All character © Masashi Kishimoto
Fanfic by Fuu
Happy reading guys!
.
.
.
Waktu sudah tidak terasa bila mengingat sebentar lagi tahun akan berganti. Melewatkan, melupakan semua hal yang sudah terjadi. Hari akan menjadi baru. Meski kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya, namun ingatlah kata baru pasti menimbulkan rindu. Menyisahkan kata yang tidak pernah terucapkan itu. Yang jika semakin ditahan semakin membuat sulit untuk dihilangkan.
Sakura berjalan menyisir keramaian. Menikmati sore terakhir ditahun ini. Sendiri. Ada banyak pasang keluarga yang dilihatnya saat ia melintasi pusat kota. Bahagia, itulah yang ditangkap oleh retinanya. Tentu saja, tahun akan segera berganti, dan mereka menghabiskannya bersama keluarga. Sakura mengulum senyum.
Bagaimana pun, ia tidak bisa memungkiri bahwa ia ingin seperti mereka, menghabiskan malam tahun baru bersama keluarga. Merayakan pesta kembang api dan bakar-bakar. Sudah dua tahun, ah, mungkin tiga tepatnya. Ketika Sarada telah beranjak remaja malam tahun baru selalu dilewatinya sendiri dengan menyepi. Sakura memahami, bahwa pada usia seperti Sarada memang sedang sangat asyik-asyiknya bermain bersama teman. Namun ada kalanya juga ia rindu masa-masa dimana anak itu masih dengan polosnya menatap hujan kembang api dalam gendongannya. Ya, iya rindu akan hal itu. Ia rindu melewati pergantian tahun bersama puteri tercintanya itu.
Sedikit menghela napas, ia menyimpulkan senyuman manis. 'Kapan kau akan kembali' kata itu yang selalu terucap dikala dirinya sedang merasa sepi. Tidak ada kerinduan yang lebih bersarang dibandingkan kerinduannya dengan lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini telah merampas dan membawa pergi seluruh hatinya.
Jujur, ia benci menjadi pribadi yang melankolis seperti ini. Yang bisanya hanya diam meratapi takdir, menunggu kapan semua akan berakhir. Ia benci mengetahui fakta bahwa hatinya tidak cukup kuat menahan semua ini. Meski nyatanya ia selalu menyembunyikan hal tersebut dari balik senyumnya pada orang-orang pun termasuk anaknya sendiri.
Sore hari yang terasa dingin dilewatinya dengan merajut sepi. Walau lingkungan disekitar terlihat sangat ramai.
Sakura menatap lurus jalan. Niatnya malam tahun baru ingin dihabiskan saja dirumah sakit. Menyibukkan diri. Agar tidak merasa begitu sepi. Namun semesta sepertinya memang sedang tidak berpihak padanya. Ia dipulangkan dengan paksa. Tepatnya sih disuruh pulang agar bisa beristirahat. Karena siang tadi ia sempat terjatuh sesaat setelah menjalankan operasi dadakan. Memang sudah beberapa hari ini ia selalu memaksa tubuhnya untuk tetap bekerja. Mengabaikan kesehatan yang merupakan suatu hal penting bagi seorang ninja medis sepertinya. Pas sekali saat itu Shizune juga sedang melakukan operasi bersama.
Maka dari itu ia tidak punya rencana apa-apa untuk malam nanti. Bahkan Sarada pun sudah menyiapkan beberapa pakaiannya untuk berpergian bersama teman-temannya nanti malam sebelum dirinya berangkat bekerja pagi tadi. Sudah pasti saat ini rumah sangat sepi. Mungkin jika tidak lupa ia nanti akan berkunjung saja ke rumah ibu dan ayahnya. Berharap rasa sepi tidak mengerogotinya disana.
"Hei! Sakura!"
Yang dipanggil menajamkan penglihatannya, kemudian tersenyum cerah. Seakan kata baik-baik saja selalu berada dalam genggamannya.
"Ino!" tangan Sakura berpegang pada tali tas yang menyampir disisi pinggang. "Apa yang kau bawa itu?"
Ino mengangkat sebelah tangannya yang membawa keranjang belanja. "Untuk nanti malam. Sai meminta ikan dan juga jagung untuk dibakar."
"Kau boleh ikutan nanti malam. Datang saja ke rumah ku." lanjut Ino saat itu juga.
Sakura sedikit tertawa dan mengangguk mengiyakan. "Buatkan aku ikan bakar yang enak, ya." Namun tidak ada kesungguhan dalam katanya itu.
"Kalau begitu kau harus datang!" Ino berseru menanggapi.
"Jika tidak lupa." dicubitnya sebelah pipi Ino. Kemudian ia beranjak pergi.
Ino mengelus sebelah wajahnya yang memanas. Cubitan Sakura memang benar-benar mantap. Apa ia pikir pipi Ino itu karet dicubit sekencang itu? "Awas saja kalau kau tidak datang, Sakura!"
Yang diteriaki hanya mengangkat tangannya santai, seakan ucapan Ino hanya angin lalu saja.
Diam-diam Sakura merasakan sedih sekaligus senang dalam hatinya. Ia iri melihat hubungan Ino dan Sai yang selalu berjalan harmonis. Namun disaat yang bersamaan ia merasakan bahagia. Ia senang bahwa kenyataannya, Ino, sahabat yang dulu sempat menjadi rival masih menaruh perhatian padanya. Meski sudah memiliki keluarga, Ino tetap berperilaku selayaknya ketika mereka masih gadis dulu saat bertemu dengannya.
Ah, ia sangat menyayangi sahabatnya itu.
.
.
.
Sesampai dirumah, Sakura tidak langsung berganti pakaian pun melepas tas yang menyampir ditubuh. Ia menumpukkan dirinya pada sofa yang terasa begitu hangat. Ujung-ujung jari yang terasa mati karena salju yang kembali turun kini mulai menghangat. Sehangat perasaannya saat itu ketika tidak sengaja mencium wangi suaminya disofa yang kini ia duduki. Ini adalah sofa tempat Sasuke sering duduk. Wangi maskulin yang menguar dari tubuh lelaki itu berhasil menempel pada sofa hijau ini. Itulah mengapa Sakura begitu menyukai sofa tunggal yang kini didudukinya diruang utama rumah itu.
Sakura bergerak ketika pandangannya melihat secarik kertas yang tergeletak mengenaskan diatas meja dekat lemari. Mengambil kertas tersebut lalu kembali ketempatnya semula. Ia membuka, itu surat dari Sarada. Anak itu mengatakan pamit dan mengucapkan kata maaf diakhir kalimat karena tidak bisa menemaninya melewati pergantian tahun kali ini. Sakura sudah menduga itu.
Ditutupnya lagi kertas tersebut dan ditaruh diatas meja didepannya dengan malas. Ia kembali menenggelamkan tubuhnya pada sofa hangat itu.
Klise kejadian beberapa tahun silam kembali terputar dalam memori. Kepulangan Sasuke dari misinya, ulang tahun dirinya dan Sarada yang kala itu dirayakan bersama. Serta makan malam romantis yang dibuatkan Sarada menjelang ulang tahun pernikahannya. Ah, semua momen itu terasa sangat manis bila dilupakan begitu saja. Sekarang Sakura bahkan tengah tersenyum mengingat bagaimana reaksi suaminya kala itu.
Hingga tidak terasa hari mulai menggelap ketika Sakura menarik tubuhnya agar terlepas dari pelukan sofa tersebut. Pandangannya mengedar, namun suasana yang terlihat masih sama seperti awal ketika ia memasuki rumah ini.
"Sarada, kau membuatku iri." gumamnya setelah berangsur menjauhkan diri dari sofa yang menariknya jauh ke dalam kenangan setelah lebih dari dua jam berada disana.
"Sepi sekali rumah ini." ia berjalan menuju kamar setelah menenggak sedikit air yang dituangnya ke dalam gelas bening. Menyampirkan tas dan masuk ke dalam kamar mandi yang terletak didalam kamar tersebut. Mandi air hangat mungkin akan membuatnya sedikit lebih rileks.
Setelah berendam beberapa menit Sakura merasakan tubuhnya kembali segar. Wajah cerah dan ceria terpampang jelas dibalik polesan make up yang tipis. Sakura berniat makan malam di rumah orangtuanya saja. Sudah lama ia tidak berkunjung ke sana.
.
.
.
Dinginnya cuaca diluar nampaknya tidak memengaruhi sebuah keluarga disalah satu ruang dirumah itu. Setelah selesai makan malam, Sakura dan kedua orangtuanya kini berkumpul. Berbeda dengan dahulu yang hanya ada teriakan dan omelan ketika mereka seperti ini, sekarang kehangatan malah menguar dari masing-masing hati mereka.
"Setelah menikah, kau jarang sekali berkunjung kesini." suara Mebuki mendominasi ruangan saat itu.
Sakura yang tengah beradu shogi bersama sang ayah menoleh ke arah Mebuki. Mengelus telapak tangan yang mulai keriput itu. "Iya, bu. Aku minta maaf untuk itu. Ternyata menjadi seorang ibu rumah tangga tidak semudah yang aku bayangkan dulu."
"Ibu tau kau wanita yang kuat. Kau bisa membuktikan bahwa kau bisa melewati dan menjalani itu semua. Terlebih ketika Sasuke yang tidak selalu berada disisimu." Mebuki menghela napas. "Apa suamimu sudah kembali?"
Pertanyaan tersebut sukses membuat hati Sakura teriris. Jangankan kembali, lelaki itu berada dimana ia juga tidak tau. Terakhir kali Sakura mendapat kabar, Sasuke sedang berada di Iwa. Mengurus sesuatu yang menyangkut jejak-jejak kaguya didekat desa sana. Itu pun ia mengetahuinya dari Naruto yang saat itu tidak sengaja bertemu disalah satu toko dipusat kota.
"Sebenarnya aku juga tidak tau. Tapi aku yakin Sasuke-kun pasti melakukan yang terbaik untuk desa dan juga kami."
Mebuki mengelus punggung putrinya yang disambut penganggan lembut oleh Sakura. "Jangan menatapku seperti itu, bu. Aku jadi terlihat seperti wanita yang hidupnya hanya penuh dengan derita." Mebuki tertawa.
"Aku bahagia. Seperti ini saja aku sudah bahagia." ucap Sakura dengan menekankan kata bahagia diakhir kalimat.
"Ngomong-ngomong, Sarada itu sepertimu dulu saat masih muda. Tidak pernah suka berada dirumah." Mebuki beranjak dari duduknya untuk membuatkan kembali teh hangat untuk Sakura dan Kizashi.
"Ya, habisnya ayah dan ibu suka membuatku tidak nyaman ketika berada dirumah." dan saat itu juga Sakura dikagetkan dengan teriakan Kizashi.
"Kau kalah lagi!" tawanya menggelegar dirumah itu.
Sakura yang masih belum mencerna perkataan ayahnya hanya diam sembari memerhatikan papan shogi dihadapannya. Meneliti apa yang sebenarnya terjadi sebelum akhirnya ia berucap tidak terima atas kekalahannya. Sakura mengelak, sebab ia tadi sedang berbicara dengan ibunya, mungkin saja ayahnya itu sudah berbuat curang? Bisa saja kan?
"Ayah curang! Mana bisa seperti itu! Aku tadi sedang berbicara dengan ibu!" elaknya dan semakin bertambah kesal saat tawa Kizashi semakin mengencang.
"Akui saja kekalahanmu. Dari dulu kau tidak pernah menang melawan ayahmu ini." sisa tawa masih terdengar sehabis kalimat yang diucapkan.
"Tidak, ayah curang! Mana bisa ayah tiba-tiba menang seperti ini!" Sakura melempar pelan bidak shogi ke arah Kizashi yang saat ini duduk dihadapannya.
"Kau memang selalu kalah. Akui saja, Sakura. Tidak udah malu."
"Ibu, ayah curang!"
.
.
.
Sakura kembali ke rumah sekitar pukul sepuluh. Awalnya Mebuki menawarkan untuk menginap saja, namun Sakura menolak. Tidak enak meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Terlebih ini adalah malam tahun baru.
"Aku mengantuk." ucapnya setelah menguap. Ini memang sudah memasuki jam tidurnya. Maka tidak heran mengapa Sakura mengantuk meski tau nanti malam langit pasti akan ramai oleh pesta kembang api.
Alih-alih keluar ketika mendengar letusan demi letusan kembang api, ia malah berjalan menuju kasur yang jendelanya dibiarkan terbuka. Membiarkan tidurnya ditemani suara letusan kembang api. Sampai tidak ada waktu satu menit untuknya terlelap ke dalam alam mimpi.
.
.
.
"Sakura..."
"Bangun, Sakura."
"Sakura, bangun."
Samar Sakura mendengar suara. Seperti tidak asing ditelinga. Ketika ia berbalik untuk memeluk guling ia dikagetkan dengan suara itu lagi. Suara yang memanggilnya dan menyuruhnya untuk bangun. Namun ia hiraukan. Sebab dirumah ini hanya ada dirinya. Pintu juga sudah dikunci. Mungkin hanya halusinasi saja.
Hening dalam beberapa saat sampai ia merasakan benda kenyal dan dingin menempel dipermukaan bibirnya. Ia pikir itu Sarada. Namun dari wangi maskulin yang merasuki indera penciumannya sepertinya itu bukan Sarada.
Matanya terbuka. Sakura mentelentangkan tubuhnya. Disaat seperti ini saja ia masih bisa berhalusinasi tentang Sasuke. Terlihat jelas pula dihadapannya.
Sakura mengedipkan kelopaknya beberapa kali. Sampai akhirnya ia terbangun. Ia kembali menoleh pada sosok yang kini berdiri disisi ranjang. Sosok itu masih disana.
Ia mencoba untuk turun dari ranjang. Lantai terasa begitu dingin saat kakinya menginjak. Hembusan angin yang menyentuh permukaan kulit membuat wajahnya seketika menoleh. Ia menatap jendela yang masih terbuka dengan gorden yang berkibar. Pantas lantai kayu dikamarnya serasa sedingin es.
Dalam jalannya menuju jendela ia kembali menoleh kearah dimana terdapat bayangan Sasuke. Sedikit meringis, hatinya teriris. Halusinasi itu terlihat sangat nyata. Mungkin ia harus merencanakan jadwal untuk memeriksa kesehatan jiwanya nanti.
Sakura kembali melanjutkan jalan untuk menutup jendela. Kedua tangannya memeluk lengan, mengusap-usap permukaannya. Ia merasa dingin pun ditambah angin yang terus berhembus menerpanya. Bodoh sekali ia membiarkan jendela terbuka dimusim dingin seperti ini.
"Siapa suruh membuka jendela dicuaca seperti ini?"
Mata Sakura refleks terbuka lebar. Apa halusinasinya bertambah parah secepat itu? Tadi ia melihat sosok, lalu kini mendengar suara. Beratnya sama persis seperti suara Sasuke. Apa memang benar jiwanya sudah terganggu?
"Disaat langit sedang merayakan, kau malah tertidur seperti ini. Kau itu semacam beruang atau apa?"
Sakura buru-buru memutar balikkan badannya. Ia masih mendapati sosok yang sedari tadi dilihatnya namun kini sosok itu sudah berjalan. Tepatnya kearah tempatnya berdiri. Jadi, ternyata itu bukan sebuah halusinasi? Panggilan itu juga nyata? Lalu bibirnya?
"Kau melihatku seperti melihat setan."
Detik itu juga Sakura berlari menghampiri sosok itu.
"Sasuke-kun."
.
.
.
Aroma kopi memenuhi ruang tengah rumah itu. Kepulan asap yang melayang menambah kehangatan dua mahkluk yang tengah bergelut dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada percakapan. Hanya suara gesekan gelas kaca dan piring yang terdengar saat Sasuke menyudahi kegiatan membasahi tenggorokan.
"Kapan pulang?"
Suara Sakura tiba-tiba saja terdengar. Wanita itu kini sedang melipat pakaian miliknya dan Sarada diatas kursi.
Sasuke melirik. "Sebelum kau pulang."
"Kenapa tidak memanggilku?" Sakura masih fokus dengan pakaiannya. Atensinya tidak teralihkan dari sana.
"Kau belum pulang dan aku tidak memiliki kunci rumah ini."
Sakura berhenti bergerak. Ia lupa bahwa Sasuke memang tidak memegang kunci rumah selain Sarada dan dirinya. Ia menatap lelaki itu. "Maaf aku lupa. Aku tadi pergi ke rumah ayah dan ibu, sudah lama tidak berkunjung."
Setelah acara melipat pakaian selesai Sakura segera berdiri. Ia ingin menaruh pakaian-pakaian itu ke dalam keranjang pakaian yang belum disetrika. Meninggalkan Sasuke yang masih diam dalam duduknya. Sebenarnya lelaki itu tidak benar-benar diam, dalam pikirannya Sasuke tengah memikirkan Sarada. Ia tidak melihatnya sedari tadi. Kemana anak itu?
Ketika langkah Sakura kembali ke ruang tengah ia melihat cangkir Sasuke sudah kosong. Tangannya bergerak mengambil cangkir dan piring sebagai tatakannya untuk diisi kembali. "Akan aku tambahkan."
Awalnya Sasuke hendak menolak. Namun melihat pergerakan Sakura yang terlampau cepat ia mengurungkan niatnya. Percuma saja menolak jika akhirnya wanita itu pasti akan tetap menambahkan isi ke dalam cangkir itu. Sebenarnya Sasuke ingin menanyakan Sarada. Ia berniat bertanya setelah Sakura selesai membuatkan kopi untuknya lagi.
"Tadi kau kemana?"
Suara Sakura terdengar bersamaan dengan ditaruhnya cangkir yang kini sudah kembali teriisi oleh kopi. Lagi-lagi Sasuke hanya melirik dari sudut matanya.
"Mengetahui kau tidak ada dirumah aku berjalan-jalan sebentar. Rupanya suasana desa masih tetap sama seperti dulu. Selalu terasa hangat."
Sakura menghembuskan napas kasar ke udara. Ia tersenyum begitu lebar bahkan tatapan Sasuke sampai tidak berpaling dari wajahnya itu. "Kau tau? Ini seperti mimpi."
"Hn?"
Sakura menoleh. "Karena kau pulang malam ini. Aku jadi tidak sendiri lagi."
"Sarada?"
"Ah? Anak itu ya." Sakura menurunkan pandangan. Ia menatap jemarinya yang berada diatas paha. "Semenjak beranjak remaja ia jarang ada dirumah. Pergi untuk misi atau bermain bersama temannya. Aku jadi sering merasa kesepian. Terlebih kau juga tidak ada disini."
Pertanyaan Sasuke terjawab sudah oleh penuturan Sakura barusan. Pantas saja anak perempuannya itu tidak terlihat sedari tadi.
"Tidak terasa pertumbuhannya begitu cepat. Kau tau? Aku bahkan masih bisa merasakan saat anak itu masih berada dalam gendonganku. Saat kita melihat pesta kembang api dan melewati pergantian tahun. Atau dalam berbagai macam festival lain." Sakura tersenyum membayangkan. "Aku jadi rindu masa-masa itu."
"Kau berniat pamer padaku?"
Sakura menoleh spontan. Tangannya digerakkan dengan cepat didepan dada. "Tidak, tidak."
Sakura paham pasti Sasuke merasa bahwa ia terlalu menyombongkan kedekatan dirinya dengan Sarada. Tanpa pernah berpikir hal itu malah semakin membuat Sasuke merasa bersalah karena telah melewatkan waktu yang amat berharga baginya.
Selama beberapa menit mereka terdiam. Sakura melirik malu-malu, sementara Sasuke hanya menatap jendela ujung yang tengah menampilkan salju menuruni bumi.
"Sasuke-kun, boleh aku..."
Kata-kata Sakura menggantung diudara. Sasuke melirik. Karena tidak kunjung terdengar akhirnya lelaki itu memutuskan untuk bertanya.
"Apa?"
Dengan gerakan cepat Sakura menempelkan bibirnya ke permukaan bibir Sasuke. Awalnya lelaki itu sedikit terkejut, namun ia malah tersenyum tipis saat melihat Sakura malah senyam-senyum sendiri dengan wajah yang merona. Manisnya.
"Sarada. Aku jadi rindu dengannya."
Mata Sasuke terpejam dengan senyum tipis yang masih bertengger dibibirnya.
"Kau. Kenapa lebih memilih disini dan tidur seperti beruang?"
Pertanyaan itu sukses membuat mata Sakura menyipit. "Apa kau baru saja mengataiku?" namun karena tidak mendapat respon ia menghembuskan napasnya pelan.
"Jika pertanyaan itu ku tujukan padamu, apa yang akan kau lakukan ketika malam tahun barumu kau lewati dengan sendiri?" sebelah tangannya menopang dagu.
"Menemuimu."
Sakura seketika mengeluarkan tawanya. "Maksudmu seperti sekarang?"
"Bisa dibilang."
"Lalu kenapa ditahun-tahun sebelumnya tidak? Apa kau tau tiga tahun ini aku selalu melewati malam pergantian tahun sendiri?" Sakura menurunkan tangannya.
"Aku minta maaf untuk itu."
Dari kata maaf yang dilontarkan Sasuke sepertinya Sakura telah menyimpulkan sesuatu.
"Kau pasti tidak sendiri. Kau bersama siapa?"
Karena Sakura tahu betul Sasuke tidak akan bisa berbohong padanya. Maka dari itu ia langsung menanyakan intinya pada lelaki itu.
"Seorang teman."
Sakura memiringkan kepala. "Wanita?"
Sasuke hanya menjawab dengan gumaman.
"Aku kenal?"
"Sepertinya tidak."
Sejauh ini sih semua teman Sasuke sudah Sakura kenal termasuk teman-teman wanitanya dari desa mana pun itu. Namun saat lelaki itu bilang bahwa ia tidak mengenalnya ada sedikit rasa sesak yang menjalar didada Sakura.
Ia mengangguk pelan. Merubah posisi, Sakura siap untuk berdiri. "Jadi begitu. Baiklah."
"Kemana?"
Sakura menoleh. "Kembali tidur." namun tidak ada senyum yang terlukis diwajahnya seperti sedia kala.
"Meninggalkanku?"
Sakura menumpukkan kedua tangannya ke depan dada.
"Kau kan sudah punya teman. Wanita pula. Kenapa tidak dengannya saja?"
Lantas wanita itu kembali melanjutkan jalannya. Sasuke hanya diam ditempat. Namun senyum tipis senantiasa terukir dibibirnya. Ia bangkit dan menghampiri Sakura. Memegang lengannya.
"Wanita itu seorang nenek yang tinggal dipinggir hutan."
Sakura merasakan punggunya menghangat. Ia menggigit bibir bawahnya. Menahan senyum mati-matian. Kemudian melepaskan tangan Sasuke dan berbalik. Ditatapnya mata hitam itu.
"Lalu masalahnya apa?" suara Sakura sedikit menantang. Dari raut wajahnya terlihat sekali bahwa wanita itu sedang menahan senyumnya.
"Masalahnya kau sangat manis jika sedang seperti ini."
Sakura memajukan langkah. Ia menyentuh dada bidang Sasuke dengan telunjuknya.
"Boleh ku katakan sesuatu?"
Sasuke menunduk. Memerhatikan setiap inci wajah Sakura. Berada dalam sedekat ini dengan wanita itu tidak tau mengapa membuat Sasuke bahagia. "Apa?"
Untuk beberapa detik Sakura tidak mengeluarkan suaranya. Ia malah memainkan jari telunjuknya diatas permukaan baju Sasuke.
"Jika aku selalu menghabiskan sore diatap rumah sakit bersama seorang teman sejawatku, apa yang akan kau lakukan?"
"Membunuhnya."
Sakura tertawa. Namun tawanya terlampau halus, hal itu membuat Sasuke ikut mengeluarkan desahan gelinya.
"Kau terlalu cepat menyimpulkan. Seseorang yang ku maksud itu wanita Sasuke-kun." kali ini Sakura benar-benar menatap mata itu. Ia tersenyum hangat.
"Kopi ku sudah dingin. Tapi sayangnya aku masih belum merasa hangat."
Sakura menunduk. Ia tidak ingin Sasuke melihat semburat merah yang kini menjalar ke pipinya. "Jika itu yang kau mau. Aku siap sayang."
.
.
.
Seneng bisa berbagi cerita sama yg lain. Aku tuh selalu pengen baca cerita sasusaku tapi sekarang udah jarang banget ada yg upload cerita mereka dengan latar belakang canon. Mungkin karena emang udah bukan masanya mereka lagi. Jadi mohon maaf bila masih ada kekurangan dalam segi bahasa.
