Terima kasih sudah me-review Siapa Dipikiranku Saat Kau Menciumku: SeiraAiren, YaotomeShinju, Cecil, Rise Star, Devia Purwanti, WatchFang, megu takuma, ochan malfoy, Putri, Last-Heir Black, atacchan, widy, Fu Ambar, Kira, Dandeliona96, qeqey krum, DarkBlueSong, Guest, yanchan:D

Ttg twitter: q tdk py; Ttg Scorose: Nanti stlah James, tp di setiap KNG da Scorose:D


Selamat Membaca KNG 6 chapter 1 dan review (apa saja), ya!

Disclamer: J. K. Rowling

Spoiler: KNG 1, 2, 3, 4, 5 dan Siapa Dipikiranku Saat Kau Menciumku

KISAH NEXT GENERATION 6: CALON POTENSIAL

Chapter 1

PERHATIAN!

Diary ini adalah milik:

Nama: Roxanne Angelina Weasley

Tempat Tanggal Lahir: London, 3 Januari 2005

Jenis Kelamin: Perempuan

Status Darah: Darah-Murni

Warna rambut: Hitam

Warna mata: Hitam

Warna kulit: Cokelat

Tinggi: 169 cm

Berat: 48 kg

Alamat: Waltham Forest 36, London.

Tongkat sihir: Hollywood, 25 cm, nadi jantung naga.

Anggota Keluarga: George dan Angelina (Orangtua), Fred (Kembar)

Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu


Tanggal: Rabu, 20 Oktober 2022

Lokasi: Kamar anak-anak perempuan kelas tujuh Gryffindor, Hogwarts

Waktu: 9 pm

Dear Diary,

Fred benar-benar jadi orang yang menyebalkan setelah kepergian Lyra. Tiap hari, kalau bukan di kelas, dia hanya duduk di salah satu sudut perpustakaan (selalu tempat yang sama, di dekat jendela) dan memandang keluar jendela dengan pandangan hampa. Lalu, setiap kali aku bicara dengannya, dia selalu menjawab dengan dengusan tidak sabar, gertakan dan sesekali dia malah salah panggil nama, dia memanggilku 'Lyra'. Menyebalkan bukan?

James dan Louis sering duduk menemaninya di perpus. Mereka juga tidak banyak bicara, hanya duduk memandang anak-anak lain yang sedang membaca dan mengerjakan PR. Wajah James sama muramnya seperti wajah Fred, dan wajah Louis datar, tidak menampilkan ekspresi apa pun. Kalau dipikir-pikir lagi, ketiga cowok yang dulunya penuh semangat (tak pernah berhenti mencampuri urusan orang lain) ini agak aneh. Dan keanehan ini sudah dimulai sejak awal tahun ajaran, bulan September kemarin. Aku tahu apa yang membuat Fred aneh, yaitu karena putus cinta, tapi aku tidak tahu yang membuat kedua lainnya ikut-ikutan aneh.

Entah apa yang terjadi dengan James. Seperti Fred, dia kadang menggertakku atau mendengus padaku saat aku mengganggu lamunannya yang berharga. Dan beberapa kali aku mendapatinya sedang meninju tembok koridor, yang menyebabkan tangannya berdarah dan beberapa jari-jarinya patah. Kalau itu terjadi, Rose dan akulah yang harus mengobatinya karena dia tidak mau mengunjungi Madam Pomfrey. Mengapa James begitu tertekan dan sangat misterius? Yeah, pertanyaan ini tak terjawab, tapi aku yakin aku akan segera tahu sebentar lagi. Potter/Weasley selalu tahu apa yang terjadi pada anggota keluarganya.

Sedangkan Louis, mungkin sudah bosan berciuman dan bosan mencintai cewek-ceweknya, lalu memutuskan untuk tidak jatuh cinta lagi. Kuharap Alice bisa segera mendekati Louis, aku sangat ingin keduanya bisa bersama. Tidak ada alasan khusus, aku hanya merasa bahwa keduanya sangat cocok, mereka saling mengerti dengan sempurna.

Saat mereka masih berteman, Louis selalu mau mendengarkan Alice; dia tidak ikut dalam duel Gryffindor versus Slytherin di menara Astronomy tahun ajaran lalu, karena Alice melarangnya. Padahal ini adalah duel paling heboh yang pernah ada, melibatkan hampir 40 persen penghuni Hogwarts, para Prefek, kemurkaan McGonagall, kemarahan para orangtua yang mengakibatkan puluhan Howler, dan kehancuran besar-besaraan; tembok menara Astronomi retak-retak dan sekitar belasan teropong bintang harus diganti.

Flashback,

Menara Astronomy, 21 Maret 2022

Duel Spektakuler Gryffindor/Hufflepuff (20-an anak) versus Slytherin/Ravenclaw (20-an anak) adalah duel yang baru saja dibentuk oleh Fred dan James atas tantangan Paul Nott, Gorris Flint (Slytherin) dan Hortense Scrimgeour (Ravenclaw). Ada pun persyaratannya adalah tidak boleh melibatkan kelas tiga ke bawah (mereka belum menguasai sihir untuk bisa berduel) dan kelas tujuh (anak-anak kelas tujuh biasanya sok). Peraturan Duel: Kedua kelompok, masing-masing menyuruh satu anak berduel di depan yang lain, begitu seterusnya sampai semua anak selesai berduel, setelah itu dihitung kelompok mana yang paling banyak menang. Kelompok yang petarung-petarungnya paling hebat boleh menjadi tuan selama seminggu penuh atas kelompok yang petarung-petarungnya kalah. Dan tentu saja, peraturan ini tidak terlaksana dengan baik, karena setelah dua petarung pertama, semua anak maju untuk berduel dan tidak diketahui dengan pasti siapa pemenangnya.

Gryffindor/Hufflepuff berhadap-hadapan dengan Slytherin/Ravenclaw. Fred dan James paling depan dalam kelompok Gryffindor, sedangkan Paul Nott, Gorris Flint dan Hortense Scrimgeour paling depan dalam kelompok Slytherin.

"Jadi siapa jagoanmu, Gryffie, apakah kalian semua siap menjadi budak kami selama seminggu?" tanya Nott, cowok Slytherin bermuka jelek.

Teman-teman Slytherin/Ravenclaw-nya tertawa seperti troll sakit gigi.

"Oh, tidak Slythie, kalianlah yang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kekalahan," kata James, menyeringai, sementara kami menyanyikan yel-yel yang sudah kami siapkan seminggu sebelum duel.

Singa meremukkan kepala ular dengan sekali injak (disertai sentakan kaki)

Gryffindor mengalahkan Slythie dengan pedang terhunus (mengangkat tangan, menghunus pedang khayalan)

Wajah anak-anak Slytherin/Ravenclaw merah padam mendengar yel-yel itu dan kami tertawa keras.

Nott memberi isyarat pada Malfoy untuk mendekatinya. Malfoy yang berdiri agak jauh di sebelah kiri, melangkah sok ke arahnya. Nott membisikkan sesuatu di telinganya dan Malfoy mengangguk. Tak mau kalah, James segera membisikkan sesuatu di telinga Al dan Al mengangguk, tapi Rose segera maju mendekati James.

"Biar aku yang berduel dengannya," kata Rose pelan, memandang Malfoy benci. "Aku belum sempat membalasnya, sejak dia melakukan sesuatu padaku tahun lalu."

"Apa yang dilakukannya padamu?" tanya Fred.

"Nanti kuceritakan, sekarang saatnya untuk berduel," kata Rose, mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Tidak," kata James. "Biar Al yang menghadapi Malfoy... kau nanti berduel dengan cewek Slytherin yang mirip jerangkong itu."

Dia mengangguk pada seorang cewek kurus berambut tipis yang berdiri di dekat Nott.

"Tidak," Rose menggeleng. "Aku suka Malfoy!" kemudian wajahnya merah padam saat James menatapnya sambil mengangkat alis. "Oh, kau tahu maksudku, aku suka berduel dengannya."

"Ya, James, Rose suka berduel dengan Malfoy," kata Al menjelaskan seolah James adalah orang bodoh yang tidak tahu apa arti berduel.

James dan Fred mengangkat alis tinggi-tinggi, sementara aku terbingung-bingung.

"Hentikan, Al!" Rose mendelik.

"Aku tidak melakukan apa-apa," kata Al, tertawa pelan.

"Ayolah, Gryffie, mana jagoanmu?" suara mirip kaleng rombeng berisi kerikil lalu diguncang, milik si jelek Nott terdengar lagi.

"Baiklah," kata James, memandang Nott sekilas. "Pergilah, Rose!"

"Hati-hati, Rose!" bisikku.

Rose maju dan Malfoy juga maju. Kami semua (baik Gryffindor mau pun Slytherin) mundur agak jauh agar tidak kena mantra yang salah sasaran.

"Lihat... lihat mereka memasang Musang!" pekik si cewek jerangkong, sementara teman-temannya tertawa.

"Lihat... lihat mereka memasang Mayat... Yakin nih, mayat bisa menang, Slythie?" balasku mengejek, dan anak-anak tertawa.

Wajah Malfoy berubah merah jambu, sementara Rose tertawa.

"Kau tidak akan tertawa kalau kau sudah terkena mantraku, Musang!" kata Malfoy, mengamati Rose.

"Aku sudah menunggu kau menunjukkan kebolehanmu yang selama ini hanya ada di kata-kata," balas Rose.

Malfoy menyeringai dan Rose balas menyeringai.

"Jelek!" katanya.

"Sok!"

"Kulihat kau belum berciuman dengan siapa pun, Musang," kata Malfoy mengeluarkan tongkat sihirnya.

Beberapa detik kemudian, dia dan Rose mulai bergerak saling mengitari.

"Aku berciuman atau tidak, itu bukan urusanmu, Mayat!" kata Rose, mempersiapkan tongkat sihir.

Malfoy menyeringai jahat, seolah tahu suatu rahasia yang melibat dirinya dan Rose.

"Apakah kau masih terkenang ciuman kita?" tanya Malfoy sangat pelan, sehingga aku harus membaca gerak bibirnya untuk bisa mengartikan apa yang diucapkannya.

Wajah Rose merah padam, seperti apel merah.

"Aku lebih baik mati dari pada mengenang ciuman itu!" balas Rose, juga pelan, sehingga aku sekali lagi harus membaca gerakan bibirnya.

Malfoy menyeringai lagi, seolah tahu sekali bahwa yang dikatakan Rose adalah bohong belaka.

"SLUGULUS ERUCTO!" teriak Rose mulai menyerang.

"PROTEGO... RICTUSEMPRA!"

Rose menghindar, dan serangan Mafloy menghantam tembok menara. Setelah itu, Rose mulai menyerang lagi. Beberapa menit kemudian mereka sudah saling menyerang dan menghindar, sementara kami yang lain berteriak keras untuk menyemangati kedua petarung. Namun, tentu saja ini adalah pertarungan yang berat sebelah, karena biar bagaimana pun Malfoy cowok dan pemain Quidditch, sementara Rose cewek dan penggemar Quidditch, jelas sekali perbedaannya. Rose sekarang harus menghindari serangan membabi-buta Malfoy dan dia tidak memiliki kesempatan untuk membalas serangan.

"Kita harus melakukan sesuatu," kataku pada James, memandang cemas Rose yang melompat-lompat seperti kelinci yang penuh semangat.

Dia dan Fred berpandangan, kecemasan tampak pada wajah masing-masing.

"Tenang," kata Al santai, menonton Rose melompat menghindari serangan, sementara anak-anak Slytherin/Ravenclaw tertawa.

James, Fred dan aku memandang Al.

"Dia tidak mungkin melukai Rose... Lihat!" kata Al, mengangguk ke arah Malfoy.

James, Fred dan aku memandang Malfoy, yang tampak serius menyerang Rose.

"Apa yang harus kami lihat?" tanyaku, tidak ada yang aneh pada Malfoy, dia tetap pucat seperti mayat.

"Dia menyerang Rose, tapi tidak benar-benar menyerangnya... serangannya selalu tidak tepat sasaran."

"APA?" James, Fred dan aku memandang Malfoy dan Rose.

"Dia hanya ingin agar Rose lelah dan berhenti bertarung..." lanjut Al.

Sekarang aku memandang Malfoy, mengamat-amati dengan serius, mencoba mencari kebenaran dari kata-kata Al. Tetapi aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku amati, Malfoy tetaplah Malfoy dan Rose tetaplah Rose, tidak ada yang berubah dari mereka berdua.

"Mengapa dia melakukan itu?" tanyaku pada Al, setelah bosan mengamati Malfoy dan tidak mendapat informasi apa pun di wajahnya yang pucat. "Mengapa dia tidak langsung menyerang Rose dan duel berakhir?"

Al mengangkat bahu, sementara dari pihak Slytherin terdengar lagi suara kaleng rombeng Nott.

"Ayo, Scorpius, apa yang kau lakukan? Serang dia?"

"Ayo, Scorpius!" teriak yang lain.

Tak mau kalah, aku segera berteriak keras mengalah teriakan Slytherin.

"AYO ROSE!"

Rose melirikku dan serangan Malfoy (entah mantra apa) terkena kaki kirinya, sehingga dia terjatuh dengan sukses di lantai batu.

"Weasley!" teriak Malfoy.

"ROSE!" jeritku, ingin menghampiri Rose, tapi tidak jadi, karena sedetik setelah Rose kena serangan Malfoy, mantra-mantra mulai beterbangan di atas kepalaku dan semua anak mulai saling menyerang.

Aku menunduk menghindari mantra anak-anak dan merangkak menuju Rose, tapi Malfoy sudah mendekatinya lebih dulu.

"Weasley, kau baik-baik saja?" dia memegang lengan Rose hendak menariknya berdiri.

Rose meringis pelan.

"Kakiku sakit," kata Rose, memegang pergelangan kaki kirinya.

"Mengapa kau tidak menghindar?" gertak Malfoy.

"Mengapa kau tidak memantraiku?" balas Rose, mendelik.

"Aku tidak pernah memantrai perempuan..."

"Tidak pernah memantrai perempuan?" ulang Rose tak percaya. "Bukankah 'tidak pernah' terlalu berlebihan, Malfoy."

"Semua orang menjadi dewasa, Weasley... Kulihat kau saja yang tidak berubah."

"Ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak berubah... Semua tentangmu sama saja dari awal sampai akhir."

"Ya, kulihat kau memang berpendapat seperti itu, kau"

"Malfoy, Rose, apa yang kalian lakukan?" teriak Al, yang sedang berduel dengan seorang cowok Ravenclaw. "Cepat pergi, kalian tidak ingin tertangkap McGonagall, kan? Ingat surat pernyataan!"

Aku tahu tentang surat pernyataan yang dimaksud Al. Surat itu adalah surat yang mereka buat waktu kelas satu dengan disaksikan oleh Draco Malfoy dan Uncle Ron.

"Sial!" umpat Malfoy. "Ayo!"

Malfoy menarik lengannya, tapi Rose meringis lagi.

"Aku tidak bisa berdiri, kakiku sakit," kata Rose.

"Dasar merepotkan!" gertak Malfoy, meletakkan salah satu tangannya di balik lutut Rose, tangan yang lain di balik punggungnya, lalu mengangkatnya.

Dia berdiri dengan Rose yang ketakutan dalan gendongannya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Rose tampak pucat. "Turunkan aku!"

"Pegangan!" perintah Malfoy, memiringkan kelapa menghindari serangan mantra salah sasaran yang hampir saja kena kepalanya.

Rose yang bingung harus berpegangan di mana, terpaksa mengalungkan tangan ke leher Malfoy, yang menunduk menghindari serangan dan melangkah perlahan menuju pintu keluar menara Astronomi, sementara di sekitarnya mantra-mantra beterbangan.

Dan aku, masih dalam posisi merangkak di tempat semula, tercengang memandang keduanya. Mereka berdua tampak seperti dalam film-film romantis buatan India di tahun 90-an yang sering ditonton Mom dan Aunt Audrey. Kalau ada musik latarnya, aku pasti akan mengira bahwa aku sedang berada di salah satu bioskop di London dan menonton Mann saat adegan pengantin pria mengangkat pengantin wanita yang lumpuh, sementara di sekitar mereka orang-orang menebarkan bunga dan konfeti.

"Roxy, apa yang kau lakukan?" tanya James, yang mundur menghindari serangan Nott. "Cepat menyingkir!"

Aku segera berdiri dan lari ke arah berlawanan, menghindari Nott dan beberapa mantra yang melayang ke arahku. Aku tidak berusaha untuk menyerang karena meskipun aku membenci pemain Quidditch asrama lain, tapi aku tidak sangat membenci mereka sehingga harus menyerang mereka. Sambil berusaha menghindari mantra, aku segera menyusul Malfoy dan Rose.

"AWAS!"

Tiba-tiba ada yang berteriak dan sesosok tubuh melayang ke arahku. Aku terjatuh di lantai keras dengan punggung lebih dulu, dan sebuah tubuh, yang mungkin seberat batu-batu besar yang dimasukkan dalam karung, jatuh menindihku. Kakinya di kakiku, dadanya di dadaku, wajahnya di wajahku dan bibirnya di bibirku.

Aku tidak bisa bergerak dan tidak bisa bernafas karena dadaku tertindih. Beberapa detik kemudian, tubuh itu terangkat dariku dan aku bisa bernafas lagi.

"Maaf," kata sebuah suara.

Dengan tulang punggung yang seperti hancur lebur dan belakang kepala yang sakit, aku segera duduk dan mengamati Lorcan Scamader, Seeker Ravenclaw, berlari menjauh menghindari serangan Tom Coote, beater Gryffindor.

Takut terinjak-injak oleh anak-anak yang berlari-lari tak tentu arah, aku segera berdiri mengabaikan sakit di punggungku. Tetapi sebuah mantra melayang ke arahku dan menghantam wajahku dengan telak. Aku terjatuh, tak sadarkan diri di lantai batu.

Banyak hal yang terjadi setelah malam itu, sehingga aku melupakan bahwa Scamander sudah menciumku; aku harus terbaring di rumah sakit semalaman bersama beberapa anak yang terluka; aku harus menjalani detensi selama dua minggu, membersihkan pispot rumah sakit, tanpa sihir bersama anak-anak lain; dan aku juga harus menghadapi kemarahan McGonagall dan kemurkaan Mom. Sementara Fred dan James menghadapi kemarahan dahsyat McGonagall. Dia membaca ulang surat pernyataan yang telah dibuat waktu kelas satu dan memberi ancaman bahwa mereka memang harus dikeluarkan. Tetapi akhirnya mereka patut bersyukur karena dia tidak mengeluarkan mereka. Dia menyuruh mereka tinggal di Hogwarts selama dua minggu awal liburan musim panas dan melarang semua kunjugan ke Hogsmeade di tahun ajaran ini.

Louis tampak menyesal karena tidak ikut kehebohan itu, tapi Alice tersenyum dan mengatakan bahwa setidaknya dia masih diijinkan ke Hogsmeade, Louis hanya balas tersenyum. Tetapi itu terjadi beberapa bulan yang lalu saat mereka masih berteman. Sekarang, Louis tidak berbicara dengan Alice, dia selalu memberikan pandangan dengki setiap kali Alice lewat di dekatnya. Menurutku Louis agak berlebihan, karena Rencana 195 Galleon itu sudah lama sekali, beberapa tahun lalu, aku saja sudah melupakannya.

Dan, aku juga sudah melupakan ciuman di menara Astronomy itu. Menurutku itu adalah ketidaksengajaan yang disebabkan oleh kehebohan yang terjadi waktu itu. Dan di saat-saat seperti itu, memang wajar kalau ada yang saling tabrak, saling tindih dan saling melukai. Namun, teori Alice tentang percintaan dan ciuman—cowok mencium cewek karena dia mencintainya, juga sebaliknya, cewek mencium cowok karena dia mencintainya—membuatku teringat pada ciuman itu. Kalau dipikir-pikir itu adalah ciuman pertamaku.

Hore, aku sudah berciuman, aku tak perlu lagi malu dan tidak perlu bergabung bersama Lily setiap kali kami sekeluarga berbicara tentang ciuman.

Pintu ruang kamar terbuka, Alice masuk diikuti oleh Florence beberapa detik kemudian. Florence tampak marah, sedangkan Alice tampak sangat santai. Dia mengambil gaun tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi.

"Ada apa?" tanyaku pada Florence dari tempat tidurku sendiri.

Meskipun tidak begitu menyukai sifat Florence yang terlalu kecentilan pada Fred, dia tetaplah teman sekamarku, dan aku harus peduli pada teman sekamar.

"Fred Weasley..." jawabnya, mendengus dan langsung naik ke tempat tidurnya tanpa berganti pakaian. "Dia memanggilku Lyra saat kami sedang di perpustakaan."

"Dia sangat mencintai Lyra, kau tidak akan punya kesempatan," kataku apa adanya.

Florence mendengus lagi.

"Apakah Fred pernah menciummu?" tanyaku.

"Tidak..." kata Florence. "Dia tidak menyukaiku tentu saja dia tidak menciumku."

"Apakah kau masih ingat tentang pendapat Alice bahwa jika seorang cowok mencium seorang cewek berarti dia mencintainya?"

"Pendapat yang mengada-ada..." kata Florence tak peduli.

Aku mengabaikan kata-katanya dan melanjutkan, "Menurutmu kalau ada cowok yang tidak sengaja mencium seorang cewek, apakah itu berarti dia mencintainya?"

"Tidak mungkin," kata Florence. "Dia kan tidak sengaja mencium, bagaimana dia bisa tahu bahwa dia mencintai cewek itu?"

"Bisa jadi dia memang mencintai cewek itu," kata Alice, baru saja keluar dari kamar mandi dalam gaun tidur bergambar Tentakula Berbisa.

Dia duduk di tempat tidurnya dan memandangku.

"Kita harus tahu dulu bagaimana kejadiannya, sehingga terjadi ciuman tidak sengaja itu," katanya.

"Er, sebenarnya ini agak membingungkan..." kataku. "Cewek itu sedang berdiri, lalu tiba-tiba cowok itu sudah jatuh ke atasnya dan menciumnya tepat di bibir."

"Kukira itu cuma ketidaksengajaan," kata Florence.

"Tidak," kata Alice.

Dia memang suka sekali mendebat semua perkataan Florence.

"Aku yakin cowok itu mencintai si cewek... Dia mungkin berpura-pura terjatuh, menciumnya, berpura-pura minta maaf lalu pergi... Dan keinginannya untuk membuat si cewek penasaran berhasil."

"Mengapa dia harus melakukan hal seperti itu?" tanyaku bingung.

"Mungkin dia sudah memendam cinta pada cewek itu, tapi tidak berani mengatakannya karena, misalnya, cewek itu tidak tahu dia ada di Hogwarts atau cewek itu tahu tentang dia, tapi tidak peduli padanya. Jadi, dia melakukan cara seperti itu agar si cewek menyadari kehadirannya, agar si cewek ingat bahwa dia pernah dicium oleh cowok itu... Coba saja, misalnya seseorang menciummu pasti kau akan terus mengingat kejadian itu, kan?"

"Benar juga," kataku.

"Ya," kata Alice, sementara Florence mendengus.

"Namun, cowok itu tidak menunjukkan sikap mencintai terhadap si cewek, padahal kejadian ciuman itu sudah terjadi berbulan-bulan yang lalu."

"Dia mungkin sudah lupa," kata Florence tak sabar.

"Tidak," bantah Alice lagi. "Dia mungkin sedang menunggu cewek itu untuk mendekatinya... Mungkin dia tipe pemalu dan menginginkan cewek menyatakan cinta padanya."

"Tetapi mereka belum pernah bicara sebelumnya... Maksudku mereka memang saling bicara, tapi seperlunya saja, mereka bukan sahabat."

"Nah, mungkin karena itulah, karena mereka belum saling bicara, jadi cowok itu tidak berani menyatakan cintanya. Jadi, mereka harus berteman dulu dan pelan-pelan si cowok pasti akan punya keberanian untuk menyatakan perasaannya."

Aku berpikir sebentar.

"Jadi, aku—er, maksudku cewek itu harus berteman dulu dengan si cowok?" tanyaku.

"Tidak... kurasa cewek itu harus melupakan ciuman itu sesegera mungkin karena ciuman ketidaksengajaan seperti itu biasanya tidak berarti apa-apa," kata Florence.

"Ya," bantah Alice lagi. "Menurutku si cewek harus berteman dengan si cowok... cobalah untuk bersikap ramah padanya, tersenyum padanya dan berusaha untuk menunjukkan bahwa kau juga—er si cewek juga jatuh cinta padanya, dan cowok itu pasti akan menyatakan cinta pada akhirnya."

"Tetapi si cewek tidak jatuh cinta padanya," kataku, berpikir.

Aku memang tidak jatuh cinta pada Lorcan Scamander.

"Kalau memang si cewek tidak jatuh cinta padanya, mengapa kita memperdebatkan masalah ini?" tanya Alice sebal. "Si cewek kan hanya perlu melupakan ciuman itu dan berpura-pura bahwa ciuman itu tidak terjadi."

"Er, aku—si cewek merasa bahwa mungkin cowok itu akan menjadi teman kencan yang sempurna untuknya, karena cewek itu belum pernah berkencan."

"Oh..." kata Alice. "Kalau begitu tidak apa-apa, suatu saat nanti pasti cewek itu akan jatuh cinta padanya."

"Yah, mungkin..." kataku tidak terlalu yakin.

"Omong-omong siapa sih, yang kita bicarakan?" tanya Alice, memandangku tajam.

"Lily," kataku cepat.

Lily kan di Slytherin dan Alice tidak mungkin berjalan-jalan sampai ke Slytherin untuk mencari tahu apakah Lily pernah berciuman dengan seseorang atau tidak.

"Lily Potter?" ulang Alice, memandangku agak bingung.

"Ya, dia," jawabku.

"Oh..."

Berdasarkan kata-kata Alice ini, aku bisa menyimpulkan bahwa Lorcan Scamander mencintaiku karena itulah dia menciumku. Aku kan sangat cantik dan menarik, aku kapten Quidditch Gryffindor, tentu saja cowok-cowok menyukaiku. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang ada yang terang-terangan menyatakan cinta padaku dengan ciuman, mengapa tidak sejak dulu. Tetapi tak apalah, akhirnya ada juga yang jatuh cinta padaku, sekarang aku hanya perlu menunjukkan padanya bahwa aku bersedia berkencan dengannya.

Kalau dipikir-pikir, Lorcan (aku harus memanggilnya Lorcan karena dia bisa menjadi teman kencanku sewaktu-waktu) dan aku sangat cocok; kami sama-sama menyukai Quidditch; kami sama populer; dia tampan, aku cantik dan aku tidak akan membuatnya malu kalau kami berkencan. Keluargaku dan keluarganya saling mengenal, meskipun tidak berteman akrab. Kurasa Rolf dan Luna Scamander tidak akan malu punya menantu sepertiku.

Semangat!

Sincerely,

Roxy Weasley

Cewek kelas tujuh yang telah mendapatkan calon suami potensial.


Tanggal: Kamis, 21 Oktober 2022

Lokasi: Aula Besar, Hogwarts

Waktu: 8.30 am

Dear Diary,

Pagi ini cerah, sarapan pagi dari peri-rumah benar-benar enak, semua orang ceria, termasuk aku—yeah, kecuali Fred, aku tidak akan bertanya lagi mengapa dia bermuram durja karena jawabannya, tentu saja, Lyra.

"Mengapa kau sangat ceria?" tanya James, setelah menelan roti panggangnya.

"Hari ini cerah... jam pertama kosong," kataku bersemangat.

"Biasanya kau tidak selalu bersemangat seperti ini kalau ada jam kosong... katakan ada apa Roxy?" tanya James.

Louis memandangku dari atas mangkok buburnya.

"Pasti kau sedang merencakan sesuatu," kata Louis sebal, baru beberapa hari yang lalu aku menulis surat cinta untuknya, berpura-pura itu dari Alice, tapi ketahuan karena Louis tahu tulisanku. "Aku akan membunuhmu kalau kau menulis surat aneh lagi."

"Tidak... tidak," kataku tersenyum ceria pada Louis. "Aku hanya sedang bahagia, sangat bahagia..."

Louis menatapku tajam, James menaikkan alis, Fred berhenti memandang sarapannya dan mengalihkan pandangannya padaku. Rose dan Al berhenti berbicara tentang PR Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam dan memandangku.

"Oke, baiklah!" kataku.

Jujur saja, aku tidak bisa berbohong pada para sepupuku dan Fred, mereka biasanya selalu tahu apakah aku sedang berbohong atau tidak.

"Sebenarnya aku sudah mendapatkan seorang calon suami potensial yang mencintaiku," kataku setelah beberapa saat.

Semuanya tersentak. Untuk sesaat tak ada yang berkomentar, semuanya terlalu kaget.

"Jadi, James, Fred, aku membatalkan perjanjian tentang tidak boleh berkencan sampai lulus Hogwarts. Bisa saja cowok yang jatuh cinta padaku ini mengajakku kencan."

Sekarang semua sudah bisa menguasai diri.

"Siapa dia?" gertak Fred.

"Tidak, aku tidak akan memberitahu kalian... aku tahu kalian pasti akan memantrainya di koridor."

"Walaupun kau tidak memberitahunya kami akan tahu sebentar lagi," kata James, menyeringai. "Kau tahu kami, kan, Roxy?"

Aku mendelik.

"Mengapa kau bisa mengira dia adalah calon suamimu?" tanya Rose, memandangku heran.

"Karena dia mencintaiku," jawabku ceria.

"Memangnya kalau dia mencintaimu berarti dia adalah calon suamimu?"

"Tentu saja, kan?" kataku heran. "Semua orang yang mencintai pasti menikah..."

"Tidak juga, ada yang tidak menikah," kata Rose.

"Siapa yang tidak menikah meskipun saling mencintai?"

"Er—" Rose berpikir, tapi setelah beberapa detik tidak ada yang terpikirkan olehnya.

"Lyra," kata Fred.

"Apa?" James, Louis, Rose, Al dan aku memandangnya.

Dari wajah mereka aku sadar bahwa mereka, sama sepertiku, berpikir bahwa Fred sudah benar-benar tidak waras.

"Aku tidak gila," kata Fred, membaca pikiran kami. "Aku tadi teringat akan orangtua Lyra, mereka saling mencintai tapi tidak menikah, benarkan James?"

"Poin yang bagus, Fred," kata James bersemangat, memandangku. "Jadi, Roxy, ada beberapa pasangan yang saling mencintai tapi mereka tidak menikah."

"Mengapa mereka tidak menikah?" tanyaku.

"Ada beberapa hal rahasia yang tidak bisa dibagikan pada publik," kata Fred cepat, sebelum James bisa menjawab.

"Yah, aku kan beda sama mereka," kataku, tak mau kalah. "Aku akan menikah dengan orang yang mencintaiku."

"Dari mana kau tahu bahwa dia mencintaimu?" tanya Rose lagi.

"Karena dia menciumku..." kataku tersenyum. "Ada teori yang mengatakan bahwa cowok mencium cewek karena dia jatuh cinta padanya."

"Siapa yang mengatakan teori tidak mendasar seperti itu?" tanya Louis heran.

"Kapan kau berciuman dengannya?" tanya James.

"Siapa yang mengijinkanmu berciuman?" gertak Fred.

"Rahasia," kataku, mendelik pada mereka bertiga.

"Benar kata Louis..." kata Al. "Itu adalah teori yang mengada-ada... aku mencium banyak cewek, tapi aku tidak jatuh cinta pada mereka."

"Itu karena kau belum menyadarinya, sebenarnya di lubuk hatimu kau jatuh cinta pada mereka semua," kataku, membela teori Alice.

Al menggelengkan kepala, sementara James, Fred, Louis dan Rose tercengang.

"Apakah kau jatuh cinta padanya?" tanya Rose.

"Er, entahlah... aku belum tahu apa itu cinta, tapi aku akan menanyakannya pada Alice," jawabku.

"Apakah kau berdebar-debar saat dekat dengannya?" tanya Fred.

"Tidak..." jawabku.

"Apakah kau pernah sangat marah padanya karena dia sama sekali tidak mempedulikanmu, padahal kau lewat di depannya?" tanya James.

"Tidak..."

"Apakah kau pernah sangat ingin menyerahkan semua yang kau miliki untuk membuatnya tersenyum?" tanya Fred.

"Tidak..."

"Apakah kau pernah merasa sangat tersiksa karena tidak bisa menyentuhnya?" tanya James.

"Tidak..."

"Apkah kau merasa bahwa dunia ini sangat indah saat dia tersenyum?"

"Tidak..."

"Apakah kau pernah sangat menyesalkan karena telah melakukan sesuatu yang membuatnya terluka?" tanya James.

"Tidak..."

"Apakah kau pernah merasa sangat marah karena dia dekat dengan cewek lain?" tanya Fred.

"Tidak..."

"Apakah kau pernah sangat merindukannya sampai merasa akan mati kalau tidak bertemu dengannya?" tanya Fred lagi.

"Tidak..."

"Kalau begitu kau tidak mencintainya," kata Louis akhirnya, sementara Rose dan Al memandang James.

"Kau tidak mencintainya," kata James.

"Ya, kau tidak mencintainya," kata Fred.

"Kau sedang jatuh cinta?" tanya Al, memandang James.

"Yah, dia sedang jatuh cinta," jawab Rose, mengamati James.

"Kau tidak jatuh cinta padanya, Roxy, jadi buat apa kau susah-susah berkencan dengannya?" kata James, mengabaikan Rose dan Al.

"Benar, kau harus segera menjauh darinya karena kau tidak mencintainya," kata Fred.

"Tetapi dia mencintaiku, kurasa itu sudah cukup, dan lama-lama aku juga akan merasakan perasaan seperti yang kalian katakan itu... kalau aku tidak mulai dari sekarang, bisa-bisa aku tidak akan bisa menikah selamanya... aku sudah mendapat calon suami potensial dan aku akan berusaha untuk mencintainya."

"Ya, ampun..." kata Rose, tak percaya.

"Apakah kau yakin dia mencintaimu?" tanya Fred masih tak percaya.

"Seratus persen," jawabku percaya diri. "Ciuman pertama kami memang tidak sebagus ciumanmu dan Lyra, namun kami akan berusaha."

"Siapa dia?" tanya James dan Louis bersamaan.

"Aku akan memberitahu kalian nanti," kataku penuh semangat.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami,

"Roxanne Weasley?"

Aku mengangkat muka dan melihat orang yang sedang kami bicarakan, berdiri di sebelahku.

"Oh, hai Lorcan," kataku ceria, dan tersenyum cemerlang pada calon suami potensialku.

Lorcan tampak terkejut, mungkin belum pernah melihat senyumanku yang sangat indah ini.

"Oh, Weasley, Profesor McGonagall menyuruh kita ke kantornya," kata Lorcan.

Aku terkejut karena dia memanggilku Weasley, sudah sepantasnya kalau dia memaggilku Roxy, dia kan mencintaiku, tapi tak apalah mungkin dia malu.

"Baik," kataku bersemangat. "Ayo!"

Aku menggandeng lengannya dengan mesra, mengedip pada James, Fred, Louis, Rose dan Al yang tercengang, lalu berjalan keluar aula.

"Apa yang kau lakukan?"

Dia melepaskan lengannya dari tanganku, lalu cepat-cepat menjauh dariku.

Aku tercengang.

Apa-apaan ini, bukankah dia jatuh cinta padaku? Dia pasti malu!

"Lorcan, ada apa?" tanyaku.

"Apakah kau sudah gila?" dia memandangku tajam seolah belum pernah melihatku sebelumnya.

"Ha... mengapa kau bicara seperti itu padaku?" tanyaku heran.

"Karena sikapmu aneh... mengapa kau bergelantungan di lenganku?" dia bertanya.

"Bergelantungan?" ulangku. "Aku cuma menggandeng lenganmu..."

"Sama saja..."

"Tidak sama," kataku protes.

"Lupakan, jadi mengapa kau menggandeng lenganku?"

"Karena aku suka menggandeng lenganku," kataku tersenyum manis, menunjukkan gigi-gigi putihku yang cantik, mudah-mudahan dia semakin terpesona padaku.

"Mengapa kau suka menggandeng lenganku?"

"Karena kupikir lenganmu kelihatannya kuat sekali," kataku tersenyum lagi.

"Oh, ya?" katanya tidak yakin, kemudian berjalan meninggalkanku, menaiki tangga pualam.

Aku memandangnya, agak tercengang. Yang terjadi tidak seperti yang aku bayangkan, kupikir kami akan akrab, berteman layaknya teman lama, ternyata dia hanya menganggapku sebagai salah satu murid Hogwarts, tapi tak apa, lama-lama aku akan menjadi temannya dan dia akan mengajakku kencan.

Semangat!

Sincerely,

Roxy Weasley

Cewek cantik yang sedang berusaha akrab dengan calon suami.


Tanggal: Kamis, 21 Oktober 2022

Lokasi: Kantor kepala sekolah, Hogwarts

Waktu: 9.00 am

Dear Diary,

Perjalanan ke kantor kepala sekolah tidak seromantis seperti yang kubayangkan. Kupikir karena dia jatuh cinta padaku, dia mungkin akan menggandeng tanganku atau memeluk pinggangku atau apalah yang menunjukkan kemesraan. Tetapi, kami malah berjalan berjauhan dan berbicara tentang Quidditch; tentang pertandingan persahabatan antar klub se-Inggris/Irlandia sebelum Liga Quidditch Inggris dan Irlandia musim panas tahun depan; tentang kans Ravenclaw untuk memenangkan piala asrama tahun ini, tentang Gryffindor yang kehilangan kapten yang berbakat dan pemain-pemain berbakat lainnya.

"Siapa kapten Gryffindor sekarang?" dia bertanya saat kami melewati Gargoyle dan mendaki tangga memutar yang menuju ke kantor kepala sekolah.

"Coba tebak?" tanyaku ceria.

"Sebenarnya aku tidak suka percakapan yang tidak langsung pada sasaran, tapi untuk kali ini aku memaafkanmu... James Potter?"

"Bukan..." jawabku, kemudian menunjuk diriku sendiri. "Aku adalah kapten Gryffindor."

"Benarkah?" Lorcan berhenti berjalan dan menatapku dari atas ke bawah, seolah aku sangat tidak pantas menjadi kapten.

Aku ingin sekali mendelik, menggertak dan mengucapkan kata-kata tajam, tapi aku menahan diri. Aku tidak boleh terlihat seperti cewek kejam di depan calon suami potensial.

"Begitulah," jawabku, berusaha ceria.

"Kurasa Profesor Neville pasti sedang memakan salah satu tumbuhan yang bisa menghilangkan kesadaran untuk sementara, saat dia mengangkatmu sebagai kapten."

"Apa maksudmu?" tanyaku, darah panas perlahan naik ke kepalaku.

"Jangan marah dulu!" katanya. "Aku bukannya anti-feminisme, tapi aku tidak setuju melihat cewek jadi kapten."

"Tetapi aku sekarang kapten, jadi kau harus menerima kehadiranku," kataku tersenyum.

"Yeah," katanya, kemudian mulai menaiki tangga memutar.

"Omong-omong, mengapa McGonagall memanggil kita?" tanyaku, mengikutinya menaiki tangga.

"Entahlah," jawabnya. "Aku yakin sekali aku tidak pernah melakukan kesalahan akhir-akhir ini... Lagipula, jadwal pertandingan Quidditch biasanya dibagikan oleh kepala asrama."

"Ya," kataku, kemudian teringat sesuatu yang sudah ingin sekali kutanyakan sejak aku tahu bahwa dia mencintaiku. "Berapa umurmu?"

"Aku tujuh belas tahun 13 September kemarin," katanya.

"Berarti aku hanya lebih tua sembilan bulan darimu?" tanyaku senang.

"Memangnya mengapa kalau kau lebih tua sembilan bulan dariku?" dia balik bertanya.

"Er, tidak juga," kataku.

Setelah itu dengan lebih semangat, aku segera bergerak cepat menuju pintu kantor kepala sekolah, dengannya di sampingku.

Lorcan mengetuk pintu.

"Masuk," terdengar suara McGonagall.

Kami masuk dan melihat bahwa McGonagall tidak sendiri dalam ruangan itu, tapi ditemani oleh Simom Smith, kapten Quidditch Hufflepuff dan Gorris Flint, kapten Quidditch Slytherin.

"Mengapa lama sekali?" tanya McGonagall tak sabar. "Duduk!"

"Maafkan kami, Profesor," kata Lorcan, lalu duduk di sebelah Flint, sedangkan aku duduk di sebelahnya.

"Kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku mengumpulkan kalian di sini?" tanya McGonagall.

"Ya, Profesor," jawabku, sementara para cowok diam saja.

"Aku mengumpulkan kalian di sini karena aku mendapat surat dari kepala Depertemen Permainan dan Olahraga Sihir," katanya mengangkat sebuah perkamen yang tampak resmi, diembos dengan huruf M besar.

"Tentang apa itu, Profesor?" aku tidak tahan untuk bertanya, karena tampaknya ini adalah sesuatu yang menarik.

McGonagall memandangku.

"Sesuatu yang tidak kusetujui, tapi aku harus mematuhi keinginan Kementrian Sihir, bukan?"

"Tentu, Profesor," jawabku cepat.

Sementara para cowok masih berdiam diri menunggu. Mungkin mereka bertanya-tanya dalam hati mengapa para wanita selalu berbelit-belit saat bicara.

"Jadi surat ini mengatakan bahwa tim Hogwarts diundang untuk pertandingan persahabatan antar klub Inggris/Irlandia," kata McGonagall jengkel, kelihatan sekali bahwa dia tidak menyukai isi surat ini.

"Apa?" aku tersentak, namun penuh semangat, sementara para cowok saling pandang "Kami diundang untuk ke Irlandia?"

"Ya, kalian diundang untuk pertandingan persahabatan..." McGonagall mengeluarkan perkamen lain dari amplop. "Ide ini adalah ide dadakan pengurus Liga Quidditch Inggris dan Irlandia. Dia rupanya ingin memasukkan tim sekolah dalam Liga Quidditch Inggris/Irlandia musim panas nanti."

"Aku setuju," kataku bersemangat.

McGongall memberiku tatapan tidak setuju, kemudian mulai membaca perkamennya. "Jadi kalian harus berangkat seminggu lagi, mengikuti training selama tiga hari, dan bertanding melawan Tutshill Tornados tanggal 6 November, setelah itu 9 November melawan Beauxbatons dan—" dia berhenti membaca, dan mengangkat muka memandang kami.

"Aku ikut, Profesor," kataku penuh semangat.

"Tidak," kata McGonagall tegas. "Aku melarang kelas tujuh untuk ikut dalam pertandingan ini... Kita akan memberi kesempatan ini pada kelas enam—"

"Tidak bisa..." kataku, berdiri. "Aku ikut dan aku akan membawa tim Gryffindor ke pertandingan persahabatan pra-liga Quidditch Inggris/Irlandia."

"Aku setuju dengan anda profesor," kata Simom Smith sok, memandang McGonagall, lalu mendelik padaku. "Menurutku kelas tujuh yang sebentar lagi harus menghadapi NEWT tidak boleh diikutsertakan dalam pertandingan pra-liga ini."

"Terima kasih, Smith," kata McGonagall, kemudian memandang kami lagi "Jadi aku mengharapkan kalian melakukan ujicoba anak-anak kelas enam menurut asrama masing-masing, setelah itu dipilih lagi siapa yang harus ikut ke Irlandia dan membawa nama sekolah."

"Tetapi, aku ingin pergi profesor, aku tidak bisa tidak ikut, aku kapten Gryffindor dan aku—" airmata mengalir deras di pipiku. Aku sangat suka Quidditch, dan McGonagall tidak bisa tidak mengijinkan aku ikut hanya karena aku kelas tujuh.

Aku terisak di kursiku membuat semua orang dalam ruangan, juga lukisan-lukisan kepala sekolah di dinding, tercengang

"Weasley, apa yang kau lakukan?" tanya McGonagall tak sabar.

"Er, profesor," kata Lorcan. "Kurasa kita harus mengijinkan dia ikut... maksudku tim yang akan dibentuk nanti pasti membutuhkan manager, yang mengatur segala keperluan tim, juga pembimbing dan—"

"Aku tidak ingin menjadi manager," kataku masih terisak. "Aku ingin masuk tim..."

"Oh, sudahlah Weasley," kata Flint. "Apa salahnya kita mengundurkan diri dan memberikan kesempatan pada yang lebih muda."

Aku terisak semakin keras.

"Baik Weasley," kata McGongall tak sabar. "Kau boleh ikut ke Irlandia, tapi tidak sebagai anggota tim, tapi sebagai manager, pastikan kau mengurus semua keperluan mereka... sekarang hapus airmatamu sebelum aku memberimu detensi!"

Aku terduduk bersandar pada kursiku dan merasa sangat merana. Tidak ada yang memahami betapa cintanya aku pada Quidditch.

Semangatku telah hilang!

Sincerely,

Roxy Weasley

Manager tim Hogwarts yang akan ke Irlandia seminggu lagi.

REVIEW PLEASE! See you in KNG 6 chapter 2

Riwa Rambu ;D