The Vampire Schooling

•~~ ( Pendahuluan ) ~~•

By : Ochandy/Ananda

Rate : T semi M (buat jaga-jaga)

Disclaimer : Boboiboy All Elemental Friends

(Boboiboy hanya milik Monsta/Animonsta Studio)

Inspiration : Twilight (ya beberapa scene Ocha ambil dari sini, tapi gak semuanya PAHAM!)

Hai, Ocha kembali lagi bawa fanfic usang yang pernah di post di grup 'Para Pencinta Boboiboy Lovers' dan alhasil banyak yang minat. Sebenarnya yang Ocha post disini versi aslinya terus yang di Facebook itu versi apanya? Yang di Facebook itu versi Bahasa Santai Yang Mudah Dipahami karena udah diedit dan segala macamnya. Oke kelamaan, semoga kalian juga suka...

Don't Like? Don't Read!

Happy Reading...

~ The Vampire Schooling ~

(P ~ R ~ O ~ L ~ O ~ G)

Halilintar POV...

Aku benci...

Benci dengan kehidupan. Laknat sekali rasanya bisa hidup ribuan tahun dengan bantuan tetessan darah segar yang mengalir disetiap urat nadi para manusia.

Aku harus menyalahkan siapa sekarang? Kutukkan ini, argh... aku ingin menukar kehidupan abadi ini jika kau bisa mengembalikan kehidupanku seperti semula. Mustahil!

Entahlah apa itu artinya kehidupan abadi jika harus kehilangan semua orang yang kita sayang. Sebuah perubahan itu menyakitkan, namun juga menguntungkan. Jengkel memang, terkadang semua orang takut akan kehadiranku. Si makhluk berdarah dingin yang bisa lepas kendali. Aku tak mau menjadi monster, itu sangat mengerikan.

Hidup dengan cahaya rembulan sepanjang malam, terkadang aku merindukan matahari yang bersinar terang. Apa mungkin? Bisakah itu terjadi? Seorang Vampire yang menari di bawah sinar mentari tanpa membuat orang lain takut. Tanpa membuat mereka menghindar. Aku hanya ingin memiliki sseorang teman, yang mengerti dan memahami isi hatiku selama ini.

~ Awal Dari Segalanya ~

Flashback...

Malaysia...

Kuala Lumpur, 03 - Maret - 1800.

Aku ingat segalanya, tanggal itu, pada bulan itu kami bersaudara lahir menghirup udara dunia untuk pertama kalinya.

Kami? Ya, kami...

Aku terlahir kembar bersamaan dengan 4 saudaraku lain.

Akan aku perkenalkan, tapi kuharap kalian tidak tertawa mendengar nama 'kami' yang tergolong unik.

Namaku Boboiboy Halilintar, orang yang pertama lahir menghirup udara fana milik dunia.

Selang beberapa menit Boboiboy Taufan lahir mengikuti jejakku.

Begitu seterusnya...

Disusul Boboiboy Gempa.

Lalu Boboiboy Blaze.

Dan si bungsu, Boboiboy Ice.

Walaupun terlahir dengan wajah yang amat mirip, kami sangat berbeda... Dokter bilang, telah terjadi mutasi gen pada iris mata kami (yang menyebabkan warna mata tiap saudara jauh berbeda), itu juga faktor pendukung agar kalian lebih mudah mengenali kami. Akan ku jelaskan lebih lanjut...

Aku? Iris mataku ruby manik, warna mata yang 'kurasa' sedikit 'mengintimidasi' orang-orang yang menatapnya. Hm... aku kurang bisa menilai diri sendiri, jadi? Kalian nilai saja oke?

Boboiboy Taufan, iris matanya biru shapire, dia itu ugh... MENYEBALKAN! Usil, jahil, bego, bodoh, gak bisa diam, playboy kelas kakap dan harus kalian ketahui, hampir seluruh wanita (yang seusia dengannya) di dunia ini pernah kencan dengannya.

Boboiboy Gempa, iris matanya coklat keemassan bisa dibilang 'gold'. Dia adik yang baik, mudah senyum, bijaksana, pokoknya sempurna.

Boboiboy Blaze, iris matanya jingga dengan sorot berbinar bak anak kecil yang masih melekat hingga sekarang. Dia? Eegh... Sebelas-Duabelas dari Taufan, jahil gak ketulungan, manja, hyperaktif. Namun jika sedang marah, kurang lebih dia sama sepertiku.

Boboiboy Ice, iris matanya biru aquamarine sangat menyejukkan bila dipandang. Tidak seperti sorot mata Taufan yang penuh dengan kejahilan, sorot matanya begitu meneduhkan. Dia sangat kalem, pintar, rajin tapi paling MaGer alias Malas Gerak alias lagi Kebo.

Aku menyayangi mereka semua melebihi rasa sayangku pada nyawa sendiri. Aku berjanji akan menjadi tameng pelindung mereka, untuk selamanya...

Malaysia, Kuala Lumpur, 03 - Maret - 1805.

Hari ini kami berlima berumur lima tahun. Hari yang seharusnya berbahagia menjadi hari penuh duka untuk selamanya. Ayah dan Ibu yang bekerja sebagai tenaga medis dinyatakan hilang dalam perang melawan penjajah. Hidup disaat dunia masih bergejolak memang menyedihkan. Adik-adikku terpuruk, mereka menangis sepanjang hari.

Dan mulai hari ini juga, aku benci dengan KEHIDUPAN.

Ini semua tidak adil Tuhan! Kenapa kau mengambil Ayah dan Ibu? Kenapa kau biarkan kami yang selemah ini ditinggal pergi? Kenapa Tuhan? Jawab aku!

Frustasi...

Begitulah keadaan kami hingga seorang jendral yang mengaku sebagai paman kami datang membawakan seorang gadis kecil.

Namanya Amanda...

Gadis berperawakan imut nan manis ini nampak malu-malu saat memperkenalkan diri. Mata hazel miliknya memancarkan sorot ketakutan yang amat sangat. Rambut panjang hitam sepinggang dengan poni di atas alis, bertakhta sebuah bando berwarna merah di kepala kecilnya.

Paman itu bilang bahwa dia berasal (sekarang) dari Singapore, paman jendral itu menitipkan anak gadisnya itu bersama kami lalu pamit undur diri karena tugas.

Hingga akhirnya paman dinyatakan tewas dalam bertugas.

Amanda, dia gadis yang kuat dan sabar. Dia ikhlas dengan apa yang diberikan Tuhan padanya. Dia jarang mengeluh, bahkan gadis kecil itu selalu memberi kami semangat agar bangkit dari keterpurukkan.

Dia yang membantu mengurus kami walaupun seumuran, tapi dia sangat cekatan, pandai memasak, menyapu, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Terkadang aku merasa bersalah karena dia 'seolah' tampak bagai pembantu di rumah kecil ini.

Dia gadis yang baik dan aku menyayanginya. Aku berjanji akan selalu menjaganya sebagaimana aku menjaga adik-adikku.

Malaysia, Kuala Lumpur, 03 - Maret - 1817.

Hari ini kami merayakan ulang tahun yang ketujuh belas. Ya usia yang mulai masuk tahap dewasa.

Kami mulai tumbuh menjadi laki-laki yang 'menurut' sebagian orang 'rupawan'.

Kulit putih bak salju, pipi tirus, wajah tampan dan warna iris yang membedakannya.

Amanda tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Dia sangat cantik, aku mengaguminya. Lekuk tubuhnya nampak menggoda saat menggunakan pakaian 'mini' pemberian Taufan. Oh sudahlah, lupakan fikiran kotor ini.

Gadis itu tengah sibuk memasak kue ulang tahun untuk kami semua. Tubuh mungilnya itu 'seolah' menari saat mengangkat loyang yang berisi adonan jadi dari oven.

"Hm... harum sekali aromanya..." Blazel menghirup nafas sedalam mungkin saat gadis itu membawakan kue kreasinya ke meja makan.

"Silahkan dicicipi..." ucapnya tersenyum manis.

"Umh... sebelumnya berdo'a dulu dalam hati tentang harapan kalian pada tahun ini. Do'a mulai!" serunya.

Kami semua menundukkan kepala lalu berdo'a dalam hati.

"Berdo'a selesai! Nah ayo makan mumpung masih hangat." Amanda memotong separuh dari kue tadi lalu membagi-bagikannya ke piring kami.

"Terimakasih Amanda..." ucap kami serempak, gadis itu hanya menyungginggkan senyum tipis.

"Umh... krue bhuathan Amhanda shelalu henaks nyam..." suara gigi beradu mendominasi perkataan pemuda beriris jingga ini.

"Blaze, kalau mulut sedang penuh jangan bicara dulu." tegur gadis itu lembut.

"Tau, dasar bocah!" sambung Taufan.

Boboiboy Blaze berhenti makan, dia menatap Taufan dengan ekspresi yang sulit diartikan, bibirnya mengerucut dengan mata berlinang ingin menangis.

"Hiks kak Halilintar, lihat kak Taufan... dia meledekku lagi." ucapnya mengadu sambil mengguncang-guncang tubuhku sekuat tenaga (hal ini menyebabkan aku tak fokus memakan kue buatan Amanda). Walau begitu aku tak mengacuhkan ucapan Blaze dan terus makan.

"Kak Hali..." dia menghentikan aktivitas 'gempa bumi dadadakan' tadi seraya menatapku sendu. Matanya berharap 'akan' ada sedikit pertolongan dariku.

"Kasihan... gak ditolongin 'kak Halilintar..." Taufan meniru intonasi bicaranya Api membuat pemuda beriris jingga itu semakin memanyunkan bibirnya.

Isakkan pelan terdengar dari saudaraku yang paling manja itu.

Baiklah, aku sedikit iba.

Sreeng! ~imajiner soundtrack~

Ku tolehkan kepala menatap Taufan yang tengah cekikikkan. Dia berhenti tertawa dengan segera memalingkan muka memakan sepotong kue sekali lahap lalu menggerutu gak jelas.

"Te-terimakasih..." Blaze tersenyum kemenangan sambil mencibir Taufan.

"Huh, mentang-mentang patner kamu 'SINGA'." gumam Taufan, itu sedikit menyinggung.

Sreng! *imajiner soundtrack*

Sekali lagi kulayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Pemuda bermata shapire itu langsung bungkam dan menggaruk tengkuknya.

"Sudahlah, kalian sudah besar. Umur kalian sudah tujuh belas tahun! Please deh, jangan kayak anak kecil lagi!" ucap Amanda sewot memutar mata malas.

"Aku bukan anak kecil tau!" seru Ice. Pemuda aquamarine ini akhirnya angkat bicara.

"Kalau bukan anak kecil apa coba? Masa masih jaman main ledek-ledekkan..." cibir Amanda.

"Tau..." jawab Gempa singkat sambil meneruskan makannya.

"Tapi yang berantem itukan bukan aku, gak usah sewot juga kali..." Ice memicingkan matanya.

"Siapa yang sewot?" balas Amanda ketus.

"Tau ah gelap!" seru Ice.

Prang~,...

Semuanya menoleh ke arahku.

Bosan dengan suasana ini, ku banting sendok dan garpu ke piring sekuat mungkin hingga menimbulkan bunyi nan nyaring

"BISA GAK DIAM SEMENIT!" seruku membuat mereka tertunduk.

"Maaf..." lirih mereka tertunduk.

Bosan?

Siapa yang tidak bosan dengan pertengkaran yang diselingi perdebatan gak jelas dan prinsipnya every where and every time.

Ku beranjak penuh emosi menuju ruang keluarga tanpa menghiraukan mereka yang cengo.

"Halilintar tunggu..." Amanda menyerukan namaku.

"Kalian sih..." gerutunya bangkit mengejarku.

~The Vampire Schooling~

Ku henyakkan tubuhku ke sofa merah nan empuk di ruang keluarga. Kepalaku rasanya sudah terlalu gatal memproses berbagai ledekkan yang menggema di ruang makan setiap harinya.

"Argh... mereka menyebalkan." teriakku frustasi, ku lepas topi hitam corak merah dengan lambang petir yang ku pakai seraya melemparnya ke sembarang arah.

Rambutku harus menjadi korban eksekusi dari para jari yang kurang kerjaan. Rambut hitam berponiku sekarang sudah acak-acakkan seperti 'diterbangkan badai'.

Tap... tap... tap...

Derap langkah kaki menarik perhatianku. Sesosok gadis dengan wajah muram menatapku sendu.

"Halilintar, kau marah?" tanyanya sambil duduk disampingku.

"Tidak juga." sahutku ketus.

"Oh ayolah, aku minta maaf..." gumamnya menunduk.

"Aku tahu kalian sudah dewasa, tapi perangai kalian masih saja seperti anak-anak... aku minta maaf jika ucapanku menyinggung." wajahnya murung, dia mendongak menatapku sejenak. Matanya berbinar berharap aku akan errr... memaafkannya.

"Ku mohon... maafkan aku..." matanya melebar. Oh ini jurus andalan Amanda, tampang sendu dengan puppy eyesnya yang menggemaskan.

Aku tidak tahan jika dia terus seperti itu. Cih, dia masih menatapku begitu, oke baiklah aku menyerah...

"Ya aku maafkan..." dengusku membuat gadis itu tersenyum geli.

"Benarkah?" matanya semakin berbinar. Kalau Amanda dalam mode merayu maka dia Sebelas-Duabelas dengan Boboiboy Blaze. Childish...

"Kalau begitu tersenyum..."

Aku hanya menuruti ucapannya sebelum wajah sendu dengan puppy eyes itu muncul kembali. Ku tarik perlahan sudut bibirku berharap tercipta senyuman tipis penuh paksa disana.

"Nah ini lebih baik daripada Poker-Face." entah itu ledekkan atau pujian.

Ting... tong...

Bel rumahku berbunyi nyaring. Amanda terkesiap dan segera berdiri.

'Siapa yang datang ke rumah malam-malam begini?' ucapku membatin.

"O iya Halilintar, aku tinggal sebentar ya... sepertinya ada tamu." Amanda berjalan riang menuju pintu depan.

Aku hanya mengangguk seraya melempar senyum tipis.

"Kyaaaaa... Tolong!"

"Argh..."

"Amanda?" aku tersontak mendengar jerittan dari pintu depan. Apa yang terjadi?

Ku bergegas menyusul Amanda, namun apa yang ku lihat?

Pemandangan tragis yang amat menyayat hati.

Amanda tergeletak kejang-kejang dengan nafas memburu, matanya terbelalak lebar dengan leher yang bersimbah darah.

"Argh..." jeritnya menggelinjang.

"Amanda... Amanda kau kenapa?" seruku panik, ku rangkul tubuh gadis itu sambil berusaha menyadarkannya.

"Amanda... ku mohon sadarlah..." tanpa terasa setitik air bening mulai membasahi pipiku.

"Argh, sa-kit..." ucapnya tersengal-sengal. Matanya mendelik menghilangkan bagian korneanya.

Tubuhnya terasa bagai bara api. Sangat panas, tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanassan. Tuhan... apa yang harus aku lakukan?

"Kak Hali, argh..."

Mataku melebar mendengar teriakkan saudara-saudaraku di dapur. Ku tinggalkan Amanda sebentar dan segera berlari kesana.

~The Vampire Schooling~

"Taufan? Gempa? Blaze? Ice?! apa yang terjadi? Dimana kalian?" panggilku, tak ada jawaban. Suasana dapur gelap gulita tanpa cahaya.

Tanganku berusaha mencari saklar di dinding dan...

Clek...

Sinar lampu memenuhi ruangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan saudaraku disini.

Mataku menerawang seisi dapur namun tak ada seorangpun yang terlihat.

Brak... braak...

Suara kegaduhan terdengar dibawah meja makan. Rasa takut mulai menjalari tubuhku.

Dengan perlahan aku berjongkok ke sumber suara. Bau anyir menyeruak menusuk hidungku.

"TAUFAN! GEMPA! BLAZE ! ICE! APA YANG TERJADI?" teriakku histeris melihat pemandangan yang sama seperti Amanda tadi. Tangan mereka terikat kebelakang, mulut dilakban, badan mereka kejang-kejang.

"Jawab aku apa yang terjadi? Hiks... hiks..." tangisku membuka ikattan tangan dan lakban yang melekat di mulut mereka.

Mereka tak menjawab, hanya teriakkan kesakitan yang terucap dari bibir mereka.

Bruuk...

Gempa ambruk tak sadarkan diri dengan mata mendelik. Hidungnya mengalirkan darah segar yang begitu banyak.

"Argh... sakit kak... sakit..." lirih Taufan menggenggam tanganku lemah. Telinganya juga mengalirkan cairan merah pekat.

Hatiku tersayat, apa yang terjadi disini? Apa? Tuhan apa yang terjadi? Kenapa adik-adikku?

"Arggh..." Ice mencengkram dadanya yang 'terasa' sesak lalu jatuh pingsan disusul Taufan yang mulai memasuki alam bawah sadar.

"Argh... kakak to-tolong Blaze... sakit... panas... arghh..." erang Blaze kesakitan.

"Blaze... hiks, apa yang terjadi? Beritahu kakak? Apa yang bisa kakak bantu? Blaze... jawab Blaze, jangan tinggalkan kakak!" seruku mengguncang-guncang tubuhnya yang tak lagi kejang-kejang.

Aku gagal...

Aku gagal melindungi mereka... Ikrarku sebagai kakak tidak terlaksana.

Hiks...

Apa yang terjadi disini? Kenapa? Kenapa banyak darah yang berceceran? Kenapa darah mengucur deras dari leher mereka?

"Keparat! Siapa yang melukai saudara-saudariku! Keluar! Jangan jadi pengecut! Apa maumu? Keluar bodoh!" teriakku emosi. Bulu romaku merinding saat merasakan aura yang kurang mengenakkan. Entah mengapa rasanya suhu ruangan sedikit lebih dingin.

Hening...

Mencekam...

Tak ada tanda-tanda kehidupan selain helaan nafas beratku.

Prook... prook... prook...

Suara tepuk tangan memecah kebisuan yang ada.

Ku menoleh ke sumber suara. Pemandangan yang kurang mengenakkan terlihat.

Sesosok pemuda, kira-kira seumuran denganku berdiri tegap dengan jubah hitam panjang yang menutupi tubuhnya. Warna matanya merah darah dengan rambut acak-acakkan melintang arah. Kulitnya bahkan lebih putih daripada butiran salju, wajah tirusnya menampakkan sepasang tulang pipi nan menonjol dan yang menjijikkan cairan merah kental (Read : darah) mangalir di sudut bibirnya.

"Ternyata ada juga manusia yang berani mengancamku." pemuda yang tidak diketahui asal-usulnya itu menyeringai. Atmosfer semakin mencekam. Tunggu dulu, jika dia bilang 'manusia yang berani mengancamku' lalu dia ini makhluk jenis apa?

Mata merah darahnya beradu pandang dengan ruby manik milikku selama seperkian detik.

Seringaiannya semakin melebar menampakkan sederet gigi putih berkilaunya yang berbanjar rapi.

Sepasang taring kecil berkilau saat terkena cahaya lampu. "Manusia yang berani, tapi menyedihkan..." ucapnya.

Bush...

Dia menghilang dari pandanganku.

Bush...

"Argh..."

Mendadak dia sudah sampai dibelakangku lalu mengunci pergerakkanku.

"Darah yang manis... aromamu lebih menggoda dibandingkan darah saudara-saudarimu... sluurp..." dia menjilati leherku dari belakang.

"Ukh... apa yang kau lakukan tolol!" umpatku.

"Rasakan sensasinya..." hembussan nafas dingin menggelitik leherku.

"Sluurp..." dia terus-terussan menjilatiku seolah aku ini es krim baginya.

"ARGGH...!" leherku digigitnya.

"Darahmu manis... sluurp..." dia menghisap cairan merah kental itu sekuat mungkin.

Sakit...

Itu kata yang bisa ku deskripsikan. Darahku rasanya tersedot habis, tubuhku mati rasa, aku tak bisa merasakan apapun...

Darah dalam tubuhku digantikan oleh lelehan magma super panas.

Sakit sekali... Apa begini rasanya menghadapi kematian?

~The Vampire Schooling~

Author POV...

Tubuh Halilintar menegang saat pemuda itu menancapkan taring runcingnya ke urat nadi Halilintar. Darah mengucur deras dari lehernya membuat pemuda tak dikenal itu sumringah.

Dia terus menghisap aliran darah segar itu seolah tak mau kehilangan setetespun.

Halilintar tak sanggup memberontak, tubuhnya melemah bersamaan dengan masuknya zat racun yang diberikan sang pemuda tak dikenal melalui luka di lehernya.

Pemuda itu mengalirkan racun yang terkandung dari air liurnya ke tubuh Halilintar sebanyak mungkin.

Dia menghilang bersamaan dengan Halilintar yang terkapar.

Tubuhnya ambruk akibat kehilangan banyak darah, pemuda bermata ruby ini kejang-kejang dengan mata mendelik. Nafasnya memburu seolah sedang menghadapi kematian.

"Sakit..." ucapnya mencengkram baju miliknya.

"Panas!" dia menggeliat.

Tubuhnya membiru, seolah luka lebam menyelimutinya.

~The Vampire Schooling~

Halilintar POV...

Argh...

Panas...

Apa yang dimasukkannya dalam tubuhku? Seluruh organ milikku serasa ditikam ribuan jarum.

Tubuhku serasa dilempar ke kawah gunung berapi. Panas sekali, udara terasa pengap. Paru-paru tak bisa memompakan keluar karbon dioksida yang rasanya 'hampir' membunuhku.

Sakit ini...

Rasa panas ini...

Tuhan, maafkan aku jika banyak berbuat dosa. Jika benar kini tiba ajalku, aku rela... aku ikhlas...

Tubuhku tak bisa lagi menahan rasa sakit ini. Pandanganku memburam dan...

Aku kehilangan kesadaran...

~The Vampire Schooling~

Author POV...

Sepasang insan memandang kondisi rumah dengan kaget. Geraman halus terdengar nyaring di rumah nan sunyi ini. Pria dewasa itu memeluk erat sang wanita. Iris emasnya berkilat dipenuhi amarah.

Dibawanya keenam orang korban pemuda tak dikenal pergi entah kemana.

"Maafkan kami, sayang..."

~To Be Continue~

Kyaa... akhirnya selesai juga. Gimana? Ada yang suka? Atau ada yang gak suka?

Sekali lagi Ocha tegaskan, fic ini sudah di post di grup Facebook dengan judul yang sama tahun lalu.

Hm, nanti ada beberapa scene yang mirip di film Twilight *abis Ocha terinspirasi dari situ. Tapi gak semuanya kok, cuma beberapa... Fic Oh My Ghost Ocha gantungin dulu yak *dilempar ke jurang. Kemungkinan cerita Oh My Ghost dilanjutin minggu depan *digiles.

Oke segitu dulu, sekian Terimakasih...

So? Mind to review?

Ocha gak terima flame dan antek-anteknya :v

Silahkan berkomentar dengan sopan santun :)

Salam kiyut :)

~Ochandy~