Affliction of Our Little Princess
Chapter I
by killinheaven
Disclaimer: Kuroshitsuji (c) Yana Toboso
Warning: OOC | FC | AU
Rating: T
Pairing: Sebastian X Fem!Ciel | Claude X Fem!Alois (later)
Daun pintu kecoklatan itu berderit nyaring, mengiringi kemunculan sosok pria tinggi tegap yang dalam hitungan detik sudah berjalan perlahan memasuki satu ruangan yang selama beberapa saat terakhir terlindungi oleh si pintu tersebut. Jas hitam formal masih melekat pada tubuhnya, sementara guratan wajahnya sedikit terlihat lelah seolah mewakili beberapa pekerjaan memuakkan dan monoton yang ia lakukan hingga detik ini. Namun sorot matanya yang sayu itu perlahan berubah melembut ketika dua matanya menangkap siluet gadis kecil yang sedang tertidur lelap di atas meja belajar dengan dua lenganya yang terlipat.
Langkahnya terhenti tepat di samping sosok gadis kecil berumur tujuh tahun tersebut. Lengkungan garis bibirnya tertarik ke atas, menimbulkan senyuman hangat. Kelima jarinya terangkat dan secara teratur mengusap helaian rambut panjang eboni yang terderai menggantung indah tersebut. Disampirkannya poni nakal yang menutupi satu kelopak mata si gadis, kemudian dikecupnya dahi anak perempuan semata wayangnya itu perlahan seperti apa yang biasa ia lakukan pada malam-malam sebelumnya. Segetir senyum pahit menjadi bumbu yang tercampur pada perasaannya malam ini, menyadari gadis kecil ini harus kembali melewati malam seorang diri.
Ia kemudian menarik tubuh mungil anak perempuan itu ke dalam pelukannya, menggendongnya untuk berniat membawanya pada tempat tidur kecil sederhana tidak jauh dari meja belajarnya.
"Ung.." satu gumaman lemah terdengar halus, dua kelopak mata gadis itu setengah terbuka seperti dalam keadaan setengah sadar, namun rasa hangat yang saat ini sedang mendekapnya terasa familiar. "Papa?"
"Papa membangunkanmu, Aliane?"
Gelengan kecil sebagai jawabannya, "Tidak, Papa. Maaf Alaine tidak bisa menunggu Papa sampai pulang, rasanya hari ini ngantuk sekali."
Jawaban yang manis dan polos, tak ayal membuat lengkungan senyumnya tertarik. Langkahnya terhenti, kemudian ia mendudukkan dirinya di sisi ranjang dan membiarkan gadis kecilnya itu lepas dari pelukannya dan menjatuhkan diri pada kasur halus tersebut. Bola mata biru pekat itu kemudian menatap sang ayah polos.
"Kenapa kau membiarkan Claire pulang? Apa kau tidak tahu bahaya di rumah sendiri?"
"Em." Gadis kecil itu memutar dua bola matanya sebelum akhirnya membuka dua sisi bibir tipisnya yang sebelumnya sempat merapat. "Maaf. Tapi kasihan Claire sudah mengurusku dari pagi. Keluarganya butuh kehadirannya juga kan, Papa?"
Pria itu hanya bisa terdiam. Apa yang dikatakan putrinya ini memang benar, tidak ada yang salah. Salah ia sendiri karena memilih pengasuh yang sudah berkeluarga, mungkin ia akan mengganti pengasuh untuk Alaine dengan rentang jam kerja yang lebih banyak.
Single parent memang bukan status yang mudah, pada kenyataannya.
Ditambah lagi dengan pekerjaannya yang memang tahun ini sedang berada pada masa intens. Masalah financial perusahaan yang sepertinya tidak pernah ada habis-habisnya membuat seluruh perhatian dan raganya tersita nyaris sepenuhnya. Singkat cerita, ia nyaris sama sekali tidak pernah menghabiskan waktu dengan tenang bersama dengan anak perempuannya ini. Menyesal? Tentu saja. Bukankah itu hal yang jelas?
"Kembalilah tidur."
Raut wajah gadis kecil itu berubah lesu. "Tapi.. papa tidur bersamaku untuk malam ini, ya?"
Ada jeda selama beberapa detik sebelum akhirnya satu sunggingan senyum hangat terulas di wajahnya kemudian, "Baiklah."
"Aku sayang Papa!"
Dan tubuh mungil itu sudah terjatuh pada pelukan sang ayah, melingkari bahu hangat ayahnya itu dengan cukup lama. Sang ayah sendiri pun membalas dengan lembut dekapan tersebut, bertanya-tanya dalam hati kapan terakhir kali ia mendekat erat putrinya ini terakhir kali? Lengan mungil itu masih bertahan pada posisinya, sampai akhirnya ia menyadari bahwa pundaknya sedikit terasa basah. Ditariknya perlahan tubuh gadis kecil itu dari pelukannya, dan baru lah ia menyadari bahwa beberapa tetesan bening itu sudah membentuk sungai kecil di pipi halus tersebut.
"Alaine.." dua ibu jarinya terangkat dan mengusap pipi putri kecilnya, menghapus jejak kesedihan yang ia sendiri masih belum tahu hukum sebabnya. "Ada apa?"
"Tidak bisakah Alaine mempunyai foto Mama?" dua sisi bibir tipis gadis kecil itu terbuka lemah. "Selama ini Alaine sudah cukup bersabar dan menahan diri untuk terus hanya bisa mengakui cerita klasik Papa dan kakek yang mengatakan bahwa Mama sudah meninggal, hanya itu dan tidak lebih. Tapi kenapa Papa tidak mau menunjukkan bagaimana wajah Mama? Seperti apa Mama.."
Pria itu tertegun. Perih rasanya melihat tetesan bening itu dan suara getir yang baru saja mengalir keluar dari gadis kecil itu.
"Maaf, Papa. Tapi.. Alaine benar-benar—"
"Maafkan Papa, sayang."
Ia masih berusaha mengulas satu senyum hangat sebelum menarik tubuh gadis itu mendekat. Bukan maksudnya untuk membuat putrinya itu menjadi bertanya-tanya sampai pada akhirnya ia menangis di umurnya yang ke tujuh ini, menanyakan bagaimana rupa ibunya. Bukan maksudnya Diusapnya puncak kepala gadis kecil itu sebelum akhirnya, untuk yang pertama kali dalam hidup gadis kecil yang bernama Alaine itu, kata-kata yang ingin ia dengar pun terlontar.
"Mama berambut panjang lurus, nyaris sama sepertimu hanya saja warnanya lebih cerah berwarna kelabu kebiruan. Matanya persis sepertimu, permata biru. Dia ramah, dan senyumnya sangat hangat dan menurut Papa, Mama-mu adalah wanita sempurna yang pernah Papa temui.."
.
.
~000~
8 years ago
Dua ikat derai panjang rambut kelabunya berhembus apik oleh angin, mengiringi suara derap-derap langkah halus yang entah bagaimana terdengar seperti lantunan melodi alam yang menenangkan. Ditambah dengan dua sudut bibirnya acapkali tertarik, menciptakan ulasan senyum ramah yang terlukis di wajah putih sempurnanya dan menambah keindahan dua bola mata cerulean milik sang gadis.
Jika melihat dari penampilan dan kelakuannya, Miss Phantomhive muda satu ini memang layaknya putri di dalam dongeng-dongeng. Segala kecantikan dari putri-putri dongeng tersebut penuh tervisualisasikan oleh seorang gadis cantik yang bernama Ciel Phantomhive ini. Gadis yang memang sempurna dari fisik sampai sifat pribadi yang sangat disukai banyak orang. Seluruh laki-laki di muka bumi dapat dipastikan akan selalu jatuh bertekuk lutut di hadapannya, kalau boleh berlebihan.
Tak ayal dengan mata rubi itu yang sedaritadi hanya memerhatikan gerak-gerik dan tanpa sadar mau tidak mau hanya menatap pesona sang gadis yang sepertinya sudah tersebar pada seluruh penjuru sekolah. Bagaimanapun ia masih laki-laki normal, kalau ada gadis sempurna yang kebetulan sedang berada di daerah sekitarnya tentu lah perhatiannya masih bisa tertarik meskipun sedikit.
Pemilik mata rubi yang bernama Sebastian Michaelis itu kemudian hanya bisa sedikit terperangah ketika mengetahui arah langkah gadis itu—yang baru ia sadari, sedang berjalan ke arahnya. Matanya menyipit, tepat ketika gadis itu menghentikan langkah-langkah kecilnya di hadapannya. Seulas senyum ramah dari sang gadis cukup membuat kinerja jantung Sebastian mendadak selama beberapa saat.
"Siang, Senior Michaelis." Sapaan yang ramah, dengan guratan wajah yang tulus. "Mrs. Angela menitipkanku surat pengizinan untuk meminjam hall sekolah, kebetulan beliau tetanggaku dan hari ini ia tidak bisa masuk."
"Ah.." Sebastian mengangguk, satu sunggingan senyum sebagai balasannya. Satu alasan yang logis, dan ternyata gadis cantik di hadapannya ini sudah mengetahui namanya. Memang mustahil untuk tidak mengetahui namanya, bagaimanapun Sebastian memang ketua organisasi murid di sekolah ini. Tidak menampik bahwa Sebastian memang populer, hanya saja Sebastian tidak begitu menyangka bahwa Ciel Phantomhive akan menjadi salah satu seseorang yang sedikit mengetahui eksistensinya. "Terima kasih, Phantomhive."
Gadis itu tertawa kecil. "Ciel saja, senior. Aku tidak begitu biasa dengan nama belakangku, siapapun boleh memanggil nama depanku."
Sebastian hanya bisa menarik dua sudut bibirnya kembali, menikmati dendang tawa si gadis yang entah bagaimana caranya bisa terasa merdu di telinganya. "Nah, kau juga bisa memanggilku Sebastian."
Perkenalan singkat dan lancar, mungkin itu yang mengawali kisah indah klasik romantika remaja pada umumnya. Terlebih lagi pada dua remaja yang sama-sama meraih perhatian lebih dari siswa-siswa di sekolah, kisah mereka terlihat manis. Detik jam terus bergulir ke kanan, perubahan waktu pun turut menaikkan intensitas hubungan si gadis dan si pemuda remaja tersebut. Sebastian yang seringkali mengepaskan waktu dan mengajak juniornya itu untuk pulang bersama, menghabiskan waktu berdua setelah menyelesaikan aktivitas sekolah pun menjadi waktu-waktu yang berharga. Sebastian menikmatinya, tidak menyangkal itu juga lah yang dirasakan sang gadis. Kehadiran seniornya itu yang mengisi banyak hari-harinya cukup membuat Ciel merasa ketergantungan, rasanya haus jika tidak menatap wajah rupawan milik Sebastian Michaelis tersebut hanya untuk satu hari.
Singkat cerita, Ciel pun merasa ia terus membutuhkan kehadiran Sebastian.
Hubungan mereka meningkat dan resmi menuju tingkatan yang lebih manis. Empat bulan dan awal mula hari di mana mereka berkenalan, Sebastian pada akhirnya berhasil membuat dua pipi gadis itu merona dengan kata-kata yang selama ini memang diharapkan meluncur dari dua sisi bibir Sebastian. Dua senyuman lembut pun secara bersamaan terulas kemudian, mengiringi Ciel yang kemudian menjatuhkan diri di pelukan pemuda itu sembari memeluk erat seniornya itu kencang.
"Aku juga sangat mencintaimu, Sebastian. Terima kasih banyak."
Impian klasik seorang gadis kecil, adalah menjadi seorang pengantin yang cantik. Impian tersebut tidak luput dari impian gadis Phantomhive ini. Berjalan melewati undangan dengan elegan dengan gaun putih panjang berenda yang cantik terbalut di tubuhnya, dengan tudung yang menyembunyikan sementara kecantikannya sebelum akhirnya dibuka sendiri oleh sang pengantin laki-laki yang akan tersenyum hangat seolah puas akan pilihannya memilih pasangan hidup untuk selamanya. Dan untuk kali ini, gadis itu sudah merasa memilih pasangan yang tepat, pemuda yang akan membuka tudungnya di atas altar nanti untuk menguar kecantikannya. Pemuda yang akan mengucapkan janji sakral untuk bersedia menjadi pendamping hidupnya nanti.
~000~
Punggung gadis itu terasa mengejang tepat ketika dua bola mata biru pekat itu terbuka. Mengerjap beberapa saat sebelum menolehkan kepalanya dan mendapati wajah tenang Sebastian yang sedang tertidur itu di sampingnya. Entah, perasaan sesak mendadak menelesak dan menguar di dadanya, terlebih ketika ia menyadari bahwa saat ini yang menyelimuti tubuhnya hanya satu selimut tebal tanpa ada satu benang pun yang melindungi tubuh kecilnya. Dan ia pun tahu bahwa pemuda itu juga dalam keadaan yang sama.
Tidak, ia sama sekali tidak menyesal. Bagaimanapun yang sudah terjadi memang ia sadari benar, bahwa gadis itu sendiri yang melakukannya dengan keadaan sepenuhnya sadar. Nafsu yang membumbung, nafsu yang akhirnya memenangi, setiap orang pernah mengalaminya.
Hanya rasa takut. Ia sedikit takut. Ia masih delapan belas tahun, menduduki bangku terakhir sekolah menengah atas. Sementara Sebastian baru memasuki semester tiga di kuliahnya. Menurutnya, ini masih terlalu cepat.
"Ciel." Sebastian, dengan suara lemah yang menandakan ia masih mengumpulkan nyawanya untuk menyadari apa yang terjadi pada gadisnya ini.
Gadis itu menoleh dan tersenyum tipis. "Tidurlah, Sebastian. Kau masih mengantuk."
Sebastian mengerjap, dan sedetik kemudian ia hanya bisa tertegun melihat raut wajah gadis itu yang terlihat tidak nyaman. Pemuda itu bukan orang yang bodoh untuk kembali jatuh tertidur seperti apa yang baru saja gadis itu suruh. Ia menangkat lengannya, menarik gadis itu ke dalam pelukannya yang hangat. Diusapnya helaian rambut panjang kelabu itu dan ia mengecup dahi gadisnya dengan cukup lama.
"Semua akan baik-baik saja. Aku selalu bersamamu, Ciel."
Ya, Ciel tahu. Sangat tahu.
Maka gadis itu pun berusaha kembali untuk tersenyum, memejamkan matanya dan menyesap dalam-dalam wangi Sebastian yang selalu ia sukai ini. Begitu menenangkan.
~000~
"Ayah sudah beberapa hari ini selalu pulang larut." Gadis itu mengulum bibirnya, menatap daun pintu dan jam yang menggantung statis di dinding secara bergantian. "Wajah ayah juga seringkali terlihat frustasi. Aku khawatir, Bu."
Rachel Phantomhive hanya bisa mengumbar senyum tipis, namun masih terlihat lembut meskipun ada setitik getir kesedihan yang membumbui.
Dan Ciel, lagi-lagi hanya bisa menebak, "Apa ini ada kaitannya dengan rumor tentang perusahaan Funtom yang mulai menurun?"
Tepat mengenai sasaran, gadis itu dapat melihat raut perubahan wajah ibunya yang mendadak sedikit mengeras.
"Kami baru saja akan membicarakan ini padamu, Ciel." Suara ibunya tersebut mendadak membuat Ciel sedikit meremang, menyadari nada suara tersebut bukan hal yang biasa ia dengar. "Perusahaan memang sedang parah. Ayahmu sudah berusaha semaksimal mungkin namun keadaan pasar memang sedang tidak berpihak pada kita. Perusahaan terancam ditutup."
Ciel hanya bisa tertegun. Membayangkan perusahaan yang ditutup dan bangkrut, segala usaha ayahnya yang mendirikan perusahaan Funtom dari kecil.. akhirnya sia-sia? Tidak bisa. Ia tidak bisa membayangkannya.
"Satu jalan, Ciel. Kita harus mendapat bantuan. Kuharap kau mau mengerti." Rachel menggenggam jemari kecil putrinya tersebut dengan erat. "Kau mengenali Claude Faustus, dia teman kecilmu yang sekarang sedang kuliah di Universitas Bristol."
Dan sekelebatan kalimat selanjutnya hanya bisa membuat Ciel terpaku.
"Ini memang terlalu cepat, Ciel. Tapi setelah kau lulus, kuharap kau bisa menikah dengannya. Kami sudah mengaturnya, keluarga Faustus juga menyukaimu."
Mimpi buruk.
Sungguh demi apapun di dunia, ini mimpi buruk.
~000~
Sebastian Michaelis memang bukan siapa-siapa. Ia hanya anak keturunan biasa yang kebetulan mempunyai wajah rupawan dan otak yang lebih dari cukup untuk mengenyam pendidikan akademis. Ia bukan anak dari seseorang yang memiliki perusahaan ternama, dan rupanya, mungkin Sebastian lupa akan kenyataan bahwa keluarga Phantomhive memang tidak begitu sederajat dengannya. Namun ia tidak peduli, suatu saat nanti ia akan bisa mengejar kehidupan duniawi. Dapat dipastikan, mengingat ia memang mempunyai bakat alami dimulai dari akademis sampai kemampuan berbisnis yang suatu saat nanti akan berguna di masa yang akan datang.
Sayangnya, untuk saat ini, keluarga Phantomhive membutuhkan bantuan untuk yang lebih cepat. Tidak mungkin mengharapkan bantuan dari Sebastian yang notabene masih berstatus anak kuliahan dengan usaha bisnis kecil-kecilan yang mungkin masih hanya cukup untuk membiayai kehidupannya sendiri. Kalaupun masa depan Sebastian Michaelis akan cerah nantinya, dapat dipastikan keluarga Phantomhive sudah terlebih dahulu jatuh.
Dan Ciel sendiri, masih tidak bisa berkata apa-apa. Ia memang masih belum memberitahu hubungannya dengan Sebastian pada orang tuanya, dan ia sungguh tidak berani.
Hari ini hari kelulusan si gadis, dan menandakan pula bahwa ini adalah hari di mana orang tuanya menanti keputusan untuk segera menjadi satu anggota keluarga Faustus. Sampai acara kelulusan ini nyaris berakhir, ia belum bertatap muka dengan Sebastian. Bukannya pemuda itu tidak datang, Ciel melihat sosok pemuda itu sedaritadi namun ia masih belum bisa untuk menghadapinya. Alasan yang lebih tepat karena Ciel menghindarinya, karena Claude dan keluarganya akan datang pada acara ini.
Tiga tahun dihabiskannya di sekolah menengah ini, seharusnya hari spesial macam ini dihabiskannya dengan suka cita. Namun yang gadis itu tampilkan sepanjang hari ini adalah hanya raut wajah datar yang menyimpan ketidaktenangan. Terduduk dengan gelisah, sesekali masih mengulas senyum yang diusahakannya terlihat ramah pada teman-teman maupun adik kelasnya yang menyelamati kelulusannya. Namun seketika pandangannya terpaku, mendapati sosok Sebastian yang sedang berjalan ke arahnya.
"Ah, itu mereka, Ciel. Ayo sapa mereka."
Suara Rachel mengalihkan kesadaran Ciel seketika. Entah sejak kapan keluarga Faustus sudah ada di depan matanya, dan pandangannya berubah sendu melihat Sebastian yang sudah menghentikan langkah kakinya. Memerhatikan Ciel, dengan raut wajah tidak mengerti. Entah kenapa Ciel rasanya ingin kabur dan lari ke pelukan Sebastian saat ini juga. Sesak sekali rasanya. Ditanggapinya keluarga yang ada di hadapannya ini dengan senyum ramah yang ia sedang usahakan tidak terlihat dipaksakan, bagaimanapun keluarga Faustus adalah keluarga yang baik dan Ciel tidak ingin memperlihatkan kelakuan buruk.
Sementara itu, Claude, masih menyebalkan seperti biasa. Memperlihatkan ekspresi jengah.
"Lama tidak bertemu. Ciel." suara dan wajah datar, dingin. Biasanya Ciel akan memukul bahu pria di hadapannya ini dan menyuruhnya untuk tersenyum sedikit, Ciel memang tidak menyukai wajah datar Claude. Namun tidak untuk kali ini, disamping perasaannya yang memang sedang kacau tidak menentu, Ciel juga tidak buta untuk mengetahui… bahwa ada kemungkinan Claude tidak menyukai apa yang sudah direncanakan dua pasang orang tua itu. "Selamat, atas kelulusanmu."
"Terima kasih, Claude." Ciel hanya tersenyum kecut, turut jengah melihat ekspresi ini. Apa ini? Bagaimana bisa makhluk papan penggilas cucian ini yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti?
"Ah, kami akan meninggalkan kalian berdua terlebih dahulu."
Sial.
Ciel hanya bisa berekspresi statis ketika melihat orang tua dari pihaknya dan pihak Claude sudah melesat pergi, meninggalkan mereka.
"Kau menghancurkan hidupku, kau tahu?" tidak sampai sepuluh detik berlangsung, Claude sudah mengatakan hal-hal yang membuat telinga gadis itu memanas. "Aku tidak pernah melihatmu sebagai gadis yang akan menjadi istriku, aku tidak pernah mengakuinya."
"Hal yang sama terjadi padaku, Claude."
"Lalu apa yang membuatmu rela menjadi bahan jualan orang tuamu? Punya harga diri?"
Dua bola mata cerulean itu membulat, dua telapak tangannya mengepal keras, menahan diri untuk tidak mendaratkan menampar pipi pria di hadapnnya ini. Satu hal yang tidak bisa ia elak, gadis itu memang tak lebih menjadi bahan jualan.
"Aku tahu kau berhubungan dengan Michaelis, dia satu kelas denganku di kampus. Dan asal tahu, aku juga mempunyai hubungan dengan gadis lain."
Ciel hanya bisa terdiam, meskipun dalam hati ia sedikit tidak menyangka bahwa Claude juga menempati posisi yang sama seperti dirinya.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Claude. Meskipun kau menyebalkan aku tetap selalu menganggapmu sebagai kakakku. Aku tidak mau menjalani rencana mereka tapi.."
"Batalkan rencana ini."
"Tidak bisa. Jangan.."
"Kau hanya akan menyakiti kekasihmu dan gadisku akan—"
Tidak tahan lagi, gadis itu benci untuk melakukan ini tapi.. pada akhirnya ia memberanikan diri untuk memeluk Claude, dengan beberapa tetesan bening air mata yang mengalir keluar.
"Kumohon. Orang tuaku.."
Claude sendiri hanya bisa ikut terdiam. Bagaimanpun ia sudah mengenali betul pasangan Phantomhive yang dirasanya sangat baik, tidak pantas rasanya jika keadaan keluarga mereka terpuruk nantinya. Jika memang bisa, pada awalnya Claude memang ingin mencintai gadis yang sedang mengemis padanya ini. Untuk membantunya, dan menjalani rencana ini secara normal. Namun ia sama sekali tidak bisa. Sama seperti yang baru saja dikatakan gadis itu, bahwa selama ini Claude hanya menganggap Ciel sebagai adik. Tidak bisa lebih. Selain itu, memang ada gadis lain yang membutuhkannya. Gadis yang kemungkinan besar akan ditinggalkannya karena tuntutan memuakkan dari kehidupan Faustus.
Ciel hanya bisa kembali menahan sesak, ia kembali menangis tanpa suara begitu dilihatnya Sebastian yang melangkah pergi menjauh.
"Ciel?" Claude bereaksi, menyadari genggaman Ciel pada lengannya yang terasa mengencang.
Perasaan sesak itu mendadak menjadi semakin terasa menyakitkan, terasa begitu nyata. Sakit, sesak. Kondisinya yang labil akhir-akhir ini, dan ia sontak pun merasa lemas. Namun sedetik kemudian ia merasakan hal yang aneh, rasa mual menyergapnya dan perutnya terasa tidak sakit seperti ada yang menendang kuat, mendorong kedua kaki kecilnya untuk berlari menjauhi Claude.
"Ciel!"
Claude memanggil, berlari dan hanya bisa terhenti ketika melihat gadis itu memasuki toilet wanita. Dirinya sedikit terperangah ketika mendengar suara di dalamnya, jelas sekali Ciel sedang muntah. Entah memang pikirannya yang mengacau, namun Claude sedikit bisa mengambil kesimpulan bahwa gadis itu… sedang dalam keadaan tidak sendiri.
Butuh waktu beberapa lama sampai akhirnya Ciel keluar, menampilkan wajah sendu dan ia kembali menangis. Jelas sekali bahwa tebakan Claude benar, gadis itu sedang hamil, atau tepatnya baru menyadari bahwa dirinya hamil. Seolah mengerti, Claude hanya bisa mendekat dan memeluk gadis itu dengan lembut. Tidak memerlukan kalimat, pria itu mengerti bahwa gadis itu sedang tidak bisa memikirkan apa yang seharusnya dilakukan, situasi yang semakin runyam.
.
~000~
Present Day
"Secantik itu kah Mama?" bola mata biru pekat itu membulat dengan kekaguman yang jelas sekali terpancar dari sorot matanya. "Alaine merasa pernah bertemu dengan wanita dengan penampilan yang persis seperti Papa sebutkan tadi, mata biru dan rambut kelabu. Wanita itu cantik sekali."
Pria itu terpaku untuk beberapa detik.
"Kau bertemu di mana, Alaine?"
"Tadi siang, di perpustakaan kota. Kami sempat mengobrol sedikit, Alaine senang ternyata wanita itu mempunyai selera yang sama dengan Alaine. Mrs Faustus namanya, tapi wanita itu menyuruh Alaine memanggilnya dengan Ciel. Papa harus melihatnya, wanita itu cantik sekali."
TBC
Ohok. Jadi fanfic ini karena saia lagi keranjingan nonton anime Usagi Drop dan karena seiyuu Ciel kita tersayang Sakamoto Maaya menjadi pengisi suara dari ibu si tokoh utama, entah kenapa jadi kebayang Ciel jadi ibu-ibu *plak* Yah, pokoknya jadi aneh lah begini.
Saia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yah, begini lah. Btw, fanfic saia yang lain, mungkin akan saia lanjutkan. Laptop saia sekarat, ini kebetulan dipinjemin temen- *curhat*
Ah, begini lah. Mohon maaf kalo saia salah atau ceritanya rada.. gaje. Review?
