Pada suatu hari diawal bulan Desember.

Angin pembawa kabar musim dingin menghembuskan diri menjelajahi seluk beluk kota ini. Coat tebal semakin dieratkan melingkari tubuh. Orang-orang mempercepat lajunya menuju rumah sekedar tuk menyicipi segala macam produk makanan dan minuman yang dapat menghangatkan diri.

Namun, lain halnya dengan seorang anak laki-laki berkulit tan dengan tas ransel warna hitam dipunggungnya ini tengah berlari dengan sebuah senyuman yang menggemaskan. Anak itu terus mengumbarkan senyuman menuju sebuah istana dibalik sebuah perbukitan.

Anak ini terkenal dengan pribadi yang ceria dan sangat cerewet. Banyak yang menyayanginya, tak terkecuali kedua orang tuanya.

Sedikit demi sedikit gambaran dari istana itu terlihat, beberapa meter sebelum menuju gerbang utama istana itu terdapat gapura yang terbuat dari besi yang memiliki nilai seni tinggi. Pada gapura itu terdapat tulisan; Selamat Datang di Hotel Luxurious.

Hotel ini memang berbeda dengan hotel lain, gaya bangunan hotel ini bak istana dalam kisah utopia pengantar tidur Disney. Anak ini mempunyai mimpi membawa belahan jiwanya ke tempat ini suatu hari nanti. Ah, membayangkannya seolah membuat dirinya lupa akan pijakan. Terbuai oleh lamunan membuatnya lupa bahwa dirinya berada di tengah-tengah jalan masuk.

Suara deruman mobil terdengar, dengan sigap anak ini mencari tempat persembunyian. Sebuah pohon palm yang masih berusia muda dipilih menjadi tameng pelindung diri dari tatapan tamu istana ini. Anak ini mengintipi sedikit mobil yang akan segera pergi.

Dan, tanpa terduga ternyata pemilik mobil ini adalah Ayahnya sendiri, "A-appa?!" Ayahnya bersama seseorang yang sangat cantik, namun sayang bukan Ibunya.

Anak ini membayangkan bahwa Ayahnya seorang pangeran dengan seorang putri tengah menaiki sepasang kuda putih yang indah berjalan beriringan keluar dari istana. Sempat membuatnya terdiam beberapa saat sebelum kemudian kembali berlari menuju rumahnya, tak sabar ingin menceritakan apa yang dilihatnya hari ini.

.

.

.

.

"Eomma~"

"Eomma~"

Teriaknya ketika sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Anak ini terus memanggil Ibunya, pintu depan rumahnya dibuka dengan tidak sabar membuat gantungan rumah bertuliskan marga Lee nyaris terjatuh.

"Eomma ... eomma.." teriaknya kembali, tas ranselnya dilepas begitu saja tanpa mengenal tempat. Langkahnya berhenti di dapur. Dimana Ibunya tengah memasakkan sesuatu di sana.

"Eomma."

"Jongin sudah pulang?"

"Eomma ... tadi aku—"

"Jongin memang cerewet ya, ini makan dulu." Ibunya memasukan potongan daging ayam ke dalam mulut Jongin.

"Sebentar ya Eomma mau menyiapkan bekal untuk Appa dulu."

Sambil menguyah Jongin berkata, "Iya, itu! tadi aku melihat Appa di istana itu."

Tanpa sadar gerakan Ibu Jongin yang tengah menyiapkan bekal terhenti, "Istana?"

"Iya, istana yang ada di bukit itu. Aku melihat Appa seperti pangeran. Ya, meski putrinya bukan Eomma tapi aku yakin Eomma tidak bisa menemani Appa karena sedang memasak kan? Ah, atau Eomma ini seorang penyihir. Tentu saja bukan yang jahat tapi yang baik, karena Eomm—"

Ibu Jongin kembali memasukan potongan daging tadi ke mulut Jongin agar Jongin berhenti berbicara, "Jongin."

"Hmm?" Jongin menjawab sambil menguyah daging tadi.

"Jangan pernah membicarakan hal ini ke orang-orang."

"Kenapa?"

Sambil mengepalkan sumpit yang dipegangnya, Ibu Jongin seraya menjawab ketus, "Pokoknya jangan."

"Meski hanya sekali?"

.

.

.

.

Beberapa minggu kemudian, sebuah mobil pengangkut barang sudah terparkir di depan rumah Jongin. Jongin yang baru terbangun pun segera menghamipiri mobil itu dimana Ayahnya juga ada di sana, sepertinya tengah berbicara dengan supir mobil itu.

"Sepertinya sudah semua ya, Pak?"

"Ah, iya ... iya, kau tahu jalannya kan?"

"Iy—"

"Appa?"

Baik Ayah Jongin maupun supir menengok ke arah sumber suara, "Appa mau kemana?" tanya Jongin.

Merasa ini pembicaraan yang bersifat privasi, supir mobil ini izin memasuki mobilnya terlebih dahulu, "K-kalau begitu saya naik duluan ya Pak. Permisi."

Jongin kembali bertanya, "Appa mau kemana?"

Jongin menuntut sebuah jawaban. Namun, nihil. Ditunggu seberapa lama pun jawaban yang diinginkan tak kunjung tiba.

"K-kalau Appa sedang marahan dengan Eomma, Jongin bisa bicara sama Eomma agar Appa bisa baikan lagi. Agar Appa tidak usah per—"

"Jongin—" potong Ayah Jongin, "—bukankah ini semua karena ulah mu?"

Saat itu juga Jongin kaget luar biasa, matanya bahkan tidak mampu berkedip, mulutnya pun tak bisa mengeluarkan suara sekedar tuk mengucapkan selamat tinggal pada Ayahnya. Beku. Semua seperti membeku. Tak ada bagian tubuhnya yang bisa digerakkan. Entah mengapa.

Suara pintu mobil yang tertutup menjadi kenangan terakhir kalinya bagi Jongin yang membuatnya sadar. Sadar bahwa Ayahnya sudah pergi, meninggalkan dirinya dan begitu pula dengan ... Ibunya.

Tak terasa air mata mulai menghiasi matanya, sesak entah karena apa mulai menggerogoti relung hatinya. Pemandangan di bawah pun terasa lebih menghibur daripada pemandangan di sekitar. Hatinya, terasa sakit. Sangat sulit untuk mendeskripsikan dengan kata-kata betapa sakitnya hati Jongin saat ini.

Berlari. Jongin hanya bisa berlari. Berharap setiap langkah yang dipijaknya mampu mengurangi rasa sakit dihatinya saat ini. Namun, nyatanya nihil. Rasa sakitnya tak mau menghilang. Maka, larinya pun semakin dikencangkan. Entah kemana yang pasti Jongin hanya berlari dan berlari. Menjauhi rumahnya. Menjauhi semuanya.

Dan.

Menjauhi kenyataan.

.

.

.

.

Langit abu-abu menjadi penghias di setiap langkahnya. Angin kencang mulai menusuk hingga ke tulang. Jongin yang lari dari rumah tidak sempat membawa coat kecilnya itu tidak masalah baginya. Karena, meski di luar tubuhnya terasa dingin namun, tidak dengan hatinya.

Langkahnya terhenti dipinggiran sungai. Tempatnya sunyi sangat sunyi. Lokasi yang cocok untuknya saat ini. Jongin menuangkan semua apa yang dirasanya. Jongin terduduk kemudian berteriak, berteriak sekuat tenaga diiringi dengan air matanya yang ikut terjatuh. Jongin berharap bahwa ada seseorang yang mampu mendengar teriakan suara hatinya saat ini.

Dirinya kembali teriak tak peduli suaranya akan serak. Jantungnya terasa terpompa dengan cepat. Tubuhnya melemas. Suara isakan kemudian yang terdengar. Jongin memeluk lututnya sangat posesif.

"Aku mohon belahan jiwaku datang dan tolonglah aku ... selamatkanlah aku."

Menangislah agar kau merasa lebih baik. Kata-kata itu tabu. Jongin tidak akan mempercayai kata-kata itu. Itu semua bohong. Nyatanya, meski dirinya sudah menangis tapi tetap saja dirinya masih merasa rapuh. Tak ada yang membaik.

Tiba-tiba dari arah depannya terdengar suara, "Halo? Aku lah penyelamat mu." Jongin terdiam dan mulai mengangkat kepalanya. Tuk melihat siapa orang ini.

Namun, ternyata hanya sebuah bayangan hitam. Dan, bayangan hitam ini berbicara. Padanya.

"Siapa kau?" tanya Jongin.

"Akulah belahan jiwa serta penyelamatmu."

Jongin kembali menundukan kepalanya seraya menjawab, "Tidak, belahan jiwaku tidaklah hitam seperti kau. Dia putih dan manis. Aku yakin itu. Lagipula dia tidak bau sepertimu."

Angin kencang kembali berhembus, "wah ... ternyata benar ya bahwa Jongin sangat cerewet."

"Cerewet? Bahkan sebuah bayangan saja menyebutku seperti itu."

"Dengar ya Jongin, dengan sifatmu yang seperti itu suatu saat kau akan dimusuhi seluruh penghuni dunia ini."

"D-dimusuhi?" bisiknya.

"Kau akan dibenci. Dan, kakimu akan di semen kemudian dibuang ke tengah laut."

Jongin langsung bangkit, "ke tengah laut?"

"Iya, benar. Kau harus behenti bicara kalau tidak mau dibuang."

"A-apa yang terjadi jika aku tidak bisa berhenti berbicara?"

Bayangan itu terdiam sesaat sebelum menjawab, "Maka, belahan jiwamu dan istanamu akan hancur lebur."

"Hancur tak tersisa. Begitu pula dengan dirimu." Lanjut bayangan itu.

Jongin tiba-tiba gemetar, membayangkannya saja membuat lututnya gemetaran. "L-lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Aku akan meletakan resleting tak terlihat dimulutmu."

Bayangan ini maju mendekati Jongin. Lalu, tangannya yang berwarna hitam itu menyentuh mulutnya. Kemudian, seperti ada sebuah resleting, mulut Jongin ditutup dari ujung ke ujung.

"Tertutup~" sebut bayangan itu dengan tatapan mata yang tak main-main.

.

Salju tipis tiba-tiba saja turun, menghujani semua yang ada, tak terkecuali Jongin. Salju pertama di bulan Desember.

Dan, mulai saat itu Jongin sudah tidak pernah berbicara. Lagi.

.

.

.


Curse

.

.

.

.

Cast

Kim Jongin

Oh Sehun

Park Chanyeol

Wu Yifan

Etc

[All cast belongs themselves.]

.

.

.

.

Hurt/comfort-Angst-semi fiction-Alternate Universe

Part: One

.

.

.

An KaiHun

And ChanHun story

And lit. bit KrisHun.

.

.

Sehun is uke.

.

.

.

.


Seorang namja memasuki halaman sekolah. Jam menunjukkan pukul 06.55 waktu setempat. Lima menit lagi bel berbunyi namun, dirinya tak lekas berlari seperti yang lain. Nyatanya, namja ini hanya berjalan santai sembari mendengarkan alunan musik favoritnya lewat headseat merah kesayangannya.

Disepanjang jalan menuju kelasnya, banyak orang-orang yang menyapanya. Dan, tentu saja namja ini balas dengan sapaan kembali.

"Selamat pagi, Sehun?"

"Pagi."

Lalu.

"Sehun, semoga harimu menyenangkan ya."

"Oke, kau juga."

Tak lama kemudian.

"Sehun saat istirahat nanti jangan lupa makan ya."

"Tentu saja. Kau juga makan makanan yang bergizi."

Sehun ini ... dan Sehun itu...

Sehun bukan anak yang berprestasi. Dia murid yang biasa-biasa saja. Pelajaran yang menonjol pun hanya satu, yaitu kesenian. Kebaikan hati dan keramahan yang dimilikinya mampu membuatnya setenar ketua dewan siswa atau dengan nama bekennya ketua OSIS.

Sehun benar-benar seperti panutan di sekolah ini.

Sehun berperawakan tinggi, putih, ramping, ditambah manis membuatnya benar-benar terlihat seperti namja sempurna. Yang tentu saja didambakan semua orang.

Bermenit-menit berlalu dan akhirnya Sehun tiba di kelasnya. Semua orang kembali menyapanya. Sehun kembali menjawabnya dan diakhiri dengan sebuah senyuman manis. Sehun terus melangkah menuju kursinya yang berdampingan dengan jendela.

Yang tidak diketahui Sehun, ada seseorang yang senantiasa memandanginya setiap saat. Ia hanya bisa memandangi Sehun dari kejauhan. Tanpa berani menyapanya seperti dulu.

Tepat saat musik diponselnya dimatikan, wali kelasnya tiba seraya membawa buku pelajaran.

"Selamat pagi, anak-anak."

"Pagi, Pak."

"Hari ini langsung saja kita membahas satu agenda tahunan sekolah kita. Panitia Pertunjukan Sesama."

"Sekarang bapak membutuhkan perwakilan dari kelas ini empat orang. Yang berminat silahkan angkat tangan kalian."

Seluruh murid kelas 3-2 ini berdesas-desus. Malas mengurusi hal semacam ini. Bukan apa-apa, masalahnya untuk event ini biasanya yang hadir adalah warga sekitar. Biasanya yang antusias adalah warga yang sudah berumur.

"Kalau begitu bapak hitung dalam."

"Lima—"

"—Empat—"

"—Tiga—"

"—Dua—"

"—Satu."

"Tidak ada yang berminat? Kalau begitu bapak putuskan untuk memilih berdasarkan absen kalian."

'Haa... apa-apaan itu Pak.'

'yang benar saja Pak.'

'Kelas tiga masih mengurusi hal seperti ini? cupu!'

'Sebentar lagi lulus juga, merepotkan.'

'Semoga bukan aku deh yang kepilih.'

Begitulah kira-kira bentuk protes yang dilakukan anak 3-2 sembari menanti wali kelas mereka mengeksekusi nama-nama mereka.

"Oh Sehun." ujarnya. Sehun yang daritadi melihat keluar jendela tak percaya namanya bisa tertera di papan tulis.

"Kim Jongin." Jongin menghentikan acara mencoret-coret bukunya setelah mendengar namanya disebut.

"Park Chanyeol." Chanyeol hanya bisa membenturkan kepalanya ke meja. Ini adalah hari sialku batin Chanyeol.

"Wu Yifan." "Hollyshit!" Wu Yifan atau yang lain memanggilnya dengan nama Kris ini hanya bisa menyumpahi.

"Jadi ... ini adalah hasil—"

"Apa-apaan ini Pak?" ujar Kris dari bangku paling belakang.

"O-oi ... Kris," Tao, temannya yang duduk di sebelahnya mencoba untuk menenangkan meski gagal.

"Kenapa Yifan? Apa kamu keberatan?"

"Tentu saja! Bukankah hal semacam ini hanya diberikan kepada mereka yang tidak memiliki kegiatan klub?"

Sehun menghela napas mendengarnya, suasana kelas mendadak hening dan menegang. "Tentu tidak, bapak ini bukan guru yang seperti itu. Semua sama saja di mata bapak."

"Begini ya Pak, Say—" Kris hendak berdiri sebelum seseorang mendahuluinya. Orang itu adalah Jongin. Semua tanpa diminta langsung memandangi Jongin. Jongin seperti ingin mengatakan sesuatu, "Ak ... Ak ... Ti ..." sembari meremas sesuatu di tangan kanannya kemudian Jongin berlalu begitu saja.

"Jong— Jongin. hey."

Meski ditegur Jongin tidak mau berhenti, dirinya langsung keluar dan menjauhi kelas.

"Tuh kan ... bapak terlalu memaksakan sih." Ujar salah satu murid.

Sehun terdiam dikursinya sembari melihat namanya yang tertulis di papan tulis, bagaimana ini batinnya.

.

Dari kejauhan, Chanyeol menatap ekspresi Sehun dari bangkunya.

.

.

.

.

Tiba waktunya untuk istirahat.

Sehun tampak tak bersemangat memakan roti isi yang baru dibelinya. Sementara, di sampingnya Baekhyun dan Chen tengah mengobroli film terbaru di bioskop.

"Kau harus lihat Chen, hantunya dengan pakaian bak biarawati itu benar-benar akan memompa hormon adrenalinmu! Kau harus menontonnya akhir pekan ini."

"Dari ceritamu barusan, sudah membuat bulu kudukku berdiri. Aniyo! Aku tetap akan menonton sekuel dari film ikan badut itu."

"Ah, Chen kau payah sekali,'ya kan Hunnie."

"Hmm.." Sehun hanya mendengung menjawabnya.

Bakehyun dan Chen tampak saling memandang satu sama lain, "Kau tampak tak bersemangat ya, Hun." Ujar Chen.

"Harusnya kau tolak saja menjadi panitia itu, Hunnie." Balas Baekhyun memperjelas pernyataan Chen.

"Hmm..."

"Lagipula, sial juga kelas kita mendapat panitia itu. Kenapa tidak kelas 3-1 atau 3-3 saja, mereka kan punya beberapa murid yang berbakat." Ucap Baekhyun.

"Mungkin, ini saatnya bagi kelas kita untuk unjuk gigi." Chen berusaha berpikir positif meski tak menyangkal pernyataan Baekhyun.

"Yah ... bagaimana pun, Sehunnie yang memiliki kepribadian yang aslinya pemurung seperti itu—", Sehun menatap Baekhyun hendak memprotes, namun tidak jadi karena ia ingin mendengar kelanjutan pendapat Baekhyun, "—Kris yang memiliki sifat yang sentimen, kemudian Chanyeol yang selalu ceria, ditambah dengan Jongin yang tidak bisa bicara."

"Dengan kata lain?" tanya Chen mencoba mencari kesimpulan.

"Dengan kata lain, kepribadian yang seperti arah utara, selatan, timur dan barat seperti itu akan sulit disatukan."

Chen berpikir sejenak, "Kau ada benarnya juga. Ya, Sehun intinya sepertinya kau tidak cocok dalam acara itu apalagi paling yang hadir hanya para orang lanjut usia."

Sehun tampak menimang, mereka ada benarnya juga. Kalaupun tetap berjalan sepertinya acaranya akan hancur. Yang ada malah memalukan wali kelas dan kelasnya nanti.

"Hei Chen, aku minta rotimu lagi ya..."

"Enak saja! Beli sendiri sana."

Sehun menghela napas kasar kemudian bangkit dari tempatnya, "Aku akan ke wali kelas dulu, aku ingin komplen."

.

.

.

.

Jongin yang sejak tadi di kamar mandi ini mulai menunjukan batang hidung. Dirinya harus protes. Hal semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan olehnya. Diambilnya sobekan kertas yang sempat teremas sebelum pergi ke kamar mandi, isi sobekan kertas itu adalah dirinya tidak bisa melakukannya.

Jongin menyiapkan mental sebelum keluar dari tempat persembunyiannya.

.

.

.

.

"Permis—si."

Sehun tiba di ruang guru khusus wali kelasnya, mengingat wali kelasnya adalah guru seni maka tak heran ruangannya agak lebih besar karena, ruangannya digabung dengan beberapa penyimpanan alat musik. Namun, Sehun tidak menyangka ruangan wali kelasnya akan sesuper santai ini.

Ruangannya tidak seperti ruangan guru pada umumnya, dimana banyak berkas di sana sini. Kemudian, tak ada rak-rak tinggi berisikan dokumen, atau loker milik pribadi pun tidak. Justru yang paling banyak adalah benda-benda kerajinan tangan, papan tulis bertuliskan beberapa partitur dan sebuah piano di tengah-tengah ruangan. Dan, satu meja guru yang usang itu pun tanpa bangku. Benar-benar deh wali kelasnya ini.

"Halo, Lay seongsanim? Katanya dia ada di sini, tapi kok kosong."

Mungkin ini yang disebut dengan seni itu bebas, batin Sehun.

Sehun memasuki ruangan ini, kemudian menghampiri piano yang berada di tengah-tengah ruangan. Sehun mengelilinginya sebelum menduduki kursi yang tersedia. Rasanya sudah lama sekali Sehun tidak duduk dihadapan piano seperti ini.

Tangannya diregangkan sebentar sebelum jemari Sehun mulai menyentuh tuts piano dengan telaten. Awalnya hanya kunci dasar Do Re Mi. Hingga tangannya berpindah haluan menjadi memainkan nada klasik milik pianis terkenal sepanjang masa Beethoven dengan judul Moonlight Sonata.

Sehun tampak tersenyum beberapa saat sembari bergumam,"Ternyata masih bisa ya."

.

.

Jongin mencapai ambang koridor ketika mendengar suara lantunan piano yang sangat merdu namun tersirat kesedihan yang mendalam. Seseorang yang memainkannya seolah meminta teman untuk menemaninya. Seolah dirinya berada di ruang hampa tanpa penerangan sama sekali.

Dan, seolah orang ini mengerti apa yang dirasa oleh Jongin, seperti kaca orang ini bisa melihat ke dalam hati Jongin.

Nada ini rasanya cocok sekali untuknya, seperti nada yang khusus dimainkan untuknya. Suara ini terus menyeret langkahnya untuk menjumpai sang pianis. Jongin mengintipi dari belakang pintu.

Sebuah cahaya matahari yang menyoroti sosoknya, membuat sebuah siluet bak malaikat yang jatuh dari langit. Ini dia! Ini dia batin Jongin. Tak salah lagi, orang ini mampu memahaminya, dia ... dia lah belahan jiwanya. Dia lah yang selama ini dicari.

Untuk beberapa saat dirinya merasa terhipnotis dan terpesona dibuatnya.

"Wah ... kalian sudah disini rupanya." Sebuah suara menginterupsi.

Sehun langsung menghentikan permainannya. Jongin pun luar biasa kaget karena asal suara yang berada di belakangnya ditambah dirinya yang ketahuan sedang mengintip.

"Ha ... Jongin apa yang kau lakukan?" interupsi Sehun.

Jongin kelabakan bingung apa yang harus dilakukan. Pada akhirnya Jongin melemparkan kertas komplennya kepada wali kelasnya sendiri kemudian, berlalu bergitu saja. Sehun dan wali kelasnya hanya bisa terdiam melihatnya pergi.

.

.

.

.

"Wah ... surat komplen ternyata. Mengesankan." Ujar wali kelas 3-2. Kini tersisa Sehun dan wali kelasnya, Sehun masih terduduk di bangku piano sementara gurunya menyenderkan separuh tubuhnya pada meja kerjanya.

Sehun mendengus, "Aku juga punya tujuan yang sama datang ke sini."

"Komplen? Tapi, kenapa?" tanya guru itu.

"Ayolah Lay seongsanim, seperti kau tidak tahu saja. Aku tidak cocok dengan hal ini, apalagi aku dan Chanye—"

"Kalau begitu, carikan aku pengganti yang dengan sukarela menggantikan posisimu. Maka, kau boleh mundur." Ujar wali kelas 3-2, Lay.

Sehun terdiam, sudah pasti tidak akan ada yang mau menggantikannya. Jangankan menggantikan, mendengarnya saja mereka pasti sudah ogah-ogahan.

"Sudahlah, aku yakin kau pasti bisa melakukannya, apalagi nilaimu di pelajaranku selalu saja nyaris sempurna." Terang Lay kepada Sehun, "Oh iya, ngomong-ngomong barusan aku terkesan." Lanjutnya.

Sehun menatap gurunya bingung, "Apanya?"

"Lagu yang barusan kau mainkan, Moonlight Sonata kan? Itu lagu jadul, aku tak menyangka kau dapat mengetahuinya." Sehun tiba-tiba merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak.

"A-aku pikir semua orang tahu lagu itu."

"Benar, tapi tidak dengan remaja sepertimu. Hidupmu pasti tak jauh dari dunia musik ya?"

Sehun membuang muka ke sembarang arah seraya menjawab, "Y-ya ... begitulah. Kalau begitu aku permisi dulu, pelajaran selanjutnya akan segera dimulai."

"Oke, kutunggu hasil kalian ingin menampilkan apa nanti ya."

.

.

.

.

Kris dan sahabatnya –Tao- baru saja selesai membeli sebuah minuman kaleng di kantin. Keduanya tampak sedang bersantai ria di bangku kantin. Tao jengah mendengar Kris yang terus-terusan mendesah kesal, "Yah ... Kris mungkin kau bisa mengambil hikmahnya."

"Hikmah? Apa hikmahnya dari acara itu?" jawab Kris ketus.

"Kau jadi bisa lebih dekat dengan Sehun misalnya."

Kris terdiam, berpikir. "Coba kau bayangkan, kapan lagi kau akan mendapat kesempatan ini." balas Tao.

Kris meneguk minumannya tanpa ampun kemudian kaleng itu diremas hingga lebih ramping, "Benar juga, tapi aku tidak mau kalau harus terjun dalam acara ini. Aku ingin mendekatinya dengan caraku sendiri."

"Kalau begitu cepatlah dekati dia."

"Hah ... kenapa harus terburu-buru?"

"Karena, dulu aku pernah satu SMP dengannya. Kabarnya saat SMP dia pernah pacaran dengan Chanyeol."

"Chanyeol? Chanyeol si tukang lawak yang garing itu maksud mu?"

"Iya! Makanya kau harus cepat mendekatinya sebelum mereka dekat kembali. Bukankah mereka panitia juga?"

Kris terdiam mendengarnya.

"Tao oppa~ kau dipanggil guru olahraga." Salah satu siswi junior menghampiri Tao.

"Ah, iya. Aku akan segera ke sana. Kalau begitu Kris aku duluan." Kris mengangguk. Perkataan Tao terus terngiang di kepalanya.

.

.

Kris berjalan menuju kelas, dahinya tampak berkerut. Dirinya masih memikirkan perkataan Tao. Di perjalanan tanpa sadar, di depannya ada Sehun yang juga tengah berjalan menuju kelas.

Kris menyapa Sehun bermaksud ingin menanyakan soal panitia yang baru saja dibuat oleh –si kampret- Lay.

"Se- Sehun!" bukannya sapaan yang terdengar, malah bentakan yang keluar. Kris merutuki dirinya sendiri.

Sehun berhenti kemudian menoleh, "I-iya Kris. Ada apa?"

Sehun tampak kaget dan ketakutan setelah dipanggilnya, "Itu—" maaf mengagetkanmu, aku tidak bermaksud begitu, "—kuserahkan semuanya padamu."

Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Kris ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding. Egonya benar-benar terlalu overload sepertinya, lain dibenak lain pula yang disampaikan. Payah.

Kris langsung saja mendahului Sehun tanpa memperhatikan ekspresi Sehun.

"Hee ... –" Sehun sweetdrop. Dirinya saja ingin keluar, Kris malah menyuruhnya untuk menyerahkan segalanya padanya, "—Yang benar saja."

.

.

.

.

Sang surya tampak menjorok ke arah barat. Langit pun tampak malu untuk terlihat seutuhnya, justru cahaya dari sang surya semakin berani memunculkan diri. Burung-burung pun tampak mulai mencari tempat peristirahatannya malam ini.

Sehun berjalan kaki menuju rumah. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil edisi untuk keluarga yang terparkir di halaman rumah Kakek dan Neneknya.

"Aku pulang," sapa Sehun pada seisi rumah.

Terdengar suara wanita asing yang tengah berbicara dengan Neneknya. Ketika melewati ruang tamu barulah terlihat, seorang dari agensi asuransi jiwa tengah menawarkan produknya pada Neneknya. "Anyeong." Sehun memberi hormat. Wanita itu dan Neneknya membalas.

"Sudah pulang?" ucap Neneknya. Sehun mengangguk, "hmm... "

"Apakah dia cucu anda?" tanya wanita itu, dengan antusias Nenek Sehun menjawab, "Iya. Dia cucu saya."

Wanita itu memperhatikan dengan seksama seragam yang dikenakan Sehun, "Oh ... dari Sekang juga ya?" tanya wanita itu.

"Benar ... Oh iya, bukankah putra anda juga bersekolah di sana nona Kim? Sehun apa kau mengenal anak dari nona Kim ini?"

"A-ah ... itu—"

"Kim ... hmm ... Kim ... Kim Jongin ya?"

"I-iya, apa kau mengenalnya?" tanya dengan ragu wanita ini.

"Tidak, tidak terlalu."

"Begitu ... Ah ya, tentang rencana yang aku jelaskan—"

Wanita itu kembali menjelaskan sesuatu dengan Neneknya, karena diluar urusannya Sehun memilih untuk memasuki kamarnya. Walaupun, tampak jelas sekali bahwa nona Kim itu seperti menghindar dari topik pembicaraan.

.

.

.

.

"Sehun ... saatnya makan malam." Ujar Neneknya yang memanggilnya dari luar kamar.

"Iya aku segera kesana." Sehun segera merapikan buku-buku mata pelajarannya yang akan dibawa esok hari. Lalu, Sehun pergi ke ruang makan. Disana sudah ada neneknya yang sudah siap untuk menyantap makan malam.

Sehun menduduki kursi disebrang Neneknya, "Oh iya ... daritadi aku tidak melihat Kakek, Kakek kemana?"

"Dia sedang ada rapat dengan warga lainnya di balai pertemuan, sebentar lagi juga pulang."

Sehun mengangguk memahami. Tapi, tak sampai dua detik terdengar suara pintu yang terbuka, "Aku pulang."

"Iya, kemarilah. Kami juga baru ingin makan malam." Jawab Nenek Sehun.

"Bagaimana hasil rapatnya?" tanya Nenek Sehun kembali.

"Begitulah ... tidak ada kemajuan. Oh, kimchi? Tumben sekali kau memasak ini?"

"Ini bukan aku yang memasak tapi ini dari nona Kim. Dia membawanya untuk kita."

"Waah ... enak!" ujar Sehun.

"Jadi, bagaimana anak nona Kim? Nona Kim bilang bahwa anaknya ceria dan sedikit cerewet, makanya biaya teleponnya selalu tinggi dia selalu menelpon teman-temannya." Sehun menghentikan acara sumpit menyumpitnya.

'Ceria dan cerewet' Sehun langsung teringat dengan kejadian di kelasnya dan di ruang wali kelasnya hari ini. Setahu Sehun, dua tahun bersamanya Sehun tidak pernah mendengar Jongin berbicara. Sedikit pun. Suaranya seperti apa pun Sehun tidak tahu.

Bukankah Jongin tuna wicara.

"Hmm ... ada apa Sehun?" tanya Neneknya.

"A-ah ... tidak, tidak ada."

"Tapi, nona Kim itu hebat ya, membesarkan anaknya sendirian tanpa sesosok suami." Ujar Nenek Sehun.

"Memangnya, kalau boleh tahu ... Ayahnya kemana Nek?"

"Mereka bercerai saat anak nona Kim masih kecil. Kasihan juga nona Kim itu. Aduh, Kakek kira-kira kalau makan."

Sehun terdiam menatapi makanan dipiringnya yang sudah setengahnya kandas.

'Jadi, dia tidak punya Ayah ya?'

.

.

.

.

Jongin menatapi langit-langit kamarnya yang temaram. Dirinya mendengungkan nada yang dimainkan oleh Sehun tadi siang di sekolah.

Pikirannya diajak untuk memutar kembali kejadian itu, dimana dirinya melihat sosrotan cahaya mentari yang melewati sela-sela jendela mengenai setengah tubuh Sehun. Membuatnya tampak seperti bersinar layaknya malaikat yang jatuh ke bumi.

Senyuman menghiasi wajah Jongin, bayangan Sehun tak mau lepas dari pikirannya. Seolah di lem dengan kuat ke dalam memorinya.

Mungkinlah ini saatnya, saatnya untuk menjemput belahan jiwanya. Dan.

Membebaskannya.

Dari.

Kutukan.

Ini.

Percuma saja dihilangkan dari pikiran. Semakin ingin dilupakan, semakin kuat gambaran wajah Sehun dipikirannya.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.


A/N : Aduh, akhirnya bagian pertama selesai *lapkeringet. Yoo ... pembaca setia uke Sehun gimana kabarnya? Baikkah? Semoga sih yak.

Saya ingin memohon maaf nih yak, jadi author gak guna. Sekalinya muncul malah bawa fict yang baru #Jderr. Tenang readers, kini saya mencoba mendapat feel –kembali- buat Summer. Ah itu fict udah bulukan kayaknya mungkin kalian aja udah lupa itu cerita saya yang kayak gimana waakakakaka *sobs. Soalnya kalau saya gak pake hati nulisnya bakalan susah buat nyelesein ceritanya *hasemeleh.

Ada rencana sih nanti kalau Summer update sekalian langsung tamat. Soalnya saya mau fokus bikin fict yang bentuknya twoshots atau gak threeshots aja. Gak jago nulis yang panjang-panjang saya T.T

Seperti fict yang ini, bentuknya semoga sih pas threeshots. Soalnya ide suka datang dan hilang, makanya didikitin daripada panjang-panjang malah terbengkalai kayak Summer -,-

Oiya, saya tentukan soundtrack (cieileh) dari fict ini adalah lagu jadul ost. dari film "Around the World in 80 days" yang versi lawas lho yaa... versi tahun 1956 dan kalau kalian penasaran sama lagu dimainin Sehun, saya kasih juga link-nya kok. Sekali-kali coba deh download lagu classic cem Beethoven, Mozart atau Bach atau yang lebih modern di abad 21 ini cem Yiruma, alunan musiknya bener-bener bikin pikiran santai lhoo... enak deh, serius.

Ini ada link yutub sama link download, anyway saya downloadnya di biar instan langsung dari yutub daripada di guugel kadang kena PHP a.k.a link mati. Jadi, sebelum mendownload pastikan perangkat kalian memadai dalam mendownload. Tapi terserah sih kalau kalian ingin langsung cari sendiri di guugle, that's all up to you guys ;)

Satu catatan lagi disini saya hanya terfokus pada kisah cinta Sehun yaa... gak ada pairing lain selain uke Sehun. Karena, saya pecinta uke Sehun *tawajahat*, meski ada couple asli di sini saya hanya menjadikan mereka teman sekelas tak kurang dan tak lebih.

Oh, dan satu lagi, minal aidin walfaidzin... mohon maaf lahir dan batin. Happy ied mubarak bagi yang merayakan~ ditunggu ya parselnya XD *akibatgakmudikgakdapetangpau*

Link yutub Overture (Around the World)

: www-dot-youtube-dot-com (garismiring) (spasi) watch?v=r3llx6XK0Ew

Download mp3

: clip-dot-dj (garis miring) #search (garis miring) https%3A/ (garis miring) www-dot-youtube-dot-com (garis miring) watch%3Fv%3Dr3llx6XK0Ew

Link Moonlight Sonata mp3

: downloadlagugratis-dot-org (garismiring) lagu - lv - beethoven - piano - sonate - op27 - 2 - moonlight - sonata - 1st - mov - mp3 (strip) gratis-dot-html.

*Kalian ganti aja yang di dalam kurung dan hilangkan spasi.

Segitu dulu yaa ... see you in next time~

RnR juseyooo~

Salam hangat,

Rein.