Protect

Disclaimer : Shingeki no kyojin milik Hajime Isayama

Summary : Hanya berawal dari rasa untuk saling melindungi, hingga menimbulkan sebuah perpisah dan salah paham, kehidupan Levi dan Eren hanyalah berawal dari rasa tak ingin kehilangan.

Warning : Riren, Jeaneren, slight Levi-Petra, Levi-Isabel, OOC, abal, fanfic pertama yang dipublish atas dasar nekat dan hati-hati pada semua kemungkinan terburuk yang bisa anda temukan didalam cerita


Dering alarm dari ponsel putih memecah buai mimpi Eren Jaeger. Tangannya meraba-raba meja yang berada di sebelah kanan single bednya. Begitu tangannya mencapai benda persegi tipis itu, segera dihentikannya deringan beserta vibrasi yang terus terulang.

Matanya terbuka, menerbitkan warna dari sepasang matanya. Warna mata yang begitu menarik dan indah. Eren kemudian duduk dan bersandar di headboard ranjangnya, tangannya sudah mulai sibuk menata selimut tebal yang dipakainya setiap malam di musim dingin seperti ini. Semua rutinitas di rumah selalu dilakukannya sendiri, dirinya sudah terbiasa begini. Sudah bertahun-tahun memaksa diri sendiri untuk menjadi mandiri.

Selesai dengan ranjang berseprai biru laut itu, kamar mandi adalah tujuan keduanya. Shower disetel pada suhu hangat, satu persatu pakaiannya tanggal ke lantai kamar mandi yang berwarna gading. Begitu keran shower dimatikan sebuah handuk dipakainya menutupi pusar hingga paha, kakinya bergerak menuju seragam sekolah yang sudah disiapkannya semalam. Sebuah Sekolah swasta Menengah Atas Sina Barat, menjadi tempatnya belajar bersama dengan teman-temannya.

Setangkup roti yang warnanya kecoklatan ditangannya, menerawang kembali kehidupannya yang lalu, bersama dengan seorang kakak yang baik walaupun dingin, berdua di rumah besar dengan beberapa pelayang yang ramah dan kenal baik dengannya...


Mata Eren terbuka lebar menyambut hangat dari sinar matahari yang sudah masuk melalui celah-celah kamarnya, dia bangun pagi tanpa dibangunkan seperti biasa, segera menyambar engsel di pintu kamar mandi untuk segera memakai seragam seperti biasa, begitu keluar bibi pelayan sedang merapikan seprainya, disapanya bibi itu dengan senyuman secerah matahari pagi seperti biasa. Begitu berlari menuju ruang makan yang cukup luas dengan meja besar matanya menemukan sesuatu yang tidak biasa.

Kakaknya dengan seorang wanita yang mungkin umurnya tak terpaut terlalu jauh dengan sang kakak duduk di meja makan. Rambutnya sewarna madu, dengan dress selutut casual warna peach dia duduk berseberangan dengan kakak Eren. Ditampilkannya senyuman manis pada Eren.

Eren mendekat dan dia harus lebih dulu memberi salam pada gadis itu itulah yang diajarkan orang tuanya melalui kakaknya, walaupun kedua orang tuanya tak berada di sini, mereka pasti mengawasi Eren dari atas sana.

"Selamat pagi miss. Namaku Eren Ackerman." Sang gadis terlihat senang.

"Ah, Levi, adik mu manis sekali!" serunya kegirangan sambil mencubit kedua pipi tembam Eren, "Nah, namaku Petra Ral, salam kenal Eren!"

"Um, salam kenal Miss Petra." Balas Eren sama antusiasnya dengan gadis itu.

Sarapan pagi berlangsung dengan pembicaraan antara Petra yang menanyai Eren berbagai hal yang kemudian dibalas Eren dengan jawaban yang kemudian disusul pertanyaan lain bagi Petra. Sedangkan Levi hanya menyantap sarapannya dan menjawab singkat bila sebuah pertanyaan menghampirinya.

Eren membalik sendok dan garpu menyudahi sarapan pagi itu, untuk segera berangkat sekolah.

"Kak, kenapa tadi miss Petra makan pagi bersama kita?" tanya Eren saat bersama dengan Levi sore itu diruangan kerja milik kakaknya. Dengan sebuah buku PR, dia mengerjakannya sambil tiduran di sofa Levi. Tak dijawab bukan suatu penghalang bagi bocah kecil itu untuk memunculkan pertanyaan lain.

"Miss Petra sangat cantik dan baik, apa dia akan kemari lagi?" tanyanya lagi sambil memutar tubuhnya dan menyangga badan dengan kedua tangan pada pegangan sofa. Levi tetap diam dan serius dengan kertas-kertas di meja.

"Atau jangan-jangan Miss Petra Pacar kakak!" serunya dengan senang karena merasa perkataannya benar, tapi setelah mendengarnya Levi segera meletakkan dengan kasar pulpen hitamnya di atas meja. Eren tersentak saat Levi berdiri dan menarik tanggannya dengan kekuatan yang berlebihan untuk menarik anak SD. Dihempaskannya Eren keluar dari ruangannya.

"Kembali ke kamarmu, kau mengganggu bocah." Ucap Levi dengan nada rendah yang langsung membuat tengkuk Eren meremang. Setelah itu pintu ditutup meninggalkan Eren dengan mata berkaca-kaca akibat kaget dan takut pada kakaknya.

Eren kehilangan Levi, bukan berarti kakaknya mati atau apa, namun dalam hal yang lain Eren benar-benar kehilangan Levi, kakaknya yang dulu perhatian walaupun diam-diam, kakaknya yang tidak pernah marah walaupun Eren melakukan kesalahan, sekarang kakaknya kasar bahkan dengan kesalahan kecil seperti tak sengaja memecahkan gelas akan merusak mood Levi seakar-akarnya sehingga membuatnya marah pada Eren seharian.

Entah sejak kapan Levi berani menamparkan tangannya yang pucat itu pada Eren, Eren sendiri bingung kesalahan apa yang diperbuatnya. Dan selama itu Petra semakin sering datang dan kelihatannya tak tahu mengenai masalah hubungan kakak-beradik yang setiap harinya semakin tidak jelas itu.

"Eren, aku membawa cake cokelat kesukaanmu." Serunya saat menemukan Eren di sofa dengan perapian. Eren menutup buku ceritanya dan segera menemui Petra dengan sekotak kue di atas meja makan.

"Terimakasih Miss," ucap Eren ketika melihat isi kotak dan menemukan kue kesukaannya dengan coklat yang melumer dimulut, dan perhatiannya teralih pada jemari Petra yang sedang mengiris kue, pada jari manis kirinya terdapat sebuah cincin yang indah, "Cincin yang indah." Ucap Eren tanpa sadar.

"Ini dari kakakmu saat pertunangan kami kemarin lusa, kau tidak ada disana dan aku menanyakanmu seharian pada Levi."

Eh? Pertunangan apa? Eren terdiam bahkan ketika Petra bilang harus segera pergi bersama Levi yang sudah menunggunya di mobil di depan rumah.

Kenapa Levi menutupi pertunangannya? Eren tentu akan selalu ikut senang menyangkut kabar gembira bagi kakaknya, kenapa menjelang pertunangan mereka Levi bersikap buruk padanya, ah, mungkin Levi sedang banyak pikiran. Eren hanya mencoba memaklumi.

Malam hari yang cerah, masih terasa sejuk karena hujan yang turun sorenya. Dan yang pasti akan banyak bintang jika seluruh kota mengalami padam listrik, ah tidak jangan sampai terjadi, Eren sedang diperjalanan dengan pasangan yang baru saja bertunangan untuk menuju sebuah pusat perbelanjaan. Senyuman terus terkulum sepanjang jalan.

Hingga jam 9 malam mereka berjalan-jalan di wilayah yang penuh pertokoan itu. bekas hujan berupa genangan air masih nampak di beberapa permukaan trotoar. Eren sebisa mungkin menghindarinya karena akan membuat karpet dalam mobil kotor dan bau, Levi tidak akan senang. Mereka sampai disebuah perempatan yang sangat ramai oleh pejalan kaki, awalnya tangan lembut Petra menggenggam tangan nya. Lampu hijau bagi pejalan kaki, mereka segera melintas, banyak orang yang berbadan besar menyenggol Eren hingga tak sadar genggamannya terlepas, terdiam mencoba mencari tahu dimana Petra dan kakaknya membuatnya tak sadar lampu sudah berganti, tinggal dia yang berdiri disana dengan sebuah suara klakson dari kendaraan yang cukup besar yang mungkin tak sadar Eren berdiri disana tadi. Mata Eren terbeliak menatap truk itu dan kemudian gelap.

Eren tersadar di rumah sakit dengan sebuah kabar bahwa wanita cantik berambut madu tewas karena menyelamatkannya dia mendengarnya dari percakapan para perawat, si gadis sempat koma namun karena pendarahan yang cukup parah dia meninggal. Kedua tangan Eren gemetar matanya berkaca-kaca, dia ingin menjambaki rambutnya untuk sekadar percaya ini bukan mimpi, begitu tangannya sampai kepala terasa sebuah perban membebat kepalanya dan rasa sakit disekujur tubuh menyadarkannya ini nyata. Eren menangis dan Levi tak ada di sana.

Tiga hari sudah Eren kembali kekediaman mereka berdua dan selama itu juga Levi tak ada di rumah. Eren terus menyalahkan dirinya, coba saja dia tak termakan bujukan Petra untuk ikut berjalan-jalan bersama. Dan Eren sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menemui Levi, bagaimana dia akan minta maaf untuk sebuah hal yang menurutnya tak termaafkan?

Sehari setelahnya Levi berada di meja makan untuk sarapan pagi, Eren dengan takut medekat dan menuturkan sesuatu sambil berkaca-kaca.

"Kak?" panggilnya sekali dengan air mata hampir tergelincir, "Kak, maafkan aku..." tuturnya kemudian, Levi hanya diam dan menyudahi makan paginya yang bahkan belum sempat tersentuh. Sedangkan Eren yang ditinggalkannya sendiri hanya menghabiskan makanannya sambil membasahi seragamnya.

Hampir sebulan dengan kejadian itu, hubungan Eren dengan Levi tak ada bedanya dengan orang yang tak saling kenal. Tak ada lagi obrolan diantara mereka, bahkan untuk sekedar menyapa Levi, lidahnya kelu seketika. Hingga suatu pagi, kembali terulang pemandangan seorang gadis duduk di meja makan yang sama dengan Levi, hanya berdua, si Gadis kali ini duduk tepat disamping Levi. Eren menatap mata sang gadis yang berbinar indah yang sebenarnya tak disadarinya mata itu tak ada bedanya dengan miliknya.

"Ahh, kau pasti Eren ya, kemarilah!" seru riang sang gadis dengan tangan melambai kearahnya, " Levi aniki adikmu sangat imuutt!" serunya begitu Eren mendekat, "senang bertemu denganmu Eren, aku Isabel Magnolia, salam kenal." Serunya dengan sebuah senyuman tersemat di wajah riang gembira milik si gadis bersurai merah.

"Se-senang bertemu dengan anda Miss Isabel." Eren mengambil tempat yang agak berjarak dari mereka berdua, dan membuat Isabel terheran karenanya.

"Eren, kenapa kau malu-malu begitu, duduklah dekat kakak, sini..." serunya sembari menepuk tempat duduk yang tepat berada di sebelahnya.

Belum sempat mulut mungil Eren Terbuka, Levi terlebih dulu buka suara, "Biarkan dia Isabel, bocah itu memang begitu." Isabel menatap Eren dan begitu kedua manik indah itu bertemu Isabel memberikan senyuman paham padanya.

Semuanya berjalan sama layaknya hubungan kakaknya dengan Petra, mereka berdua bertunangan kemarin, itulah yang dipikirkan Eren begitu melihat cincin tersemat asing dijari gadis yang perangainya agak tomboy yang sedang menonton TV bersamanya. Kali ini Eren memilih diam dan tak banyak bicara dengan Isabel.

"Kalian itu mirip sekali sifatnya, aku pikir kau ceria Eren, ternyata sama-sama pendiam seperti Levi aniki. Kuharap kita cepat akrab Eren..." ucapnya pada Eren sore itu.

Eren berjalan pelan di halaman sekolah, menunggu mobil jemputan berupa sedan hitam yang setiap hari dinaikinya ke sekolah dan pulang kerumah. Didekatinya mobil yang terparkir 5 meter di kanan gerbang sekolah, begitu pintu dibuka Eren terkaget, bukanlah Eldo, supir yang mengantar jemput yang di duduk dibelakang kemudi melainkan Isabel.

"Hai Eren, sesekali aku ingin menjemput adikku." Serunya pada bocah di ambang pintu.

Eren merasakan sesuatu yang buruk, terakhir dia berjalan berdua dengan tunangan Levi, semuanya berakhir buruk, "a-ah maaf Miss Isabel, tapi aku ada tugas disekolah." Ucapnya gugup, dan Isabel tentu paham bocah kecil dihadapannya ini sedang mengucapkan sesuatu yang mengada-ada.

"Supirmu tadi memberitahuku kalau ini jam pulangmu Eren, ayo naik. Tak perlu sungkan denganku." Dengan ragu Eren masuk ke mobil itu dan berdoa sepanjang jalan. Betapa lega dirinya begitu sampai 200 meter dari rumahnya, tak ada kejadian buruk, namun begitu hampir memasuki gerbang, genangan air membuat mobil oleng dan menabrak pohon.

"Ahhhh! Bagaimana ini!" seru Isabel panik, "Eren kau tidak apa-apa?" yah setidaknya tabrakan itu tidak sampai memunculkan air bag, Isabel keluar diikuti Eren, Eldo dan beberapa pelayan lain tergopoh-gopoh keluar dari rumah dan menanyai apa keduanya baik-baik saja.

"Ceroboh." Ucap Levi pada Isabel begitu selesai mendengar ceritanya secara lengkap.

"Levi aniki, mobilmu..."

"Bodoh, kenapa malah menghawatirkan mobilku." Levi beranjak dan mengusap rambut merah Isabel. Eren sendiri hanya duduk diam si sofa single di sebelah mereka.

"Erenn... maafkan aku ya..." pintanya pada bocah yang sedang termenung disebelahnya.

"Ah tidak, itu kan kecelakaan Miss."

Kejadian pertama memang tidak masalah namun begitu yang kedua terjadi, Eren kembali menemukan dirinya terbangun di ranjang rumah sakit. Tangannya diberi kassa putih begitu pula dengan dahi kanannya. Bedanya kali ini Levi di sebelahnya dengan aura berat.

Mereka berdua sampai dirumah yang gelap hanya beberapa lampu menyala, Levi meliburkan seluruh pelayan hari itu. Sampai di ruang tamu dengan sofa-sofa empuk nan mahal, aura Levi bertambah berat.

"Apa yang kau lakukan?" Eren takut dan tak mampu menjawab pertanyaan itu, "apa yang kau lakukan pada keduanya." Levi menggeram rendah.

"K..Kak.." lirih dan bergetar suara yang muncul dari tenggorokan bocah itu.

"Pergilah." Ucapnya dengan tekanan, "Jauh dariku, keberadaan bocah tak berguna sepertimu tak ada untungnya bagiku."

Lutut Eren melemas dan semakin lemas begitu Levi pergi dari hadapannya.

Menemukan keberadaan Levi dirumah semakin sulit, bekerja keluar kota bahkan luar negeri semakin sering di sanggupinya. Dan sekalinya dia di rumah Eren mengancing pintu dan tak keluar kamar kecuali di pagi buta untuk mengambil beberapa makanan dari kulkas.

Hingga suatu kali di dia berjalan keluar dari kamar, tak sengaja bertemu dengan Levi yang baru pulang sore hari. Tatapan menusuk dari Levi dapat dirasakannya mengoyak keberaniannya dan kekuatannya bahkan untuk terus berdiri tegak.

"Kubilang pergi dan kenapa kau malah muncul lagi." suara dalam itu menusuk Eren. Apa Levi benar-benar menginginkannya pergi?

"Semua orang mati karena bocah sepertimu, ayah, ibu dan mereka, tak sadarkah keberadaanmu disini adalah kesialan?" satu lantunan kalimat terdengar dan menyadarkannya. Levi pergi dari tempatnya berdiri, begitu pula Eren yang mulai berlari ke kamarnya.

Kakak benar, akulah kesialan itu. batinnya sambil terisak. Kalau aku tidak pergi mungkin kakak yang akan mati. Tak perlu berpikir panjang lagi, bocah itu segera pergi. Pergi dari rumah dan dari hadapan kakaknya.

Beberapa hari hidup di jalanan, bersembunyi di taman saat malam yang dingin tiba dan membeli makanan dengan uangnya yang tersisa. Hingga suatu hari seorang pria paruh baya menemuinya. Grisha Jaeger. Dengan senyum pria dermawan dia menawarkan diri untuk merawat Eren. Dia berkali-kali mengatakan betapa miripnya sang putra angkat dengan mendiang istrinya. Bahkan memberinya nama belakang Jaeger secara sah karena Eren tak pernah mau buka bicara mengenai namanya yang dulu.

Rumah yang besar sebesar kediamannya dulu menjadi tempat tinggalnya, ayah angkatnya merupakan seorang dokter dan ilmuan kondang. Eren hidup terawat dan bahagia, setidaknya itulah yang terlihat, namun rasa rindu pada kakaknya terkadang muncul dan di buang jauh-jauh. Eren pergi ke sekolah yang lain yang dirasanyanya sudah cukup jauh dari keberadaannya sebelumnya.

Hingga saat menginjak 14 tahun, kebahagiaan itu hilang, bertahun-tahun dia bersama ayahnya hidup bersama, tapi hari itu hilang sudah. Banyak dermawan-dermawan yang merupakan rekan dari Grisha membantunya selepas kepergiannya. Eren adalah satu-satunya pewaris sah dari seluruh timbuan kekayaan ayah angkatnya. Namun dia memilih untuk menyimpan semuanya termasuh rumah besar itu dan memilih tinggal di sebuah apartemen lain. Rumah itu diserahkan pada beberapa pelayan untuk dijaga.

Seorang wanita nyentrik seorang ilmuwan yang cukup aneh yang mana mantan asisten dan rekan kerja dari ayahnya terus mendampinginya dan menaawarkan diri untuk jadi walinya, namanya Hanji Zoe, meskipun aneh dia sangat peduli pada Eren. Tapi sejauh apapun Hanji ingin dekat dengan Eren selalu ada jarak yang dibuat pemuda itu dengan orang lain.


Setangkup roti habis menyisakan remah-remah yang berjatuhan ke meja makan kecil. Getaran dari ponsel membuat Eren mengurungkan niatnya untuk mengambil ransel dikamarnya.

"Bangun Gorilla, Keith Shardis akan menampari pantatmu kalau sampai telat." Senyum kecil terkembang, jari Eren mulai menuliskan balasan.

"Sialan, kau yang harusnya bangun, Muka kuda!"

"Asal kau tau aku sudah bangun sejak tadi."

"Hah? Bohong, pasti masih di kasur dengan kolor hijau yang robek dipantat kan?"

"Berisik! Berangkat sana!"

Setidaknya muka kuda kesayangan selalu menjadi moodmaker Eren setiap harinya. Jean Kircshtein yang tidak lain lagi seorang manusia yang disamakan dengan kuda adalah kakak kelas setingkat diatas Eren yang sudah lulus dan kuliah di sebuah universitas, saat masih sekolah selalu ribut dengan adik kelas idaman wanita –karena terlalu manis- Eren Jaeger. Dan untuk catatan Jean Kircshtein adalah kekasih Eren.

Entah dengan jampi-jampi apa, atau Eren yang dibuat tidak sadar sehingga menerima Jean kakak kelas yang hobi keluar masuk ruang kesiswaan sebagai kekasih, tapi nyatanya hubungan mereka berjalan mulus.

Sampai disekolah, dan masih sangat sepi, hanya terlihat gumpalan kuning duduk sendiri dari luar jendela kelas Eren.

"Armin?"

"Eh, pagi Eren, tumben datang pagi sekali?" rambut kuning bergoyang mengikuti kepala Armin yang mendongak menatap Eren yang berdiri di depannya.

"Aku tidak ada kerjaan di rumah. Kau juga kenapa pagi sekali?" Jawabnya sambil beralih ke kursi yang berada di kanan Armin

"Minggu ini aku dapat piket pagi dari kelompokku, harusnya Connie juga tapi belum datang. Sudah mengerjakan tugas dari Miss Nanaba?"

Eren menoleh dengan mata setengah melotot dan dahi berkerut, "Ya Ampun! Aku lupa!"

Tiga puluh menit mengerjakan PR dengan privat gratis dari Armin, Eren selesai mengerjakan semuanya. Kelas sudah ramai dan bahkan tak ada yang sadar Mikasa sudah ikut duduk diantara mereka.

"Sejak kapan kau datang, Mikasa?" tanya Eren dengan heran.

"Sejak kalian mengerjakan nomor 7. Aku tidak ingin mengganggu Eren yang sedang serius."

"Ah, eh begitu..."

"Mikasa, kau dipanggil ke ruang OSIS." Seru Sasha yang baru saja masuk ke dalam kelas. Mikasa yang memang sekertaris di organisasi itu kemudian pamit pada kedua temannya dan beranjak pergi.

"Mikasa, benar-benar menyukaimu ya, Eren." Ucap Armin begitu Mikasa tak lagi terlihat.

"Begitukah?" Eren menopang dagu dengan tangannya, pandangannya tertuju pada bangku dimana Mikasa duduk sebelumnya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Jean?"

"Tidak ada yang berubah. Dia tetap saja menyebalkan." Armin, satu-satunya yang tahu mengenai hubungan Eren, berhubung Jean selalu menanyainya segala sesuatu mengenai Eren yang tidak bisa ditanyakannya pada Eren karena gengsi. Mendengar jawaban Eren yang seperti itu Armin hanya tersenyum dan membuat kesimpulan kalau hubungan mereka baik-baik saja.

Bel berbunyi dan miss atau entahlah dengan rambut pirang masuk ke kelas dan menagih tugas yang diberikannya seminggu yang lalu. Seharian itu semua kejadian berlangsung seperti biasa hingga senja tiba.

"Eren, kau mau ikut tidak? Aku dan Mikasa mau ke toko buku dekat stasiun." Ucap Armin begitu guru dari pelajaran terakhir keluar dari kelas.

"Eh, aku ikut sampai stasiun saja, kebetulan satu jalan."

"Kau tidak kedinginan Eren?" tanya Mikasa yang berdiri di samping Armin.

"Aku membawa syal di tas, kau tak perlu khawatir."

"Hm, baiklah kalau kau bilang begitu."

Ketiga orang itu berjalan bersamaan ramainya kota Trost yang mereka tinggali, meskipun bukan kota utama di wilayah Sina namun pamornya tak kalah dari kota-kota yang merupakan jantung wilayah Sina. Banyak sesama pelajar yang mereka jumpai sepanjang jalan, mungkin pulang sekolah atau mungkin akan menghabiskan jumat malam dengan teman. Entahlah... yang pasti Eren sudah punya acara rutin sendiri.

"Aku duluan ya, Mikasa, Armin!" seru Eren begitu sampai di depan Toko buku tujuan mereka. Melambaikan tangannya dan mendapat ucapan untuk hati-hati dijalan, Eren kemudian segera melangkahkan kedua kakinya agar tidak perlu ketinggalan kereta yang sudah hampir datang.

Perjalanan dari stasiun ke apartemen Eren memang tidak jauh tapi kali ini Eren akan menuju tempat yang lain, dan memang tidak berniat untuk pulang lebih dulu. Mungkin dia baru berjalan seperempat atau sepertiga dari perjalanannya, deru motor terdengar semakin dekat dan terus mengikuti tepat dibelakangnya.

Tersenyum tipis tentu Eren sudah tau siapa yang mengikuti dibelakangnya. Sengaja berhenti kemudian berjalan berhenti dan berjalan lagi, lalu mempermainkan langkahnya untuk membuat orang itu kesal.

"Hei, kau itu bisa berjalan lurus tidak sih! Apa yang didepanku ini Gorilla mabuk?" Eren menoleh tanpa membalikkan badannya pada pemuda yang sudah memberhentikan motornya dipinggir jalan. Mengerucutkan bibir seolah juga marah.

"Apa sih! Kenapa juga mengikutiku begitu, dasar kuda!"

"Mana Syalmu! Aku tidak mau merawat Gorilla sakit." Seru Jean dari belakang masih duduk di atas motornya.

"Siapa juga yang mau dirawat kuda sepertimu yang ada bukan diberi obat malah jerami." Ejek Eren.

"Sial. Sudah bagus kuingatkan. Sini naik ke motorku, saljunya mulai turun." Deru motor kembali terdengar di jalanan yang cukup sepi itu.

"Memangnya aku mau kemana? Kalau aku mau pulang bagaimana?"

"Jangan bodoh, belokan apartemenmu sudah lewat sejak tadi. Naiklah Eren, perlu kurayu bagaimana agar kau mau naik?" goda Jean padanya membuat rona di wajah yang muncul karena dingin sejak tadi malah bertambah pekat.

"Diamlah muka kuda." Jean memajukan motornya, mendekati Eren dan membiarkan sang Gorilla tercinta untuk naik memboncengnya.

"Hei, romantis sedikit, peluk erat pinggangku atau bagaima-Ugh!" pukulan pada pinggang Jean sukses menghentikan ringkikan kuda ditengah salju yang turun.

"Berisik! Cepat jalan!"


End ch 1

Salam kenal, saya Zajisa Hanami atau Zaji Hana atau lagi Zasm, ah begitulah :3 ... jadi disinilah saya menjelma dari yang paling awal yaitu silent reader hingga akhirnya berani mengepost sebuah fanfiksi, maafkan diriku ya seluruh author yang karyanya kubaca namun tidak kureview... salam kenal dan mohon bantuannya senpai sekalian... saya juga mohon bantuannya karena nggak paham masalah rating dan genre (/-\)

Dan di akhir kata, hanya ingin mengingatkan untuk tidak lupa mereview fanfiksi ini kritik dan saran sepenuhnya saya harapkan. Terimakasih~ :3