So, penulis novel erotis yang terjual lebih dari dua juta kopi se-Jepang dalam waktu setengah tahun adalah seorang gadis sembilan belas tahun, kikuk, kolot, nerd dan masih..

Errr—PERAWAN?

Kalau begitu.. Bagaimana kalau kita praktekkan apa yang kau tulis, hm.. Hime?

.


.

×Natsumidouri×

.

Naruto © Masashi Kishimoto.

Sesuka U. × Hinata H.

M-rated for safety

.

If You Don't Like, Don't Read!

.

JANGAN SCROLL KE BAWAH KALO GAK SIAP DOSA NAMBAH DAN PIKIRAN MENGERUH.

INGATLAH, TUHAN SELALU MENGAWASI.. :)

.


.

Suara geraman terdengar dari balik pintu kamar mandi sebuah kamar, sesekali terdengar layaknya rintihan lirih. Geraman terdengar dari bibir seorang pria dengan wajah yang sulit dicerna. Duduk di atas dudukan toilet, ia masih berpakaian lengkap kecuali celananya yang sedikit diturunkan.

Di luar matahari hendak kembali ke peraduan, beberapa orang masih tenggelam dalam rutinitasnya, ada juga yang dalam perjalanan pulang. Sementara di kamar mandi yang harusnya dingin dan lembab itu terasa memanas dengan sendirinya. Lantai keramik yang harusnya bersih kini berhias akan tissue-tissue yang tercecer. Tangan sang pria menggenggam sesuatu di balik celananya, melakukan kegiatan asing yang tak dapat terlihat bahkan oleh dirinya sendiri. Merasa kurang leluasa, ia kembali menurunkan celana hingga terjatuh di atas keramik putih toilet.

Jelas itu bukan rintihan pilu atau kesakitan akan adanya luka. Melainkan geraman ekspresi untuk mencapai kepuasan diri sendiri, mengingat aktifitas tangannya yang tak henti pada area privasi.

Naik turun, kanan kiri. Mengelus dan membelai. Meremas dan mengocok. Memijat dan mengurut.

Ia melakukannya berkali-kali, berulang-ulang, tak peduli berapa kali jarum jam berputar. Hanya dengan satu media, tangan kirinya. Sementara tangan kanannya mengangkat sebuah buku setebal dua setengah sentimeter.

Mata arang itu kadang setia menelusuri setiap apa yang tercetak di dalamnya. Sesekali jua keduanya bersembunyi di balik kelopak yang berhias bulu mata lentik. Sang pemilik memejam, mencoba mem-visualisasi tiap apa yang tercetak pada lembaran kertas. Fantasi liar pria dewasa terus berputar di otaknya. Membayangkan jika dirinya salah satu tokoh cerita. Membayangkan ia berlaku sebagaimana tokoh pria lakukan. Membayangkan ia menerima apa yang tokoh itu terima.

Begitu menghayati hingga kepuasan dan kenikmatan tokoh itu seakan merasuk dalam dirinya.

Ruangan semakin memanas setelah geraman tanda puncak kepuasan terdengar. Nafas tersenggal, keringat terkucur, serta detak yang tak dapat diatur, layaknya pasca latih badan. Yang membedakan hanya satu. Wajah yang memerah, dan rasa puas yang ada di dalam benak.

Kedua onyx kembali terfokus pada lembaran di depannya, masih tak percaya jika ia dapat terhanyut dalam barisan huruf. Seolah kalimat itu mengandung mantra magis yang dapat menghipnotisnya. Membawanya menjadi tokoh pria itu, dan pasangan 'tokoh'nya ia diandaikan sebagai..

Gadis itu.

.

.

Tangan mungil itu masih setia menari diatas keyboard. Kesepuluh jemarinya mengetik dengan cepat, bergerak lincah dari tuts satu ke tuts lainnya. Ia menuliskan apa yang ia imajinasikan, menjadi susunan kata yang begitu apik. Indah dibaca.

Namun setelah ribuan karakter ia ketik, tangannya bergetar di atas keyboard, jari-jarinya tak lagi bergerak cepat. Keringat dingin mulai keluar pada pelipis gadis itu—si penulis. Mata bulannya bergerak gelisah di balik kacamata half-frame nya. Pipi tembam dan seluruh wajahnya bersemu samar, dan semakin memerah seiring bertambahnya tulisannya.

Walau demikian, ia tidak bisa berhenti. Tangannya.. otaknya.. tak mau berhenti memikirkan setiap kejadian yang mendetail. Tak bisa berhenti menulis hal tabu..

Tangan itu masih bergetar ketika adegan yang ia tulis selesai. Nafasnya terengah, walau ia tak menggerakkan tubuhnya lebih. Dua manik lavender menatap tak percaya pada monitor. Dan juga getaran tangannya tak mau melambat, seakan tersetrum beberapa volt listrik, seakan tangannya sendiri dapat menghasilkan gempa lokal. Selalu seperti itu semenjak ia mulai menulis cerita ini. Selalu seperti itu ketika mencapai adegan ini. Padahal ini bukan pertama kalinya ia menulis cerita yang demikian. Cerita dengan adegan dewasa yang entah kenapa selalu muncul di pikirannya ketika ia mulai menulis.

Sejujurnya, ia berusaha untuk tidak memperuntukkan ceritanya—novelnya—untuk dewasa. Tapi entah kenapa, otaknya tak mau berhenti memikirkan hal itu jika sudah berhadapan dengan ceritanya. Jari-jarinya, seolah bekerjasama mengetik alur—jalan cerita menuju adegan itu.

Mata bulannya masih melirik calon karya keduanya. Ada rasa ragu untuk mengajukannya pada editor. Perasaan ragu yang sama ketika karya debutnya. Karya pertama yang sebenarnya ia tak berniat untuk memperoleh keuntungan. Tapi, iseng berhadiah, dan karena alasan khusus, ia mencoba mencari peruntungan dengan mengirimkannya pada penerbit. Dan herannya, diterima.

Karya keduanya ini bukan sekuel dari sebelumnya. Jelas tema, tokoh dan jalan ceritanya berbeda. Tapi ada satu persamaannya.

Sama-sama hanya boleh dikonsumsi oleh yang cukup usia.

.

»«

.

Bunyi panggilan masuk dari ponselnya yang terletak diatas nakas samping tempat tidur terdengar bersamaan ketika pemuda dengan model rambut aneh itu keluar dari kamar mandi. Menjawab dengan gumaman setelah mengetahui si penelepon.

"Hoi, Teme! Kudengar kau sudah pulang. Ayo kita bertemu di kafe samping kampusku!" suara cempreng riang di ujung sana membuat pemuda itu seketika menjauhkan telpon genggam dari telinganya.

"Ck! Bisakah kau tidak berteriak, Dobe!" itu terdengar lebih mirip geraman kesal dari pada kalimat tanya.

"Hehehe, maaf," si Teme bisa membayangkan lawan bicaranya sedang nyengir innocent sambil menggaruk bagian belakang rambut duriannya. "Jadi, bagaimana? Kau bisa kan?" lanjut si Dobe lebih pelan namun tak dapat menyamarkan nada semangat sekaligus membujuk si dalamnya.

"Tidak." Jawabnya singkat. Tanpa basa-basi.

"Oh.. ayolah, Sasuke.. ini sekalian kan, merayakan kelulusanmu yang lebih cepat dari kami." Bujukan kecil layaknya anak kecil meminta permen dilayangkan 'si Dobe'.

"Ck! Jika kau minta hal itu, jangan hanya minta padaku! Minta sana pada Shikamaru!"

"Minggu lalu Shikamaru sudah mentraktir Chouji dan lainnya ketika aku pergi ke menjenguk nenek Tsunade yang sakit. Ketika aku minta jatahku, Si nanas itu sudah pergi ke Suna.." Sasuke tau, sekalipun Shikamaru masih ada di Konoha ia tetap akan menolak untuk mentraktir Naruto. Pasalnya nafsu makan bocah kuning tak beda jauh dengan pemuda Akimichi. Terlebih jika itu menyangkut ramen. Siap-siap saja mendengar ratapan—jeritan dompet. "Jadi, berhubung aku belum dapat jatah traktiran dan kau sudah pulang, kau traktir aku, ya!" Dasar. Bilang saja ingin dapat gratisan, pakai alasan kelulusannya biar dapat traktiran. Lagi pula, salah sendiri tidak ikut acara Shikamaru. "Ayolah, Sasuke.. aku kan sudah memberikan novel terbaru itu padamu.. Bagaimana? Mau ya?"

"Ck! Kau membuatku ingin muntah mendengarmu memohon seperti itu. Menjijikan." Ketus Sasuke. "Hah.. baiklah. Memang kapan kau mau kutraktir?" tanyanya menyerah.

"Malam ini saja. Bagaimana?" Nada riang temannya kembali terdengar.

Sasuke hanya bergumam tak jelas sebagai jawaban dan langsung membanting ponselnya ke ranjang setelah menutup nya. Berbaring mengistirahatkan diri setelah permainan panasnya di toilet.

Tangannya kembali menjangkau novel yang menemani permainannya. Ia membolak-balik novel itu tanpa berniat membukanya ataupun membacanya kembali. Ini bukan kali pertama ia membaca novel erotis.. Tentu saja. Bersahabat dengan cucu penulis erotis terlaris di zamannya—yang sekarang pensiun dan memilih mendirikan perusahaan penerbit dimana juga menerbitkan novel yang tengah ia pegang—membuat Sasuke mau tak mau membaca setiap buku yang sahabatnya itu berikan padanya tiap kali ia pulang ke tanah lahirnya. Termasuk buku erotis karya kakek sahabatnya dulu dan buku-novel lain yang sejenis dari penulis yang berbeda. Sasuke juga sudah sering menonton video biru. Atau malah yang nyata—yakni wanita jalang yang dapat dengan mudah ia dapatkan secepat ia menjentikkan jari.

Tapi.. tak ada yang membuat Sasuke begitu terpengaruh hingga tak dapat menahan untuk memuaskan diri sendiri. Sebenarnya ia dapat memanggil seorang wanita tuna susila, ia pernah mencobanya dan berakhir dengan hilangnya nafsu dalam sekejap karena wanita yang bergelayut manja padanya bukan seseorang yang ia harapkan. Justru sikap mereka layaknya penjilat membuat Sasuke jijik dan muak di saat yang bersamaan.

Ia lebih memilih memuaskan diri sendiri. Beronani. Tentunya dengan bantuan novel itu. Seorang Uchiha beronani dengan bantuan novel, daripada memuaskan hasrat dengan menghabiskan uangnya dengan wanita, huh? Dunia pasti sudah gila. Atau Sasuke yang gila.

Ya, dia gila. Novel itu yang mampu membuatnya gila. Yang memuat bait demi bait romansa dewasa. Ia sama sekali tak mengerti, bagaimana hanya dengan sebuah buku membuat ia dapat mencapai kepuasan. Membuat ia merasakan khayalan dimana ia menjadi tokoh di dalamnya. Dan khayalan itu, terasa nyata. Sangat.

Dan Sasuke, selalu menghayalkan dirinya dan gadis itu sebagai pasangannya. Hanya gadis itu. Gadis yang sudah lima tahun ini tak pernah ia temui atau dengar kabarnya. Cinta lama dengan adik kenalannya, yang Sasuke fikir sudah hilang, nyatanya masih terpendam. Sasuke fikir ia sudah melupakan gadis itu, tapi entah bagaimana.. ketika membaca novel biru yang ia dapatkan dari sahabat kuningnya satu bulan yang lalu itu, ia teringat kembali pada cinta sepihaknya, yang kemudian terjerat dalam khayal yang antara dirinya dan gadis itu.

Jujur, sekarang Sasuke begitu merindukannya. Kira-kira bagaimana, ya kabarnya?

.

.

Suara ketukan pintu membuat gadis yang sedari tadi menatap tangannya sendiri itu terperanjat. Ia sedikit berteriak 'sebentar' sambil menekan tombol control dan s secara bersamaan, sebelum akhirnya men-close jendela aplikasi pengolah kata dan mengganti mode laptopnya menjadi sleep.

"Kenapa lama sekali?" cerocos gadis di depannya kala si pemilik rumah membukakan pintu.

"Aah.. maaf, tadi.. eum, aku ada di toilet." Ucapnya gugup, matanya bergerak-gerak tak fokus—kebiasaannya kala berbohong—yang untungnya tak disadari si tamu. "Ayo masuk, Tenten-neesan.." ajaknya ramah.

"Aah, tidak perlu." Gadis yang menyepol dua rambut coklatnya itu mengibas-ngibas tangan di depan wajah. "Justru aku kesini mau meminta tolong padamu, Hinata.." ucapnya dengan mata memelas. Sementara gadis di depannya tak menjawab, hanya melempar tatapan bertanya.

"Eum, pelatih Lee-kun tadi menghubungiku. Tadi dia mengatakan Lee-kun dilarikan ke rumah sakit karna cedera pada punggungnya. Aku.. khawatir." Ooh, nada bicara Tenten sekarang menjadi seperti lawan bicaranya.

"Jadi?" gadis berponi itu tampak sedikit geli mendengarnya. Tapi ia tak terkikik mengingat musibah yang dialami kekasih teman yang dua tahun lebih tua darinya itu.

Walaupun tidak mengenal Lee secara langsung, Hinata dapat menebak tabiat atlet lari yang semangatnya kelewatan membara itu berdasarkan cerita-cerita gadis yang sudah ia anggap kakak sendiri itu. Entah ada apa dengan tubuhnya itu, ia selalu dapat tersenyum dan ceria walau mendapat cedera macam apapun. Berkata tidak apa-apa, aku baik-baik saja, lalu sembuh dengan cepat, meneriakan semangat masa muda, dan mendapat cedera serupa kembali—atau mungkin lebih parah—beberapa hari berikutnya. Terus seperti itu. Dan Tenten selalu akan ngomel-ngomel dan dibalas oleh cengiran khasnya. Dia memang selalu seperti itu, selalu memaksakan tubuhnya untuk mencapai target yang ia buat. Dia adalah laki-laki dengan kepercayaan diri setinggi langit ketujuh, tekad melebihi baja, dengan semangat tak pernah padam—itu yang dikatakan Tenten dengan pipi bersemu beberapa hari lalu. Pantaslah sifatnya seperti itu membuat Tenten bertekuk lutut, mungkin cinta pria 'hijau' itu juga tak akan pernah surut—fikir Hinata.

"Tolong kau gantikan aku, shift malamku ini.. aku ingin menjenguk Lee-kun. Kumohon.." mata hazel itu memelas, sementara tangan Tenten menggenggam sebelah tangan Hinata. "Aku janji besok akan menggantikan shift-mu.."

Sebenarnya bukan pertama kali Tenten seperti ini, ia kadang memohon pada Hinata atau Ayame—karyawan restoran Teuchi lainnya untuk menggantikannya satu atau dua jam menjenguk Lee yang cedera. Kadang juga ia meminta berganti shift pada kedua rekannya seperti sekarang. Hinata dan Ayame juga kadang melakukannya, tapi tidak sesering Tenten. Paman Teuchi juga tak begitu mempermasalahkannya, asal restoran miliknya tetap bisa buka dan karyawannya bisa melayani dengan baik, ia tak masalah. Lagi pula, ia menggaji karyawannya berdasarkan jam kerja, jadi tidak ada kata tidak adil atau sejenisnya.

Restoran Teuchi adalah restoran jepang yang tak begitu besar, tapi pelanggannya hampir senantiasa ramai tiap harinya. Dengan tiga pelayan yang cantik dengan shift mereka masing-masing. Hinata—pagi hinga jelang sore. Ayame—siang hingga petang. Dan Tenten—sore hingga malam. Sengaja menempatkan dua karyawan pada jam-jam sibuk. Dan ketiganya tak keberatan.

"Nata-chan?" Tenten bertanya dengan gelisah, takut ditolak, takut merepotkan juga. Sementara Hinata sebenarnya sedikit keberatan, jika ia kerja malam ini, itu berarti ia tak bisa kembali menjenguk ayahnya yang juga di rumah sakit. Karena jika ia ke rumah sakit sepulang kerja, ia harus menginap disana mengingat jam malam yang ia punya. Sementara Hinata baru membawa pulang alas tidurnya tadi pagi untuk dicuci, dan membawa barang sedemikian banyak sepulang kerja dalam keadaan lelah itu sangat... Tapi, melihat Tenten yang begitu mencintai kekasihnya Hinata jadi luluh.

Hinata tersenyum kecil. "Iya.. Nee.. aku akan menggantikanmu." Tak apalah, malam ini ia tak melihat ayahnya dulu. Esok pagi-pagi ia akan ke rumah sakit dan menemani ayahnya seharian.

"Ah! Terimakasih.." serunya memeluk Hinata. "Aku janji akan menggantikan shift-mu besok!" ucapnya sambil memisahkan diri.

Hinata bergumam dan mengembangkan senyum, "Sudah sana, cepat sana jenguk pacar Nee-san!"

"Kau mengusirku?" sebalnya Tenten pura-pura. "Baiklah, aku akan menjenguk si bodoh itu. Dia mungkin terlalu cinta dengan rumah sakit. Awas saja dia berselingkuh dengan perawat disana." Ucapnya sambil meninju telapak tangannya sendiri di depan dada.

Hinata terkikik mendengarnya, "Tidak nee, justru dia sering sakit agar sering bertemu dan mendapat perhatianmu." Godanya pada Tenten.

"Kau ini!" wajah Tenten memerah, tangannya gatal tak tahan mencubit pipi tembam Hinata. Diikuti suara 'OUCH' kesakitan dari gadis di depannya. "Sudah ya, aku pergi. Sekali lagi terimakasih."

"Iya Tenten-nee.." jawab Hinata sambil masih mengusap-usap pipinya. Membalas lambaian Tenten yang menjauh.

Menghela nafas pelan setelah menutup kembali pintu apartemen mungil miliknya, Hinata memandang benda elektronik yang tadi masih bergelut dengannya. Tatapan kosong, sulit diartikan. Memikirkan kembali ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit, novel pertamanya, dan calon tulisannya yang masih belum terselesaikan. Mengerejap mata cepat, lalu Ia mempersiapkan diri sebelum bergegas kembali pergi ke tempat kerjanya.

.

000

.

"Sudah kuduga kau akan mengajakku ke sini." Ucapan datar itu keluar dari mulut pedas sang Uchiha. Sementara sahabatnya tak lagi kaget, hanya nyengir tak berdosanya. Sesuai janji, mereka memang bertemu di kafe dekat universitas Naruto. Tapi bukannya masuk di kafe-ramah-dompet-mahasiswa itu, mereka justru memilih berjalan sepuluh menit dan men-dampar-kan diri ke restoran Ichiraku kesayangan seseorang dari mereka. Jangan bertanya, kau-JELAS-tahu-siapa. Yah, walaupun harga yang tercantum di sini tidak membuat kantongmu menjerit, tapi mengingat seorang di depanmu adalah penggila masakan olahan mie itu, maka berdoa saja semoga tagihan kartu kredit tak meroket sepulang nanti.

"Oh, ayolah Sasuke. Aku sudah bosan makan di sana.." Omong kosong. Ia bahkan sudah makan ramen sebelum ia belajar berjalan. "Aku tidak tau kau bisa bosan pada makanan.." tajam, seperti biasa. "Kalau begitu aku do'akan kau bosan makan ramen suatu saat."

"Hahaha! Itu tidak akan berhasil. Sekalipun aku bosan makan ramen, Paman Ichiraku akan selalu membuatkanku ramen yang membuat rasa cintaku pada ramen bertambah setiap harinya." Tawanya tertahan. "Ah, sebaiknya kita langsung memesan saja. Ah! Itu dia! Hinata!" panggil Naruti pada seorang gadis berpakaian maid yang kemudian mendekat pada mereka. Rambut panjangnya dikuncir kuda, terlihat cekatan namun anggun di saat yang bersamaan.

Benak Sasuke terusik mendengar nama itu. Menoleh, kemudian tubuhnya sedikit terlonjak seolah ada listrik statis yang menyulut sarafnya kala retinanya menangkap sosok itu. Dadanya berderum, tak mau bekerjasama, kala dia mendekat. Tubuhnya terpaku, nafasnya sesak saat ia dan sosok itu hanya dipisahkan meja. Dan kewarasannya.. terculik setelah senyum mengembang dari wajah yang selalu mengiringi imajinasi liarnya.

.

.

END or TBC ?

.

.


Saya belum pernah menamatkan ff MC, apalagi rate M. Saya nyerah ama ff MC saya sendiri /geplak

dan setiap ngetik adegan menjurus tangan saya sama kaya Hinata di atas /lol

Jika ada yang mau rewrite silahkan PM saya..


18/10/15

The Novelis by AAN