membuka pintu lebih lebar, dan mundur memberikan jalan. Masih kehilangan kata-kata.

"Um, Lucian. Apa kau sakit?" Valentine mendekatkan wajahnya pada wajah Lucian, untuk mengamati lebih jelas—kamar Lucian remang-remang. Dan tidak ada yang berniat menyalakan penerangan apapun, sekalipun di saku celana hitam Valentine jelas tersimpan witchlight. "Hei, jangan berekspresi begitu. Aku bukan Demon atau Downworlder yang megerikan."

Jarak wajah mereka sudah sedemikian dekatnya, dan itu bahkan membuat Lucian lupa caranya untuk bernapas. "Aku... er, Morgens—"

"—Valentine," Valentine menghentikan ucapan Lucian dengan menempelkan telunjuknya pada bibir pemuda itu, "Kau bisa memanggilku Valentine," ucapnya, ada senyum geli yang menari di sudut bibirnya. Sesuai perkiraannya, pemuda ini sangat menarik. Pemuda yang masih berhati bersih, polos seperti kanvas putih, yang nantinya bisa ia lukisi sesuka hati.

"Valentine," Lucian memanggil lirih, kecanggungan dalam nada suaranya terdengar nyata. "Kau tahu namaku?"

Pertanyaan Lucian membuat Valentine tergelak, betapa menggemaskannya pemuda ini. "Lucian Graymark, tentu saja aku tahu namamu." ia ingin menggoda pemuda ini sedikit lagi, hanya saja mungkin itu akan membuat Lucian takut nantinya—dan itu tidak bagus. Jadi ia langsung saja kepada intinya, maksud dari kedatangannya kemari. "Besok pagi, mau aku temani berlatih?"

Untuk pertama kalinya Lucian memandang lurus pada manik mata Valentine, ia seperti menyelam di malam yang kelam saat melihat warna mata itu. "Kau.. Mau mengajariku?"

"Tentu saja. Aku selama ini melihat semangatmu di kelas, dan beberapa kali aku melihatmu berlatih sendirian. Kau hanya perlu lebih percaya diri."

"Tapi," Lucian kembali menunduk, "Aku tidak bisa apa-apa, aku… payah."

"See... Itu karena kau selalu menganggap remeh dirimu sendiri." kata Valentine, sebelum ia meraih tangan Lucian, ada bekas rune memudar di sana, yang membuat Lucian kesakitan tempo hari. "Akan banyak Tanda yang tergambar di sini nanti. Kalau aku saja percaya padamu, Lucian, kenapa kau bahkan tidak percaya pada kemampuanmu, kekuatan yang ada dalam tubuhmu, percaya pada darah Raziel yang mengalir di nadimu. Banyak potensi dalam dirimu, dan aku akan membantu mengeluarkan bakatmu."

"Benarkah? Apakah aku nanti bisa menjadi Shadowhunter yang hebat?"

Valentine mengangguk dan menyunggingkan senyum, kemudian mundur berbalik menuju pintu, "Sampai ketemu besok pagi."

-o0o-

Valentine datang seperti matahari di kehidupan Lucian. Memberikan terangnya, menjadi poros hidupnya. Bukan hanya kepadanya, tapi Valentine seperti poros perputaran kehidupan di Alicante. Semuanya mengelilingi Valentine, pemuda itu seperti memiliki aura keistimewaannya sendiri. Para Guru, serta Dewan juga menaruh harapan besar pada pundak pembawa nama Morgenstern itu.

Dan Lucian merasa beruntung berada di sisi pemuda luar biasa ini, diam-diam ia menyukai Valentine—suka yang ia sendiri tidak mengerti bagaimana, dan yang tidak bisa ia definisikan jenisnya. Berkat Valentine juga ia memiliki teman, meski rasanya ia seperti pendatang baru saat pertama kali Valentine membawanya bertemu dengan Stephen, Robert, dan Michael. Ada juga Hodge yang datang bersamanya dalam lingkup di bawah sayap Valentine. Maryse, Celine, juga sesekali ikut bersama, yang Lucian sayangkan adalah fakta Jocelyn tidak menyukai Valentine.

Sebenarnya itu tidak terasa penting lagi, dan ia harus segera ke Morgenstern Manor. Ia sudah berjanji pada Valentine untuk datang, sekolah masih diliburkan untuk persiapan ujian. Ia pun harus menyiapkan diri untuk menghadapi ujian pertamanya itu dua hari lagi. Dan ia tidak boleh gagal.

"Lucian, oh, kau tampak tergesa." Jocelyn menyapa, saat mereka tidak sengaja berpapasan di jalan. "Takut tertinggal kelompok pemuja Valentine itu—di mana kali ini kalian berkumpul untuk mengadakan pemujaan?"

Lihat sendiri, betapa bencinya gadis itu terhadap Valentine, Lucian benar-benar tidak mengerti. "Ada apa denganmu, Jocelyn? Apa yang sudah Valentine lakukan padamu sampai kau membencinya. Dia tidak pernah sekalipun mengganggumu."

"Ha ha.. Kalian itu menggelikan. Kau menjadi tergantung padanya Lucian, aku temanmu tapi kau tidak pernah sekalipun meminta tolong padaku. Tidak pernah menceritakan kalau kau kesulitan dalam pelajaran."

Seperti itu tiap kali mereka bertemu sejak Lucian dekat dengan Valentine. Kemudian Jocelyn akhirnya membuang muka, dan pergi meninggalkan Lucian. Perempuan memang sulit dipahami. Ia sedikit sedih kalau mengingat Jocelyn adalah sahabat pertama yang ia punya. Tapi ia tidak bisa memungkiri kalau sekarang ia lebih bahagia bersama Valentine.

Daripada memikirkan itu, sementara matahari saja semakin tinggi—ia harus benar-benar bergegas menuju Manor kediaman Valentine.

.

Gerakan kaki mereka seirama, tiap langkah, tiap ayunan pedang. Dan benturan-benturan sisi bilah senjata berkilauan itu terdengar nyaring, atau sering kali tebasan itu membelah angin, karena kesigapan berkelit menghindari serangan. Tidak ketinggalan sesekali ada yang melucur cepat, belati yang Valentine lempar—sayangnya satu lemparan itu telak mengores lengan Lucian. Valentine memang mengajari Lucian dengan intensif, dan dengan keras tentu saja, tidak hanya tentang senjata, tapi juga teknik membunuh, titik-titik vital manusia, serta berapa inci harus menusukkan belati agar bisa menembus jantung. Semakin banyak hal yang akhirnya Lucian pelajari dan kuasai.

Kalau kali ini menuruti kemauan Lucian, perih di lengannya tentu tak akan dihiraukan. Ia memaksa untuk terus berlatih.

"Aku rasa kau tidak cocok dengan pertarungan jarak dekat, pedang mungkin bukan pilihan bagus, Lucian." ucap Valentine sambil memeriksa luka di lengan Lucian.

"Aku hanya sedikit lengah, lagipula ini hanya goresan. Dan kecepatanmu bertarung susah aku tandingi." kilah Lucian, tapi tekat dan kemauan dalam dirinya begitu besar untuk bisa berpedang sehebat Valentine. "Va—Valentine, tunggu." dengan cepat tangannya yang bebas menahan Valentine yang mengulurkan stela, Lucian tahu kalau Valentine ingin menggambar rune di lengannya.

"Kau takut?" tanya Valentine, mengangkat sebelah alis matanya. "Kau berhasil memakai Tanda beberapa hari yang lalu di kelas, para guru bahkan terkesan."

"Iya, tapi..."

"Aku hanya akan menggambar Iratze, percaya padaku. Tidak menyakitkan." kata Valentine, kemudian tetap menorehkan stelanya meski Lucian tampak tidak nyaman.

Memejamkan matanya erat, meski tubuhnya sekarang bisa menerima rune—tetap saja, Lucian belum begitu siap. "Tapi panas,"

"Bagian tubuh yang dipasangi rune memang rasanya panas, Lucian." Valentine menggelengkan kepalanya, kadang sulit sekali meyakinkan pemuda di depannya ini—kalau sebenarnya Lucian adalah bibit Shadowhunter yang hebat. "Nah, selesai,"

"Eh, sudah?" Lucian bertanya sanksi, rasanya tidak menyiksa lagi. Memandang lengannya, panas yang tadi terasa saat tergores stela sudah hilang—dan rune di kulitnya benar-benar hitam dan indah, Valentine sangat bagus dalam menggambar rune. Lebih dari itu, perih di lengan akibat goresan belati perlahan menghilang. "Ini… Aku, aku benar-benar bisa memakai Tanda, setelah ini Tanda apapun aku bisa menerimanya. Terima kasih, Valentine."

Tanpa sadar, Lucian sudah berada dalam pelukan Valentine. Apakah tadi Lucian yang bergerak maju lebih dahulu? Tapi saat mendengar ada tawa kecil di bibir Valentine—semua ini menjadi terasa tepat.

"Lucian," panggil Valentine kemudian, ia tampak berpikir serius. "Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan kau kurang cocok dengan pedang, kau memang harus menguasainya, tapi untuk dijadikan senjata utama itu tidak begitu tepat untukmu. Melihat gerakanmu selama ini, kau adalah tipe petarung jarak jauh." ia mengambil busur dan anak panah di antara tumpukan senjata yang sedari tadi mereka gunakan berlatih. "Cobalah memanah."

Percobaan pertama selalu sulit, namun dari detik pertama Lucian menarik anak panah, menempatkannya pada busur. Dan dengan Valentine di belakangnya, memberikan arahan cara memanah yang benar. Saat itulah Lucian merasakan energi mulai mengalir di lengannya, tersalur ke senjata yang dipegangnya, dan pandangan matanya terfokus sempurna untuk membidik sasaran.

"Apa kataku. Kau cocok dengan memanah," ucap Valentine bangga.

Lucian seperti menemukan mainan baru, sesuatu yang terasa begitu pas untuknya. Dan ia tidak sabar untuk membidik Demon, memanahnya dengan cepat dan tepat di kepala. "Aku menyukai ini,"

Mereka menghabiskan siang dengan terus berlatih, Valentine tetap dengan pedangnya dan Lucian mulai membidiki sasaran bergerak. Penasaran Valentine melempar apel ke langit, dan meminta Lucian membidiknya. Tiga kali percobaan, dua gagal, satu sempurna terbidik. Dan Valentine semakin ingin merengkuh Lucian, potensi yang tertidur di diri Lucian sudah sempurna Valentine kuasai. Sementara Lucian semakin terikat, semakin jatuh untuk memuja Valentine—hatinya yang tidak pernah tersentuh sebelumnya menjadikannya terjerat, pikiran murninya tidak pernah mempertanyakan, ia percaya sepenuhnya pada Valentine—tanpa tahu apa yang ada dalam pikiran Valentine sebenarnya.

Tidak ada yang tahu jalan pikiran Valentine Morgenstern.

Saat matahari mulai condong ke barat. Valentine mengajak Lucian berkuda, ada satu kuda di istal keluarga Morgenstern yang Lucian suka, dan kuda itupun patuh padanya—bulunya berwarna abu-abu dengan sedikit corak putih, dan ada tanda menyerupai bintang di keningnya, seperti bintang fajar. Wayfarer nama kuda itu.

Menyusuri padang-padang rumput, menjauh dari pemukiman Nephilim di Idris, dari manor-manor besar keluarga terpandang. Bukan hanya Morgenstern Manor, Wayland Manor yang tampak di kejauhan pun pelan-pelan tertutup pucuk pohon. Lucian mempertahankan kecepatan kudanya di belakang Valentine, dan sosok Valentine yang diterpa cahaya matahari sore—rambut pirangnya berkilauan, sulit untuk berpaling dari keindahan yang bukan sekedar ilusi optik itu. Keduanya berhenti kemudian, mengikat kuda masing-masing pada batang pohon. Pemandangan di depan berupa lembah dengan rumput hijau yang tak putus dari pandangan mata, bunga-bunga kemerahan serta semak ikut melengkapi kesempurnaan alam Idris, dan kelokan sungai Lyn terlihat sangat kecil di kejauhan, seperti lengkung kehitaman yang bermuara di danau yang tak terjangkau pandangan mata dari lokasi Lucian saat ini.

Valentine duduk beralaskan rumput. Idris seperti surga, surga yang tersembunyi dan hanya bisa dinikmati oleh Nephilim. Tidakkah itu terkesan serakah—menyimpan hal seperti ini hanya untuk kaumnya. Dan matanya terluju pada Lucian yang justru asyik memberi makan kuda-kuda dengan rumput melimpah di sana. Ia tersenyum kecil, pemuda itu memang sudah dalam genggamannya namun ia masih mempunyai satu takdir lagi yang akan diberikan untuk Lucian.

"Kalau kau begitu menyukai Wayfarer, kau bisa memilikinya, Lucian."

Lucian hanya menggeleng, kemudian melangkah cepat ke arah Valentine, duduk di sampingnya. "Aku tidak bisa merawatnya. Dia lebih baik tetap di istal, keluargamu bahkan memiliki pekerja untuk mengurus kuda-kudamu."

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," suara Valentine terdengar lebih tegas, meski matanya masih menerawang pada kejauhan.

Lucian tidak berani menyela, ia menunggu apa yang ingin dikatakan Valentine. Meski ia tidak bisa mengendalikan debar dadanya—rasa penasaran, khawatir terhadap apa yang akan didengarnya muncul tanpa bisa dicegah.

Saat Valentine menatap Lucian, mengunci pandangannya, kata-kata dari bibirnya mengalir lancar. "Jika tiba saatnya nanti, apa kau bersedia menjadi Parabatai untukku, Lucian Graymark?"

Jika awalnya hal seperti ini, dalam mimpi saja Lucian tidak berani mengharapkan. Sekarang benar-benar terjadi di hadapannya. Permintaan Valentine padanya, ia tidak dalam pengaruh racun demon yang memabukkan atau apapun. Hal baik apa yang sudah pernah ia lakukan selama hidupnya, sampai ia mendapat berkah seperti ini. Menjadi pasangan bertarung—memiliki ikatan di bawah rune yang nanti akan terukir sama di lengan. Menjadi sosok terdekat untuk Valentine, dimana jiwa mereka akan selaras dan menjadi satu, saling bisa merasakan keberadaan satu sama lain. Yang nantinya akan rela mati demi pasangannya tersebut. Ikatan sedalam itu, dan Valentine telah meminta dirinya.

"Aku bersedia. Aku mau, Valentine." kata itu terucap, dengan Lucian tetap memandang kesempurnaan rupa pada wajah Valentine.

Pada awalnya raut wajah Valentine masih menunjukkan keseriusan seperti sebelumnya, namun perlahan—pemuda itu pun kelihatan tidak bisa menahan diri. Tarikan sudut bibirnya semakin nyata, pertama hanya senyum lebar dan tawa tanpa suara, namun selanjutnya suara tawa nyaring—yang bahkan Lucian berani bersumpah itu pertama kalinya ia melihat Valentine tertawa lepas.

"Kau mempermainkanku! Berhenti tertawa, Valentine." Lucian bersungut melihat Valentine yang masih berusaha mengendalikan senyumnya. "Uh, seharusnya aku tahu. Kalau kau tidak serius, aku tidak sebaik itu untuk menjadi Parabataimu. Aku berbeda darimu yang kuat, pintar," dan tampan, kaya, mempesona, berdikasi tinggi, pejuang yang luar biasa. Kata-kata selanjutnya hanya bermain di benaknya, ia menunduk sedih. "Aku hanya pemuda biasa, aku yang..."

"Lucian. Lucian..." Valentine menarik napasnya, dan menghentikan racauan sahabatnya itu. "Lucian, aku bersungguh-sungguh, aku mau kau yang menjadi Parabataiku." Valentine mengambil jeda sejenak, gelak tawanya sudah hilang sempurna sekarang. "Hanya saja… Kau, kau menjawab permintaanku—kau seperti menjawab sebuah lamaran pernikahan yang memintamu menjadi seorang istri."

"Valentine!"

Tawa keduanya bersahutan, tidak ada yang memerintahkan Lucian sudah berniat menyerang Valentine—dalam artian bercanda tentu saja, dengan senang hati Valentine menarik tubuh Lucian untuk berguling di rumput bersamanya. Dengan Valentine yang mengunci gerak Lucian, dan kemudian dengan lancang dan spontania mencium bibir Lucian yang terbuka karena tawa kecilnya. Pertemuan bibir dengan bibir yang singkat, namun godaan untuk meraup dan menikmati tubuh pemuda Graymark itu menjadi semakin tidak tertahankan. Jika mau dikendalikan keinginan napsunya, Valentine tidak akan berhenti saat ini.

Seperti ada yang menapar jiwa Lucian saat ia menyadari apa yang telah dilakukan Valentine. Bahwa mengambil kesimpulan ia telah jatuh cinta terhadap penerus nama Morgenstern adalah satu hal yang akhirnya ia pahami.

"Kita pulang," Valentine manarik lengan Lucian untuk berdiri, "Malam ini menginaplah di Manor, besok pagi kita akan berlatih lagi. Stephen dan yang lain juga akan datang."

Lucian mengangguk. Menaiki Wayfarer, dan mengejar Valentine yang melaju lebih dulu. Memegang tali kekang kuda itu dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang bebas bergerak menyentuh bibirnya sendiri. Hanya satu hal yang bergemuruh dalam benaknya, menjadikan desir asing semakin mendesak, semakin membuatnya sesak.

Valentine menciumku.

.

.

End of Part I