Gadis berambut hitam sebahu itu berkali-kali melirik jam tangan silver yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Pandangannya kemudian dia alihkan ke arah pintu masuk Karakura Land.

"Apa Aoki-kun lupa dengan hari ini ya?" gumam gadis itu pelan. Dalam hati, gadis itu sangat berharap teman kecilnya itu akan menampakkan batang hidungnya, mengingat saat ini sudah pukul sepuluh pagi. Lewat satu jam dari waktu yang mereka berdua janjikan.

Gadis bermarga Kuchiki ini lalu menengadahkan kepalanya―menatap akizora yang begitu cerah.

TAP

TAP

TAP

Gadis itu seketika langsung menolehkan kepalanya ke belakang, begitu dia mendengar derap langkah seseorang. Sebuah senyum langsung terkembang di wajahnya melihat sosok yang ditunggunya selama satu jam ini sudah berada di depannya.

"Hosh... Hosh... Ma-maaf, Rukia-neechan, tadi Aoki ketiduran sehabis nonton film Bleach. Terus Aoki juga lupa kalau ada janji dengan Nee-chan,"

Rukia―nama gadis itu―langsung mengacak rambut orange bocah enam tahun di depannya ini. "Selalu seperti itu. Dasar maniak anime," ucap Rukia, gemas.

Bocah bernama Aoki ini hanya nyengir, sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Melihat kacamata Aoki sedikit melorot, Rukia lalu membenarkannya. Kaget dengan tindakan Rukia yang tiba-tiba, refleks Aoki menjauhkan badannya dari Rukia.

"Kenapa Aoki-kun?" tanya Rukia, heran.

Dengan cepat Aoki menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak apa-apa, Rukia-neechan. Aoki hanya kaget saja. Hehe..."

"Dasar," Rukia lalu menggandeng tangan kecil Aoki, mengajaknya ke salah satu wahana permainan yang letaknya paling dekat dari mereka.

eL-Ree Aquafanz PRESENT

Disclaimer :

BLEACH © TITE KUBO

Warning : OOC, AT, AU, alur terlalu cepat, and NO FLAME please...

Genre : Hurt/Comfort, Suspense (maybe)

Pair : Ichi-Ruki

Rated : T

Please enjoy the fic!

Don't Like, Don't Read

Revive

Chapter 1

By : eL-Ree Aquafanz

Rukia ingat. Satu bulan yang lalu ia dan Ichigo pernah berkencan di tempat ini. Meski pada kenyataannya kegiatan mereka saat itu tidak dapat disebut kencan, karena di tengah kencan mereka, Ichigo tiba-tiba menghilang saat dia sedang pergi ke toilet. Dan sampai sekarang, Rukia sama sekali tidak mengetahui di mana Ichigo berada. Bocah itu seperti menghilang ditelan bumi.

Tetapi, setidaknya saat ini dia masih bisa menikmati kemeriahan Karakura Land sekali lagi dengan bocah berkacamata ini―yang entah mengapa sangat mirip dengan Ichigo. Yang lebih aneh lagi, kebiasaan mereka juga sama. Seperti misalnya saat ini. Aoki sedang asyik menjilati es krim cokelat di genggaman tangannya, bahkan sampai wajahnya belepotan oleh lelehan es krim. Hal itu sama halnya dengan Ichigo ketika sedang menikmati es krim. Sekilas, Rukia merasa kalau Aoki telah berubah menjadi Ichigo kecil.

SRET

"Eh?"

"Nee-chan mau?" tawar Aoki―menyodorkan es krim cokelat itu pada Rukia. Rukia lalu tersenyum. "Tidak usah. Itu untuk Aoki-kun saja," ucap Rukia sambil membersihkan sisa es krim di wajah Aoki menggunakan sapu tangannya.

"Wajahmu sampai belepotan es krim. Aoki-kun benar-benar mirip sekali dengan Ichigo. Nah, sudah selesai. Setelah ini Aoki-kun mau naik wahana apa lagi? Ah, bagaimana kalau rollercoaster itu?" tunjuk Rukia pada lintasan rollercoaster di belakangnya.

Aoki tersenyum tipis sebelum menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. 'Maafkan aku, Rukia. Tapi, jika kau tahu aku adalah Ichigo, aku takut kau justru akan membenciku. Belum saatnya kau mengetahui kebenaran itu, Rukia,' batin Aoki―ralat―Ichigo.

Tidak terasa, hari sudah beranjak sore. Rukia lalu mengajak Aoki untuk menaiki bianglala sebagai penutup kegiatan refreshing mereka di Karakura Land ini. Dengan Aoki yang duduk di pangkuannya, keduanya melihat matahari musim gugur terbenam di ufuk barat sana.

"Jika seandainya waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin terus berada di dekat Ichigo. Aku menyesal telah mengajaknya ke tempat ini, satu bulan lalu. Kalau aku tahu hari itu merupakan hari terakhir aku bertemu dengannya, aku pasti tidak akan mengajaknya ke tempat ini,"

Aoki tertegun mendengar penuturan Rukia. Rasa bersalah kembali menghantuinya. Sejujurnya dia pun sudah bosan dengan semua kebohongan ini. Ingin dia mengakhirinya sekarang, tetapi itu sama saja dengan membunuh dirinya sendiri. Selain itu, jika identitasnya terkuak, bisa jadi komplotan 'itu' pasti tidak hanya mengincar dirinya saja. Tetapi juga orang-orang di sekitarnya, terutama Rukia.

"Ru―"

SRET

"Nyamannya, sama seperti ketika Nee-chan dipeluk oleh Ichigo," ucap Rukia lirih sembari mengeratkan pelukannya pada Aoki. Tanpa Rukia sadari, air mata sudah membasahi lengan baju Aoki.

"Ru-Rukia-neechan?" tanya Aoki panik ketika menyadari rasa dingin menyentuh lengan kanannya.

"Ah, ma-maaf Aoki-kun, Nee-chan tidak sengaja," Segera Rukia melepaskan pelukannya dari pinggang Aoki dan menghapus air matanya, sebelum dia membersihkan lengan baju Aoki yang basah karena air matanya.

"Tidak apa-apa, Nee-chan. Aoki ngerti kok kalau Nee-chan pasti sangat merindukan Ichigo-niichan. Kalau seandainya Nee-chan ingin menangis, menangis saja di bahu Aoki. Aoki tidak keberatan kok," ucap Aoki sambil tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-gigi putihnya.

Rukia tersenyum mendengar pernyataan yang keluar dari mulut bocah kelas 1 SD ini. Dengan segera dia mengacak rambut orange-nya.

"Benar-benar Ichigo versi dua. Ah, ayo kita turun," ajak Rukia, menyadari kalau mereka telah sampai di bawah kembali. Aoki lalu menyambut genggaman tangan Rukia.

'Tunggu aku Rukia. Aku berjanji padamu, aku akan segera kembali ke tubuhku yang semula, tidak lagi menjadi anak kecil.'

Drrt. Drrt. Drrt.

Rukia menghentikan tangannya yang sedang asyik menulis jawaban untuk PR Matematikanya, ketika merasakan sebuah getaran timbul dari hp flip disebelahnya. Tampak cahaya hijau berpendar dari salah satu sudut hp itu. Itu berarti―

"Siapa yang mengirim email malam-malam begini?" tanya Rukia dalam hati. Sedikit enggan dia lalu membuka hp flipnya yang ternyata benar ada sebuah email masuk. Kedua iris violet Rukia membesar seketika begitu membaca isi email itu.

'Yo, apa kau sudah tidur, Rukia? Ah, tentu saja kau sudah tidur. Ini kan sudah jam 11 malam lebih. Baiklah, selamat tidur, Rukia... '

Bohong. Ini pasti mimpi. Benar, ini pasti hanya mimpi.

PLAK

"Sakit~" rintih Rukia ketika tangannya telah meninggalkan bekas di kedua pipinya. Ternyata ini memang bukan mimpi. Ini kenyataan. Dan ini benar-benar Ichigo yang mengiriminya email. Dengan tangan gemetar, Rukia mulai mengetik balasan untuk Ichigo.

'Bodoh! Kenapa baru sekarang kau menghubungiku? Apa kau tidak tahu kalau aku sangat mengkhawatirkanmu? Ah iya, sekarang kau ada di mana? Kenapa saat itu kau tiba-tiba menghilang?'

Terkirim.

Dengan hati berdebar Rukia menanti Ichigo membalas email-nya. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Dia benar-benar tidak tahu. Senang, sedih, marah, entah yang mana yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaannya ini. Rukia lalu mendekap hp kesayangannya itu dengan erat.

Drrt. Drrt. Drrt.

PIP

'Maaf, maaf, karena baru sekarang aku menghubungimu, Rukia. Karena dulu aku kehilangan hp-ku dan baru kemarin aku membeli yang baru. Jadi, maafkan aku ya, Rukia?

Ah iya, maaf untuk sementara aku tidak bisa pulang. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan di sini. Ah, sepertinya ada telepon masuk. Sudah ya. Ja ne...'

Ada apa ini? Kenapa rasanya ada yang aneh? Kenapa Ichigo rasanya seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya? Baru saja Rukia ingin membalas lagi email Ichigo, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Rukia terkesiap. Perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah pintu.

"Rukia-neechan?"

Ah, ternyata Aoki. Rukia mendesah lega. Dia kira yang mengetuk pintu kamarnya adalah pencuri. Eh? Kenapa juga pencuri harus mengetuk pintu terlebih dahulu? Ah sudahlah. Bergegas Rukia mendekati pintu kamarnya, kemudian membukanya perlahan.

"Ada apa, Aoki-kun? Apa Aoki-kun mimpi buruk?" tanya Rukia ramah. Dia lalu mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuh bocah berkacamata ini.

"Ehehe, i-itu―" jawab Aoki menggantungkan kalimatnya. Sepertinya dia sedikit malu untuk mengatakan tujuannya memanggil Rukia.

Kruyuk~

"Eh?"

"Hmpt. Aoki-kun lapar rupanya. Baiklah Nee-chan masakkan mie instant ya? Aoki tunggu sebentar di sini," ucap Rukia sambil mengacak rambutnya. Dan Aoki pun hanya mampu menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rona merah karena malu di wajahnya.

Barulah setelah yakin Rukia telah masuk ke dalam dapur, Aoki perlahan mengendap-endap masuk ke dalam kamar Rukia. Diletakkannya sebuah kado―yang sudah disiapkannya semenjak satu minggu yang lalu―di atas meja belajar Rukia. 'Selamat hari jadi kita yang pertama, Rukia. Maaf kalau aku terlambat mengucapkannya.'

Setelah yakin kado itu sudah diletakkannya dengan baik, Aoki lalu keluar dari kamar Rukia bersamaan dengan Rukia yang juga baru keluar dari dapur dengan membawa semangkuk mie rebus di atas nampan.

"Ayo, kita makan sama-sama Aoki-kun. Kebetulan Nee-chan juga sedang lapar," ajak Rukia sambil meletakkan mangkuk di atas meja. Kemudian dia mengambil dua mangkuk kecil dan langsung mengisinya dengan mie.

Aoki lalu mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan Rukia. Dan langsung menyambut mangkuk berisi mie yang disodorkan oleh Rukia. Uap panas yang mengepul sedikit menggelitik indera penciumannya. Tercium harum bumbu yang entah sejak kapan sudah mulai dilupakannya. Terang saja, sekarang dia sudah jarang memakan mie instant. Sekilas dia melirik Rukia melalui ekor matanya, sebelum mulai menyuapkan mie itu ke dalam mulutnya.

'Sepertinya Rukia melupakan tentang hari ini,' batinnya sedih.

Tidak sampai sepuluh menit, keduanya sudah selesai makan. Rukia lalu membereskan peralatan makan yang mereka gunakan. Setelah meletakkan di wastafel, dan mencuci kedua tangannya, Rukia mengantar Aoki menuju kamarnya.

"Selamat tidur, Aoki-kun," ucap Rukia sebelum menutup pintu kamar Aoki.

Aoki lalu menyandarkan punggungnya di balik pintu, setelah telinganya tidak lagi menangkap suara langkah kaki Rukia. Diliriknya tas violin yang tergeletak di bawah meja belajarnya. Tanpa membukanya, dia sudah tahu apa yang ada di balik tas itu. Sebuah senapan laras panjang jenis Remington yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan tubuhnya.

"Maafkan aku, Rukia. Tapi kalau aku terus-terusan di sini, maka semuanya tidak akan bisa kembali seperti sedia kala. Kuharap dengan kado yang aku berikan padamu, kau akan mengerti," gumamnya lirih. Dia lalu berjalan mendekati meja belajarnya, menarik keluar tas violinnya dari bawah meja.

Drrt. Drrt. Drrt.

Ada telepon masuk. Setelah memakaikan earphone di telinga kirinya, Aoki lalu menekan tombol 'Yes'.

"Ha―"

"Apa kau sudah siap dengan misi malam ini, Pacian?"

Aoki mendengus kesal. "Whatever. Kalau tidak salah, ini pertama kalinya aku mendapat misi lagi setelah tubuhku ini mengecil kan?"

"Hem, apa kau tidak suka? Padahal aku sudah susah payah membuatkanmu berbagai peralatan penunjang untuk misimu kali ini. Tak bisakah kau sedikit menghargaiku, Pacian?" suara di seberang terdengar memelas.

Aoki lalu menenteng tas violin dengan tangan kanannya―meletakkannya di tepi daun jendela. Dilihatnya keluar rumah. Tampak sebuah mobil berwarna hitam terparkir di depan gerbang.

"Tunggu aku lima menit lagi. Aku akan bersiap-siap dulu, Baetrice,"

PIP

Sambungan telepon terputus. Aoki―ah, mulai sekarang kita memanggilnya Ichigo―lalu mengganti piyamanya dengan pakaian serba hitam. Selain itu, dia juga mengganti kacamatanya dengan kacamata khusus yang memang wajib dipakainya ketika sedang menjalankan misi. Sentuhan terakhir adalah kamen yang menutupi separuh wajahnya. Sementara rambut orangenya dia tutupi dengan sebuah topi dengan angka '15' sebagai hiasannya.

Setelah selesai, dia kemudian melompat keluar dari jendela dengan tas violin di punggungnya. Dengan hati-hati dia berlari menyusuri halaman Kuchiki Mansion yang luas ini. Sebelum membuka pintu gerbang, kedua iris ambernya menatap kamar Rukia yang mulai gelap. Itu berarti Rukia telah tidur.

Ichigo tersenyum samar dari balik kamennya. 'Ja ne, Rukia.'

BLAM

"Kau terlambat satu menit, Pacian," ucap seorang pria paruh baya di belakang kemudi begitu Ichigo menutup pintu mobil dan duduk di sebelahnya.

"Whatever. Aku tidak peduli. Sekarang kau jelaskan padaku tentang situasinya. Tidak biasanya aku diminta untuk bergabung dengan divisi 6. Apa ada masalah?" tanya Ichigo sambil memakai sabuk pengamannya.

Pria itu tersenyum samar. "Selalu to the point. Aku heran kenapa gadis 'itu' betah denganmu. Sikapmu benar-benar menyebalkan," ucapnya, mulai menyalakan mesin mobil dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.

"Itu bukan urusanmu. Cepat katakan yang sebenarnya, Baetrice!" ucap Ichigo sedikit mengeraskan volume suaranya.

Baetrice terkikik mendengar suara Ichigo yang sedikit meninggi. "Tidak salah, kalau kau masuk ke dalam pasukan intelijen negara di usiamu yang baru menginjak 17 tahun ini. Baiklah, akan aku jelaskan situasinya. Karena kondisinya sekarang sangat genting."

Ichigo melirik Baetrice melalui ekor matanya, bersiap untuk mendengar segala informasi yang akan disampaikan oleh seniornya ini.

Rukia mendesah pelan. Angin sepoi-sepoi perlahan menerpa tubuhnya yang terbalut dress pink muda selutut. Sedikit kontras dengan warna-warna sekelilingnya yang didominasi oleh warna orange kecokelatan.

Dalam hati dia merutuki dirinya yang lupa membawa syal untuk menghangatkan lehernya yang sekarang terasa sedikit dingin. Salahkan dia yang datang setengah jam lebih awal dari waktu yang mereka berdua sepakati. Ah, benar. Rukia sedang menunggu seseorang. Dan seseorang itu adalah―

"Maaf membuatmu menunggu, Rukia. Apa aku terlambat?"

remaja berambut orange di depannya ini. Dia terlihat sedikit berantakan sekarang. Ditambah dengan keringat yang membasahi wajah dan bajunya. Benar-benar tidak pantas dikatakan kalau remaja di depannya ini adalah kekasih yang sedang ditunggunya.

Rukia memutar bola matanya. Dia lalu menarik tangan kanan kekasihnya ini dan mengajaknya duduk di sebelahnya. Diambilnya sapu tangan dari dalam tas kecilnya, kemudian dihapusnya keringat di wajah kekasihnya itu.

"Kenapa kau berlari-lari? Padahal kau tidak begitu terlambat kok. Aku saja yang datangnya terlalu awal, sehingga terkesan terlalu lama menunggu," ucap Rukia lembut.

Kekasihnya memandangnya dengan lembut. Dikecupnya pelan dahi Rukia sebagai ucapan terima kasih. "Baiklah, ayo kita bersenang-senang sampai sore tiba, Rukia. Aku akan mentraktirmu sebagai permintaan maafku karena datang terlambat tadi," ucapnya sambil menyeret tangan Rukia menuju wahana rollercoaster.

Rukia begitu senang bisa menghabiskan akhir pekan di Karakura Land ini bersama dengan Ichigo, kekasihnya. Karena jarang-jarang mereka bisa mempunyai waktu khusus untuk berduaan, dikarenakan Ichigo yang setiap pulang sekolah harus kerja sambilan, sementara Rukia sendiri sibuk dengan kegiatannya di klub karate.

Rukia tersenyum senang setelah dirinya dan Ichigo turun dari rollercoaster. Dia sempat terkikik geli melihat raut muka Ichigo yang sangat jarang dilihatnya. Bagaimana tidak lucu, begitu turun dari rollercoaster, Ichigo langsung menumpahkan isi perutnya. Ternyata payah juga ini orang.

"Rukia?"

Merasa dipanggil, Rukia lalu menolehkan kepalanya ke belakang. "Ada apa Ichigo?" tanyanya heran. Tidak biasanya nada suara Ichigo seperti ini.

Ichigo bungkam. Sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya.

Rukia menjadi risih sendiri melihat Ichigo yang mendadak aneh seperti ini. "Ichigo?"

"Kau nanti pulang sendiri tidak apa-apa kan? Ada sesuatu yang harus aku selesaikan," ucap Ichigo, tanpa memandang ke arahnya.

"Ah, aku ke toilet dulu ya. Ja ne..." ucap Ichigo sambil setengah berlari, meninggalkannya yang membatu di tempat.

Baru saja Rukia akan melangkahkan kakinya untuk menyusul Ichigo, rantai jam tangannya putus. Rukia merasakan firasat buruk sekarang. Dia merasa kalau Ichigo tidak akan pernah kembali lagi.

Akhirnya Rukia memutuskan untuk menunggu Ichigo di salah bangku yang tersedia. Tetapi, tiba-tiba keadaan di sekelilingnya berubah menjadi Pelabuhan Karakura. Rukia merasa tempat ini sedikit asing. Terlebih lagi dengan tumpukan kontainer di sekelilingnya.

DOR

DOR

Suara tembakan. Untuk sesaat Rukia merasa jantungnya berhenti berdetak. Ini buruk. Dia harus segera menyingkir dari tempat ini. Sekarang juga!

BRAAKK

KLONTANG

KLONTANG

DOR

DOR

BRUUK

Seorang bocah berpakaian serba hitam tiba-tiba jatuh tersungkur lima meter di hadapannya. Dengan sebuah senapan laras panjang tergenggam di tangan kirinya. Rukia merasa pernah sosok kecil ini. Tetapi di mana?

Bocah itu perlahan menegakkan tubuhnya menggunakan senapan di genggamannya sebagai tumpuannya. Kamen yang menutupi separuh wajahnya sedikit terkoyak. Bahkan kacamata yang dikenakannya meluncur turun dari hidungnya dan pecah begitu menyentuh permukaan tanah.

Rukia tersentak melihat iris amber bocah itu. Tidak mungkin. Ini pasti bercanda. Segera Rukia berjalan mendekati bocah itu. Tinggal satu langkah lagi dia sampai di dekat bocah itu.

DOR

"TIDAAAKKK!"

"TIDAAAKKK!"

Rukia terbangun tiba-tiba dari tidurnya. Segera didudukkan tubuhnya menyandar pada kepala ranjang. Nafasnya terdengar tidak beraturan.

"Hosh... Hosh... Hosh..."

Dipegangnya kepalanya yang terasa pusing. "Mimpi apa ini? Kenapa rasanya seperti nyata? Ichigo― Aoki― Tunggu. Aoki?"

Secepat kilat Rukia turun dari tempat tidurnya dan langsung berlari menuju kamar Aoki.

JDUAKK

"Aduh!" erang Rukia saat tanpa sengaja kakinya menabrak sesuatu. Salahkan dirinya yang tidak menyalakan lampu rumahnya ini. Setelah merasa kakinya agak baikan, dia lalu berjalan menuju kamar Aoki kembali, tentunya dengan lebih hati-hati. Begitu sampai di depan kamar Aoki, Rukia langsung mengetuk pintu.

TOK TOK TOK

Hening. Rukia lalu memutar knop pintu. Tidak terkunci. Aneh sekali. Segera Rukia masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekati tempat tidur Aoki, setelah sebelumnya menyalakan lampu kamar terlebih dahulu.

"Aoki?" panggil Rukia pelan. Tidak ada jawaban. Rukia lalu mengguncangkan tubuh Aoki. Masih tidak bergeming. Rukia lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh Aoki.

"Bohong. Ini pasti bercanda kan? Ti-tidak mungkin, Aoki-kun―"

Rukia lalu berlari kembali menuju kamarnya, mengambil hp flipnya dan langsung menelpon seseorang. Byakuya.

Jantung Rukia berdetak tidak karuan sekarang. Bahkan satu detik yang dilaluinya terasa seperti satu tahun. Dengan sabar dia menunggu seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya.

Tuut Tuut Tuut

"Moshi-moshi. Ada apa Rukia?" tanya suara di seberang.

Bagus. Sekarang Rukia menjadi semakin gugup mendengar pertanyaan Byakuya. Pelan-pelan Rukia menarik nafas panjang, dan mulai menenangkan jantungnya yang semakin tidak karuan.

"Moshi-moshi. Nii-sama, ada kabar buruk. Aoki-kun tidak ada di dalam kamarnya. Aku merasakan firasat buruk tentangnya. Bisakah Nii-sama mencarinya?"

Byakuya menegang mendengar permintaan Rukia. Apa ini sudah saatnya dia memberitahukan kebenaran ini pada Rukia? Tapi, jika seperti itu, itu sama saja dengan melibatkan Rukia dalam bahaya. Byakuya bimbang. Jika tidak seperti itu, apa itu artinya dia harus kembali berbohong pada Rukia? Sepertinya dia tidak punya pilihan lain sekarang.

"Baiklah, akan aku usahakan. Sekarang kau kembalilah tidur. Besok kau harus berangkat sekolah kan? Sudah dulu ya, aku masih ada pekerjaan,"

PIP

Sambungan telepon terputus. Rukia sudah benar-benar bingung sekarang. Dia tidak tahu siapa lagi yang akan dimintai tolong untuk mencari Aoki. Apa sebaiknya dia menghubungi Ichigo saja? Tapi, dia tidak tahu nomor telepon Ichigo.

"Argh!" Rukia menggeram, frustasi. Kedua kakinya lemas, menyebabkan dia harus jatuh terduduk di samping tempat tidurnya.

"Apa yang harus aku lakukan, Kami-sama?"

DEG

Kado? Sejak kapan ada kado di atas meja belajarnya? Perasaan saat mengerjakan PR Matematika tadi, belum ada kado di atas mejanya. Bergegas Rukia beranjak mendekati meja belajarnya dan langsung mengambil kado yang terbungkus oleh kertas daur ulang itu. Tidak ada nama pengirimnya.

Dengan kasar, Rukia merobek pembungkus kado itu. Sedikit banyak dia berharap kalau kado itu dari―

Benar saja. Ternyata kado itu memang dari Ichigo. Karena hanya dia yang tahu kalau Rukia menyukai bunga sakura. Sebuah senyum langsung terkembang di bibir Rukia melihat kotak bermotif bunga sakura di pangkuannya. Penasaran, dia lalu membuka kotak bermotif bunga sakura itu. Rukia tercengang melihat isinya. Ternyata hanya sebuah syal berwarna daun momiji. Dan ada sebuah surat di dalam kotak itu.

To : Rukia

Kurasa aku sudah terlalu lama meninggalkanmu, Rukia. Dan maaf, karena sampai saat ini aku belum bisa kembali bertemu denganmu. Bukannya aku tidak ingin menemuimu, hanya saja aku tidak ingin kau terkejut ketika melihatku. Aku takut, kau justru akan membenciku seumur hidupmu. Hanya itu yang aku takutkan, bukan yang lainnya.

Jika ada kesempatan, aku pasti akan menceritakan semuanya padamu. Tetapi bukan sekarang. Karena aku tidak ingin kau terlibat dalam bahaya.

By the way, semoga kamu suka dengan syal-nya ya. Maaf, hanya itu yang bisa aku berikan di hari jadi kita yang pertama ini. Jangan lupa untuk dipakai ya...

Yang selalu mencintaimu,

Kurosaki Ichigo

TES

Rukia menangis. Bukan, bukan menangis karena dia tidak bisa bertemu dengan Ichigo, tetapi lebih tepatnya karena ternyata Ichigo masih mengingat hari jadi mereka. Bahkan, Rukia sendiri hampir melupakan hari jadi mereka ini.

Rukia lalu melingkarkan syal itu ke lehernya. Seketika lehernya terasa hangat. Dan entah mengapa, setelah memakai syal itu, Rukia mempunyai firasat, kalau dia harus segera pergi ke Pelabuhan Karakura, sekalipun ini masih jam 3 pagi.

Byakuya tidak dapat berpikir dengan tenang sekarang. Dia merasa tidak enak telah kembali membohongi Rukia. Tidak cukupkah kebohongan tentang pekerjaannya sebagai seorang intelijen negara pada Rukia? Dan kenapa sekarang dia harus berbohong tentang bocah berkacamata itu?

Byakuya lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya, mencoba untuk sedikit merilekskan tubuhnya. Sementara tangannya tidak henti-hentinya menyentuh permukaan keyboard laptop, berusaha untuk memantau kondisi di Pelabuhan Karakura.

Pelabuhan itu, sejak tiga jam yang lalu sudah disterilkan dari berbagai kegiatan ekspor-impor yang biasanya terjadi. Karena di pelabuhan itu, saat ini, tengah terjadi baku tembak antara pasukan intelijen negara dengan sebuah organisasi mafia dunia, Arrancar Organisation (AO).

AO merupakan organisasi mafia yang paling diincar di seluruh dunia, karena organisasi itu pandai sekali mengelabuhi pihak kepolisian dengan penyamaran-penyamaran mereka. Bahkan di salah satu kasus sebelumnya, salah satu anggota organisasi ini ada yang berhasil menyamar menjadi Kepala Kepolisian Karakura, Genryuusai Shigekuni Yamamoto. Sungguh sebuah organisasi yang sulit untuk diberantas.

Beruntung, pihak intelijen sendiri berhasil menghimpun banyak data tentang organisasi ini hanya dalam kurun waktu satu bulan. Itu pun setelah salah satu anggota terjenius mereka menjadi korban salah satu anggota organisasi itu saat anggota itu sedang melakukan transaksi di Karakura Land, satu bulan yang lalu.

Dan sejak saat itu, tubuh anggota pihak intelijen itu mengecil, menjadi anak kelas 1 SD. Sampai sekarang, para profesor di seluruh Jepang, sedang berusaha mencari penawar untuk obat yang membuat tubuh anggota itu mengecil.

"Kuchiki-san!"

Byakuya melirik salah satu bawahannya yang saat ini berada di belakangnya. "Ada apa, Abarai?"

"I-itu, pasukan kita mulai terdesak. Ternyata jumlah anggota organisasi itu di luar perkiraan kita. Diperkirakan mereka semuanya berjumlah lebih dari dua puluh orang. Sementara anggota kita yang tersisa tinggal sepuluh orang. Dan semuanya juga sudah mengalami luka di tubuh mereka. Apa yang akan kita lakukan sekarang, Kuchiki-san?"

Byakuya lalu mengalihkan pandangannya pada pigura foto di atas meja kerjanya. "Apa Pacian dan Baetrice sudah sampai di lokasi?"

Bawahannya itu menggelengkan kepalanya. "Belum. Sepertinya sebentar lagi mereka baru akan sampai, mengingat kediaman Kuchiki jauh dari pusat kota."

Dalam hati Byakuya membenarkan perkataan bawahannya itu. "Baiklah. Siapkan beberapa orang lagi untuk membantu mereka berdua. Sementara aku akan menjenguk Rukia sebentar di rumah. Aku mempunyai firasat buruk tentangnya," ucap Byakuya sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Baik!" sahut bawahannya itu sebelum keluar dari ruangan serba hitam itu.

Byakuya menghela nafas panjang. Kemudian dia memakai earphone-nya dan melakukan sebuah komunikasi dengan seseorang.

Drrt. Drrt. Drrt.

Ichigo merasa kalau hp touchscreennya bergetar cukup lama. Mungkinkah itu berarti ada sebuah panggilan masuk? Segera diambilnya hp itu dari salah satu saku bajunya. Betapa terkejutnya dia melihat siapa yang menelponnya. Dibukanya kamen yang menutupi separuh wajahnya, agar dia bisa lebih jelas menjawab telepon.

"Moshi-moshi. Ada apa, Duke-san?" tanya Ichigo to the point. Karena tidak biasanya, pimpinannya ini akan menelpon langsung ke hp-nya.

"Begitu kau sampai di pelabuhan, tolong kau langsung menempati posisimu. Bantuanmu sangat dibutuhkan di sana, mengingat kau yang paling baik dalam hal tembak-menembak,"

Ichigo tersenyum mendengar pujian tidak langsung dari atasannya ini. "Baiklah aku mengerti."

"Lalu tentang adikku, kuharap kau sama sekali tidak membeberkan tentang rahasiamu padanya,"

Ichigo tercengang. Sekilas dia melirik Baetrice yang masih asyik mengemudi. Sementara Baetrice sendiri hanya menganggukkan kepalanya, seolah-olah dia sudah tahu apa yang akan ditanyakan oleh Ichigo. Ichigo menghela napas panjang. "Tanpa kau beritahu pun, aku sudah tahu, Duke-san."

"Baguslah kalau kau sudah tahu, Pacian. Aku titipkan dia padamu. Lakukan tugasmu dengan baik dan kembalilah dengan selamat."

"Pasti."

PIP

Punggung Ichigo melorot dari sandarannya. Entah mengapa saat menimpali perkataan dari Duke, maksudnya Byakuya, dia menjadi tidak yakin sendiri. Frustasi, dia lalu mengusap-usap wajahnya.

Baetrice yang melihat gelagat anehnya, hanya terdiam. Kali ini dia harus lebih fokus pada jalanan di depan mereka, mengingat saat ini mobil yang dikemudikannya sudah sampai di area pelabuhan.

"Pacian, siapkan senjatamu. Aku akan memarkir mobilnya di sini. Kita akan masuk lewat pintu samping itu," tunjuk Batrice pada sebuah pintu di depan mereka.

Ichigo lalu memakai kembali kamen dan kacamatanya. Baru saja dia selesai memakai perlengkapannya, suara tembakan mulai tertangkap oleh indera pendengarannya.

"Baetrice, kita harus bergegas," seru Ichigo sambil keluar dari mobil, tidak lupa dengan Remington di genggaman tangan kirinya.

"Pacian!"

Ichigo menghentikan langkahnya. Dibalikkannya tubuhnya ke belakang. "Ada apa?"

"Ini. Terimalah!" seru Baetrice sambil melemparkan sebuah skateboard ke arahnya. Ichigo termenung.

"Itu bukan skateboard biasa. Dengan itu kau bisa lebih leluasa menjalankan misimu, Pacian," jelas Baetrice, sambil keluar dari mobil.

"Yo, arigatou, Baetrice," ucapnya, kembali meneruskan langkahnya yang sempat tertunda. Sesekali tubuhnya akan goyang karena membawa beban yang kurang seimbang di kedua tangannya. Melihat itu, membuat Baetrice tertawa di belakangnya. Hingga―

SYUUTT

DOR

Sebuah peluru mengenai bahu kiri Baetrice, membuatnya tumbang seketika. Sepertinya dia tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang membidiknya. Entah dari mana.

Mendengar suara tembakan dari belakangnya, Ichigo lalu menghentikan larinya. "Baetrice!" jeritnya tertahan.

"Cepatlah masuk, Pacian. Mereka lebih membutuhkanmu dibandingkan aku. Tenang saja, aku pasti bisa mengatasinya."

Iris amber Ichigo mengamati sekeliling. 'Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Tapi, kenapa Baetrice bisa tertembak? Mungkinkah organisasi itu mempunyai banyak sniper handal?' batin Ichigo.

Setelah memastikan kalau Baetrice akan baik-baik saja, dia lalu berlari masuk ke dalam pelabuhan. Baru beberapa langkah dia memasuki pelabuhan, seseorang sudah berdiri di depannya. Sepertinya dia adalah seorang wanita, terlihat dari sepatu boot dengan heels 10 cm.

"Wah, wah, kenapa bisa ada anak kecil yang berada di pelabuhan malam-malam begini? Sudah begitu, kau membawa senapan lagi. Apa kau sedang bermain polisi-polisian dengan temanmu, Nak?" tanya wanita itu, angkuh.

CTAK

Muncul perempatan di dahi Ichigo, mendengar wanita di depannya memanggilnya dengan 'Nak'. Tidak tahukah dia kalau dirinya ini sudah berusia 17 tahun?

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Onee-san yang menor. Tidak baik kan malam-malam begini keluar rumah?" jawab Ichigo datar. Sepertinya dia sudah bisa mengembalikan mood-nya lagi.

CTAK

Giliran wanita itu yang merasa tersinggung. 'Seenaknya saja bocah ini memanggilku menor. Memangnya wajahku ini kelihatan menor apa? Tidak kan?' gerutu wanita itu. Bergegas dia mengambil senjata apinya dari dalam sepatu boot-nya.

"Sepertinya waktu kita untuk berbasa-basi sudah habis, Bocah! Bersiaplah untuk istirahat dengan tenang di alam sana. Dasar tikus pengganggu!" ucap wanita itu sambil menarik pelatuk pistolnya.

DOR

DOR

DOR

Tiga tembakan sekaligus dilancarkan oleh wanita itu pada Ichigo. Tetapi, berkat tubuh mungilnya, Ichigo berhasil menghindar dari ketiga tembakan itu. Ichigo lalu menarik pelatuk Remington-nya.

DOR

Satu tembakan itu tepat mengenai salah satu sepatu boot wanita itu. Menyebabkan heels-nya patah. Otomatis wanita itu kehilangan keseimbangan. Dengan sigap, Ichigo melancarkan tembakan keduanya.

DOR

Kali ini sasarannya adalah pistol wanita itu. Pistol yang digenggam wanita itu terjatuh beberapa meter di belakangnya. Kesempatan ini digunakan Ichigo untuk menubruk wanita itu menggunakan pangkal senapannya. Wanita itu ambruk seketika. Dengan segera Ichigo memborgol kedua tangan wanita itu.

"Pantas saja kau begitu digilai banyak orang. Ternyata inilah salah satu alasanmu digilai oleh orang-orang itu," racau wanita itu saat Ichigo selesai memborgolnya.

"Terserah kau sajalah. Sekarang katakan, di mana Boss-mu berada?" tanya Ichigo sambil menodongkan Remington-nya di depan wajah wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum tipis.

"Pentingkah itu bagimu?" tanyanya balik. "Sekalipun kau mendesakku, aku tidak akan pernah mengatakannya. Karena jika mengatakannya, itu sama saja artinya dengan bunuh diri," sambung wanita itu sambil berusaha untuk mendudukkan tubuhnya. Rambut toscanya yang tergerai meliuk-liuk tertiup oleh angin laut.

Ichigo memutar bola matanya, malas.

DOR

Wanita itu membelalakkan matanya melihat Ichigo baru saja menumbangkan salah seorang temannya yang berada di atas kontainer di belakangnya. Wanita itu menggeram tertahan. Ternyata Ichigo sudah menyadari kalau ada seseorang yang sedang membidiknya.

"Tipuanmu itu tidak akan berhasil, Nona. Aku sudah terlatih dengan hal-hal seperti itu," ucap Ichigo datar. Kembali diarahkannya moncong senapannya ke wajah wanita itu.

"Kheh, lucu sekali. Tapi, aku yakin, setelah ini kau pasti akan kewalahan. Argh! Uhuk... Uhuk..." wanita itu membungkukkan tubuhnya.

Ichigo terdiam. Ini aneh. Padahal, dia sama sekali tidak menarik pelatuk Remingtonnya. Tetapi, kenapa wanita di depannya ini bisa batuk darah? Mungkinkah―

Segera Ichigo mendekati wanita itu. Benar saja. Ternyata perut wanita itu tertembak. Tapi siapa yang menembaknya? Jangan-jangan― Segera Ichigo membalikkan tubuhnya. Dan sebuah senyum sinis langsung terkembang di balik kamennya begitu melihat siapa yang datang.

"Lama tidak berjumpa, Pacian. Ah, maksudku, Kurosaki Ichigo. Atau mungkinkah aku harus memanggilmu Amadeus Aoki?" ucap sosok berjubah di depan Ichigo.

To be continued...

Pacian : lelaki penuh kedamaian

Baetrice : doa untuk orang lain / membuat orang bahagia

Duke : pemimpin

A/N : Yosh, apa kabar minna? Ree datang lagi dengan fic baru. Ree bingung, ini akan jadi multichap atau hanya threeshot saja. Lihat ke depannya aja deh. *digebukin rame-rame*

Well, bagaimana dengan chap ini? Apa ada kekurangan? Mungkin alurnya terlalu cepat ya? Dan di chap ini juga belum ada alasan kenapa Ichigo bisa berubah jadi Aoki, meski sudah diceritakan sekilas lewat mimpinya Rukia.

Fic ini Ree terinspirasi dari anime DC episode 345. Tapi, kok rasanya jadi aneh begini yah? Dan untuk tiga nama julukan di atas, Ree cukup kebingungan loh. Kan kalau di DC, pakainya nama-nama alkohol, jadinya di fic ini Ree pakai nama-nama dari bahasa Latin aja deh. Mohon maaf kalau ada kesalahan ya?

Oh iya, Ree sama sekali tidak berniat untuk menjiplak karya author lain. Walaupun mungkin ada beberapa unsur yang sama, itu semua bukan karena kesengajaan. Jadi, mohon pengertiannya...

Baiklah seperti biasa Ree minta saran dan kritiknya, demi fic yang lebih baik lagi ke depannya. See you in the next chap...

^ eL-Ree Aquafanz ^