THE SHAPE OF LOVE
Main Cast:
Kim Jonghyun, Hwang Minhyun, Ong Seungwoo, Kim Jaehwan, Kang Daniel, Kwon Hyunbin.
Other Cast:
Kim Taedong
Genre:
Friendship, Romance, Slice of Life.
This is just fanfiction
Saya hanya meminjam nama tokoh dari Justice League.
Chapter One
"Kehidupan seperti sebuah gelombang"
'Tap tap tap'
Suara sepatu yang bergesek dengan lantai terdengar di sebuah lorong panjang. Suasana yang sangat sepi menimbulkan gema yang dapat didengar oleh Jonghyun, sang pemilik sepatu. Tak acuh dengan hal tersebut, lelaki dengan kemeja biru muda yang sengaja tidak dimasukan ke dalam celana hitam panjangnya itu melangkah terburu-buru. Ia semakin mempercepat langkahnya ketika melihat sebuah cahaya yang berasal dari ruangan dengan pintu dibiarkan terbuka. Dengan raut muka khawatir, Jonghyun masuk dan mendapati lelaki lain di dalam ruangan tengah duduk menunduk memeluk kedua lututnya.
"Minhyun-a,"
Mendengar namanya dipanggil, lelaki berambut hitam itu mengangkat kepalanya dan menemukan seseorang yang sangat ingin ia temui saat ini juga berdiri dihadapannya. Bukannya berdiri untuk menyamakan pandangan dengan lelaki didepannya, Minhyun justru kembali menunduk. Melihat hal tersebut, Jonghyun jongkok dan menepuk bahu Minhyun pelan.
"Apa yang terjadi?"
Minhyun tidak bergeming. Dengan sabar, lelaki yang merupakan sahabatnya itu kembali melontarkan pertanyaan.
"Apa kau tidak ingin menceritakan padaku setelah menelponku sambil menangis?"
Minhyun mengangkat kepalanya kembali dan kali ini tatapan keduanya bertemu, "Maafkan aku, Jonghyun-a"
Jonghyun diam menunggu kalimat selanjutnya dari sang lawan bicara.
"Aku... ingin menyerah saja."
Sunyi untuk beberapa saat hingga Jonghyun membuka mulutnya, "Apa hanya sebatas ini usahamu?"
"Aku lelah. Benar-benar lelah, Jonghyun-a," ucap Minhyun frustasi.
Jonghyun terdiam. Ia merasa sedih melihat sahabatnya itu kacau. Dan ia juga merasa menyesal tidak mencegah Minhyun sejak dulu, tapi malah ikut membantu yang berakhir dengan kekacauan seperti ini.
"Maafkan aku. Jika saja aku mempunyai kemampuan lebih mungkin tidak akan seperti ini jadinya." Jonghyun menundukkan kepalanya. Di saat seperti ini, justru dirinya tidak dapat berbuat apa-apa.
"Tidak. Ini bukan salahmu. Akulah yang tidak berbakat di bidang musik. Harusnya aku memang tidak memilih menentang ayahku."
Musik. Satu kata yang sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai penyebab semua kekacauan ini. Sejak kecil Minhyun sudah bermimpi ingin menjadi seorang musisi. Namun, orang tuanya tidak pernah mengetahui bahwa impian itu bukanlah hanya hobi semata. Hingga saat menjelang ujian masuk perguruan tinggi, kedua orang tuanya dibuat kaget dengan jurusan pilihan anaknya. Mereka tidak menyangka bahwa anaknya serius dengan impian kecilnya itu. Karena hal itu, terjadi perdebatan antara Minhyun dengan orang tuanya itu. Mereka menginginkan Minhyun menjadi seorang jaksa, tapi dirinya tidak pernah berniat memasuki dunia hukum. Meskipun begitu, Minhyun tetap menuruti keinginan kedua orangtuanya dengan musik tetap menjadi bagian dari hidupnya.
Satu tahun berlalu, Minhyun masih melakukan kedua hal -kuliah dan musik- dengan seimbang. Namun, semuanya berubah menjadi kacau ketika kedua orang tuanya menyuruhnya berhenti dari segala hal yang berhubungan dengan musik. Tentu saja hal tersebut membuatnya frustasi. Minhyun adalah anak penurut yang selalu berusaha membuat bangga orang tuanya. Dan kali ini ia memutuskan menjadi anak durhaka yang menentang ayah dan ibunya. Ia memilih keluar dari rumah dan berfokus mengejar impiannya.
Hampir satu bulan sejak Minhyun meninggalkan rumahnya. Sejak itu pula ia merasa tidak ada perkembangan dengan apa yang ingin ia capai. Tiap harinya ia merasa bersalah terhadap orang tuanya. Hal tersebut kemudian membawa pengaruh pada tujuannya. Hidupnya kacau. Musik yang selalu mendampinginya bagai jarum yang siap menyakitinya kapan saja jika tidak berhati-hati.
"Kau berbakat, Minhyun. Kau bisa menyanyi, menari, bahkan membuat lagu."
"Lalu apa gunanya jika semua itu pas-pasan? Tidak ada dari tiga hal itu yang menonjol di diriku!"
Untuk kedua kalinya Jonghyun hanya bisa diam. Minhyun kembali menundukkan kepalanya. Bahunya yang bergetar membuat Jonghyun semakin merasa dirinya sangat tidak berguna. Hingga suara seseorang dari ambang pintu mengagetkannya.
"Apa sekarang aku boleh masuk?"
Jonghyun menoleh dan melihat lelaki dengan kaos merah serta celana panjang hitam yang menjadikannya terlihat seperti anak hiphop?
"Kurasa boleh." Gumamnya kemudian masuk dan meletakkan tasnya di meja yang berada di dekat Minhyun dan Jonghyun.
Lelaki itu melirik pada Minhyun yang tengah menangis meskipun tidak ada suara.
"Maaf sebelumnya, aku mendengar pembicaraan kalian tadi dari luar."
Jonghyun mengernyitkan dahinya, "Kau mendengar semuanya?"
Lelaki itu mengangguk sebagai balasan, "Aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja aku mempunyai kenalan yang mengalami hal sama sepertinya. Jadi, boleh aku memberi saran?"
Jonghyun menoleh sesaat pada Minhyun kemudian kembali fokus pada lelaki asing tersebut, "Ya, aku ingin mendengarnya."
"Baiklah," Lelaki tersebut meposisikan dirinya menghadap Jonghyun, "Sebelumnya, namaku Ong Seungwoo." ucapnya dengan tangan terulur.
Jonghyun menerima uluran tangan Seungwoo, "Aku Jonghyun. Dan ini Hwang Minhyun."
Seungwoo terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali membuka suara, "Ah, baiklah langsung saja. Nah, jadi temanku ini juga sempat menyerah dengan impiannya karena ayahnya tidak suka dia menari. Padahal dia jago sekali menarinya. Kalo temanmu ini karena apa? Apa cuma karena bakatnya yang tidak seberapa?"
"Sama saja dengan temanmu. Orangtuanya juga tidak setuju." Jelas Jonghyun.
"Ahh kebetulan." Seungwoo menoleh pada Minhyun yang masih berada di posisi yang sama, "Kalo begitu aku sarankan untuk bicara lagi dengan orangtuamu."
Minhyun mengangkat kepalanya dan menatap langsung pada Seungwoo, "Apa kau pikir segampang itu? Aku sudah pernah mencobanya."
"Apa yang kau lakukan saat bicara dengan mereka? Apa kau hanya bilang aku ingin bermusik? Oh ayolah, hal seperti itu tentu saja tidak akan mempan."
Minhyun terdiam. Sedangkan Jonghyun membelalakan matanya kaget. Ia tidak menyangka orang asing tersebut sangat berani. Melihat dari cara bicaranya, sepertinya Seungwoo adalah orang yang mudah akrab dengan siapa saja.
"Kau harus menunjukkan hasil dari kerja kerasmu. Atau jika belum ada hasil, kau harus menjelaskan rencanamu kedepan yang tentunya bisa menyakinkan mereka. Orang tua selalu menginginkan anaknya sukses, jadi kau harus bisa yakinkan mereka kalo musik bisa membuatmu sukses." Jelasnya dengan diakhiri senyuman tulus.
Hening sesaat hingga Minhyun beranjak dari posisinya. Kedua orang lain yang berada di ruang yang sama tersebut ikut berdiri dan menatap Minhyun bingung.
"Aku... akan mencobanya." Minhyun menarik sudut bibirnya membentuk senyuman, "Terima kasih, Seungwoo-ssi."
Seungwoo menarik kursi di sebuah meja dekat pintu masuk restoran. Ia mendudukkan dirinya dengan nyaman sambil menatap orang yang duduk dihadapannya.
"Darimana kau?" Tanya orang dihadapannya tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Tentu saja mengambil flashdisk-mu yang tertinggal di ruang multi." Jawab Seungwoo sambil menatap tajam sang penanya.
Lelaki didepannya itu tertawa, "Maaf, lagian bagaimana bisa kau meninggalkan barang penting milikku itu."
Seungwoo hanya menatapnya malas, kemudian meminum kopi yang sudah dipesankan oleh temannya itu.
"Jadi kenapa lama sekali? Kau tidak tersesat atau bertemu Jisung sunbae kan?"
Seungwoo tersenyum bangga, "Kau tidak akan menyangka ini, Kang Daniel. Aku baru saja memberi petuah pada seseorang di ruang dance."
Kang Daniel, sahabatnya sejak masuk perguruan tinggi tersebut mengernyitkan dahinya tidak mengerti, "Hah? Petuah? Maksudmu saran?"
Seungwoo mengangguk, "Yap, saran. Dan dia mencoba mengikuti saranku."
"Hanya saran kenapa kau bangga sekali?"
"Ey, orang yang kuberi saran bukan orang biasa. Dia Hwang Minhyun."
Daniel kembali mengerutkan dahinya. "Hwang Minhyun?" Dua detik kemudian dia membelalakkan matanya kaget, "Maksudmu Hwang Minhyun yang meraih peringkat satu saat ujian masuk?"
"Iyalah. Memangnya ada berapa orang dengan nama itu di univ kita?!"
"Lah kalo begitu kenapa kau memberinya saran? Memangnya dia kenapa? Dan bukannya dia anak hukum? Kenapa ada di ruang dance? Perasaan aku tidak pernah melihatnya di klub dance,"
"Kalo tanya satu-satu, dong!" Seungwoo menjitak Daniel hingga sang empunya meringis, "Dia itu masuk hukum karena orang tuanya. Inginnya sih masuk jurusan seni musik, tapi ya begitu kayak Eunki kasusnya."
Daniel mengangguk paham, kemudian menyeruput jus apelnya. "Bahkan orang paling pintar pun bisa mengalami masalah yang berat." Ucapnya sembari meletakkan kembali gelasnya.
"Hm. Sama halnya dengan kita, dia juga manusia biasa."
Hyunbin menempelkan botol minuman yang dibelinya barusan pada wajahnya yang memerah. Udara musim dingin yang cukup menusuk tulang siapapun itu memicu lelaki tinggi tersebut mengeluh untuk kesekian kalinya. Dilihatnya benda bundar yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sudah hampir tengah malam rupanya."
Menyadari dirinya sudah terlalu lama di mini market, ia beranjak pergi. Langkah kakinya yang panjang membuatnya lebih cepat hingga dirinya sudah berada di pinggir lapangan basket dekat apartemennya.
'Duk duk'
Hyunbin menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah lapangan kala mendengar suara pantulan bola. Seseorang yang tengah melempar bola asal menjadi objek yang menarik untuk dilihatnya. Ia pun melangkahkan kakinya mendekati lapangan untuk melihat lebih jelas.
Sepuluh menit berlalu, dan tak ada bola yang masuk ke dalam ring. Bosan melihatnya, Hyunbin akhirnya berlari mengambil bola yang menggelinding tidak jauh darinya.
"Sebenarnya kau bisa main basket tidak?" Tanya Hyunbin sambil memutar bola ditangannya seperti akan melakukan servis voli.
Yang ditanya hanya menampilkan ekspresi datarnya. Acara melempar bola sebagai bentuk pelemparan stres-nya itu telah diganggu oleh manusia tinggi yang berdiri tidak jauh darinya. Hyunbin sendiri justru melempar bola ke arah ring. Dan dengan mudahnya bola tersebut lolos melewati lubang ring basket.
"Begini caranya bermain." Ucapnya dengan nada sombong disertai senyuman penuh kebanggaan.
"Aku tidak menyuruhmu menunjukkan padaku cara bermain basket." Ucapnya dengan nada sakrasme hingga Hyunbin melongo mendengarnya. "Lagipula aku tidak sedang bermain untuk melatih kemampuan bermain basketku."
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Berpikir."
Untuk kedua kalinya Hyunbin melongo karena jawaban lelaki bermata sipit itu, "Berpikir dengan bermain basket? Memangnya bisa?" Batinnya tidak percaya.
"Setiap orang mempunyai cara berkonsentrasinya sendiri. Dan aku bisa berkonsentrasi dengan bermain basket." Ucapnya seperti mendengar batin Hyunbin. Kemudian lelaki itu mengambil bola basket yang berada di dekat kakinya dan melempar ke arah Hyunbin. Dengan sigap ia menangkapnya.
"Lalu apa kau sudah menemukan jawabannya?"
"Jawaban? Benar juga, aku sedang mencari jawaban," gumamnya kemudian menundukkan kepalanya.
Tidak ada diantara keduanya yang mengeluarkan suara. Bahkan suara angin berhembuspun tidak terdengar sama sekali. Hingga akhirnya suara langkah kaki memecah keheningan. Hyunbin memperhatikan lelaki yang baru saja ia temui itu melangkah untuk mengambil tasnya yang tergeletak di dekat ring. Ia terus memperhatikan hingga lelaki itu berjalan mendekatinya. Kini keduanya saling berhadapan.
"Terima kasih sudah mengingatkanku."
Untuk sesaat Hyunbin lupa caranya bernafas. Lelaki didepannya ini tersenyum sangat manis hingga dirinya merasa jantungnya tak berdetak dengan normal.
Tidak mendapat jawaban apapun, lelaki itu melangkahkan kakinya melewati Hyunbin yang mematung. Tersadar bahwa dirinya ditinggalkan, Hyunbin berbalik dan menemukan lelaki tadi belum jauh dari ia berdiri.
"Tunggu!" Suara bass milik Hyunbin itu menghentikan langkah lelaki yang mempunyai tinggi tidak jauh darinya. "Siapa namamu?"
Lelaki itu menoleh dan kembali menunjukkan senyumnya, "Minhyun. Hwang Minhyun."
"Apa kau baik-baik saja?"
Hyunbin menoleh pada sumber suara dan menemukan Kim Jaehwan-tetangga sebelahnya tengah berdiri menatapnya.
"Kau bertanya padaku?" Hyunbin menunjuk dirinya dan dibalas anggukan oleh Jaehwan. "Apa aku terlihat tidak baik-baik saja?"
"Dari aku berjalan di ujung sana sampai sini, aku melihatmu terus berdiri di depan pintu."
Hyunbin tersenyum kikuk, "Ya, aku baik-baik saja." Ia memperhatikan Jaehwan dari atas hingga bawah, "Sepertinya hyung yang terlihat tidak baik-baik saja."
Jaehwan tersenyum tipis, "Kurasa aku selalu seperti ini."
Hyunbin menepuk bahu yang lebih tua, "Semangat hyung. Jadi, apa ini ada hubungannya dengan kepulanganmu yang lebih awal?"
"Yah begitulah. Aku terus membuat kesalahan jadi manajer menyuruhku pulang."
Hyunbin mengangguk paham kemudian menepuk bahu Jaehwan sekali lagi sebelum keduanya masuk ke apartemen masing-masing. Terkadang ia merasa iba pada tetangganya itu. Meskipun keduanya tidak terlalu akrab mengingat baru beberapa minggu Hyunbin tinggal di apartemen kecil tersebut, ia cukup mengetahui beberapa hal mengenainya. Salah satunya adalah Jaehwan yang hampir setiap hari selalu berangkat di pagi buta bahkan matahari belum terbit dan pulang pada dini hari.
Jaehwan membaringkan tubuhnya pada kasur kecilnya. Ia menatap langit-langit apartemennya sebelum menutup matanya menggunakan sebelah lengannya. Ia menghela nafas lelah. Memikirkan bagaimana keras hidupnya.
Jaehwan adalah anak sulung di keluarganya. Keluarganya bukanlah keluarga kaya yang bisa dengan mudah mengeluarkan uang. Ayahnya hanyalah seorang buruh sehingga penghasilannya hanya bisa digunakan untuk makan sehari-hari. Oleh karena itu, Jaehwan yang merasa mempunyai tanggung jawab ikut bekerja membantu keluarganya. Pada awalnya, ia sempat berhenti dari sekolahnya selama 3 minggu hingga akhirnya pihak sekolah memanggil kedua orangtuanya. Bagaimanapun kedua orang tuanya tidak menginginkan Jaehwan berhenti sekolah hanya untuk membantu kebutuhan keluarga. Melihat orang tuanya yang kecewa, Jaehwan pun kembali ke sekolah dan belajar dengan giat serta tetap bekerja part time. Hinggasaat ini ia berhasil membayar biaya kuliah serta hidupnya sendiri di Seoul. Namun, tentunya tidak semua berjalan lancar. Sering kali ia kekurangan uang karena bekerja part time tidak menghasilkan banyak uang.
"Baru satu tahun tapi kenapa rasanya sudah bertahun-tahun?"
"Benar-benar melelahkan."
Taedong tertawa mendengar keluhan dari Hyunbin. Hyunbin sendiri hanya menatap datar teman SMA sekaligus teman kuliahnya itu.
"Sungguh. Bagaimana bisa kau terlambat di upacara penerimaan mahasiswa baru. Beruntung mereka masih memberi toleransi padamu." Ujar Taedong sambil memegang perutnya sakit karena banyak tertawa.
"Menyebalkan sekali kau, Kim Taedong."
"Maaf maaf. Ah ya ampun," Hyunbin menatap jijik pada Taedong yang kali ini mengusap matanya karena mengeluarkan air mata.
"Permisi para hoobae." Hyunbin dan Taedong menoleh pada sumber suara. "Apa kalian berminat bergabung dengan klub futsal kami?"
Kedua lelaki tinggi itu menerima brosur yang diberikan oleh lelaki yang sepertinya adalah senior mereka. Kemudian keduanya memperhatikan sekeliling dan baru menyadari bahwa ada banyak orang disekitar mereka. Hyunbin masih melongo melihat banyaknya stand berdiri yang menandakan ada banyak klub di universitas ini. Lamunannya buyar ketika Taedong menepuk bahunya cukup keras.
"Mau ikut klub apa?"
"Eh, apa ya? Banyak sekali klubnya."
"Kalau begitu ayo lihat-lihat dulu." Ajaknya kemudian berjalan terlebih dahulu.
Hyunbin memperhatikan tiap stand yang ia lewati. Ada banyak stand yang dibuat unik dengan beberapa pertunjukan yang mengundang banyak mahasiswa baru. Ia terus menelusuri hingga langkahnya terhenti di depan gerombolan orang yang sedang menonton suatu pertunjukan dance. Awalnya ia hanya tertarik pada beberapa orang yang meliukkan tubuhnya itu, tetapi kemudian atensinya berubah pada seseorang yang berdiri di dekat stand tersebut. Meskipun sudah beberapa minggu yang lalu sejak ia bertemu dengan lelaki itu, ia masih mengenalnya dengan jelas. Dia Hwang Minhyun.
.
.
.
To be continued...
Haloha saya author baru. Jadi masih amat sangat amatir dalam menulis ff. Jadi juga mohon review nya sebagai saran atau kritik biar saya bisa tambah belajar banyak. Mohon ya dukungannya.
2017/5/7
