I wish it's fairytale
Copyright © Mayonice8
2013
A Haehyuk Fic
Romance, Angst, Hurt!comfort
Yaoi, AU, mpreg, OOC
.
Kamu berharap.
Ketika esok, kamu membuka perlahan kelopak mata, ia menjadi sosok yang pertama kali hadir dalam pandanganmu.
Kamu berharap.
Ketika malam kelabu tanpa bintang di angkasa, ia menjadi sosok terakhir yang kamu pandang, sebelum menutup kelopak matamu.
Kamu berharap …
.
.
a/n: Mpreg, bayangkan adalah hal lumrah yang terjadi di dunia. Perhatikan setting waktu di awal paragraf. Nama marga tokoh aku ganti sesuka-ku. Membosankan, terlalu banyak deskripsi. Untuk membuat mudah pemahaman, di setiap plot ada pov yang dipakai tokoh. Ini merupakan fc jadul yang kulanjutkan lagi. Semoga kalian menikmati :D
.
.
16 September 2010
Donghae's centric
Awal pertemuan mereka.
Kala itu. Suatu hari di pagi buta. Kalau Donghae tidak salah ingat. Pagi hari ketika matahari baru saja muncul dari persembunyiannya. Mentari baru saja mengudara di ufuk timur.
Donghae dengan langkah tergopoh keluar dari mobil Audi putih-nya yang ia parkirkan di tepi jalan. Ia terbatuk. Beberapa saat yang lalu, ia muntah-muntah di dekat selokan. Memuntahkan semua isi perutnya yang terasa bergejolak.
Ia mengutuk lima gelas wine yang telah ia teguk. Entah apa yang merasuki pikiran warasnya hingga Donghae seperti tak sadar diri meneguk wine tersebut dan meminta tambah. Harusnya ia sadar, jika tubuhnya hanya mampu mentolerir sedikit kadar alkohol yang masuk.
Mulutnya terasa aneh. Rasanya asam dan pahit. Ia tak membayangkan jika ada makanan yang masuk. Ugh… pasti perutnya bergejolak lagi. Semuanya akan ia muntahkan. Donghae juga merasakan kepalanya pening. Pandangannya mengabur.
Donghae memandang bangunan mini market di depannya. Beruntung, selama menyetir tadi. Ia bisa menemukan mini market tanpa menabrak pagar pembatas ataupun oleng saat mengendarai mobilnya. Meski dalam keadaan kacau, senyuman Donghae tersungging ketika ia memandang bangunan ini. Berharap menemukan obat untuk menghilangkan hangover-nya.
Kakinya berjalan tertatih. Tak seimbang. Tetap saja ia paksakan sampai ia menyentuh kenop pintu mini market tersebut.
Suara bell berdenting terdengar. Ia menyeret satu kakinya agar segera masuk ke dalam mini market tersebut.
"Selamat datang~" sapaan ramah itu mengusik pendengaran Donghae. Belum sempat Donghae membalas. Ia yang berjalan tergopoh ke arah kasir, dimana ada seorang pemuda kurus berdiri disitu.
Donghae limbung. Terjerembap kakinya sendiri. Teriakan khawatir si penjaga kasir mini market terdengar memenuhi mini market yang masih sepi. Juga, suara debuman keras. Saat tubuh Donghae, terperosok menyentuh lantai mini market yang dingin. Atau lebih tepatnya. Di musim gugur yang dingin.
Kali pertama mereka bertemu.
.
.
16 September 2010
Donghae's centric
Angin semilir menyejukan. Donghae masih dengan kelopak mata terkatup. Ia mengantuk. Angin yang berhembus menerpa wajahnya itu semakin membuat kantuk-nya menjadi.
Tubuhnya bergelung nyaman. Donghae merasa begitu nyaman. Meski, ranjang yang ia tempati sekarang terasa sangat sempit. Padahal, seingatnya. Ranjang di kamarnya berukuran kingsize dengan bed yang sangat empuk, dan bantal nyaman danselimut yang hangat.
Sesuatu yang basah menyentuh wajah Donghae. Ia mengernyit tanpa membuka kelopak matanya. Donghae masih terjaga, sampai ia merasakan benda itu terus bergerak di atas wajahnya. Menyentuh setiap inchi permukaan wajahnya.
"Erghhh…"
Donghae mengerang. Tak suka ada yang menganggu tidurnya. Perlahan-lahan, iris kelabu-nya itu terbuka.
Menatap sekeliling, meski masih dengan pandangan buram. Donghae mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali. Sakit kepalanya kembali terasa. Pening segera menghujam kepalanya. Membuat ia mengerang sakit.
Sebuah lengan segera menarik Donghae. Terdengar celotehan seseorang yang panik. Donghae hanya menurut ketika orang itu membuatnya setegah berbaring. Punggungnya diganjal bantal empuk.
"Ah, minum ini. Biar sakit kepalamu hilang," orang itu bersuara. Mendekatkan pinggiran gelas dan sebutir obat pada mulut Donghae. Donghae manut saja, membiarkan dirinya disuapi obat oleh orang tersebut.
Butuh beberapa menit sampai Donghae mampu menguasai dirinya lagi. "Air," lirihnya.
Donghae merasakan tenggorokannya begitu kering. Lalu, orang itu membantunya meneguk teh hangat. Setelah beberapa tegukan, Donghae merasakan keadaannya sudah membaik ketimbang sebelumnya.
Kelopak mata Donghae mengerjap berkali-kali. Membiarkan pupil-nya terbiasa dengan pancaran cahaya. Ia menatap sosok yang tengah mengusap lengannya. Mengamatinya dengan pandangannya yang masih mengabur.
"Kau sudah baikan?" tanya orang itu. Hangat telapak tangannya menyentuh permukaan kulit Donghae. Dengan gerakan pelan, orang itu tak berhenti mengusap lengan Donghae.
Déjà vu.
Donghae merasakannya. Dia hanya mampu terdiam. Masih setia menatapnya.
Manik Donghae terbebalak menatap pemuda di hadapannya. Ketika maniknya sudah terfokus dan bertemu pandang dengan pemuda tersebut. Donghae seolah tersihir dan membatu.
Déjà vu.
Usapan lengan itu. Sapuan telapak tangan yang hangat di permukaan kulit. Usapan lengan yang merupakan gesture sederhana, ternyata berdampak begitu hebat bagi Donghae. Perasaan hangat tak hanya menghinggapi permukaan kulitnya. Donghae merasakan dadanya membumbung hangat. Perasaan seperti nyaman dan hangat yang membuat hatimu berdetak tak beraturan. Usapan itu membuatnya merasakan terlempar kembali ke masa lalu. Mengingatkan Donghae pada satu sosok yang ia sayang.
'Mama …' gumamnya.
Detik setelahnya. Pandangan Donghae mengabur. Kali ini bukan karena kesadarannya yang menghilang. Air mata menggenang di pelupuknya, mengaburkan iris Donghae untuk menatap dengan jelas orang dihadapannya.
Persetan dengan perkataan seorang lelaki tak boleh menangis. Rasa hangat di bola matanya sudah tak terbendung lagi. Tanpa sadar, Donghae menitik air mata. Membiarkannya bebas jatuh.
Usapan tangan yang begitu familiar. Seperti sentuhan seorang yang Donghae sayang. "Mama," bisik Donghae pada keheningan.
Dada Donghae seolah dipukul perasaan rindu, takjub dan ... harap. Perasaan yang tiba-tiba menyerang hatinya itu membuatnya sesak. Rasa rindu akan Ibunya. Serta, reaksinya terhadap sentuhan orang asing di lengannya.
Ini membuat Donghae ingin meledak.
Sudah berapa lama Donghae merasa tak se-emosional ini?
Memejamkan kelopak matanya. Donghae dapat membayangkan senyuman lembut Ibunya yang terulas padanya. Lalu, usapan yang tak berhenti di lengannya. Donghae seolah ditarik mendekat pada sosok Ibunya yang ia rindukan.
Harapan yang pernah Ibunya buat untuk Donghae. Impian yang menjadi rahasia kecil antara Donghae, Ibu dan Ayahnya. Tentang kisah seorang Pangeran yang selalu menemukan Putri-nya.
Donghae ingat tentang impian kecilnya itu.
Pelan-pelan, maniknya terbuka. Donghae memandang lembut pemuda itu. Bibirnya yang kering, ia basahi dengan lidahnya.
'Aku menemukannya, Ma. Aku menemukannya, Putri-ku. Putri di kisah dongeng-ku.'
Senyuman itu tertampil di wajah kacau Donghae. Sangat kentara dengan aliran air mata yang Iolos dari bola matanya. Irisnya yang lekat memandang sosok di sampingnya. Sosok yang bingung melihat reaksi Donghae. Pemuda itu panik melihat Donghae menangis. Dan, pemuda kurus itu… semakin terkaget, ketika Donghae menariknya dalam pelukan.
Sungguh, Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga untuk mempertemukan dua pasang jiwa kan?
.
.
22 September 2010
Hyukjae's centric
"Selamat datang~" Hyukjae berseru ramah ketika bel di atas pintu kaca tersebut berdenting. Senyum gusinya raib seketika kala menyadari sosok yang berdiri menutup pintu kaca minimarket.
Hyukjae mendengus keras, tak sedikitpun menutupi ketidaksukaannya. Ia menggelengkan kepalanya. Berperang dengan batinnya sendiri. Ia harus profesional, ya meski hanya bekerja sebagai kasir minimarket, tapi kan ia harus profesional. Tak boleh seenaknya begitu pada pelanggan.
"Selamat datang, Tuan," ucapnya lagi sambil menundukkan wajahnya. Dalam hati sewot ketika manik hazelnya menangkap cengiran yang diperlihatkan orang itu padanya. Ugh~ mengapa juga orang itu datang ketika minimarket sedang sepi? Pasti dia takkan mudah melepaskan Hyukjae kali ini.
'Sabarkan hatimu, Hyuk,' batinnya pada diri sendiri.
"Pagi Hyukjae-ah," sapa pemuda itu. Semenjak mengetahui nama Hyukjae, pemuda itu tak henti memanggilnya dengan sapaan nonformal. Ia tak segan melafalkan nama Hyukjae dengan nada manja dan childish. Hal yang sering menjadi alasan Hyukjae mendengus tiap bertemu dengannya.
"Kemarin aku kesini kau tak muncul ketika pagi, apa kau dapat giliran shift malam?" Pemuda itu memulai percakapan. Ia berdiri mendekat pada meja kasir. Menyilangkan tangan di depan dada, wajah tampannya yang bersinar membuatnya jauh lebih rupawan.
Hyukjae melengos. "Anda mau beli apa?" tanyanya. Tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau istirahat pukul berapa? Kapan kau selesai kerja? Bagaimana kalau siang nanti, kita makan di kedai ujung jalan? Bagaimana? Aku yang traktir, tak u―"
Geeez!
Hyukjae geram. "Tuan!" teriaknya cukup keras. Wajahnya merah padam, menahan amarah. Ia memegang pinggiran meja. Memandang nyalang pada pemuda tampan tapi mengesalkan di hadapannya. "Jika Anda tak berniat membeli apa-apa di toko ini, silahkan pergi. Dan nikmati harimu di tempat lain," katanya selembut dan sehalus mungkin. Masih kembang kempis di dalam hati menahan emosinya.
Bukannya marah atau berbalik pergi. Pemuda tampan itu kembali menarik sudut bibirnya mengulas senyum. Menampilkan deretan giginya yang rapi dan putih itu membentuk senyuman menawan, namun sayang tak akan meruntuhkan amarah Hyukjae sedikitpun. Tak akan, iya kan? Tak akan?
Dengan tampannya pemuda yang masih bersidekap itu, menelengkan kepalanya sedikit. Hazel indahnya bertaut dengan almond Hyukjae. Saling terfokus memandang. Suara kekehannya yang terdengar khas dan berat itu, membuat Hyukjae merinding ingin menimpukinya.
Menimpuki dengan apa dulu? Cinta? Atau sepatu?
"Aku mau beli hatimu, berapa cinta yang harus kubayarkan untuk mendapatkannya?" tanya pemuda itu dengan sorot matanya yang berkelip, berbinar penuh cahaya. Ucapannya terlalu blak-blakan. Tanpa basa-basi dan dilafalkan dengan nada tegas. Seolah ia penuh keyakinan mengucapkannya.
Lemas. Lutut Hyukjae melemas.
Panas. Telinga Hyukjae memanas.
Itu merupakan kalimat tergombal yang pasaran yang pernah ia dengar. Line yang biasa ia dengar dari anak sekolahan yang saling menggombal. Kalimat tersebut sekarang dilayangkan untuknya. Ugh~ itu ...
Namun, mengapa? Mengapa semburat merah jambu itu membuat pipinya menghangat? Membuat buku-buku jarinya memutih, terlalu erat memegang pinggiran meja, takut terjatuh karena tiba-tiba lututnya melemas.
Pemuda itu mau membeli hatinya?
Bersiaplah. Siap-siap saja ia bersabar. Karena Hyukjae takkan memberikannya sembarangan. Ia mahal butuh kerja keras dan milyaran cinta yang tak terhitung untuk mendapatkannya.Seolah Hyukjae akan memberikan hatinya cuma-cuma.
Tak akan.
.
.
Haloo. Ini ff jadul yang kuputuskan untuk kulanjutkan :D
Berminat untuk chapter selanjutnya?
Tinggalkan review, fave atau follow, plis~
