present-

A VKOOK Fanfiction

Hanakotoba : CAN IT BE LOVE?

Author : kimikookie

Pairing : VKOOK / Kim Tae Hyung; Jeon Jung Kook.

Other Pair: HunHan; Jimin x Suga

Genre : Crime; Hurt/Comfort; Shou-ai;

Length : Chapter

Disclaimer :

BTS milik BigHit, HunHan milik kita bersama tapi VKOOK milik saya-"

Semua jalan cerita milik saya, berasal dari otak dan imajinasi serta delusi saya. bila ada kesamaan, Its so impossible karena ini bukan hasil plagiat oke!^o^

Warning! :

Typo bisa ada dimana saja, karena typo adalah sahabat sejati saya xD gaya penulisan Italic berarti Flashback yo^^ sorry, Shounen-ai a.k.a Boy X Boy! Don't Like this genre? Don't Read kkkk~

-CHAPTER 1-

[FIRST MEETING]

"Dasar anak pelacur!"

"Pencuri!"

"Mati kau!"

Iris hazel milik pemuda bersurai cokelat madu itu bergerak pelan keluar jendela cafetaria, daun telinganya memerah, andai bisa berteriak, mungkin telinganya akan menyerukan 'Aku tak mau mendengar umpatan tak guna itu lagi!'. Tapi apa daya, telinga diciptakan untuk mendengar suara, bahkan suara dari dengungan sayap nyamuk sekalipun.

Giginya bergemelatuk seiring dengan semakin memicingnya pandangan. Tangannya terkepal, jika saja ia tak ingat, mungkin rokok ditangannya sudah lebur sejak tadi.

Ia mendengus, mengeluarkan kepulan asap dari hidung mancungnya. Memang udara tengah turun dengan drastis, mengingat ini adalah bulan desember, salju menghujam New York tanpa jeda, meski hanya sedetik.

Perlahan matanya terpejam, menikmati ketenangan dengan intuisi yang dipertajam. Jakunnya naik turun, tergoda oleh aroma khas kopi dari dapur yang membuat tenggorokannya kering, ingin segera menyicip.

"Orang seperti mu tak pantas tinggal di negara kami!"

Rasis, satu kata itu yang langsung terlintas di benaknya. Matanya terbuka, kembali melihat keluar jendela.

Belum selesai rupanya, iris hazel yang terkesan dingin itu menatap tanpa ekspresi sekumpulan bocah yang tengah mendiskriminasi kawannya dengan caci maki. Tak ada niatan untuk menolong meski ia tahu kalau salah seorang bocah keriting berkulit pucat vampir tengah menahan sakit yang mendera tubuhnya akibat pukulan. Ia hanya bergeming, seperti hatinya telah membeku bersama salju.

"Dasar pembawa petaka!"

BUGH!

Hati pemuda bersurai cokelat madu itu mencelos, bak ada pisau tajam yang menikam ulu hatinya, terasa ngilu.

Perlahan kilatan masa lalu secara acak terputar jelas di otaknya, seperti kaset kusut. Ia menggeram kasar kemudian memejamkan matanya erat.

"Dasar pembawa petaka!"

BUGH!

Tubuh mungilnya terpental beberapa meter, membentur dinding usang yang telah sedikit berlumut.

Ia meringis, mencoba berdiri meski tulang rusuknya terasa remuk.

Iris hazelnya bergerak liar menelusuri ruangan, kemudian berhenti tepat pada bayangan di depannya.

"Brengsek! Tau begini sudah ku musnahkan kau sejak masih janin, Kim Tae Hyung!" teriak itu terpelengking, membuat Tae Hyung memejam erat matanya sambil menutup telinga dengan kedua tangan.

Karena jika ia tak menutupnya, hardik orang didepannya hanya akan membuat telinganya seakan berdarah, terhunus pedang tak kasat mata.

Pun hatinya, jiwa kecil yang masih suci itu perlahan ternodai, ternodai oleh percikan api kebencian yang akan terus terpatri selamanya.

"Hentikan, Bu... Kenapa? Apa salahku?"


BRUK

"Hei, pencuri kecil!"

Seruan terdengar begitu panjang, riuh gaduh saat seorang pedagang buah berteriak. Membuat orang orang di swalayan mengejar seorang bocah yang tengah berlari sambil mengais semangka dipangkuannya.

"Berhenti kau!"

Tak mengindahkannya, bocah itu terus berlari, meski kaki dan tangannya terasa hampir putus. Matanya berkunang kunang dengan air mata yang menggenang di pelupuk, ia kalut, terlalu takut.

BRUK

"Aku yang menangkapnya!"

Langkah orang yang mengejar bocah itu serentak berhenti, memandangi pria jangkung yang tengah menginjak dada bocah itu dengan tatapan ngeri, seperti berusaha mematahkan tulangnya, membiarkan semangka yang telah pecah berserakan begitu saja.

Bocah itu meringis, meracau meminta ampun. Rongga paru parunya serasa penuh sesak. Air mata tak hentinya mengalir, bahkan jikalau ia menangis darah, ia tak yakin akan ada yang mengasihinya.

Krek

"Ah! Sakit, Tuan! Ampuni aku!" teriaknya pilu saat terasa tulangnya remuk, ingin melepaskan diri namun tak berdaya. Obsidiannya menatap miris orang orang yang bergeming beberapa meter didepannya, hanya menyaksikan tanpa berniat menolong.

"Kalian bisa pergi, aku yang akan mengurus bocah tengik ini!" perintahnya, seakan terhipnotis orang orang tadi perlahan meninggalkan lokasi, tanpa tahu kini sekujur tubuh bocah malang itu mengeluarkan keringat dingin.

"Ampuni aku, Tuan..." Bocah itu melirih, sedang pria di atasnya masih bergeming. Memastikan orang orang tadi telah pergi.

"Maafkan aku, Jung Kook." Bocah itu mendongak, bola matanya yang bening seakan tak berdosa kini berbinar, menatap sang Tuan yang perlahan menurunkan kaki dari dadanya.

"Kau tak berguna!"

BUGH!

Jung Kook terpental tak begitu jauh saat sang Tuan menendang perutnya keras, ia meringis saat merasa cairan amis berwarna merah keluar begitu saja dari mulutnya.

"You can't get another try, and you're in ruins..."

Jung Kook memejamkan matanya saat sang Tuan kembali menghujamnya dengan pukulan tanpa henti, air mata telah mengering tapi darahnya masih terus mengalir dengan deras, baik yang nyata apalagi yang tak kasat mata.

"Kau bukan anak asuhku lagi!"

Jung Kook sedikit membuka matanya, dilihat sang Tuan berdiri sedikit jauh dari tempat ia meringkuk.

"Aku mengajarkan mu untuk mencuri barang berharga, bukan semangka!"

Derap langkah kaki mulai tak terdengar, petanda sang Tuan telah pergi menjauh. Jung Kook menatap langit yang mulai berubah kelabu, petanda kristal cair akan segera berjatuhan ke bumi Amerika.

Ia memejamkan matanya, menikmati sensasi ngilu yang masih mendera tubuhnya ditengah suasana sunyi pinggiran kumuh New York.

"Kalau aku mencuri uang nanti kau mengambilnya, Tuan. Aku hanya ingin memberi sebuah hadiah di hari ulang tahun Ibuku..."

Deru napas Jung Kook melembut, tak sekasar tadi. Ia membuka matanya, melihat sebuah kaki yang berpijak setengah meter didepannya, bola matanya bergerak keatas, berusaha melihat sang empunya.

"Who you?" Jung Kook bertanya, sarkastik.

"Are you okay?" tanya orang itu—ia adalah, Tae Hyung.

"Go away!" Jung Kook setengah memekik, membuat Tae Hyung terjengkat.

"Hey! Don't waste your time with hate and regret!"

Jung Kook bergeming mendengar perkataan Tae Hyung, ia tersenyum miris kemudian bangkit bersama sakit yang masih terasa.

"Ikut denganku, yuk? Luka mu parah..."

"No, thanks. I—"

"Jangan menolak, aku melihat kejadian beberapa menit yang lalu. Kau pasti butuh perhatian, kan?"

"Tak usah sok tahu!"

"Kau akan lebih hancur, jika kau tak membuka hatimu, bung!"

Kau akan lebih hancur, jika kau tak membuka hatimu.

Kata kata itu terngiang di kepala Jung Kook, seperti sebuah sugesti. Ia menatap si pemilik hazel dengan seksama, bibir ranumnya meniup luka Jung Kook, tak lupa tangan yang setia membalut luka dengan penuh ke hati hatian.

Tidak!

Jung Kook mati matian berusaha menghindari perasaan balas budi.

Ia telah meneguhkan hatinya, kalau ia hanya menerima tawaran Tae Hyung karena ia memang butuh bantuan.

"Siapa namamu?"

Jung Kook menoleh, obsidiannya redup. Tak bercahaya.

"Jung Kook."

"Kalau aku, Tae Hyung!"

"Aku tak bertanya dan tak ingin tahu juga." balas Jung Kook tak acuh.

"Berapa umurmu?" Tae Hyung bertanya lagi, membuat Jung Kook memutar bola matanya malas.

"10 tahun."

Tae Hyung terkekeh, "Bocah 10 tahun sudah pandai mencuri, mau jadi apa?"

"Tak usah sok,"

Tawa berat terdengar dari bibir kissable Tae Hyung, ia menepuk pelan bahu Jung Kook kemudian duduk di kursi kedai tepat didepan Jung Kook.

"Kenapa kau mencuri?" Tae Hyung bertanya, membuat Jung Kook menolehkan kepalanya dengan cepat.

"Apa harus aku menjawab pertanyaanmu?"

"Tentu!"

"Kalau aku mencopet, Tuan ku tak akan memberi ku imbalan yang besar. Aku hanya ingin memberi hadiah ulang tahun pada Ibu ku. Ibu suka buah semangka maka aku—"

"Kau mencuri buah semangka di pasar swalayan sebagai hadiah untuk Ibu mu? Anak macam apa kau? Jika aku jadi dirimu, Aku tak akan menjadi pencopet dan tak akan memberi hadiah dari hasil curian pada orang yang ku sayangi." Tae Hyung berasumsi, memotong penjelasan Jung Kook yang masih menggantung.

"Lisanmu seperti sudah dewasa, berapa umurmu, bung?" Jung Kook bertanya, dengan nada meremehkan.

"12 tahun. Tentu aku lebih tua dari dirimu, Jung Kook..."

"Baru 12 tahun"

"Tapi tetap saja aku terlahir ke dunia ini lebih dulu dari dirimu, Jung Kook. Kau harus lebih sopan, panggil aku, Hyung!"


Rintik hujan makin riuh saat awan cumulonimbus datang, menutupi langit New York. Hanya Liberty yang dengan berani menghadapi sang awan. Tak gentar meski sambaran halilintar hampir mengenai tubuh kokohnya.

Hari seharusnya cerah. Ini adalah musim semi, musim penuh kehangatan dan juga membuat nyaman.

Dimana sepasang kekasih saling bercinta dibawah rindangnya pohon maple merah.

Dan merpati yang beradu kasih di dahannya.

Atau sekedar berjalan sendirian di tepi danau sambil melihat orang pacaran di sore hari.

Tapi, sudah hampir satu minggu hujan dan halilintar terus berkunjung di kota New York.

Siang dan malam, malam sampai pagi, atau bahkan seharian penuh.

Terlihat di ujung jalan, seorang remaja bersurai pirang, tak lupa parasnya yang tak seperti pria kebanyakan, Ia cantik. Tengah berlari, berlari menembus hujan sambil menutup bagian ubun ubunnya dengan tangan kosong.

Tak peduli badannya basah kuyup, yang penting ubun ubunnya tak mendingin.

Ia menggigil. Kalah oleh cuaca ekstrim. Bibir mungilnya mulai pucat, matanya pun serasa berat. Terlalu seksi jika pemuda itu adalah seorang bintang iklan obat sakit kepala. Perlahan mulai mengedarkan pandangannya mencari tempat untuk berteduh.

Mata serigalanya berbinar. Dengan cepat berlari kearah sebuah kedai di ujung jalan.

Kring

Bel berbunyi. Petanda sang pemuda bersurai pirang itu telah masuk. Pemilik kedai menyambutnya hangat, memberi sebuah handuk kecil berwarna putih lalu bertanya "Mau pesan apa?", dengan segala hormat pemuda itu menjawab, "Satu gelas teh jahe dan juga panekuk, paman..."

Sang pemilik kedai mengangkat sebelah alisnya.

"Pane—kuk?" "Ini kedai makanan jepang, anak muda." lanjutnya, sedikit terkekeh saat si pemuda menampilkan raut kaget bercampur malu.

"Dia—bodoh."

Tae Hyung menoleh, menatap Jung Kook yang ternyata tengah memperhatikan dialog paman pemilik kedai dengan si pemuda pirang.

"Mungkin dia tidak melihat nama kedainya saat masuk, Jung Kook."


1 hari,

2 hari..

3 hari...

Dan empat hari, setelah pertemuannya, Tae Hyung tak pernah melihat penampakan Jung Kook baik di swalayan atau di kedai makanan Jepang. Kehadirannya bagai di telan perut bumi, atau mungkin black hole. Menghilang tanpa jejak.

Tae Hyung bodoh. Ia memberi tahu Jung Kook alamat rumahnya tapi tak bertanya dimana alamat rumah Jung Kook.

Berbaring di ranjang beralaskan seprai Buzz Lightyear; Tae Hyung meringkuk sambil memeluk lutut. Sejak pertama melihat Jung Kook, ia merasa nyaman. Seperti dirinya telah mengenal Jung Kook cukup lama. Tae Hyung suka bola mata bening milik Jung Kook, seakan tak memiliki dosa.

Love at the first sight? Tidak. Tae Hyung belum puberty, kawan...

Kring

Kring

Melalui kaca jendela 'kamar' mansion tua, Tae Hyung menatap nanar teman teman yang berada di depan pagar rumahnya lengkap dengan sepeda. Ingin rasanya ia berlari dan ikut bermain.

"Berani keluar, tak akan ku biarkan kau masuk lagi, Kim Tae Hyung!"

Tae Hyung menoleh, menatap daun pintu kamarnya, yang pasti dijaga oleh seorang yang selama ini ia panggil Ibu dengan tatapan datar. Hatinya berontak. Tapi ia tak bisa melakukan apa pun selain mengalah.

"Aku—"

"Tae Hyung, ayo main!"

"Alien keluar lah, jangan terus bersembunyi di balik kaca mansion jelek!"

"Kami hitung sampai tiga. Jika kau tak keluar maka kami akan pergi!"

Kembali menoleh keluar jendela. Tae Hyung mengetuk ngetuk daun jendela dengan bimbang, haruskah ia memberontak sekarang? Tidak, ia tak mau bertindak ceroboh demi bisa bermain. Kamarnya berada di lantai dua. Kalau ia meloncat, yang ada hanya tubuhnya semakin remuk.

Memperhatikan teman teman yang mulai menghitung dengan posisi siap.

Kesal jelas terpatri dipermukaan wajah Tae Hyung, saat teman temannya pergi menjauhi mansion.

"Aku, aku benci hidup ini..."

Kring ..

Kriing ...

-TO BE CONTINUED-

.

.

.

Review, please?


senpai-ie! *bungkukhormat* apa

Kebanyakan flashback, ya? Kkkkk~ tenang, kan First Meeting._. Review terutama Flame sangat saya hormati. so, jangan sungkan buat ngasih kritik dan saran, yaaa^^

Salam cinta,

Author.