Disclaimer : Hidekaz Himaruya
Rating : Pengennya sih, T. Bisa berubah sewaktu - waktu tergantung mood Author.
Warning : Author newbie, jadi banyak TYPO dan aneh. Abal2 dan tidak masuk di akal. Ini percobaan nekad dari author yang baru ngeh dikit tentang hetalia. *ditimpuk pake batubata se-truk*
Sinopsis:
Arthur Kirkland melihat seorang gadis manis yang selama ini tak pernah dilihatnya di sekolah. Untuk pertama kalinya, Arthur tertarik pada gadis Asia yang manis itu. Sementara gadis itu menyembunyikan sesuatu yang besar dari semua orang di Hetalia Academy. Apa yang sebenarnya gadis itu sembunyikan? Bagaimana selanjutnya kisah gadis itu dengan Arthur? Apa rencana acara Pekan Olahraga yang diadakan dua bulan lagi akan kacau berantakan? Baca aja yuk! Jangan lupa baca WARNING nya yaaa...
—OOOoooOOO—
ARTHUR POV
Ada yang lain, beda, entah apa lagi kata yang bisa menggambarkan dirinya dimataku saat ini. Dia terlihat... manis? Entahlah, aku bingung. Aku tak ingin terus memandanginya seperti ini. Tapi, mataku tak ingin lepas darinya. Tidak biasanya aku tertarik dengan anak dari benua Asia. Tidak, aku tidak pernah tertarik. Tapi, gadis itu beda.
Cara dia tertawa, berbicara, bahkan kerlingan matanya berbeda dari gadis Asia yang selama ini aku temui. Siapa? Siapa dia? Kenapa aku tak pernah bertemu dengannya? Apa dia murid tahun ajaran baru? Tapi, dasi itu milik murid kelas 2. Aku yakin aku pasti ingat jika dia seangkatan denganku. Tapi, aku tak pernah melihatnya setahun ini.
Gadis dengan rambut hitam legam yang digulung rapi diatas tengkuknya, dengan bibir mungil berwarna merah seperti kelopak mawar yang menampakkan senyum ramah, dan semua keindahan lain yang membuatku terpana. Tanganku terasa gatal ingin menggenggam tangan yang terlihat mungil itu. Tubuhku ingin merengkuhnya dalam kehangatan. Ah, rasanya aku sudah gila bisa memikirkan hal itu bersama gadis itu.
Tatapanku semakin tidak bisa lepas darinya. Kulitnya yang terlihat halus berwarna kuning langsat membuatku ingin mencoba menyentuh kulitnya itu. Pipinya yang terlihat berisi membuatku ingin mencubitnya. Sosoknya begitu manis dan menggemaskan dalam satu waktu membuatnya menarik perhatianku lebih dalam lagi.
Astaga, aku harus menghentikan ini semua. Aku mulai tidak waras dan terdengar seperti Francis. Pasti datanya ada di ruang OSIS. Ya, aku tinggal mencarinya disana. Apa gunanya memiliki jabatan jika tidak bisa memanfaatkannya dengan baik seperti itu? Tidak, aku bukan orang bodoh yang tidak bisa memanfaatkan potensiku. Aku personifikasi Britania Raya, aku adalah yang terhebat diantara seluruh personifikasi lain.
"Kaicho? Kau tak apa? Sedari tadi kau melamun melihat ke arah jendela. Apa ada masalah?" Kata Kiku menyadarkanku dari lamunan karena langkah kakiku terhenti di lorong sekolah ini. Pria Asia itu menatapku dengan tampang polosnya yang membuat para wanita bisa berteriak gemas.
"Tak ada masalah. Ayo kita lanjutkan." Ucapku lalu melangkahkan kaki jenjangku cepat menuju ruang rapat OSIS.
Semua orang memberikan jalan untukku. Mereka sedikit menunduk dan menatapku dengan hormat. Tentu saja mereka harus hormat kepadaku, sang pemegang handband dan cincin ketua OSIS yang legendaris. Dan yang pasti aku tidak seperti Francis, ketua sebelumnya yang hampir tidak punya wibawa dihadapan seluruh murid.
Kiku hanya menatapku heran. Namun akhirnya tetap mengikutiku pergi. Ruang rapat OSIS sudah berada di depan mata. Langkahku terhenti begitu saja ketika melihat gadis yang tadi aku lihat dari jendela kini berada di depan ruang rapat. Dia tersenyum manis ke arahku dan berlari kecil mendekatiku. Lalu—
"Kiku!" Teriaknya melewatiku mendekati Kiku yang tertinggal dibelakangku.
"Lho? Kau Nesia kan?" Seru Kiku membalas sapaan gadis itu.
Gadis itu mengangguk senang dan terus membelakangiku. Apa - apaan itu?! Kenapa Kiku bisa mengenal gadis itu? Kini aku berbalik menghadap mereka.
"Apa kabarmu, Kiku?" Tanya gadis yang disapa Nesia oleh Kiku tadi.
"Baik. Kenapa kau bisa ada disini? Bukankah kau harusnya masih di negaramu?" Kata Kiku heran.
"Ayah yang mengirimku. Menyebalkan sekali! Katanya aku harus belajar bersosialisasi dengan banyak personifikasi yang lain disini bersama adikku, si Malay. Sepertinya itu hanya alasannya agar adikku itu tidak sendirian. Ayah memang selalu lebih sayang pada adikku itu." Kata Nesia dengan nada sebal yang kentara.
"Hahahaha... tapi bagus kan? Kau jadi bisa bertemu denganku di sini." Kata Kiku dengan tawa renyahnya. Tidak biasanya Kiku yang pemalu itu terlihat akrab dengan wanita.
"Iya sih... tapi aku kan jadi harus bertemu si Londo itu lagi." Kata Nesia dengan nada sebal yang lebih kentara dari yang tadi.
"Londo? Maksudmu Willem? Ah, ini kan memang tempat belajar para personifikasi. Tenang saja, Nesia. Kalau dia berbuat macam - macam padamu dan kau butuh bantuan panggil saja aku." Kata Kiku yang sepertinya mengerti kegelisahan gadis itu.
"Terimakasih. Kau memang sahabatku yang terbaik." Kata Nesia dengan nada lembut. Aku suka nada suaranya, tapi begitu sadar itu bukan ditujukan untukku, rasanya menyebalkan sekali.
"Ehm!" Aku menegaskan kehadiranku yang dari tadi tidak mereka perhatikan.
"Ah, maaf, Kaicho. Nesia, sudah dulu, ya! Aku masih ada rapat dengan ketua OSIS." Kata Kiku yang akhirnya sadar aku menunggunya dari tadi.
Gadis bernama Nesia itu pun menyadari kehadiranku dan melihatku sekilas lalu tersenyum sopan sebelum melambaikan tangan kepada Kiku. Aku kesal. Kenapa aku hanya mendapatkan senyum sopan?!
Sepanjang rapat yang membahas kegiatan pekan olahraga yang akan dilaksanakan dua bulan dari sekarang ini aku tidak dapat berkonsentrasi. Mood-ku memburuk sejak tahu jika Kiku lebih mengenal gadis itu. Apa hubungan mereka? Kenapa mereka juga menyebutkan nama Willem? Apa disini hanya aku yang tidak mengenalnya?
Semua orang di ruang rapat hanya bisa pasrah melihat mood jelekku. Alfred yang biasanya mengunyah burger juga ikut - ikutan diam dan tak berani menatapku. Rapat hari ini selesai tanpa membuahkan hasil karena aku menolak semua ide yang dilontarkan untuk acara itu. Mau bagaimana lagi? Aku sedang kesal.
Satu persatu semua yang hadir meninggalkan ruang rapat. Yang tersisa hanya aku, Alfred sang wakil ketua OSIS dana Kiku sang Bendahara. Alfred dan Kiku sedang membereskan barang - barang mereka dan tidak berani menggangguku. Karena suasana yang jadi sangat tidak enak, Alfred mencoba untuk membuka pembicaraan.
"Hei, Kiku. Kau tahu tidak, Nesia ada disini? Tadi dia salah masuk ke kelasku." Kata Alfred mulai membicarakan gadis itu. What?! Alfred juga sudah mengenal gadis yang bernama Nesia itu?!
"Iya, aku sudah tahu. Tadi aku bertemu dengannya di depan sini. Dia jadi tambah cantik." Kata Kiku menceritakan pertemuannya dengan gadis itu tadi.
"Lho? Kau tak bertemu dengannya di kelas? Bukankah kalian seharusnya sekelas di kelas Asia ya?" Tanya Alfred heran.
"Seharian ini aku di perpustakaan menemani Kaicho mencari petunjuk tentang kasus hilangnya burung milik Gilbert dan troll milik Lukas. Yah, walaupun aku sendiri tak bisa melihat troll milik Lukas sih. Tapi, aku rasa mereka benar - benar menghilang karena Lukas dan Gilbert terlihat tak bergairah belakangan ini." Jawab Kiku.
"Oh, pantas saja. Ah, aku jadi iri padamu, Kiku. Aku juga mau sekelas dengan Nesia."
"Ah, besok kita bertemu saja di kantin saat jam istirahat. Kan jam segitu kau bisa bebas bertemu dengan kami, para murid dari kelas Asia."
"Ide bagus! Aku ingin bercerita banyak tentang kejadian di Papua dulu saat aku menjadi Hero untuknya. Aku kan memang hero untuk semua orang."
"Iya, aku juga ingin bernostalgia dengan masa - masa saat dulu aku masih menjadi saudara tuanya."
BRAKK... Aku menggebrak keras meja di hadapanku. Aku tak ingin mendengar lebih banyak lagi fakta yang tidak aku ketahui, sementara orang lain sudah mengetahuinya lebih lama. Tidak, aku hanya tidak suka mengetahui bahwa orang lain lebih tahu akan sesuatu daripada diriku. Aku keluar dari ruang rapat dengan wajah yang tambah masam. Aku dengar Kiku dan Alfred berbisik di belakangku.
"Ada apa dengan Arthur hari ini?" Bisik Alfred.
"Entah. Sejak di lorong tadi Kaicho sudah aneh." Bisik Kiku.
Aku melangkah dengan cepat menelusuri lorong sekolah menuju ruang OSIS. Setelah sampai, aku kunci pintu ruang OSIS dan ku acak - acak dokumen yang memuat data tentang seluruh siswa yang aku terima sabtu lalu. Saat itu aku memang lelah dan hanya menumpuknya disini.
Ruangan berukuran cukup besar ini memiliki furniture dan desain yang sangat mewah. Ada sofa besar beserta meja tamu di pojok dekat pintu. Di sebelahnya terdapat lemari besar yang memajang tea set mewah yang sangat langka. Di sebrang lemari, terdapat dapur kecil dengan mesin mencuci piring otomatis dan lemari yang memajang peralatan makan mewah. Lalu, di pojok yang lain, terdapat lima meja kerja yang membentuk huruf U dengan mejaku sebagai pusatnya. Seluruh furniture yang ada disini adalah kualitas terbaik dari para produsen terbaik.
Segera aku cari data anak bernama Nesia itu dari data yang aku ambil dari lemari di pojok ruangan yang bersebelahan dengan meja milik Alfred. Namun, setelah 10 kali membolak - balik seluruh data berawalan huruf N, aku tak kunjung menemukannya. Siapa sebenarnya anak itu? Dengan pasrah, aku mencarinya dari Awal huruf A. Ada ratusan bahkan ribuan siswa disini. Mungkin aku akan menemukannya saat jam sudah berdenting 12 kali.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam saat aku membuka data berawalan huruf K. Itu artinya aku sudah mencarinya selama 4 jam. Aku sudah lelah, namun rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Mataku membulat ketika akhirnya aku temukan gadis itu.
Kirana Kusnapharani alias Nesia berasal dari negara bernama Indonesia. Hmm... rasanya aku tak tahu negara itu. Dia memiliki beberapa saudara. Tinggi badan 155 cm. Pendek sekali! Astaga, dia itu manusia atau kurcaci? Berat badan 47 kg dan selalu memakai jepit berbentuk bunga melati. Hah? Melati? Rasanya aku pernah tahu bunga itu. Dia masuk sekolah ini dengan mendapatkan beasiswa anak yang memiliki kemampuan spesial. Kemampuan apa itu? Aku tak pernah tahu ada beasiswa itu. Lalu, tak ada lagi informasi tentangnya.
Aku mengacak - acak rambutku dengan frustasi. Sedikit sekali informasi yang aku dapat setelah mencari selama ini?! Agh, sepertinya aku harus mencarinya dengan cara lain. Aku tutup semua dokumen yang aku acak - acak dan merapikannya lagi. Aku segera keluar dari ruang OSIS dan menuju kamar asramaku.
Kakiku baru saja melangkah keluar gerbang sekolah saat sekelebat bayangan putih melintas dengan cepat di depanku. Apa itu? Baru kali ini aku melihat bayangan putih dengan tawa melengking. Aku penasaran dan mengikutinya. Makhluk itu berhenti di pekarangan belakang asrama perempuan. Aku mengintip dari balik pohon yang tak jauh dari tempat makhluk itu berhenti. Sepertinya ada seseorang yang berbicara dengan makhluk aneh yang menyeramkan itu. Aku memasang telingaku baik - baik.
"—Iya, aku kehilangan jejaknya lagi. Sepertinya ada kekai yang menghalangi tempat itu." Kata makhluk aneh dengan baju putih dan rambut panjang berantakan itu.
"Baiklah. Nanti akan aku laporkan kepada kepala sekolah. Terimakasih bantuannya hari ini, Teh Unti. Nanti aku akan menyiapkan mawar dan melati kesukaanmu di pojok kamarku untuk kau nikmati." Kata seorang perempuan yang berbicara dengan makhluk itu.
Setelah berkata begitu, makhluk yang dipanggilnya Teh Unti itu menghilang dan menyisakan bau menyengat yang tak asing bagiku. Dulu aku pernah mencium bau ini. Dimana ya? Aku berusaha mengingat bau apa dan dimana aku menciumnya.
Ah, ini bau kemenyan yang pernah aku cium di negeri yang memiliki bunga langka yang indah namun berbau sangat busuk itu. Aku pernah menciumnya di Nusantara. Tapi, seingatku tidak ada lagi negara bernama Nusantara. Aku terus mengintai perempuan yang tadi berbicara dengan makhluk aneh itu. Karena galap sekali, wajahnya tak terlihat.
Gadis itu kemudian berjalan menuju asrama. Saat cahaya lampu menyinarinya, barulah wajah gadis itu dapat aku kenali. Tenggorokanku tercekat begitu melihatnya. Nesia?!
—OOOoooOOO—
NORMAL POV
Nesia yang tidak sadar ada orang yang memperhatikannya melenggang masuk ke kamarnya dengan santai. Sementara itu, pria yang memperhatikannya tampak syok dan membeku dibalik pohon. Arthur terlalu terkejut dengan kenyataan gadis Asia yang diperhatikannya sore ini ternyata berasal dari Nusantara. Terlebih lagi dia bisa berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, sama seperti dirinya. Apa ini yang dimaksud dengan kemampuan spesial dalam beasiswa itu?
Arthur baru meninggalkan tempat itu sekitar 30 menit kemudian karena nyamuk yang terus menjadikannya donor untuk diisap darahnya. Sementara itu, Nesia sudah menyiapkan sesajen yang dijanjikannya untuk Teh Unti yang telah membantunya dalam penyelidikan rahasia yang diminta oleh kepala sekolah. Itu adalah penyelidikan yang tidak tega ditolak ayahnya yang kemudian dengan seenak jidatnya memindahkan Nesia kesini dengan alasan untuk menemani adiknya.
Nesia sama sekali tidak tertarik dengan sekolah yang dianggap sebagai pelopor pendidikan bersosialisasi dalam kedamaian untuk para personifikasi ini. 'Pendidikan bersosialisasi kepalamu peyang! Apanya yang pendidikan sosialisasi jika kelas saja dipisahkan menurut benua negara asal?!' Nesia terus menggerutu dalam hati.
Tapi, Nesia sedikit bersyukur juga karena dia tidak harus melihat Willem setiap hari di kelas. Hari ini Nesia lelah sekali. Baru hari pertama sudah nyasar, salah masuk kelas, lupa bawa bekal pula. Lengkap sudah penderitaan Nesia hari ini.
Srekk... terdengar suara kertas yang tidak sengaja jatuh dari tas Nesia. Kertas mengenai perminatan klub dan organisasi. Nesia jadi ingat percakapannya dengan kepala sekolah tadi sore.
"Setidaknya cobalah salah satu klub atau organisasi di sekolah ini. Atau jika kau ingin membuat klub sendiri juga boleh. Buatlah dirimu nyaman di sekolah ini." Ujar kepala sekolah tadi sore.
"Terimakasih, tapi aku hanya menjalankan tugasku saja disini." Jawab Nesia dingin.
Nesia memang tidak berniat lama disini. Setelah tugasnya selesai, ia berniat kembali ke negaranya dan menjalani hidup damai seperti sebelumnya. Nesia tidak ingin lagi menjalani hari melelahkan seperti ini. Tenaganya habis terkuras hanya untuk memanggil Teh Unti.
Ya, untuk memanggil penjaganya yang satu itu memang diperlukan tenaga yang cukup besar karena harus melintasi lautan yang luas dengan jarak yang cukup jauh. Maka dari itu, sebisa mungkin Nesia ingin agar penjaganya yang satu itu betah berada di pulau terasing ini. Agar tenaganya tidak lagi habis terkuras untuk memanggilnya kemari.
Setelah mandi dan berganti pakaian, akhirnya Nesia tertidur dengan pulas tanpa memikirkan pekerjaan rumahnya. Dirinya sudah terlalu lelah untuk mengerjakan tugasnya itu. Toh, menurut Nesia paling dirinya hanya akan kena marah atau ditambah tugasnya. Dia tidak akan pernah dikeluarkan dari sekolah walau apapun yang terjadi dengan prestasinya sampai pekerjaannya beres.
Sementara itu, Arthur yang baru saja sampai di kamarnya langsung mendinginkan kepalanya di bawah shower. Ia harus membuat kepalanya menjadi normal kembali. Terlalu banyak kenyataan mengejutkan yang harus diterimanya dalam satu waktu. Pikiran dan perasaannya berkecamuk menjadi jalinan benang yang lebih kusut dari tumpukkan benang di gudang barang bekas di rumahnya.
'Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengannya besok? Apa yang akan aku katakan? Bagaimana aku akan bersikap? Apa aku harus menganggap kejadian itu tidak pernah ada? Apa aku harus bersikap seolah aku benar - benar tidak tahu apa - apa tentang dirinya? Tunggu, aku memang tak tahu apa - apa lagi tentang dia. Agh, aku pusing!' gerutu Arthur dalam hatinya. Semua pertanyaan itu terus muncul dalam benaknya.
Arthur baru keluar dari kamar mandi satu jam kemudian saat kepalanya sudah lebih dingin dan tenang. Arthur hanya mengenakan celana boxernya untuk tidur karena dia sedang malas untuk berpakaian. Yah, meskipun itu bukan gaya Arthur sekali.
Satu hari telah berlalu. Keduanya mengalami hari melelahkan yang membuat siapa saja yang mengalaminya juga merasa harus tidur lebih dari 8 jam. Namun, kenyataannya Arthur dan Nesia hanya bisa tidur selama 4 jam. Keduanya terbangun bersamaan karena mendengar teriakan yang hanya bisa mereka dengar, meski mereka tak begitu yakin siapa yang berteriak. Makhluk tak kasat mata atau manusia biasa? Entahlah.
Arthur segera memakai celana training dan kausnya. Inilah yang membuat Arthur sebenarnya tak menyukai hanya memakai boxer, repot jika ada kondisi darurat yang mengharuskannya keluar dengan cepat. Arthur segera mencari sumber suara teriakan itu. Arthur terus berlari hingga keluar asrama. Setelah mendengarkan dengan seksama, ternyata suara itu berasal dari luar pagar halaman belakang sekolah yang merupakan sebuah hutan. Arthur sampai ke gerbang belakang yang selalu terkunci. Disana Nesia sudah datang dengan kebingungan.
"Teh Untiiiiii..." Teriak Nesia panik memanggil nama kuntilanak yang semalam Arthur lihat.
"Ada apa ini?" Tanya Arthur kebingungan.
"Itu, sahabatku berteriak minta tolong tadi. Sekarang suaranya sudah tidak terdengar lagi." Nesia terdengar panik.
"Gerbang ini memang selalu terkunci. Kita tidak bisa melewatinya." Kata Arthur santai setelah mengetahui bahwa memang bukan manusia yang berteriak membangunkannya sepagi ini.
"Jangan santai dong! Bantu aku menyelamatkan Teh Unti. Tanpa dia, aku—" Nesia buru - buru menutup mulutnya sebelum ia keceplosan menyebutkan tugas rahasia yang diberikan kepala sekolah kepadanya.
"Tanpa dia kau kenapa?" Tanya Arthur heran.
"Sudahlah. Yang penting selamatkan dia dulu!" Kata Nesia enggan mengatakan yang sebenarnya.
"Nanti siang saja. Aku masih mengantuk." Kata Arthur bersiap pergi meninggalkan Nesia.
"Oh, ayolah! Bantu aku menyelamatkannya!" Kata Nesia setengah memaksa sambil menahan tangan Arthur.
"Aku tidak bisa. Lagi pula, untuk apa aku membantumu menyelamatkan makhluk yang bahkan tak mungkin bisa kau pegang? Tidak ada untungnya untukku, Bloody hell." Kata Arthur keceplosan.
"Kau..." Nesia terdengar curiga. "Baiklah, akan aku coba sendiri! Dasar bule menyebalkaannn!" Kata Nesia akhirnya setelah terdiam selama 3 detik penuh.
Arthur hanya bisa menghela napas melihat usaha Nesia yang begitu gigih mencoba membuka gembok gerbang belakang. Sebenarnya Arthur juga curiga dengan hutan dibalik gerbang itu. Tapi, tak banyak yang bisa dilakukannya karena gembok itu bukan gembok biasa. Dia pernah mencoba membukanya, tapi kemudian dia sadar, ada segel lain yang menyelimuti gembok itu. Selain itu, ada kekai diluar pagar itu.
"Percuma kau melakukannya. Gembok itu memiliki segel yang tidak bisa kita hancurkan." Kata Arthur pada akhirnya memberi tahu Nesia karena tidak tega melihat usaha sia - sia Nesia.
"Kenapa tidak memberitahuku dari tadi kalau gembok ini punya segel?!" Semprot Nesia galak.
"Kau saja yang tidak mau mendengarkanku."
"Lalu apa yang harus aku lakukannn?"
"Aku akan mencoba mencari cara lain menghancurkan segel itu. Lagipula masih ada kekai dibalik pagar itu. Datanglah ke ruang OSIS sepulang sekolah nanti. Temui aku disana." Jawab Arthur dingin lalu melangkah pergi.
"Tunggu! Bagaimana aku bisa menemuimu jika aku bahkan tidak tahu dengan siapa aku bertemu nanti? Beritahu aku siapa namamu!"
"Arthur. Katakan saja kau mencari Arthur. Pasti semua orang akan mengantarkanmu padaku."
Dan mereka kembali ke asrama seolah tak ada yang terjadi. Hari sudah terlalu terang untuk Arthur memejamkan matanya kembali. Akhirnya Arthur memilih untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Tak lupa Arthur meresap kopinya sebelum melangkahkan kaki keluar asrama lagi dengan seragam dan tasnya menuju sekolah. Tapi, Arthur tak melangkah menuju kelasnya. Ia justru melangkah menuju perpustakaan. Arthur merasa kasus ini ada kaitannya dengan kasus yang sedang ia selidiki.
—OOOoooOOO—
NESIA POV
Aku tidak bisa tidur lagi. Bule menyebalkan bernama Arthur itu sungguh membuatku jengkel. Kanapa dia tidak memberitahuku sejak tadi?! Aku akan membalasnya nanti. Namun, rasanya aku tak asing dengan wajahnya. Ah, bodoh amat! Aku tak ingin memikirkannya.
Rasanya selain segel gembok itu, ada hal lain yang melindungi pagar itu. Ada semacam kekai yang melindunginya. Apa itu tempat yang dibilang Teh Unti semalam? Ah, karena lelah aku lupa menanyakannya. Akan aku cari petunjuk mengenai kekai dan segel itu. Lagi pula, bule menyebalkan itu berjanji akan membantuku meski tak tahu tujuanku yang sebenarnya.
Baik juga sih sebenarnya. Tapi, gayanya yang sombong itu lho. Ugh, menyebalkan. Aku segera mandi dan merapikan diriku. Karena waktu masih cukup banyak, akhirnya aku mengerjakan pekerjaan rumah yang tadinya tak ingin aku kerjakan. begitu sadar, waktu untuk berangkat sudah tiba.
Segera aku rapikan pekerjaanku dan berangkat ke sekolah. Mataku menangkap sosok yang aku temui kemarin. Kiku Honda, sahabatku yang juga personifikasi dari Japang. Sosoknya yang mungil sepertiku membuatnya mudah dikenali. Apalagi dia selalu berjalan bersama para bule yang tinggi. Dialah satu - satunya orang yang aku percaya saat ini disini, selain adikku sih. Aku berlari kecil menyusulnya.
"Selamat pagi!" Aku menepuk pundak Kiku begitu berhasil berjalan disampingnya.
"Selamat pagi, Nesia!" Sapa Kiku riang.
"Kiku, siapa dia?" Tanya seorang bule yang nampaknya periang disampingnya.
"Oh, iya. Kenalkan sahabatku dari Indonesia, namanya Nesia." Kata Kiku memperkenalkanku.
Aku tersenyum sebelum menjabat tangan mereka. "Nesia." Kataku memperkenalkan diri.
"Aku Feliciano Vargas!" Kata bule berambut coklat yang periang itu.
"Ludwig. Ludwig Beilschmidt." Kata Bule paling tinggi diantara mereka. Dari caranya berbicara, aku tahu dia orang yang sangat tegas. Dan lagi aku melihat handband merah di tangan kanannya yang menandakan dia ketua Dewan Keamanan.
"Oh iya, Nesia. Hari ini kita istirahat bareng, yuk! Ada yang ingin bertemu denganmu." Kata Kiku riang.
"Siapa?"
"Itu lho si Alfred."
Begitu mendengar nama Alfred, pikiranku selalu melayang membayangkan sosok pemuda berkacamata yang selalu mengunyah burger. Ah, iya juga. Sudah lama sekali sejak terakhir aku bertemu dengannya.
"Oh, iya. Aku ingat dia. Yang selalu mengunyah burger itu kan?" Kataku mengonfirmasi ingatanku.
"Iya, betul."
"Kami tidak diajak?" Tanya Feliciano dengan wajah cemberut yang terlihat lucu.
"Kalau kalian mau, kalian bergabung saja. Aku tidak masalah." Kataku. "Asal jangan ada si Londo itu aja." Lanjutku berbisik.
"Hah? Apa tadi?" Tanya Ludwig yang sepertinya bisa mendengar bisikanku. Pendengarannya tajam juga.
"Ah, tidak. Tidak ada apa - apa. Aku ke kelas duluan! Sampai nanti semuanya!" Kataku mulai sok akrab dengan mereka dan pergi menjauh.
Aku hanya menaruh tasku dalam loker, sementara aku pergi menuju ruang kepala sekolah. Aku ingin segera melaporkan mengenai segel dan kekai di halaman belakang itu. Kakiku melangkah dengan terburu - buru. Aku tak ingin banyak orang mengenaliku. Aku juga tak ingin menghadapi Willem lagi. Sebenarnya untuk menyebut namanya saja membuatku sakit.
Begitu sampai, ternyata kepala sekolah sedang tidak ada. Akhirnya aku kembali ke kelas. Kelas sudah ramai dengan seluruh makhluk dari benua Asia. Karena aku baru saja masuk, aku duduk sendiri dipojokan. Tidak, aku bukan pundung di pojokan, memang tempat dudukku berada di pojok.
Aku kembali tak melihat Kiku sepanjang pelajaran pagi ini. Kemana dia? Apa dia tidak masuk kelas Asia? Tapi, bukankah Jepang berada di benua Asia? Ah, aku tak mau ambil pusing lagi. Aku hanya ingin belajar disini. Aku pun segera ke lokerku untuk mengganti buku pelajaran.
"Nesia!" Ada seseorang yang memanggil namaku. Aku melihat Alfred berlari sambil merentangkan tangannya.
Aku segera merunduk menghindari pelukan Alfred. Alfred mencoba memelukku lagi, tapi aku menghindar ke kanan. Dia masih mencoba lagi, dan kali ini aku menghindar ke kiri.
"Ah, Nesia... kenapa menghindar terus sihh?" Tanya Alfred gemas.
"Kamu tidak boleh memelukku. Itu tabu di negaraku." Kataku sambil menjulurkan lidah mengejek.
"Ahh, tapi ini kan Hetalia Academy!" Kata Alfred merajuk.
"Aku tidak peduli. Oh, iya, aku lupa memberi tahumu kalau aku tidak bisa berkumpul denganmu dan Kiku istirahat pertama ini. Aku ada keperluan sedikit. Tolong beritahu Kiku juga kalau bertemu dengannya." Kataku pada Alfred yang tadi menggembungkan pipinya tanda merajuk.
"Lho? Bukankah seharusnya kalian sekelas? Kenapa tidak kau sampaikan sendiri?" Tanya Alfred heran.
"Kalau aku bertemu dengannya, aku sudah memberitahunya dari tadi. Aku memang sempat bertemu dengannya di gerbang, tapi kemudian aku tak bertemu dengannya lagi." Jawabku.
"Oh, mungkin dia bersama Kaicho lagi. Ah, aku heran pada Kaicho. Aku yang wakilnya, tapi dia lebih percaya pada Kiku untuk membantunya." Kata Alfred menebak - nebak.
Ah, aku baru ingat kalau Alfred juga bagian dari OSIS. Itu tergambarkan dari handband hitam yang menandakan dia anggota OSIS yang melingkar di tangan kirinya. Selain itu, dari yang aku dengar, manset telinga yang ada di telinga kanan Alfred saat ini menandakan kalau ia adalah Fuku Kaicho.
"Mungkin karena kau jarang serius dan tidak telaten seperti Kiku?" Tebakku asal.
"Mungkin juga sih. Aku tidak terlalu suka diajak ke tempat dimana makanan tidak bisa masuk. Burger itu kan paling enak dimakan saat membaca." Kata Alfred menyetujui tebakanku.
"Sudahlah. Aku masih ada kelas. Aku duluan." Kataku pergi meninggalkan Alfred begitu saja.
Kelasku berikutnya adalah mata pelajaran yang aku benci, yaitu matematika. Aku suka menghitung, tapi hanya menghitung uang. Aku tak suka dengan trigonometri yang menggunakan sin dan cos. Aku rasa itu tak berguna untuk kehidupan sehari - hari.
Mau tak mau aku harus tetap mempelajarinya. Itu juga karena Ayah menyuruhku untuk mengikuti semua pelajaran disini. Jika tidak? Sudah aku pastikan aku akan terus membolos. Tak masalah bagiku. Toh statusku sebagai murid disini hanya sementara dan tidak penting bagiku.
Begitu bel istirahat berbunyi, aku segera kabur dari kelas dan pergi menuju ruang kepala sekolah kembali. Untunglah beliau ada disana. Aku segera melaporkan mengenai kecurigaanku dengan hutan di belakang sekolah itu.
"Ah, pagar itu memang sudah disegel dan diberi pelindung sejak awal. Aku sendiri tak tahu bagaimana caranya membuka segel dan menembus kekai itu. Yang aku tahu, semua itu dirancang untuk melindungi sekolah. Di seluruh wilayah sekolah pun dipasang kekai. Tak ada jalan untuk masuk ke sana." Kata kepala sekolah setelah aku melaporkan semua kejadian tadi pagi minus kehadiran Arthur.
"Tapi, saya yakin, jawaban dari semua masalah ini ada disana." Kataku bersikeras ingin menembus segel dan kekai itu.
"Kau tak boleh membahayakan seisi sekolah ini, ingat? Itu tertulis jelas kan?"
"Ah, perjanjian sialan itu. Ya.. Ya.. aku akan mencari cara lain menembusnya tanpa merusak segel itu." Kataku malas berdebat dengannya.
"Berhati - hatilah, Nesia. Mungkin jika kau menemukan jalannya, itu pula jalan yang dilalui 'mereka' untuk menembus masuk kesini." Kata kepala sekolah memperingatkanku.
"Ya... aku mengerti." Kataku tak terlalu memperdulikan peringatan dari kepala sekolah.
"Ingat, Nesia! Aku tidak pernah merasa secemas ini sampai meminta bantuan ayahmu jika ini bukanlah masalah serius. Ini tentang keselamatan seluruh personifikasi dan dunia ini." Kata kepala sekolah semakin serius.
"Aku tahu itu. Ayah sudah memberitahu detailnya padaku dan aku tak ingin mengecewakan beliau. Aku permisi kalau begitu." Kataku bersiap keluar dari ruang kepala sekolah.
"Ah, ya aku hampir lupa. Ini untukmu. Pakailah!" Kata kepala sekolah mencegahku keluar.
"Kalung?" Tanyaku bingung begitu melihat benda yang kepala sekolah berikan adalah kalung perak dengan liontin aneh yang terpasang disana.
"Ya, tapi ini bukan kalung biasa. Kau harus menyimpannya baik - baik dan jangan sampai ada yang tahu kau memilikinya." Kata kepala sekolah misterius.
"Untuk apa?" Tanyaku masih tak mengerti setelah memasang kalung itu di leherku. Ah, ralat, itu bukan perak melainkan platina.
"Kau akan tahu nanti." Jawab kepala sekolah masih sok misterius.
"Baiklah, aku pamit." Kataku kesal lalu keluar dari ruang kepala sekolah.
Aku mengembuskan napas kesal. Kali ini mood-ku jadi sangat buruk. Aku tak ingin kembali masuk kelas. Aku langkahkan kakiku menuju tempat yang jarang dimasuki orang, yaitu perpustakaan. Bau buku - buku tua selalu bisa menenangkanku. Aku segera masuk dan mengambil buku mengenai pengobatan herbal.
Baru saja aku membaca satu halaman, terdengar suara gaduh dari ujung ruang perpustakaan ini. Tapi, kenapa penjaganya hanya diam saja? Aku yang tak tahan ketenanganku terganggu segera menghampirinya. Aku ingin sekali memarahinya dan menyuruhnya menutup mulutnya atau aku tutup paksa dengan lakban.
Langkahku terhenti begitu melihat Kiku dan bule menyebalkan bernama Arthur yang sedang mengacak - acak buku di ujung sana. Aku tak tega jika harus mengganggu diskusi sengit mereka. Tapi, sepertinya sudah terlambat untuk kembali karena aku merasakan tepukan di pundakku begitu aku membalikkan badan.
"Sedang apa kau disini? Bukankah bel masuk sudah berbunyi?" Tanya Arthur heran.
"Kau sendiri? Sedang apa disini?" Tanyaku balik. Ugh, ternyata si bule sombong. Aku tak mau kalah dari bule sombong ini.
"Aku punya izin khusus untuk tak mengikuti pelajaran." Jawab Arthur sekenanya.
"Aku juga sama." Kataku benar - benar tak mau kalah.
Arthur menaikkan sebelah alis tebalnya yang nampak seperti ulat bulu itu tanda heran. Sepertinya dia tidak terima dengan alasanku.
"Tunggu dulu. Kau itu murid baru dan bukan anggota utama OSIS dan Dewan Keamanan. Tidak mungkin kau memiliki izin khusus untuk tak mengikuti pelajaran." Kata Arthur bertambah heran.
Aduh, aku lupa. Apa aku bongkar saja tugasku disini? Tapi, isi perjanjian itu bagaimana? Ah, aku bingung.
"Bukankah kau juga murid?! Kenapa kau sendiri masih disini?" Aku bersikeras tak ingin memberitahukan alasanku.
"Sudahku bilang dari tadi, aku punya izin khusus karena aku—"
"Lho? Nesia? Kau ada disini?" Tanya Kiku, yang tahu - tahu sudah muncul disamping Arthur setelah tadi tenggelam dalam bukunya, memotong perkataan Arthur.
"Ah, eh, iya." Jawabku gugup.
"Kaicho, sepertinya aku butuh ke toilet." Kata Kiku kepada bule menyebalkan itu.
Hah?! Arthur, si bule sombong dan menyebalkan itu ketua OSIS?! Aku syok mendengarnya. Aku memang bertemu ketua OSIS kemarin, tapi aku tak ingat kalau itu Arthur. Dan lagi, saat ini kenapa dia tidak pakai handband OSIS nya sih? Padahal kemarin aku lihat kalau ketua OSIS itu memakai handband di tangan kanannya. Aku jadi lupa dengan percakapanku dengan Alfred tadi karena sudah melihat wajah menyebalkan Arthur ini.
"Silahkan, Kiku. Aku masih disini dengan kurcaci bermulut pedas ini." Kata Arthur dingin. Astaga! Dia sungguh menyebalkan. Kiku segera keluar dari perpustakaan karena sepertinya sudah tidak tahan lagi.
"Kurcaci?! Mentang - mentang kau orang Eropa yang tingginya melebihi orang Asia, kau seenaknya menyebutku kurcaci?!" Semprotku galak.
"Astaga, Kirana Kusnapharani! Jangan berteriak begitu. Ini perpustakaan." Kata Arthur membekap mulutku dari belakang. Aku meronta berusaha melepaskan diri dari bekapan dan dekapan (?) pria Eropa yang kuat itu, namun tak berhasil.
"Kalau kau tak berisik lagi akan aku lepaskan." Bisik Arthur di telingaku. Aku mengangguk cepat.
Arthut melepaskan bekapannya dari mulutku. Tapi, kenapa dekapannya tak juga dia lepaskan?! Dengan kesal aku menginjak kuat kakinya. Arthur tampak kesakitan dan mundur dua langkah dariku.
"Makannya jangan macam - macam padaku!" Kataku puas melihat Arthur kesakitan. "Ngomong - ngomong kau tahu dari mana nama lengkapku? Rasanya aku bahkan tak pernah memberi tahumu namaku." Lanjutku heran.
"Data siswamu. Sebagai ketua OSIS, aku memiliki akses untuk mengetahui data dari seluruh siswa disini." Kata Arthur masih memegangi kakinya yang sakit.
"Penguntit!"
"Hei, itu kewajibanku untuk menghafalkan dan mengetahui seluruh siswa disini agar bisa membantunya jika ada masalah. Lagi pula, semua data pasti diserahkan padaku, aku sama sekali tidak ada niat mencari tahu tentang dirimu!" Kata Arthur dingin. Astaga, orang ini! kalimat sepanjang itu saja masih dengan nada dingin.
"Ak A" Kataku menekankan pada kata 'tidak percaya'.
"Dan aku tidak peduli dengan ketidak percayaan-mu itu."
Kami berdua terdiam sambil saling membuang muka. Akhirnya Kiku datang dan melihat atmosfer ketegangan diantara kami. Kiku segera membawaku duduk bersama dan ikut berdiskusi dengan Arthur menyebalkan. Ternyata mereka sedang membahas mengenai beberapa kasus yang terjadi dikalangan siswa yang tadinya diadukan kepada Dewan Keamanan. Namun, karena mereka kesulitan, akhirnya mereka meminta bantuan kepada OSIS secara langsung kepada Arthur. Sementara OSIS sendiri sudah memiliki agenda lain untuk mengadakan acara dua bulan lagi.
Sepertinya itu mengenai kasus perncurian atau penculikan sesuatu. Entahlah, aku tak begitu paham. Tapi, kasus itu ditangani langsung oleh Arthur, bukan anak buahnya. Sementara anak buahnya yang lain memulai persiapan untuk acara tahunan OSIS. Sepertinya kasus itu memang sangat serius bagi sekolah ini.
Aku tak menyangka, bule semenyebalkan Arthur bisa sangat serius dan bertanggung jawab juga. Padahal bicaranya dingin dan blak - blakan. Aku heran, kenapa Kiku dan Alfred bisa tahan bekerja dibawah pimpinan orang seperti Arthur.
"Sepertinya sulit sekali untuk menemukan caranya. Apa aku harus menggunakan alat - alat terkutuk itu?" Gumam Arthur lebih kepada dirinya sendiri.
"Kalau begitu, kita coba pemecahan kekai dengan upacara ala Nihon saja, Kaicho. Lagi pula, kau sudah mencari ke seluruh penjuru sekolah dan tidak menemukan mereka. Jadi, kemungkinan mereka memang ada dibalik kekai itu." Kata Kiku mengusulkan.
"Ah, jangan!" Kataku tiba - tiba untuk menghentikan mereka. Aku tak tahu apa yang mereka cari, tapi jika ada tempat yang ada kekainya, pasti tempat itu.
"Kenapa?"
"Kekai itu dibuat untuk melindungi sekolah. Sebenarnya kekai itu ada disekeliling sekolah dan asrama, tapi yang terkuat ya memang disana." Kataku keceplosan.
"Kau tahu dari mana?" Tanya Arthur tajam sambil menyingitkan dahinya.
"Ah, itu... pokoknya aku tahu. Jika mereka bisa keluar masuk dari sini tanpa merusak kekai, pasti ada jalan masuk lain ke dalam sekolah tanpa melewati kekai." Kataku menutup mulutku dari kenyataan. Aku jadi teringat kepala sekolah juga mengatakan hal yang sama.
"Jika benar begitu, artinya kita harus bisa mengetatkan penjagaan kita, Kaicho. Siapa tahu dengan mengetatkan penjagaan kita bisa mengetahui dimana pintu masuk mereka saat mereka menghilang." Kata Kiku.
"Baiklah. Kita perketat lagi penjagaan kita mulai malam ini. Bisa jadi kita, para personifikasi, adalah sasaran mereka selanjutnya. Kiku, laporkan pada Willem dan Ludwig lalu minta penjagaan Dewan Keamanan diperketat." Perintah Arthur. Kiku segera berdiri, lalu membungkuk sebelum pergi meninggalkan kami berdua.
Apa?! Kenapa harus nama si Londo itu ikut - ikutan disebut? Jangan bilang dia salah satu petinggi organisasi seperti Arthur. Oh, Tuhan!
—OOOoooOOO—
Catatan Author:
Oke, ini Author beneran nekad. Kalo mau protes boleh. Author suka banget sama beberapa cerita ffn hetalia yang tentang misteri. Author agak lupa sih yang mana ajanya, tapi itu jadi inspirasi banget buat Author. Mungkin bakalan mirip, tapi tak sama. Awalnya juga ga niat bikin jadi cerita misteri macam ini. Maunya cuman bikin romansa aja antara Nesia dan Arthur, tapi malah kepikiran hal lain. *Ditimpuk lagi pake genteng*
Oh, iya, sekalian Author mau kasih ucapan makasih sama temen Author yang udah narik Author ke dunia ffn ini atas referensi fashionnya. Ntar bisa kepake. Tapi entar ya... *weekk...*
