Pair : Taekook
Rate : T
Genre : angst
Twoshoot [FIN]
Written by hyeojinpark
.
Sad Wedding
Tidak ada yang bisa dilakukan selain menghitung waktu.
Detik demi detik kini terasa pilu. Air mata pun tak lagi mampu untuk jatuh.
Memeluk lutut di pojok kamar adalah kegiatan yang tak berarti; karena tak akan merubah nasib apapun. Begitu cemen untuk pria usia matang sepertinya.
Cinta bukan lagi hal yang menyenangkan untuknya. Terlalu kejam untuk diceritakan, tapi juga terlalu sakit untuk dipendam.
Mengapa cinta harus ada jika itu akan menyakati banyak jiwa? Terutama untuk mereka yang berbeda; berbeda di pandangan kebanyakan orang. Mereka yang menyimpangă…ˇmencintai sejenisnya.
Awalan yang buruk adalah ketika semua itu terlanjur; terlanjur jatuh hati kepada hati yang salah. Tetapi berakhir pada hati yang berbeda karena keterpaksaan.
Dengarkan dia yang mencoba untuk bersuara, meskipun itu hanya berupa luka yang disampaikan.
Tok tok
"Kenapa kamu nangis?"
Suara itu, tidak membuatnya membaik.
"Hello?"
"Aku duduk di sampingmu ya?" tak perlu menunggu jawaban, ia tetap melakukannya.
Si pria cemen dengan mata sembab dan bengkak pun menundudukkan kepalanya, malu kalau terlihat. Apa-apaan dengan menangis?
Satu tangan meraih kepalanya, mengacak pelan dengan sekali helaan napas. "Jangan biarkan matamu bengkak, besok kamu jelek loh. Kan mau nikah.."
Hiks hiks hiks
Suaranya yang lemah lembut itu membuat getaran dahsyat di hatinya; menyakitkan sekali. Jarinya meremat erat celananya sendiri.
"Kok makin kencang? Kamu nangisin apa sih?" berpura-pura basa-basi untuk menghibur satu pihak, pikirnya begitu, tapi sial, pikirannya itu jelas salah besar!
"Taehyung, besok kita nikah, kita harus sama-sama tampan di depan semua tamu! Kamu yang bahagia dong.." kini punggungnya mulai bergetar, menahan satu buliran yang kurang ajarnya mau menetes tanpa izin. Hey, Jungkook tidak mengizini tahu.
Tes. Tapi terlanjur sudah. Dia menetes. "Huh. Hei. Kamu tuh ya.. masih suka buat aku sedih. Kan kamu janji buat aku seneng terus. Buktinya aku nangis karena kamu lagi nih." Huft, sesak sekali.
"Maaf."
Suara beratnya hilang, terlalu tertekan. Serak itu tidak enak didengar. Satu kata itu tidak menyembuhkan apa-apa, justru membuka satu luka lagi.
"Minta maaf itu gak berarti, kamu aja nangis terus. Maaf sama diri kamu sendiri. Habis minta maaf, kamu harus maafin diri kamu. Maafin diri kamu karena belum bisa ikhlas."
"Aku aja udah maafin diri aku. Tapi mudah-mudahan aku ikhlas."
Ikhlas?
Semoga.
Meskipun hanya berusaha kuat, tidak salah kan? Demi kebaikan kedua pihak. Ayolah.
Mengusap punggung pria cemen itu, habisnya ia tak berhenti menangis. Sampai sesenggukan begitu. "Kamu tuh masih cengeng ya. Dulu pas aku sakit demam aja, kamu nangisnya seharian."
Bernostalgia sedikit, sang penostalgia menceritakannya dengan senyumană…ˇyang diusahakan. "Pas aku izin nginep di rumah kamu juga kamu nangis. Harusnya kamu seneng, kan itu berharga; waktu kita berdua."
"Kamu diusir. Jangan ceritain sepotong, Jungkookie, kebiasaan."
"Huh, akhirnya kamu bersuara, aku pikir suaramu udah habis." Pria manis dengan tatanan rambut merah maroon itu terkekeh, sampai satu buliran air membasahi belah bibirnya.
"Besok kita mau nikah juga kamu masih nangis, kan berarti kamu cengeng."
Suasana benar-benar menusuk. Dalam diri mereka masing-masing tidak menginginkan waktu untuk berputar dengan cepat. Hari esok itu menyeramkan, meskipun banyak orang menantikan.
"Kamu ingat gak pas kaki aku luka karena kamu ngendarain motornya gak bener, sampai nabrak pohon."
"Itu bukan satu cerita yang seharusnya menyenangkan. Tapi buktinya kamu bisa ketawa."
"Menikah itu menyenangkan. Seharusnya kamu bisa lebih dari ketawa," lanjut Jungkook.
"Ketawa berlebihan itu gila. Lengkapnya, menikah itu menyenangkan sekali, sampai bisa buat aku gila karena itu? Bicara jangan separuh-separuh, Jungkookie. Peringatan kedua."
"Aku harus membuat umpan untuk memancing. Kalo gak begitu, kamu mana mau tanggepin aku. Kamu kan pelit suara, he." Ia mengedikkan bahunya sesaat, sebelum ikut memeluk lututnya sendiri.
"Kamu tau gak tuxedo putih yang pernah aku ceritain di 27 oktober 2015 lalu? Impianku, besok akan terwujud. Aku mau pamer sekali. Tuxedomu bagaimana? impianmu itu yang warna hitam dengan garis belang-belang putih di bagian ujungnya kan?"
"Tuxedo itu tak indah lagi kalo gak bersanding sama tuxedomu."
"Baiklah, besok kita bisa berfoto bersama," ucap Jungkook.
"Dengan dua gaun di samping kita masing-masing? Aku menolak."
"Haha.. baiklah. Tapi hanya satu, oke?"
"Satu saja?"
"Jangan banyak-banyak, daripada kamu terluka."
"Benar juga. Untuk apa mengambil foto jika bukan untuk diabadikan, nantinya foto itu akan berdebu di laci kamar baruku, bukan?"
"Ck, aku sedih mendengarnya." Jungkook menenggelamkan wajahnya di lutut; menyembunyikan mata yang mulai sembab.
"Maafkan aku."
"Termaafkan jika kamu kasih tau siapa nama anakmu nanti? Dia pasti cantik seperti calonmu, hey." Sesak sekali tolong.
"Jangan bahas itu, ini waktu terakhir kita berdua tau, harusnya kamu bernostalgia aja, mungkin lebih menyenangkan," tolak Taehyung. Ia sendiri tidak tahu, dan tidak mau memikirkannya. Sebelum anaknya lahir pun, dia sudah menjadi ayah yang gagal rupanya.
.
.
.
"Jungkook, aku akan menjadi ayah."
"Jangan bercanda denganku dulu. Kamu liat gak aku lagi masak? Nanti gosong kamu yang habisin ya. Mana bisa aku hamil, dasar halu."
Taehyung mendekat sedikit. Iya. Hanya mampu sedikit. Rasanya ia berdosa sekali untuk berada di dekat pria manis yang 5 tahun mewarnai hidupnya ini.
"Jungkook, aku sayang sama kamu, percaya ya."
"Kamu aneh deh. Duduk dulu sana. Besok aku harus pulang ke rumah. Udah 3 minggu aku seneng-seneng di rumah kamu."
"Bener. Kamu balik gih. Terus ikutin kata orang tua kamu."
"Omongan yang mana? Mama kan cerewet, lebih kurang ribuan kalimat udah dia keluarin."
"Kamu cari perempuan untuk nikah."
Tes
Jungkook mematikan kompornya kemudian balik badan untuk melihat pria yang sedang menunduk di depannya.
"Aku kan udah bilang, aku bakalan jadi ayah."
Plak
"Brengsek."
.
.
.
"Baik. Aku memilih untuk bernostalgia saat kamu bilang bakal jadi ayah. Gimana? Kupikir itu menyenangkan, sangat menyenangkan teman dekatku ini akan memiliki buah hati.."
"Sarkasme yang hebat dan bagus. Terima kasih untuk mengingatkan dosaku."
"Dosa apa? Pilihanmu tepat untuk mengakhiri hubungan terlarang kita. Aku tau kamu terpaksa, tapi itu tepat sekali. Kalo kamu gak lakuin itu, aku bakal jadi anak durhaka seumur hidup karena gak dengerin apa kata orang tuaku."
"Dan aku yang akan jadi orang dengan penyesalan tak henti di sepanjang hidupku. Begitu?"
"Jangan nyesel. Kamu tepatin janji buat bahagiain aku. Nah kamu lagi tepatin janji kamu kan.."
"Tapi kamu nangis."
"Itu nangis bahagia."
"Si manis yang pintar berbohong."
"Jangan membuat panggilan baru untukku, si tampan yang cengeng."
"Ck, kamu hebat. Sekarang air mataku kering. Terima kasih." Kini Taehyung baru mampu mengangkat kepalanya untuk melihat satu kepala yang tertunduk.
Memperlakukan Jungkook sama seperti Jungkook memperlakukannya barusan; mengacak rambutnya dan mengusap punggungnya.
"Kim Taeguk namanya," ujarnya berat hati.
.
.
.
"Seandainya aku perempuan dan aku bisa hamil. Kamu bakal kasih nama anak kita apa?"
"Taeguk."
"Gak terdengar bagus."
"Taehyung Jeongguk. Itu bagus tau, jangan menghina. Aku memikirkannya sepersekian detik setelah pertanyaanmu."
"Baiklah, aku terima sebagai usahamu berpikir keras dalam waktu sepersekian detik." Jungkook tertawa renyah. Konyol sekali.
.
.
.
"Kamu lagi-lagi berusaha menyakiti hati sendiri?"
"Gak juga. Aku hanya berusaha mengenang."
"Kalo begitu, kamu menyakiti hati calonmu."
"Kenapa?"
"Karena itu namaku. Kenapa gak kamu gabungkan saja nama kamu dengan dia? Mungkin akan lebih bagus, dan dia akan senang."
"Dan kamu yang akan tersakiti?"
"Kenapa harus tersakiti? Kan itu anakmu dengannya, apa urusanku untuk menangisi anak orang?"
"Kamu pintar berbicara."
Jungkook mengangkat kepalanya. "Agar bisa menutupi luka. Seolah aku baik-baik aja. Itu penting tau. Coba kalo engga, kamu gak bakal berhenti nangis."
"Aku lagi nyimpen air mata buat besok yang bakal lebih dahsyat dari hari ini. Ayo kita tunggu. Terus nangis bersama ya? Nangis bersama maksudku hanya waktu yang bersamaan tanpa tatap muka, haha."
Si pria manis yang pintar bicara mengangkat jari kelingkingnya, menatap dalam mata pria di depannya, meskipun dengan mata yang sama-sama sembab dan mulai menghitam.
"Buat janji dulu yuk biar anak kita nanti gak ngerasain hal yang sama kayak 'papa'nya."
Taehyung mengedikkan bahunya. "Kupikir dulu dalam beberapa detik, kamu bilang dulu aja janji untuk apa?"
"Janji kita didik dan jaga anak kita jangan sampai menyimpang, apalagi sampai hamilin anak orang di luar nikah demi mengakhiri satu hubungan. Jangan sampai mereka di masa depan salah jalan dan salah awalan dalam urusan cinta, kalo akhirnya dengan hati yang beda. Cukup cinta seperti ini terakhir. Jangan ada cinta yang terpaksa lainnya. Mau gak?"
"Kata-katamu berat sekali. Belajar dari mana sih? Kamu kebanyakkan baca novel ya?"
"Heh. Aku serius nih." Jungkook menggerakkan kelingkingnya, menunggu untuk dikaiti.
"Tapi kamu juga janji untuk jangan nangis karena aku lagi."
"Loh siapa juga yang mau nangisin kamu?"
"Ck." Taehyung mengangkat satu kelingkingnya untuk mengaitkannya pada kelingking Jungkook.
"Cuci muka yuk. Habis ini aku mau pulang. Tadi kebetulan aja kepikiran kamu, jadi ke sini dulu deh buat sedikit bernostalgia."
Pria dengan rambut merah maroon lebih dulu berdiri.
Taehyung menjulurkan kedua tangannya. Kode minta dibangunkan. "Tarik, kakiku kesemutan nih.."
"Harus mandiri. Kan udah mau jadi ayah." Yang diminta bantuan malah menjulurkan lidahnya mengejek. Keluar kamar lebih dulu.
Disusul Taehyung yang buru-buru bangun dan ikut keluar.
Jungkook diam sejenak. Menatap empat digit angka yang menempel di pintu kamar Taehyung. "Lepas itu. Buang aja. Nanti kamar ini kan bakal jadi kamar kalian.."
3001.
Dengan sekali tarikan. Taehyung meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah. "Sudah. Apa aku perlu juga mengatakan 'selamat tinggal kita'?"
"Gak perlu. Berlebihan."
.
.
.
"Kamar kamu yang mana sih? Aku lupa terus! Lagian kamu tinggal sendiri, buat apa rumah mewah-mewah sampai ada 5 kamar dalam satu lantai?"
"Kan aku udah bilang di ujung, sayang. Ini udah hari ke tiga kamu nginep di sini, masih aja lupa.."
"Ya lagian pintunya juga sama semua.."
Taehyung mengeluarkan satu stiker dari laci mejanya. "Kamu tempel deh. Biar jadi kamar kita. Nih, kayak kamar hotel kan ada angkanya."
"Kamu modal print doang ya?"
"Iya aku print tadi malem. Udah sana, biar gak nanya-nanya lagi.."
"Kamar hotel tuh angkanya dari kayu, diukir, bukan stiker tempelan."
.
.
.
Keduanya bercermin di satu cermin yang sama setelah membasuh wajahnya.
Jungkook tiba-tiba tersenyum. "Sekarang aku merasa tampan karena akan menikah."
"Kalo aja nikahnya sama aku, kamu bakalan merasa cantik seumur hidup?"
"Haha. Berusahalah, sedikit lagi lucu."
"Aku engga lagi melucu."
"Okei."
"Omong-omong, selamat ya," kata Jungkook lagi. "Selamat untuk kita berdua. Semoga besok lancar dan.. menyenangkan?"
"Huft, aku mengantuk. Pulang sana." Taehyung baru saja mau balik badan. Tapi ditahan.
"Tunggu dulu. Aku lagi memberi selamat tau.."
"Yaya. Selamat juga."
"Terlalu singkat, ikut sertakan sebuah harapan!" pinta Jungkook.
"Selamat juga, kamu bahagia."
"Masih singkat."
"Selamat juga, semoga kamu bahagia."
"Kamunya engga bahagia?"
"Diusahakan."
"Kalo begitu aku pulang sekarang." Jungkook yang balik badan lebih dulu.
Taehyung membuntuti dari belakang. Kaki mereka beriringan, turun satu persatu di anak tangga.
Sampai depan gerbang.
Jungkook melambaikan tangan.
Sebelum Jungkook pulang, "Aku bahagia-"
"-untukmu." Taehyung tersenyum.
.
.
.
.
Jungkook malah terkekeh kecil. "Kh, bahagialah untuk dirimu sendiri, wahai calon ayah."
To be continue
Hope u like it.
Ff ini juga kupindahlan dari wattpad haha.
Jangan lupa untuk review ya;)
