Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.


Elementary School

[ What Cupid gives, Cupid takes away ]


Mereka bertemu di hari pertama sekolah. Sasuke yang memang anak baru dan dasarnya pendiam, hanya melirik sekilas ketika bocah bersurai pirang melambaikan tangan ke arahnya sambil memamerkan cengiran lebar.

Sasuke diberi tahu oleh anak lainnya, jika si pirang Uzumaki Naruto dari kelas 6-C bukanlah seseorang yang bisa dikatakan setara dengannya, dan Sasuke merasa itu benar. Jangankan berteman, berkenalan pun rasanya tidak sudi. Surai Naruto terlalu pirang, wajahnya yang tampak bodoh selalu kotor terkena tanah, bahkan sepatunya selalu berpasir. Hanya membayangkan berapa banyak bakteri yang melekat pada tubuh Naruto, sudah membuat Sasuke bergidik ngeri, dan ia sangat bersyukur ketika wali kelasnya yang bersurai silver itu berkata kelasnya ada di 6-A.

"Kau sudah dengar berita yang tersebar tentang si bodoh pirang?"

"Belum, memangnya berita tentang apa?"

Sasuke bukan anak yang suka menguping pembicaraan orang lain. Namun saat jam makan siang dan kedua teman perempuan sekelasnya menyebutkan julukan 'si pirang bodoh', entah mengapa ia merasa tertarik, lalu secara diam-diam memasang kupingnya untuk mendengar lebih banyak.

"Seharusnya tidak kuceritakan di sini, tetapi apa boleh buat. Di pelajaran Iruka, si pirang bodoh bilang jika cita-citanya itu menikahi Sasuke," jelas anak perempuan itu mengedikkan bahu.

Alis Sasuke mengernyit, dahinya berkerut, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak senang, dan jantungnya mulai berdebar dengan cepat. Ia tidak tahu siapa 'Sasuke' yang dimaksud teman sekelasnya, dan setahunya tidak ada banyak nama 'Sasuke' di sekolah ini.

"Siapa Sasuke yang kau maksud itu?" tanya anak perempuan lainnya penasaran.

"Uchiha. Uchiha Sasuke si anak baru."

Sasuke menatap tidak percaya ke arah teman sekelasnya. Kupingnya tidak salah dengar, ia bisa menangkap dengan jelas perkataan yang baru saja dilontarkan anak perempuan itu, hingga kedua kakinya terasa lemas dan seluruh organ perutnya terasa diputar. Ia merasa ini semua mustahil bisa terjadi. Naruto tidak akan mungkin berani mengatakan hal yang menurutnya sangat menjijikkan semacam itu apalagi di hadapan Iruka dan juga seluruh teman sekelasnya.

Sasuke berusaha menyangkal. Namun di dalam benaknya terbesit satu kalimat, 'Bagaimana jika itu semua benar?' dan itu membuat perutnya mual. Meskipun anak perempuan menyebalkan, ia tidak menyukai anak laki-laki. Jika suatu saat nanti waktu merubah sudut pandang dan cara berpikirnya, tetap saja bukan Naruto yang akan dipilihnya untuk menjadi pasangan.

Sasuke bangkit dari atas kursi, berlari ke luar kelas. Merasa harus bertemu dengan Naruto saat ini juga karena menginginkan sebuah penjelasan, permintaan maaf, dan juga beberapa memar di wajah anak itu. Dewi fortuna pun berpihak padanya saat itu. Koridor kelas yang sepi memudahkan untuk mendeteksi di mana Naruto berada. Dari kejauhan ia bisa melihat kelas kecil di ujung koridor yang—selalu—didominasi oleh murid tidak begitu cemerlang dalam pelajaran.

"Hey! Lihat itu Uchiha Sasuke si anak baru!"

"Calon pengantin wanita? Apa yang dia lakukan di sini?" Murid lainya menimpali.

"Tentu saja mengunjungi calon pengantin pria!" seru salah satu murid dari arah bangku paling belakang.

Rasa mual di perut Sasuke kembali menghantui tatkala ia memasuki kelas 6-C yang terlihat lebih kecil dari ruang kelasnya, dan juga lebih kotor. Jika saja ayah dan ibunya tidak berpesan untuk menjaga tingkah laku sebagai seorang Uchiha, ia pasti akan membabi buta menghajar keempat orang yang menatapnya seperti lelucon murahan yang sedang berjalan.

"Sasuke?"

Seseorang memanggilnya dari arah samping. Sasuke tahu siapa pemilik suara khas anak laki-laki yang belum matang, dan sedikit serak.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sasuke berusaha setenang mungkin ketika Naruto melangkah mendekatinya, tetapi teriakan, dan siulan itu membuatnya risih, dan darahnya mendidih secara perlahan.

"Tentu saja Uchiha ingin melihat apa yang sedang dilakukan calon pengantin prianya saat ini!" teriak anak lainnya.

Ketika si pirang melempar senyum lebar padanya dengan wajah sedikit bersemu, rasa mual di perut Sasuke semakin menjadi-jadi. Sudah cukup. Ia tidak bisa menahannya lagi. Telapak tangannya terkepal erat, kewarasannya sebagai seorang Uchiha berusia 13 tahun mulai tertutup oleh kabut emosi.

"Aku ingin kau menjelaskan maksud semua ini, dan meminta maaf," ucap Sasuke. Suaranya terdengar pelan. Namun menuntut jawaban pasti.

Si pirang di sebelahnya mengernyit bingung, seakan tidak mengerti ke mana arah kalimat yang baru saja terlontar dari bibir pucat itu. "Kenapa ..., aku harus menjelaskan, dan meminta maaf jika aku ingin menikah denganmu?"

Seisi kelas menyimak sambil tertawa terbahak-bahak.

Sasuke merasa berbicara pun tidak ada gunanya. Si pirang itu bodoh, dan tidak mungkin mengerti apa yang ia inginkan, jadi ia memilih untuk menarik kerah seragam Naruto mendekat ke arahnya, meninju tepat di sisi kanan rahang, hingga tersungkur ke lantai, diiringi teriakan histeris para anak perempuan di kelas.

"Menjijikkan! Semua ini membuatku mual! Jika kau mengucapkan kalimat itu, atau muncul di hadapanku sekali lagi, aku akan membunuhmu!"

Seisi kelas terdiam.

Sasuke pergi diiringi tatapan ngeri seisi kelas. Ia menang hari ini, dan si pirang kalah telak. Meskipun nanti kepala sekolah akan menghukumnya, setidaknya hatinya sudah puas melihat raut kesakitan, dan beberapa memar di wajah anak itu.

.

Berita perkelahian mereka tersebar begitu cepat.

Seingat Sasuke baru kemarin kejadiannya berlangsung, dan kini seluruh murid menjulukinya 'pukulan maut calon pengantin wanita'. Tidak ada lagi julukan 'Sasuke si anak baru' yang biasanya ia dengar.

"Calon pengantin pria tidak masuk sekolah hari ini. Dari berita yang kudengar kemarin Iruka mengantarnya pulang," ujar seorang anak perempuan, menyebarkan gosip hangat untuk kelompoknya.

"Apa lukanya cukup serius? Kasihan sekali. Kuharap Naruto baik-baik saja," timpal anak perempuan lainnya.

Sasuke meletakkan pena miliknya ke atas meja, lalu pergi. Jika saja perbincangan anak perempuan dengan topik 'merasa iba dengan keadaan Naruto' tidak membuatnya muak, mungkin ia akan tetap berada di kelas.

"Hey Uchiha!"

Langkah lebarnya terhenti saat anak dari kelas 6-B menyerukan namanya cukup keras. Anak laki-laki berkulit pucat sama sepertinya, iris mata hitam, dan surainya yang juga hitam. Kali pertama mereka bertemu, dan entah mengapa ia langsung merasa tidak suka dengan anak yang menurutnya memiliki senyuman palsu itu.

"Iruka memintamu untuk pergi ke ruangannya."

Sasuke tahu cepat atau lambat pasti akan mendapat hukuman yang setimpal. Iruka adalah wali kelas si pirang, dan bisa dipastikan jika pria itu tidak akan melepasnya dengan mudah.

.

Ruangan yang dipenuhi buku bercetak tebal itu tidak terlalu besar, ada dua buah sofa kecil yang saling berhadapan dengan sebuah meja kayu di tengah menjadi pembatas.

"Kau tahu alasan kenapa aku memanggilmu ke sini, Uchiha Sasuke?"

Sasuke mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia selalu menilai Iruka adalah sosok pria yang lembut dan baik hati, bukan membuatnya takut, dan juga segan.

"Kau seharusnya tidak memukul Naruto," ujar Iruka.

Sasuke bisa merasakan telapak tangannya basah oleh keringat dingin, dengan rasa mual kembali menyiksa. Tidak mengerti, mengapa setiap kali telinganya mendengar nama si pirang disebut, tubuhnya seakan memberikan reaksi yang sangat menganggu.

"Dia ..., dia mengatakan hal yang sangat menjijikkan, dan aku membencinya," sahut Sasuke pelan.

"Kau yakin Naruto mengatakan hal itu secara serius?" sela Iruka, tatapan matanya menyelidik.

Sasuke mencoba menyembunyikan ekspresi tidak senang di wajahnya dengan menunduk. Pertanyaan Iruka membuatnya terpojok, dan sialnya ia tidak tahu bagaimana harus merespon.

"Kau baru beberapa hari di sekolah ini, dan belum mengenal siapa Naruto sebenarnya. Seisi sekolah tahu jika Naruto adalah lelucon berjalan. Semua hal yang dia katakan adalah lelucon. Kau salah jika menanggapi perkataanya dengan emosi."

"Kalau begitu kenapa kau tidak menghukumku sekarang juga?!" Sasuke menantang, tidak lagi ingin menyimpan urusan dengan si pirang terlalu lama. Menurutnya lebih cepat mendapatkan hukuman, akan jauh lebih baik.

"Berkali-kali Naruto memohon padaku untuk tidak menghukum dan mengatakan semua ini bukan salahmu, tetapi salahku," jelas Iruka, "Naruto mungkin terlihat bodoh dan menyebalkan, tetapi sebenarnya dia anak yang baik. Dia hanya ingin membuat semua orang tersenyum, mungkin kali ini caranya saja yang salah."

Sasuke bisa melihat dari sudut matanya jika Iruka meletakkan kertas lusuh berwarna oranye terang ke atas meja.

"Ini untukmu, Naruto menitipkannya padaku. Setelah itu kembali ke kelas."

Perintah Iruka, Sasuke lakukan dengan sempurna. Mengambil kertas lusuh di atas meja, bangkit dari atas sofa, lalu membungkuk sopan sebelum meninggalkan ruangan. Kakinya meyusuri lorong sambil meremas kertas lusuh berwarna oranye di telapak tangan. Tidak mengerti mengapa masiih merasa tidak senang. Bahkan rasa mual di perutnya seakan enggan untuk pergi.

"Kau tahu? Naruto tidak akan bersekolah di sini lagi mulai besok."

Alisnya mengernyit bingung. Sasuke menoleh ke sisi kiri, mendapati beberapa anak perempuan dan laki-laki dari kelas 6-B kini menatapnya dari balik jendela kelas, mencemooh.

"Benarkah? Ini semua pasti berat bagi Naruto. Tidak lama lagi ujian kelulusan akan berlangsung, bagaimana mungkin dia bisa dengan mudah mendapatkan sekolah yang bersedia menerima murid baru?"

Seluruh siswa dan siswi menatap Sasuke benci. Bahkan mereka sengaja berbicara dengan suara cukup lantang tentang bagaimana malangnya nasib Naruto seakan-akan menyindir, dan melimpahkan semua kesalahan padanya.

"Kau benar, kasihan sekali Naruto."

Sasuke bisa melihat jarak menuju kelasnya hanya tinggal beberapa langkah lagi, tetapi kakinya terasa sangat berat. Melihat reaksi yang diberikan anak kelas 6-B, ia tidak bisa membayangkan jika teman sekelasnya pun akan bersikap sama, dan itu membuat mual di perutnya semakin menjadi-jadi.

Memutuskan untuk berbalik lalu berlari cepat menuju tangga, dipilihnya. Bukannya takut, atau bertingkah layaknya seorang pengecut. Sasuke hanya ingin sendiri, tanpa mendengar komentar yang diberikan orang lain.

.

Hampir tiga puluh menit Sasuke diam di atap sekolah. Menikmati angin yang berhembus, melewati absen kedatangan, dan juga jam pelajaran pertama. Perasaanya jauh lebih baik saat ini, ketenangan yang ia dapatkan membuat kewarasannya sebagai seorang Uchiha kembali. Mual di perutnya juga perlahan menghilang.

Merebahkan tubuhnya di sana, dengan kedua tangannya dijadikan penyangga kepala, lalu menatap ke arah langit, tetapi warna biru membuatnya teringat pada sepasang iris Naruto, dan jujur saja itu membuatnya tidak nyaman. Cepat-cepat menghadap sisi kiri, lalu mengernyit, menyadari ada yang mengganjal di saku celananya.

Sebuah kertas lusuh berwarna oranye yang sudah menjadi sebuah bola kertas kecil. Di dalamnya ada tulisan tangan yang sangat buruk, bahkan harus memincingkan mata untuk mengerti kalimat apa yang tertulis di sana.

'Maaf. Semua ini bukan salahmu, tetapi salahku.'

Sasuke membuang kertas di tangannya jauh-jauh. Menyesal telah membaca pesan dari si pirang yang entah mengapa membuat dadanya terasa sesak.

"Ini semua memang salahmu bodoh! Kau seharusnya mengatakan hal itu di hadapan semua orang! Jika aku tidak bersalah, dan kau yang salah!" Sasuke membentak pada langit saat merasakan ada setetes air yang membasahi pipinya.

Ia benci ini.

Benci untuk mengakui jika itu air matanya. Benci ketika air matanya memberi sinyal jika sudah terlalu banyak hal tidak menyenangkan terjadi padanya hari ini, dan benci ketika menyadari Naruto meminta maaf padanya hanya melalui secarik kertas lusuh berwarna oranye.

.

Continued