Disclaimer: Bleach milik Tite Kubo. Kami hanya pinjam tokohnya saja.
Rate: 15+ (T)
Cerita kolaborasi dengan mbak erikyonkichi.
Tsugi Au Toki Wa
Chapter 1: Au
I would become a single leaf, if I could brush up against your shoulder.
I would become even a tropical flower with no name, if I could ride you on the wind and give you nostalgic memories.
But if I could be under the same sky as you, I would become anything.
Rukia berjinjit semaksimal mungkin, berusaha menjangkau buku cokelat tebal nakal yang masih setia bertengger bersama sesamanya di tingkat teratas rak perpustakaan. Pekerjaan yang rumit, lantaran tinggi badannya sangat tidak mendukung untuk melakukan hal-hal seperti itu. Ia melirik sekeliling untuk mencari pertolongan, namun sekitarnya lengang. Tidak ada mahasiswa yang pernah ke bagian perpustakaan sebelah sini. Sedikit kesal, kembali Rukia mencoba mendorong-dorong bagian bawah buku tentang Perang Salib yang akan digunakannya untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Dunia sembari berharap buku itu jatuh dan menjadikannya mudah diambil. Namun hasilnya masih saja nihil.
Rukia mundur selangkah sambil mengembuskan napasnya berat. Ia menatap buku itu jengkel. Posisi buku bersampul cokelat itu sekarang, miring dengan sisi bawah menjauhi diri wanita yang menginginkannya. Alih-alih menjadi mudah, pekerjaan mengeluarkan buku dari rak itu sekarang jadi dua kali lebih susah. Rukia mencoba menyentuh buku itu, namun pekerjaannya nihil. Jari-jarinya yang kurus bahkan tak bisa merasakan kalau buku itu ada.
Akhirnya ia mencoba memanjat rak itu—dengan susah payah. "A…yo…lah…" geramnya dengan gigi bergemeletuk. Tapi menjangkau buku di tempat yang tinggi dengan tubuh seperti Rukia benar-benar tidak mudah…
"Sebaiknya kau berhati-hati, Nona."
Rukia hanya bisa memekik pelan, tidak menyangka sebentuk tangan besar sudah menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Ia berniat melihat siapa si pemilik suara yang sudah berbaik hati menolongnya, tapi ia tak bisa berputar karena tubuh si pria berada tepat di belakangnya. Tangan besar itu kini telah menjangkau sang buku dengan sangat mudah, kemudian mundur dua langkah agar Rukia bisa berputar sampai akhirnya si pemuda menyerahkan buku itu kepada Rukia, yang kini cuma bisa melongo.
Di hadapannya menjulang sesosok pemuda berkacamata dengan mata cokelat madu yang baru sekali ini dilihat Rukia. Ia mengenakan kaus berlengan panjang dan celana jins, tapi Rukia dapat menduga pria ini cukup atletis. Satu-satunya hal yang berbeda dengan pria kebanyakan yang dikenal Rukia hanyalah warna rambutnya yang sewarna dengan mentari sore. Jingga.
Pria itu mengangsurkan buku yang dicari Rukia tanpa berkata apapun. Meskipun demikian, pria itu tetap menatap mata Rukia lekat-lekat. Sepertinya pria itu mencari sesuatu di dalam mata Rukia… dan membuat Rukia merasa terpaku. Lama ia menatap manik amber di depannya itu, bertanya-tanya mengapa pria itu menatapnya… begitu hangat.
Terdorong rasa penasaran yang ada dalam dirinya, Rukia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Maaf," ucapnya memecah kebuntuan, "apa kita… pernah bertemu sebelum ini?" Matanya menatap pria di depannya heran. Keningnya mengernyit sedikit. Ia belum pernah ditatap seperti ini oleh pria yang belum dikenalnya.
Seulas senyum terkembang di wajah tampan si pria. "Mungkin, di kehidupan yang lalu…"
Setelah mengucapkan itu, si pria berbalik dan melangkah meninggalkan Rukia, yang kini melongo menatap punggung yang bergerak menjauh itu. Beberapa detik setelahnya berlalu dalam keheningan sampai ia menepuk keningnya sendiri. Ia belum berterima kasih dan malah terpukau dengan seseorang yang bahkan baru ditemuinya! "Hei," seru wanita itu, "aku belum mengatakan terima kasih!" serunya sambil berlari ke ujung rak.
Pria itu sudah terlalu jauh untuk dikejarnya. Tapi mungkin teriakannya bisa menjangkau telinga si pemuda. "Kau yang berambut jingga, terima kasih banyak!" teriaknya sambil melambai-lambaikan buku yang diambilkan pria beriris madu itu.
"Saya harap Nona tidak ribut. Ini perpustakaan."
Suara dingin pustakawan kampus ini mengembalikan Rukia pada kenyataan. Mata wanita itu mendelik, menatapnya benci. Malu, Rukia cepat-cepat minta maaf kepada penjaga perpustakaan sambil mengemasi barang-barangnya sebelum keluar ruangan.
xxXxx
Meskipun ini jam makan siang, kantin Universitas Waseda tidak terlalu ramai. Mungkin karena mereka kebanyakan makan di luar kampus, ataupun hari ini tidak terlalu banyak mahasiswa yang datang ke kampus ini. Sebagian besar meja-meja panjang bercat putih yang tertata rapi di ruangan seukuran aula itu kosong, hanya ada beberapa mahasiswa saja yang sibuk bercengkrama dengan laptop mereka sembari bersantap siang.
Rukia sedang duduk menghadap seorang pria, yang sedang sibuk berkutat dengan tabel-tabel manajemen keuangan dan rumus-rumus investasi di dalam komputer jinjing barunya. Pacarnya, dengan rambut berantakan berwarna merah marun, dan mata abu-abu yang cenderung sipit. Ashido Kano sepertinya terlalu sibuk dengan penentuan investasi mana yang harus diambilnya, sebagai pemecahan kasus yang baru saja disampaikan Profesor Hitsugaya.
Mata Rukia menatap Ashido sedikit bosan. Sudah beberapa menit berlalu dan tak ada seorang pun di antara mereka yang bicara. Benar-benar bosan, akhirnya Rukia memutuskan memecahkan kesunyian. "Malam ini ada pesta kembang api di kampus," katanya.
Namun Ashido bahkan tidak repot-repot menatap kekasihnya. Ia hanya bergumam, "Hmm."
"Aku ingin kita melihatnya. Berdua," kata Rukia lagi.
Masih menekuni komputer jinjingnya, Ashido menolak. "Maaf Rukia, malam ini aku tidak bisa. Ada beberapa materi yang harus kuselesaikan," sahutnya datar.
Rukia menghela napas sambil memutar bola matanya. "Sesekali melanggar jadwal kupikir bukan perbuatan kriminal," pancingnya. "Kadang-kadang kau harus… sedikit impulsif agar hidupmu tak terlalu membosankan," lanjutnya hati-hati. Ia berusaha untuk tidak terlalu terdengar menggurui Ashido, karena Rukia cukup paham kalau pria sangat membenci hal itu.
Pria yang memiliki status sebagai pacar Rukia bergeming. "Tapi kalau kau tak merencanakan hidupmu, maka semua hanyalah omong kosong belaka," putusnya tegas.
Rukia mengembuskan napasnya dan mendesah pelan. Sifat Ashido yang selalu merencanakan segalanya benar-benar sebuah tantangan dalam kisah cinta mereka. Ya, ia mencintai Ashido. Sejak pertama kali mereka berkenalan. Pria berkulit putih pucat inilah tipe idealnya. Pria yang suka membaca buku, lelaki yang gemar memberinya kejutan saat hari ulang tahunnya. Sekaligus pria dengan pengetahuan yang mumpuni di bidang politik.
Ditopangkan dagunya di sebelah telapak tangan. Ia berpikir lagi. Meskipun ia dan Ashido sudah berpacaran selama setahun dan restu dari kedua orang tuanya sudah dikantongi, entah mengapa Rukia merasa… kosong. Ada relung dalam sanubarinya yang belum terisi, dan Rukia tidak menemukan apa itu pada diri Ashido. Setidaknya belum.
Tambahan lagi, masalah seperti ini kadang membuat Rukia merasa bosan. Ashido selalu sibuk dengan rutinitasnya, bahkan saat Rukia jelas-jelas meminta pria itu untuk mendengarkan ceritanya. Terkadang… ia merasa menjadi sebuah robot setiap kali bersama kekasihnya itu.
xxXxx
Malam menjelang. Angin musim gugur bertiup pelan, menerbangkan daun-daun ginkgo yang telah jatuh ke tanah. Pelataran Universitas Waseda tampak ramai dan semarak dengan api unggun besar dan pasar malam yang dirayakan mahasiswa di sana. Tarian Bon dipentaskan oleh beberapa orang yang mengenakan pakaian tradisional Jepang, namun kebanyakan mahasiswa ikut bergerak mengikuti irama. Mahasiswa yang tidak menari berada di pinggir lapangan, menyaksikan api unggun yang berkobar-kobar menerbangkan berkas-berkas abu ke angkasa. Mereka sedang menanti pesta kembang api yang akan dimulai sepuluh menit lagi.
Rukia menatap kilatan api di hadapannya tanpa semangat. Malam ini ia sendirian lagi. Ashido benar-benar tidak bisa diganggu. Bahkan teleponnya pun tak diangkat, e-mail-nya juga tidak dibalas. Satu-satunya hal yang masih membuatnya bertahan di tempat ini hanyalah antusiasmenya menyaksikan pesta kembang api. Ia tak sabar ingin segera menyaksikan bunga-bunga api beraneka warna memecah kelamnya langit kota Tokyo malam ini.
Matanya menatap sekeliling… dan tiba-tiba ia menangkap sosok yang familiar. Pria yang tadi siang menolongnya di perpustakaan. Ia tidak menari, dan menatap api unggun seperti dirinya. Pantulan kilatan api berpendar di irisnya yang kecokelatan. Terdorong rasa penasaran dengan kata-kata pria itu tadi siang, Rukia mundur beberapa langkah, memberanikan dirinya membelah kerumunan untuk mendekati pria berambut jingga itu. Sayang, nyali yang ia punya hanya mampu menggiringnya berdiri tepat di belakang pria itu.
"Menurutku kau terlalu cantik untuk jadi seorang penguntit, Nona," tiba-tiba pria itu berbalik dan tersenyum menatapnya, membuat Rukia gelagapan. Mulutnya membuka dan menutup beberapa saat setelahnya. "A-aku…" Rukia mendapatkan suaranya lagi, "…tidak bermaksud menguntitmu, kok. Aku cuma ingin melihat api unggun ini lebih dekat," katanya setengah berbohong, diiringi dengan tawa yang nadanya terdengar sangat salah.
Pria itu tersenyum simpul dan mengulurkan tangan kanannya. "Ichigo Kurosaki."
Rukia yang mengerti maksud dari uluran tangan itu menyambutnya. "Rukia Kuchiki."
Beberapa menit kemudian menurut Rukia adalah perbincangan terbaik yang pernah ia alami. Ia hanya mengobrolkan hal-hal sepele dengan pria berjaket hitam yang namanya Ichigo ini, seperti festival malam ini, api unggun, kembang api, dan lain sebagainya, namun ini jauh, jauh lebih menarik ketimbang mengobrolkan Wall Street yang sedang anjlok, konflik Suriah, atau rencana penutupan reaktor Fukushima bersama Ashido.
Bunyi ledakan keras dari atas gedung menandakan kembang api telah dimulai. Kedua orang itu pun menengadahkan kepalanya, menatap indahnya warna-warna yang terbentuk di langit sana. Untuk beberapa saat, semua orang sepertinya terpaku dengan bunga-bunga api beragam bentuk dan warna itu.
Sampai akhirnya Rukia merasa dirinya dipeluk dari belakang. Sepasang tangan telah melingkar di depan lehernya.
Wanita itu berbalik untuk melihat siapa yang memeluknya. "Ashido?" pekik Rukia tidak percaya. "Kupikir kau tidak bisa datang."
Pria bermata kelabu itu tersenyum menatap kekasihnya. "Aku di sini untuk menjemputmu. Ayahmu meneleponku, dia bilang sebaiknya aku membawamu pulang."
Rukia mendesah. Ayahnya memang selalu begini. Dan ia tak bisa menolaknya. "Baiklah, aku akan pulang," katanya. "Ah, Ashido, ini Ichigo Kurosaki, temanku. Aku baru bertemu dengannya," katanya. "Kurosaki-san, ini Ashido. Dia pacarku," katanya sambil menyunggingkan seulas senyum.
Bola mata Ichigo membulat mendengar kata 'pacar', tapi untung saja ia bisa menjaga perasaannya. Ia mengulurkan tangan sambil memaksakan senyum. "Kurosaki. Ichigo Kurosaki," katanya datar. Matanya menatap pria bersurai merah marun di hadapannya dingin.
Bukan Ashido namanya kalau ia tak menyadari ada perubahan dalam sikap dan nada suara dari pria ini. Mata kelabu Ashido balas menatap pria jingga di hadapannya sedikit tidak senang. "Ashido Kano," katanya sambil mengulurkan tangan. "Aku pacar Rukia," katanya tegas.
"Baiklah," kata Rukia kemudian, "sepertinya aku harus pulang. Sampai jumpa Ichigo, kuharap kita bisa bertemu lagi."
Mereka berdua kemudian beranjak pergi dari api unggun. Mata Ichigo tetap mengiringi mereka sampai tak terlihat lagi.
Pancaran mata amber itu tidak sehangat tadi.
xxXxx
Ichigo merasa hancur. Muncul sebagai orang asing di hadapan wanita yang ia cintai untuk beratus-ratus tahun lamanya adalah sebuah pukulan telak, namun melihat wanita yang dicintainya itu bersanding dengan pria lain rasanya dua kali lebih sakit. Rasanya Rukia sangat dekat, tapi tangannya ini tak kunjung mampu menggapainya.
Ia menatap langit-langit kamarnya tak bergairah. Menyandarkan dirinya pada tempat tidur, lemas rasa raganya kalau terus-terus memikirkan semua ini. Pikirannya melayang pada saat-saat terakhirnya bersama sang kekasih berabad-abad sebelum ini, dan pada keputusan berat yang telah diambilnya. Salahkah dirinya mengambil keputusan itu?
Sejak bayi, ia tahu segalanya. Karena ia memang tak melupakannya. Untuk dua puluh dua tahun, ia mencari Rukia. Ia tahu, dirinya sudah terhapus tuntas dari ingatan wanita bermata violet itu, namun melihatnya bersama pria lain? Mendadak Ichigo merasa konyol. Bagaimana mungkin dirinya sanggup melihat Rukia bersama laki-laki lain di saat ia sangat yakin bahwa gadis itu hanyalah miliknya seorang?
"Aku membantumu bukan untuk menjadikanmu pengecut, Kurosaki-taichou."
Ichigo terkesiap dan menoleh. Seorang pria bertopi hijau-putih dengan hakama yang lusuh tiba-tiba sudah duduk di kursi belajarnya. Matanya yang tajam tidak disia-siakan untuk menelanjangi batin Ichigo. Pria berambut jingga itu mengenalnya sebagai Kisuke Urahara, seorang vizard yang membantunya selama ini.
Pria beriris amber itu memalingkan wajahnya, kali ini mata hampanya menatap lantai. "Aku cuma orang asing bagi Rukia. Dia telah benar-benar melupakanku," ujarnya tak bersemangat.
Urahara malah terkekeh, mengejek manusia di hadapannya. "Kau tentunya belum lupa apa yang kau katakan pada Soutaichou saat kalian berdua dihukum, kan?" Matanya dipicingkan sedikit ketika mengatakan hal itu.
Ichigo tak menjawab. Ia tak merasa bernafsu untuk melakukannya. Kenyataan bahwa Rukia bersama pria lain membuat dirinya serasa ditenggelamkan ke neraka. Kenyataan lainnya bahwa Rukia telah benar-benar melupakannya sesaat membuatnya sangat pesimis.
Tidak mendengar tanggapan, Kisuke akhirnya menjawab pertanyaannya sendiri. "Kau bilang, 'Cinta akan memberiku keberanian, bahkan untuk membelah langit sekalipun'. Mestinya kau sadar betapa berkarismanya dirimu ketika mengatakan hal itu," jelasnya sambil tertawa kecil.
"Aku tak lupa, Urahara," jawab Ichigo akhirnya. "Aku ingat akan apa yang kukatakan. Hanya saja, Rukia sudah benar-benar melupakanku. Itu yang membuatku bingung. Kupikir akan ada sedikit memori tentangku yang tersisa," keluhnya berat. "Tapi ia… sepertinya sudah benar-benar lupa."
Urahara bangkit dan duduk di samping Ichigo. "Rukia tidak benar-benar melupakanmu, Taichou. Rukia hanya…" Urahara memilih kata-katanya, "…kehilangan kenangan tentangmu, maka dari itu bantulah dia untuk mendapatkan kembali dan menyusun kepingan kenangan tentang dirimu yang hilang itu," katanya sambil menepuk bahu Ichigo untuk memberikan semangat. Setelahnya, Urahara bangkit, kemudian menembus tembok kamar Ichigo sampai akhirnya benar-benar menghilang.
Lama Ichigo tepekur, memikirkan apa yang ia alami sejauh ini. Masih terlalu awal baginya untuk menyerah. Ia bahkan belum mencoba mendekati Rukia. Apa yang dikatakan Urahara memang benar. Ia akan membantu Rukia mendapatkan kembali kenangan tentang dirinya.
Dan ia akan mendapatkan Rukia kembali.
xxXxx
"Kulihat kau sudah cukup akrab dengan pria Kurosaki itu, Rukia," tanpa tedeng aling-aling Ashido langsung mengatakan hal ini pada sang kekasih yang sedang membaca di hadapannya.
Rukia menutup bukunya dan berdesah. "Aku baru kenalan dengannya semalam, Ashido, saat menunggu kembang api. Setelahnya, aku tak pernah bertemu dengannya. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kami ini sudah akrab?" tukasnya. Ia menjaga nada suara agar tidak terkesan tersinggung. Tersinggung, dan Ashido akan langsung mencurigainya sepanjang minggu ini.
"Baru semalam?" Ashido meletakkan cangkir kopi dan menutup laptopnya. Matanya menatap iris ungu Rukia tajam, seolah mencari sebuah kebohongan.
Rukia mengangguk. Ia tak suka dengan tatapan Ashido yang penuh selidik begini.
Ashido menopangkan dagunya. "Tapi aku rasa kalian berdua sudah kenal lama sekali," katanya curiga. Matanya lagi-lagi menusuk manik di hadapannya dalam-dalam.
Membuat Rukia semakin merasa tidak nyaman. Ia membuka buku itu lagi dan mencoba membacanya. "Hanya perasaanmu saja, Ashido," ujarnya, berusaha menghindari tatapan penuh rasa curiga dari sang pacar yang sangat pencemburu itu.
xxXxx
Rukia mengeluarkan seluruh isi tasnya di ruang kelas terakhir tempatnya kuliah tadi. Ia tak bisa menemukan gantungan kunci kesayangannya, yang biasanya tergantung di resleting tasnya. Ia sudah membungkuk-bungkuk dan mencari di lantai, siapa tahu gantungan kunci itu jatuh, namun hasilnya nihil. Rukia menggerutu dan mengeluh. Itu gantungan kunci kesayangannya, dan kini ia kehilangannya. Bagus sekali.
Seorang pria datang dan mengulurkan gantungan kunci yang sedang Rukia cari. "Sepertinya ini milikmu. Aku melihatnya jatuh di depan pintu."
Rukia mendongak, dan mendapati Ichigo sudah tersenyum padanya. "Terima kasih banyak," katanya cepat sambil menyambar gantungan kunci itu. Sambil memasangnya dan memastikan gantungan kunci itu tak terlepas lagi, ia berkata tanpa melihat Ichigo, "Aku mencarinya dari tadi. Gantungan kunci ini tak boleh hilang, ini pemberian ibuku sebelum ia meninggal," katanya.
Ichigo hanya tersenyum mendengarnya. Tapi tiba-tiba Rukia mengernyitkan dahinya, dan menatap Ichigo curiga. "Tunggu," katanya. "Dari mana kau tahu kalau gantungan kunci ini milikku?" tanyanya meminta penjelasan.
"Gantungan kunci itu sendiri yang mengatakannya padaku."
Rukia membuka mulutnya sedikit, kemudian ia tertawa. "Kau gila! Mana ada gantungan kunci bisa bicara. Ada-ada saja," ucapnya sambil memastikan untuk kesekian kali kalau gantungan kunci itu tidak akan lepas.
Senyum dari bibir Ichigo masih belum memudar. "Aku tidak bohong," katanya. "Di balik gantungan kunci bulan sabit itu ada huruf K dan R, dan kalau aku tidak salah, seseorang berinisial KR dan menyukai bulan sabit hanyalah Kuchiki Rukia saja," jelasnya.
Kali ini senyum dari bibir Rukia yang menghilang. Ia menatap Ichigo sedikit heran. "D-dari mana kau tahu kalau aku suka bulan sabit?"
Senyum di bibir Ichigo makin lebar. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. "Bagaimana kalau kukatakan… aku tahu semua hal yang kau sukai, Rukia Kuchiki?"
Rukia melebarkan matanya sedikit. Sedikit heran rasanya melihat pria ini. "Mana mungkin!" tepisnya remeh. Ia mencoba terkekeh, tapi itu tidak efektif. "Kita bahkan baru berkenalan semalam. Aku juga bukan orang terkenal, jadi kau tak mungkin tahu apa-apa tentangku."
Mendadak, Rukia merasa senyuman pria berambut jingga di depannya ini menyiratkan rasa sakit. "Itu menurutmu, Rukia. Tapi di dunia ini banyak yang tak kau ketahui." Nada suaranya seperti mengenang sesuatu, menurut Rukia. Tapi apa? Waduh, ini mulai menakutkan, batinnya. Ia tak merespons perkataan Ichigo itu, tapi tatapan matanya menuntut sebuah penjelasan. Ia berdiri dan menjauhi pria itu sedikit.
Ichigo malah melangkah mendekati Rukia. "Misalnya, kau sangat menyukai bulan, karena bagimu, bulan adalah negeri dongeng yang sangat ingin kau singgahi," katanya. Rukia tersentak mendengar kata-kata Ichigo yang sangat mengejutkan itu. Untuk beberapa saat ia terpaku di tempatnya berdiri, tak percaya akan apa yang ia dengar.
Tapi Ichigo tak memberhentikan ucapannya. "Dan kau sangat suka aroma tanah saat hujan, karena itu mengingatkanmu pada aroma kerinduan seorang kekasih yang menanti kekasihnya pulang berperang. Kau juga tak suka suara gemuruh petir, karena itu bagimu adalah ekspresi kemarahan langit pada anak-anaknya yang ada di dunia…"
"Cukup, cukup!" Rukia berteriak, matanya menatap Ichigo ketakutan dengan wajah yang merah padam. Apa yang dikatakan pria di hadapannya ini benar, sangat benar, bahkan Ashido tak tahu secuil pun tentangnya. Rukia tak pernah menceritakannya pada siapapun, tapi mengapa pria ini bisa tahu? Siapa laki-laki di hadapannya ini? "S-siapa kau sebenarnya?" ujar Rukia sengit.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum akhirnya Ichigo menjawab lembut, "Kalau kukatakan bahwa aku adalah kekasihmu dari masa lalu, apakah kau percaya, Rukia?" ujarnya dengan mata yang kini jelas-jelas memancarkan kesedihan.
Tapi tentu saja Rukia tak percaya. Ia memaksakan sebuah tawa. Tawa yang sumbang. "Jangan gila kau, Tuan Kurosaki! Pacar apa? Pacar masa lalu? Nonsens!" Dan dengan suara gemetar, ia melanjutkan, "Aku… menyesal sudah mengenalmu. Sebenarnya aku tertarik mengenalmu lebih jauh, tapi sekarang aku berharap kita tak pernah bertemu!" teriaknya marah. Urat di lehernya berkedut-kedut saking emosinya.
Ichigo malah mencoba mendekat. "Rukia…"
Wanita beriris ungu itu terbelalak dan berjengit. "Jangan coba-coba menyentuhku, Ichigo Kurosaki! Jauhi aku mulai sekarang!" pekiknya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan orang gila yang ada di hadapannya ini! Mereka baru kenal kurang dari 48 jam, tapi pria ini sudah dengan sangat kurang ajarnya mengaku-ngaku sebagai kekasihnya dari masa lalu! Kegilaan macam apa ini? Tanpa berpikir panjang, Rukia langsung memutar tubuhnya, dan berlari secepat mungkin, menjauh dari pria gila yang baru saja ditemuinya itu.
Ichigo hanya bisa menatap punggung Rukia dengan perasaan merana yang membuncah.
"Kau mungkin tak mengingat siapa aku, Rukia… tapi kau tetaplah Rukia yang kuingat," kenangnya sedih.
Di ufuk barat sana, matahari tenggelam setelah menyelesaikan tugasnya mengarungi dunia.
xxXxx
Malam semakin larut dan pekat. Ashido sedang berusaha memusatkan diri pada problem-problem investasi yang merupakan tugasnya, tapi pikirannya tak kunjung bisa terfokus. Benaknya melayang pada pria yang dikenalkan Rukia saat pesta kembang api kemarin. Kurosaki, ingatnya. Ya. Kurosaki Ichigo.
Ia menutup bukunya gelisah. Ada sesuatu yang aneh dengan pria itu, ia yakin. Kehadirannya membuat Ashido berasa tidak aman meninggalkan Rukia terlalu lama. Ketidakamanannya ini bukannya tidak beralasan, karena Ashido merasa, pria ini memiliki sesuatu yang berpotensi membuat dirinya dan Rukia berpisah. Dan ia tak mau hal itu terjadi. Rukia hanya miliknya seorang, tidak yang lain.
Dan ia juga tak akan membiarkan hal itu terjadi.
xxXxx
Ichigo tidak terlalu terkejut ketika mendapati Urahara sedang sibuk menyantap es krim di kamarnya ketika ia pulang, padahal Ichigo ingat ia sudah mengunci apartemennya sebelum pergi kuliah tadi. Urahara memang bisa menembus tembok, jadi ia tak memerlukan pintu. Oh, tapi persetan dengannya. Pria berambut jingga ini sedang tidak bersemangat, jadi ia tak terlalu mengindahkan kehadiran kapten Divisi 11 itu. Ichigo meletakkan tasnya asal-asalan sebelum akhirnya merebahkan diri di kasur yang semakin hari semakin tidak terasa empuknya.
Tapi kehadiran Urahara yang cukup tiba-tiba begini membuat Ichigo sedikit banyak penasaran. "Ada apa kau datang malam-malam begini?" tanyanya.
Kisuke membersihkan sisa es krim stroberi di sudut mulutnya. Diletakkannya wadah bertuliskan 'Baskin Robbins' itu di atas meja. "Oh, aku cuma mau menyampaikan pengumuman," katanya. Ia langsung melanjutkan, "Soutaichou sudah memerintahkan bangsa Vizard dan bangsa Shinigami untuk menutup kasusmu." Ia melahap es krimnya lagi. "Nikmat sekali. Tapi aku lebih suka rasa cokelat."
Ichigo tak terlalu tertarik dengan pengumuman itu. "Jadi?"
Urahara memicingkan matanya. "Sekarang kita tak perlu khawatir lagi, bodoh. Tak akan ada seorang pun yang tahu kalau aku memberimu ramuan agar ingatanmu tak terhapus. Mereka juga tak akan mengawasimu lagi, kau bisa tidur dengan tenang malam ini dan bebas mendekati Rukia mulai sekarang," jelasnya bahagia.
Tapi Ichigo hanya memutar bola matanya. Ia tampak lemas. "Tak ada gunanya. Rukia sudah menyuruhku menjauhinya," ia menatap kosong langit-langit kamarnya.
Urahara tak menunjukkan perubahan ekspresi yang berarti bagi Ichigo. "Dan kau setuju-setuju saja?"
Ichigo mengembuskan napasnya dan mendesah panjang. "Dia mengusirku, Urahara-taichou."
"Lantas? Kau mau menyerah?"
Untuk beberapa saat, Ichigo terdiam. Ia memutar tubuhnya sebelum menjawab, "Entahlah…"
Baiklah, Urahara mulai merasa benar-benar heran. Ia meletakkan wadah es krimnya yang telah kosong. "Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan, Kurosaki? Aku mempertaruhkan keselamatanku untuk membantumu selama ini, dan sekarang kau berniat menyerah hanya karena Rukia mengusirmu?" Matanya menatap Ichigo tajam, dan ia jelas sedang meminta jawaban yang tepat.
"Aku lebih baik bertarung dengan sepuluh ribu hollow atau dengan seluruh kapten Gotei 13 ketimbang harus dianggap orang asing oleh Rukia Kuchiki," teriak Ichigo kemudian. Ia kehabisan kesabaran.
Tapi Urahara malah tertawa, mengejek pria yang ada di depannya. "Dulu saat kau pertama kali bertemu dengan Rukia Kuchiki, kau juga baginya adalah orang asing, kan? Sekali lagi jadi orang asing, apa salahnya?" tanyanya kemudian.
Tak sampai berapa lama, Urahara pun menghilang, meninggalkan Ichigo yang masih sibuk mencerna pertanyaannya.
.
.
to be continued.
2012.09.29 2.55 pm.
Note:
Selamat sore, semuanya. Maaf kalau saya publish lagi di saat fic yang satuan belum selesai. Ini fic kolab saya dengan Mbak Eri (dulu penname-nya 'erikyonkichi'), sekarang ganti lagi jadi 'selasauntukrindu', yang dulu sempat menyatakan diri pensiun dari dunia perfanfiksian karena beberapa masalah, tapi syukur sudah ada sinyal positif untuk kembali (soalnya kolab ini dia yang ngajakin saya). Banzai.
Di fic ini, ide cerita dan kerangka alurnya semuanya milik Mbak Eri. Saya... cuma jadi tukang ketik aja kali ya, istilahnya, dan kalau saya udah selesai ketik, cerita ini gak akan publish kalau Mbak Eri belum setuju. Untungnya buat bab ini langsung di-approve, jadi bisa langsung di-publish. Untuk bab-bab selanjutnya, update-nya seminggu sekali, kata Mbak Eri begitu. Saya mah cuma ngikut.
Satu lagi, fic ini cuma 3-part tanpatsu, jadi cuma ada tiga bab. No more, no less.
Kami harap fic ini berkenan bagi semua teman-teman pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan tulisan di masa mendatang. Tinggalkan saja di kotak review. Dan terima kasih sudah membaca!
