Perjumpaan kita bagai telah tersurat takdir,
Di mana diri kita di masa lalu pernah sama-sama menginjakkan kaki di sini
Ketika hujan tak lagi turun,
lalu padang bunga ini berubah menjadi gurun tandus,
kita sama-sama meninggalkannya tanpa jejak yang nampak
.
.
.
THORN FLOWER
Bagian 1
BTS fanfiction
Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit
Minyoon
.
.
.
Tahun 2005
Aku tak suka meninggalkan rumahku, karena tak pernah ada kejujuran dari mereka yang di luar sana. Maka dari itu jarang sekali aku keluar rumah, kecuali ada hal-hal yang mengharuskanku melakukannya.
Tapi kali ini aku pergi tanpa mengingat alasannya. Ketika bis berhenti di sebuah halte, aku turun bersama penumpang lainnya. Tibalah aku di sebuah tempat yang tak pernah kudatangi, tapi seperti kukenal. Seperti aku pernah datang di suatu waktu. Awalnya aku memang mengira aku tersesat. Tapi kakiku melangkah tanpa ragu menyusuri jalan yang cukup sepi itu, dan berhentilah aku di depan sebuah rumah yang penuh dengan bunga, di mana ada seorang pria juga berhenti di depanku ketika aku hendak membuka pagarnya. Dan itu kau.
Semerbak aroma bunga begitu menyengat tercium ketika aku memasuki rumah itu. Dindingnya diberi tralis untuk menggantung bunga-bunga begonia yang tumbuh jatuh mengikuti gravitasi. Dominan warna merah salmon. Katamu saat itu sedang masanya begonia mekar. Pantaslah semua yang kulihat hanyalah kembang gantung itu.
Aku berkali-kali merasa heran, mengapa seorang lelaki sepertimu memelihara begitu banyak bunga dan tanaman hias di rumahmu. Baik penampilan atau pun perilakumu sama sekali tidak menunjukkan kalau kau suka bunga.
Aku lupa kalau kita baru saja bertatap muka sepuluh menit lalu, dan aku belum tahu apa-apa tentangmu. Aku hanya menerka.
Masuk ke dalam ruangan berdinding kaca yang kau tuntun, aku menjaga langkahku dan merapatkan diri padamu, menarik sedikit dari kemeja hitam yang kau pakai. Takut menyenggol bunga-bunga di sekitarku yang mungkin akan rusak karena langkahku sembrono. Bagaimanapun, mungkin saja kau akan marah ketika bunga yang sedang mekar-mekarnya itu jatuh dan terinjak.
"Tunggu di sini, akan kuambilkan teh."
Kau menarik sebuah kursi kayu untuk kududuki. Kulihat ada satu lagi kursi yang tak terisi, ditengahnya ada meja bundar dengan empat kaki. Semua berwarna putih, klasik.
Aku duduk tepat menghadap pada halaman rumahmu yang asri.
Denting dua cangkir keramik yang beradu kecil menarikku kembali dari lamunan, rupanya kau telah kembali dengan membawa nampan. Dua cangkir keramik putih dan teko yang serupa ada di atasnya. Mungkin aku terlalu larut karena bunga-bunga gantung yang semarak, sehingga waktuku menunggumu bagai hanya beberapa saat saja.
Syuur! Kau menuang teh berwarna bening kekuningan ke dalam gelasku sesaat setelah kau duduk di kursimu. Lalu kau menuang teh itu ke dalam cangkirmu sendiri. Aku amat asing dengan rupa dan aroma teh itu, tapi kau seperti sudah bisa menebak apa yang kupikirkan. Kau tertawa.
"Itu teh krisan..."
Aku mengangguk. Yah, untuk orang sepertiku teh hijau atau teh hitam saja sudah cukup untuk kuketahui.
Kedua tanganmu kau lipat di atas meja dan tatapanmu kau arahkan padaku. Aku jadi kikuk, tak yakin untuk menyesap teh krisan yang kau suguhkan, padahal cangkirnya telah kupegang dan hampir menyentuh bibirku. Aku tak biasa dipandangi, apalagi oleh orang sepertimu. Kau lelaki yang menawan. Malah aku yang ingin mencuri potret dirimu dengan memandangmu lurus sejajar. Tapi aku tak berani.
"Oh ya, siapa namamu?"
"Min Yoongi."
"Oh! Apa kau Min Yoongi yang itu?"
"Ya?" aku mengangkat wajahku atas pertanyaanmu.
"Min Yoongi yang... lukisannya pernah masuk koran nasional Februari tahun lalu?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku suka lukisanmu. Bahkan korannya masih kusimpan sampai sekarang. Sebentar, kuambil dulu."
Aku lupa untuk menanyakan siapa namamu. Bahkan ketika kita bertemu di depan rumahmu tadi, kita tak saling bertanya nama.
Mungkin kau tak akan marah jika aku bangkit dari dudukku dan meninggalkan kursi itu untuk mendekati kaca yang bening dan bersih di sana. Seperti bukan kaca, seperti tak ada pembatas antara tempatku duduk, dan halaman berbunga di luar sana.
'Waktu adalah dupa yang kau sulut'
Kubaca sebaris kalimat yang tertulis di kaca bening itu. Ditulis tangan dengan spidol putih. Pantas tak terlihat dari kejauhan.
"Lihat ini. Aku masih menyimpannya dengan baik."
Kau kembali dengan membawa koran yang kau maksud. Aku duduk lagi di tempatku.
Alih-alih melihat selembar koran yang kau tunjukkan, aku malah menelisik wajahmu. Merasa aneh karena kau tak bertanya apa keperluanku datang ke rumahmu. Satu hal yang sebenarnya sangat ingin kutahu juga, karena aku sendiri tanpa sadar sudah datang kemari. Seperti tanpa alasan. Tapi tak mungkin begitu.
"Oh ya, apa kau ada perlu denganku? Sebelumnya jarang ada yang datang ke rumah ini."
Kau baru menanyakan hal itu setelah menyuguhkan teh dan membahas lukisanku? Kukira seharusnya kau menanyakannya lebih awal. Bagaimana jika orang yang datang ke rumahmu adalah orang jahat, dan kau dengan ramahnya mempersilakan orang itu masuk ke rumahmu? Seperti yang kau lakukan padaku.
"Aku... Tersesat." itulah jawaban yang kuucapkan.
"Hmm? Tersesat? Lalu sebetulnya kau mau ke mana?"
"... Tidak tahu."
Ucapanku seperti seseorang yang habis kena hipnotis. Jangan-jangan aku memang kena hipnotis di jalan?
Ahh, rasa-rasanya mustahil. Aku tidak membawa barang berharga apa pun di kantung kecilku.
"Kukira kau memang ada perlu denganku. Umm... apa kau kabur dari rumah?"
"...tidak."
Aku menunduk dan menggelengkan kepala. Tidak mungkin aku kabur dari rumah yang hanya kutinggali sendirian.
"Emm..." gumamku.
"Ada apa?"
"Kau belum menyebutkan namamu..."
"Ahaha, betul juga. Namaku Park Jimin."
"Park Jimin?"
"Hu-um."
Park Jimin...
Sepertinya aku ingat sesuatu.
"Bukankah kau Park Jimin yang karyanya pernah masuk koran juga?" kuberanikan untuk bertanya karena aku pernah melihat namamu terpampang di sudut sebuah foto di koran terbitan lama. Aku ingat itu, kau memotret sehamparan padang bunga yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah pohon mati, tanpa objek manusia. Potret senja yang nampak sendu.
"Masuk koran? Aku tidak ingat."
Agak tak wajar jika seseorang tak ingat akan karyanya pernah muncul di media massa. Bagaimana pun bagiku itu seperti sebuah pencapaian yang besar, tak mungkin jadi hal yang biasa saja dan dengan mudah dilupakan.
Tapi mungkin kau adalah tipe yang cuek, kukira.
"Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu."
"Aneh, ya? Seperti ada suatu keajaiban yang mempertemukan kita." kau menggerakkan tanganmu seperti kuncup bunga yang merekah. Apa bagimu keajaiban memang seperti itu?
Krincing, krincing! Suara bel kecil terdengar semakin mendekat ketika seekor kucing berlari kecil ke arah kami. Mungkin itu dari kalung di lehernya.
"Kemari, Makkun!"
Kau turun dari kursimu lalu berjongkok untuk meraih kucing itu. Kau angkat tubuhnya seraya berdiri, lalu kau belai kepalanya.
"Kenalkan, ini Makkun. Makkun, ini Yoongi." katamu lucu mengenalkan aku pada kucingmu.
Setelah dilihat dari dekat ternyata ukuran tubuh kucing itu tiga kali lipat kucing biasanya.
"Itu kucing jenis apa? Besar sekali."
"Dia ras maine coon."
"Aku tidak pernah melihat kucing sebesar itu secara langsung." ucapku jujur.
"Kau mau menyentuhnya? Dia tidak galak, kok."
Kucing itu menatapku. Tanpa kukatakan setuju, kau menaruh kucing itu di pangkuanku. Dia berputar-putar dahulu sebelum akhirnya duduk dengan nyaman. Kau tertawa. Katamu kucing itu tak terlalu suka dengan manusia, kecuali yang sudah dia kenal. Saat kulihat dia mulai tidur, aku berpikir kalau aku dan kucing itu memang saling mengenal. Ahh, tapi itu tak mungkin.
"Yoongi."
"Ya?" aku menoleh. Kau tengah mengulas senyum padaku.
"Tidak, senang saja rasanya memanggil namamu." ya, kau panggil aku dengan akrab.
Biasanya aku tak suka dipanggil begitu oleh orang lain, tapi beda denganmu. Mengapa seperti muncul sesuatu dalam hatiku, bahwa aku ingin kau menyebut namaku lagi seperti itu?
"Uhh, lihat itu. Sebentar lagi kau pasti akan tertidur lelap di pangkuan Yoongi..." ucapmu pada kucing yang sedang kubelai. "Pegal, tidak? Kalau pegal biar kusuruh dia turun." tawarmu.
"Tidak apa-apa. Biarkan saja dia tidur sebentar..."
"...aku iri."
Entah mengapa tatapanmu jadi sama dengan tatapan kucing itu saat melihatku pertama kali.
"Kenapa?"
"Ng... kenapa ya?"
"Hei... kau mau mengerjaiku, ya?"
"Tidak, aku hanya mau bilang aku iri karena Makkun begitu jinak padamu." kekehmu.
Aku tersenyum masam. Kekehmu berubah tawa. Setelahnya aku mengedarkan pandanganku pada bunga-bunga di luar sana.
"Kau mengurus semuanya sendirian?"
Kau mengikuti arah pandangku pada kembang-kembang itu, lalu tersenyum dan menghela napas.
"Ya. Sendirian." ada segaris sendu dalam pandangmu. "Kau datang di saat yang tepat ketika aku sedang kesepian gara-gara Makkun tak pulang selama beberapa hari." tapi kemudian kau menangkup wajahmu dengan kedua tangan seperti anak-anak.
Aku yang awalnya tersipu jadi ingin tertawa mendengar ujung kalimatmu. Jadi semua salah si kucing besar ini? Kucubit pipi Makkun yang kenyal, dia tak protes sama sekali.
"Aku sangat kesepian kalau tidak ada dia."
Kata-katamu seperti menyiratkan kalau kau tak punya teman. Kukira orang yang ramah dan menawan sepertimu adalah orang yang memiliki lingkaran pergaulan yang luas. Kukira kau suka pergi keluar bersama teman-temanmu. Tapi melihat bunga-bunga yang katanya kau urus sendiri, kau lebih nampak seperti orang rumahan. Benar, kan?
Kalau begitu kita tak jauh beda. Sama denganmu, aku pun lebih suka berada di rumah. Rumah adalah suatu perlindungan bagiku. Selain karena aku takut macam-macam, dan sering mencemaskan banyak hal. Hanya rumahlah yang menjauhkanku dari perasaan itu.
Tapi berada di rumahmu, sama nyamannya seperti berada di rumahku sendiri.
Aneh.
Bahkan aku sempat lupa kalau aku sedang bertamu, kalau tidak kulihat ponselku untuk mengecek waktu.
Pukul dua siang, aku memutuskan pulang.
"Aku sangat senang bertemu denganmu."
"Ya, aku juga. Maaf sudah merepotkan."
"Datanglah kemari kalau kau rindu padaku." ucapmu jenaka.
Kita saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan hari itu.
Laki-laki sepertimu, laki-laki penyuka bunga sepertimu, baru kali ini kutemui. Tapi ketika kembali ke halte itu, dan menaiki bis yang kebetulan akan langsung berangkat ketika aku sampai, aku merasa telah lama mengenalmu, hanya terpisah jarak dan waktu hingga tak pernah lagi bertemu.
Drrt! Ponselku bergetar. Kulihat pesan masuk yang ternyata itu darimu.
'Hati-hati di jalan, Yoongi. Kalau tersesat kembai lagi saja ke rumahku.'
"Hihi."
Aku baru ingat kalau kita sempat bertukar nomor telepon sebelum aku pulang. Bertukar nomor telephon pribadi. Benar kan? Kita seperti teman lama saja.
Semua yang kulihat padamu dan rumah itu, seperti memiliki tempat khusus di berkas-berkas memoriku.
"Pak, bis ini lewat Boweri, 'kan?"
"Iya."
Setelah mendengar jawaban sopir bis itu aku merasa lega karena bis yang kunaiki melewati tempat tinggalku. Aku berjalan sambil berpegangan karena bis sudah melaju sebelum aku duduk. Banyak bangku yang kosong, tapi aku lebih memilih duduk paling belakang, di samping jendela.
Hanya saja, ada yang janggal di penglihatanku.
Kurasa tempat yang kududuki sama seperti ketika aku datang. Juga penumpang lain yang... menumpang bis yang sama denganku sebelumnya. Yang paling mencolok adalah anak kecil berjaket kuning dengan topi merah di depanku.
Aku mengusap-usap wajahku resah.
"Kakak kenapa?" tanya anak itu berhasil membuatku terkejut. Aku diam tak mampu berkata. Apalagi ketika ibunya ikut menoleh ke arahku.
Sepertinya aku hanya berhalusinasi. Ya. Mungkin yang sebelumnya kulihat hanyalah halusinasi.
.
.
.
THORN FLOWER
.
.
.
Kulihat segenggaman bunga yang kupegang berubah menjadi abu dilahap api, dan tanganku ikut terbakar karenanya.
.
.
.
Setelah pertemuan itu, kita sering berbalas pesan dan aku selalu datang ke rumahmu di akhir minggu, atau ketika kau ingin aku datang kapan pun itu. Kita menjadi dekat, aku tak lagi ragu untuk menatapmu lurus, dan aku tak menyesal akan itu. Karena ketika aku mengangkat wajahku, kau akan selalu memberiku senyuman yang teduh.
Tapi akhir-akhir ini aku melulu bermimpi buruk.
Mimpi buruk itu sudah dua kali mendatangi malamku. Jika di hari ke tiga aku mendapat mimpi yang sama, aku berniat untuk datang menemuimu. Itu yang kupikirkan dua hari lalu. Dan benar saja, mimpi itu datang lagi semalam. Mimpi yang persis sama. Akhirnya kuputuskan untuk pergi. Mungkin saja kau mau mendengarkan cerita tentang mimpiku yang aneh, pikirku.
Aku menghubungimu lewat pesan singkat. Tak tahu bagaimana, aku merasa kalau kau akan mengizinkanku datang ke tempatmu walau kau belum membalas pesanku sama sekali setelah setengah jam. Ini bukan kali pertama responmu tak cepat dalam balas-membalas pesan. Aku maklum. Malah aku takut mengganggu sebenarnya. Tapi, aku ingin menemuimu. Aku ingin bercerita. Selain itu, jujur saja aku merasa rindu untuk bercengkrama dengamu.
'Kutunggu. Beritahu aku kalau kau sudah dekat rumahku.'
Kukenakan sepatuku setelah membaca sebaris pesan balasan darimu.
.
.
.
THORN FLOWER
TO BE CONTINUED
Fanfic ini pernah dipublikasikan di wattpad dengan cast berbeda. Sekedar mengenang tulisan saya jaman heubeul hehehe. Ini dibuat sekitar tahun 2014. Masih cupu bangettt~ dan rasanya tulisan saya yang dulu bukanlah yang sekarangg~ (malah nyanyi)
