Sasori menatap gadis itu tanpa ekspresi.

Peringkat satu, eh?

Seingatnya gadis itu bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar tahun lalu. Cara belajar macam apa yang membuatnya menjadi peringkat satu—mengalahkan dirinya?

Sebuah tangan menepuk pundaknya, matanya fokus pada seseorang yag kini tengah menyeringai bejat kearahnya.

"Kalah taruhan, eh? Aka-sombong?"

Sasori menepis tangan Deidara, mengabaikan tawa Kisame dan juga Tobi.

Gawat! Dia kalah taruhan bodoh itu.

.

.

.

Sebelum ujian matematika ...

"Kau santai sekali sih, sialan. Belajarlah sedikit seperti kami!"

Sasori menguap lebar, ia mengangkat kepalanya dari bantal kemudian membenamkannya lagi. Mengabaikan teriakan cempreng Deidara.

"Dei-chan,kau kan tau kalau danna sejak kelas satu selalu peringkat pertama." Tobi mengepak-ngepakkan tangan seperti ayam menggunakan buku. Deidara mendecih. "Hei, pirang hentikan meludahmu itu. Kau tau kan lantai markas kita ini baru saja aku pel dengan pembersih mahal! Ingat uang kas, ingat!" Kisame bersingut meninggalkan ruangan itu, pergi ke teras depan.

"Dei-chan membuat—"

"KULEMPAR WAJAHMU DENGAN NAMPAN KALU KAU DEI-CHAN, DEI-CHAN TERUS!"

"HWAAAAAAAA..."

Blam.

Hening. Tinggal Deidara dan Sasori saja. Deidara menghela napas bosan, tidak ada satu pun rumus matematika yang dapat ia pahami. Berbeda dengan manusia malas di sampingnya. Ia tahu Sasori cerdas, laki-laki itu bahkan mendapat peringkat satu tanpa belajar.

Deidara menghela napas sekali lagi, dan... aha! Ia menyeringai licik.

"Hei, Sasori. Mau taruhan tidak?"

"Hmm..."

Mata Deidara memicing. "Hei, pemalas yang sialnya cerdas sekali, ayo taruhan, kira-kira kau peringkat satu lagi tidak?"

Sasori sedikit menjauhkan wajahnya dari bantal. "Mana kutahu."

"H-Hei, ayo taruhan, bodoh! Hai, Sasori ayo taruhan kalau kau memang jantan."

Aha! Sasori benar-benar menjauhkan diri dari bantal. Merasa mendapat respon positif, Deidara mulai membeberkan rencananya. "Jadi, seperti ini, kalau peringkatmu tergeser oleh perempuan, kau harus menjadikannya kekasihmu. Nah, kalau kau kalah dari laki-laki, berarti kau harus menjadi bawahannya. Bagaimana?"

Sasori diam, menimbang-nimbang sesuatu di kepala merahnya kemudian mengangguk malas.

Deidara bersorak seperti wanita, Sasori menghela napas kemudian kembali pada bantal oranyenya.

.

.

.

.

Disclaimer (C) MASASHI KISHIMOTO

Sasori melihat kepergian gadis itu tidak percaya. Apa-apaan? Gadis itu mengangguk, tersenyum, kemudian pergi begitu saja.

Tanpa teriakan, tanpa ekspresi yang bagaimana-bagaimana? Lagsung saja menjawab : iya aku mau menjadi pacar Sasori-san. Membuat Sasori heran. Bukan sombong, hanya saja ia tahu seperti apa para gadis mencoba mendekati atau sekedar mencari perhatiannya, tapi gadis ini berbeda, ia gadis pilihan Sasori—akibat taruhan itu—adalah gadis yang mungkin saja sama sekali tidak keduanya. Tapi dia menerima Sasori kan? Tanpa berfikir lama, bahkan seolah ia adalah orang yang tahu bahwa hari ini akan tiba.

"Danna, bagaimana? Dia pasti menerimamu kan? Haha, kau ingat kan berapa jangka waktu kalian berpacaran?" suara Deidara—ia hafal. Tanpa menoleh Sasori mengangguk, "Tiga bulan, Dei."

Sasori melangkah pergi, kakinya soalah menyusuri jalan bekas kedua kaki gadis tadi. Ia belum pernah sekali pun berpacaran—meskipun beberapa kali dekat dengan perempuan—dan gadis barusan berbeda. Ia memiliki sesuatu yang belum pernah Sasori tahu sebelumnya. Entah apa.

.

.

.

Gadis itu terlihat agak terkejut, meskipun kemudian tersenyum kalem. Sasori baru tahu jika loker mereka berseberangan. Gadis itu menggerai rambutnya, berbeda dengan tadi yang di ikat tinggi-tinggi menekspos leher jenjangnya.

Cantik.

"Sasori-san¸mau pulang atau latihan basket?"

Manik cokelatnya memandang jernih kedua mata Sakura.

"Pulang."

Sakura mengangguk, hingga ia berpamitan pulang terlebih dahulu, Sasori masih setia berdiri di depan lokernya.

.

.

.

.

Sakura berjalan dengan perasaan sesak luar biasa. Ia menarik napas sedalam mungkin, kemudian mengembuskannya perlahan-lahan.

Ini adalah pilihannya, ia tidak boleh mundur atau menyerah sebelum saat itu tiba.

Langit terlihat sedikit mendung ketika ia menoleh, kemudian melihat Sasori agak jauh di belakannya. Sakura tersenyum, kakinya terhenti, ia memutuskan menuggu Sasori.

"Kau menungguku?" Sasori berkata padanya ketika mereka hanya berpisah selangkah kaki orang dewasa. Sasori bertanya pada Sakura, juga bertanya pada dirinya sendiri.

Sakura mengangguk, kemudian mengelurkan payung lipat berwarna oranye.

"Tadi mendung sedikit, ekarang mendung sekali, sepertinya mau hujan."

Payung itu melindungi mereka, sakura melangkah agar Sasori benar-benar berada di bawah payungnya. Gadis itu tersenyum, membuat wajah Sasori agak terkejut meskipun tidak terlihat.

Ia adalah laki-laki, maka ia memutuskan untuk mengambil payung itu kemudian berjalan terlebih dahulu. Ia tidak tahu dari mana keyakinan itu, namun Sakura benar-benar bejalan di sampingnya.

Kemudian gerimis turun, juga sedikit angin yang menghembus payung oranye dalam peganggannya.

.

.

.

"Rumah kita ternyata dekat." Ia berbicara pada Sakura, juga pada dirinya sendiri.

Sakura hanya mengangguk. Sasori memicing sedikit, gadis itu seolah-olah tahu sebelum hari ini ia mengetahuinya.

"Kau selalu berangkat sendiri?"

Sakura menoleh, memandang matanya dengan tatapan tidak pasti.

"Bersama ayah."

"Dan ibumu?"

"Meninggal ketika aku berusia sepuluh hari." Sakura tersenyum kalem. Itu membuatnya cantik, namun dalam beberapa kali senyum itu ia saksikan, kali ini ia terluka melihatnya. Betapa Sasori tahu senyum itu tidak sampai pada matanya.

"Maaf, aku tidak tahu."

"Tidak masalah Sasori-san."

"Payungmu?"

"Besok saja, lagi pula gerimisnya semakin menjadi."

Sasori mengangguk kemudian berpamitan pergi. Ia tidak tahu Sakura menatapnya dengan sendu.

"Onii-sama."

Sakura tersenyum, hujan kemudian turun membasahi air matanya.

.

.

.

.

TBC