Dua Cincin Benang Merah

===Prolog===

Sebuah dunia di mana bunga bermekaran sunyi. Bintang pun terlihat enak seperti apel dari Eden. Awan putih berarak tergantikan oleh awan hitam yang membalutku. Bayanganku di cermin memproyeksikan sebuah masa depan. Begitu tua, keriput, dan rapuh.

"Selamat ulang tahun, Harry."

Dua pemuda tampan yang tidak kukenal mendadak berada di kedua sisiku. Aku merasa ada yang aneh pada tanganku—rasanya perlahan ada yang merayap seperti ular. Kuangkat tanganku untuk kulihat. Kedua jari manisku dilingkari oleh dua cincin yang terbuat dari benang merah. Kedua benang itu terhubung oleh jari manis dua pemuda pucat itu. Mata tanpa kacamataku menatap nanar kedua benang yang melilit dua jari manisku. Salah satu dari mereka menyodorkanku sebuah apel merah. Untuk beberapa saat aku terdiam, bingung.

"Makanlah… maka Kau akan bahagia." Gumam pemuda berambut cokelat gelap, yang berada di samping kananku. Ia tersenyum lembut padaku.

"Kami akan menjagamu." Ucap pemuda lainnya, yang berambut pirang.

Entah mengapa aku merasa mereka adalah dua iblis yang merayuku untuk pergi ke neraka yang dihiasi oleh seribu hasrat mawar merah.

Dalam cermin aku melihat diriku yang semakin keriput dan rambutku yang memutih. Rasa takut mulai menyelimutiku. Dengan berpikiran bahwa, 'Mungkin jika aku memakan apel itu, aku akan abadi.'—aku menerima apel merah tersebut lalu mengigitnya. Kukulum sebentar lalu kukunyah. Rasa manis apel ini seakan membuatku merasakan seribu kebahagiaan—seperti candu yang menutupi semua rasa sakit.

Aku menelannya dan saat itu juga dua pemuda itu menciumku kasar secara bergantian. Mataku tentu saja terbelalak kaget. Maksudku kami sesama laki-laki! Tanpa sengaja mataku menatap cermin lagi. Di sana… bayanganku sudah berubah menjadi aku yang berbeda. Muda, pucat, dan dua irisku berwarna merah darah. Aku menjatuhkan apel itu karena begitu kulihat bekas gigitanku, mengalir cairan pekat berwarna merah gelap. Tidak salah lagi itu darah!

"Ada apa ini?!" aku membentak dua pemuda tersebut. Alisku menyirit heran saat mereka justru tertawa—memperlihatkan gigi taring mereka yang panjang. Nyaliku menciut. Kakiku mudur selangkah.

"Kau sudah menjadi milik kami, Harry." Mereka berjalan santai mendekatiku yang perlahan mulai ketakutan mundur selangkah demi selangkah, "Tubuhmu, jiwamu, darahmu, hatimu dan ciumanmu adalah milik kami. Kami berhak mendapatkanmu."

Aku menjerit saat mendadak dua pemuda menakutkan itu menerkamku layaknya dua singa kelaparan. Mataku terbelalak saat mereka berdua menancapkan taring mereka pada dua sisi leherku.

"GYAAAAA!"

.

.

.

CeRry X DraRry

M

Harry Potter seorang pemuda biasa yang sederhana. Tanpa ia ketahui, sebuah masa lampau mengatakan bahwa dirinya adalah sosok yang sangat penting. Kedua jari manisnya yang terlingkar benang merah sama sekali tidak bisa di lepaskan karena ia telah diikat dalam cinta segitiga di mana dirinya adalah sosok manusia yang aroma darahnya sangat menggiurkan para kaum vampir.

Supernatural—Romache

Harry Potter by J. K. Rowling

Dua Cincin Benang Merah by Mizuki Rae Sichi

Oh tentu saja bagi yang belum kuat uji nyali, bisa undur diri XD karena jangan salahkan author jika readers merasakan desiran darah yang geli, jantung terpacu, tubuh memanas, senyum nista takkan luput, dan mempersulit malaikat mencatat amal buruk untuk mencatat perbuatan XD Berisi unsur YAOI #tentusaja# Lemon & Lime, gaje, abal, kagak vulgar, dll.

.

.

.

Chapter 1—Awal Mimpiku

"Harry?!"

Rasanya aku seperti telah bermain wahana pemacu adrenalin—diangkat jauh ke langit dan dilepas begitu saja ke bumi. Napasku memburu kencang dan keringat mengucur di seluruh tubuhku. Untuk beberapa saat aku tidak bisa melihat dengan jelas karena kacamataku belum terpasang. Kuterima kacamata yang disodorkan seseorang yang tadi membangunkanku. Segera kupakai kacamata itu dan kini duniaku sangat jelas.

"Paman Sirius?" gumamku, lega.

"Kau kenapa?" Tanya ayah baptisku tersebut.

Aku tersenyum getir sambil menggeleng, "Tidak apa-apa. Hanya melewati mimpi yang sangat buruk." Kuusap wajahku yang terasa sangat lusuh. Mataku masih enggan untuk membuka lebar.

"Itu hanya mimpi, Harry. Bunga tidur yang takkan pernah terwujud." Paman Sirius menarik selimutku lalu melipatnya—bermaksud agar aku segera bangkit dari tempat tidur, "Ayo! Sarapanmu sudah menunggu." Pria berambut keriting sebahu itu hendak pergi dari kamarku namun terdiam dulu sejenak lalu memandangku, "Ada uban di rambutmu, Harry!" gelak tawanya pecah di kamarku ini. Lalu dia pun pergi dan menutup pintu.

Helaan napas meluncur dari bibir tipisku. Pusing ini seakan mencekik. Dengan terpaksa aku bangkit dari kasur empukku. Tanpa segaja aku melihat bayanganku di cermin. Mendadak aku teringat mimpi tadi. Entah mengapa kaki ini tergerak untuk mendekati cermin besar itu. Mataku menyipit dan alisku menyirit. Ada sehelai rambut berwarna perak diantara helaian rambut hitam kecokelatanku. Segera aku pun mencabut paksa uban itu.

"Sial!" kukira Paman Sirius tadi hanya bercanda. Aku tercengang. Apakah mimpi itu adalah kebenaran terselubung?

.

.

.

Aku sangat kaget saat setibanya di meja makan. Ron, Hermione, Ginny, Fred, George, Paman Sirius, Paman Lupin, Paman Arthur dan Bibi Molly dengan serempak menyambutku dengan gembira. Aku yang masih bingung pun hanya bisa terdiam. Tersenyum canggung.

"Selamat ulang tahun, Harry!"

Fred dan George meniupkan terompet kecil yang ternyata berisi boneka-boneka kecil yang hidup—aku tebak, ini pasti salah satu eksperimen mereka. Ron dan Hermione menembakan sebuah pistol mainan yang berisi kertas warna-warni yang ternyata ada kembang api kecil sihir juga. Sementara Ginny membawa sebuah kue tart yang terdapat lilin-lilin yang menyala.

"Selamat ulang tahun, Harry." Ginny tersenyum manis dengan rona merah di wajahnya, "Buatlah sebuah doa lalu tiup lilin ini."

Senyum haru tercipta di wajahku. Baru kali ini aku merasakan kehangatan keluarga. Kupejamkan kedua mataku untuk membuat sebuah doa. Aku hanya berdoa agar aku bisa merasakan kebahagiaan seperti ini lagi setiap saat. Lalu aku pun meniup semua lilin yang menyala tersebut. Aku sedikit kaget saat mendadak Ginny menciumku lembut. Sorakan-sorakan bahagia tercipta di puri Paman Sirius ini. Wajah Ginny sangat merah saat kami melepaskan kecupan singkat tadi.

"Hadiah yang sangat indah, Ginny." Ucapku. Aku dan Ginny memang sudah berpacaran lama, namun belum pernah berciuman sama sekali. Kugenggam tangan Ginny dengan sangat erat.

"Ah, ayo kita sarapan dulu sebelum makanannya menjadi dingin dan tidak enak." Ajak Bibi Molly. Kami pun duduk di tempat duduk masing-masing. Meja besar dan panjang ini penuh dengan makanan lezat buatan Bibi Molly. Ah, aku jadi tidak sabar untuk melahapnya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Ginny? Kapan Kau akan melamarnya, Harry?" gumam Paman Arthur. Pria berambut merah menyala itu lalu menyesap kopinya sambil terus memandangku.

Jawabanku terbata-bata karena bingung. Ini terlalu mendadak. Aku tidak bisa memutuskan sekejap mata. Lagipula kami masih sekolah.

Gelak tawa Paman Arthur tercipta membuatku tambah bingung saja, "Aku hanya bercanda, Harry! Aku dan Molly akan setia menunggumu menjadi menantuku."

Aku tersenyum serba salah sambil menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Saat pandanganku mengedar aku melihat Ginny sedang tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Ini membuatku mengulum senyum.

.

.

.

Aku melangkahkan kakiku lagi di sekolah tercintaku. Hogwarts adalah salah satu sekolah sihir yang sangat tersohor di kalangan para penyihir. Di sinilah para penyihir berbakat terlahir. Sekolah sihir yang membebaskanku dari kekangan keluarga Paman Vernon yang kejam. Walau mereka adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki aku tidak pernah mau kembali lagi ke sana setelah aku telah menemukan ayah baptisku yaitu Paman Sirius.

Upacara penerimaan murid tahun ajaran baru sudah dilaksanakan. Yang kudengar ada dua murid baru di Hogwarts. Salah satu dari mereka adalah seniorku dan lainnya adalah seangkatanku. Tapi apa peduliku?

Setelah pidato singkat kepala sekolah yaitu Albus Dumbledore, kami pun dipersilahkan untuk makan. Makanan lezat mulai muncul dengan ajaibnya di meja kami. Saat aku hendak mengambil sebuah paha ayam mentega, Hermione pun mendadak memanggil namaku pelan namun seolah sangat penting.

"Ada apa?" gumamku bingung.

"Sepertinya dua murid baru itu sedaritadi memperhatikanmu terus." Ucap Hermione pelan—tidak mau urusan pribadi kami tercampur orang lain.

Aku segera mengikuti arah pandang Hermione namun aku masih bingung, "Mereka di mana?"

"Ya ampun, Harry! Salah satu dari mereka yang merupakan senior kita dari Hufflepuff dan lainnya dari Slytherin. Oh aku merinding dengan tatapan mereka ke arahmu, Harry!" bisik Ron.

Aku mencoba menolehkan kepalaku ke belakang mengingat Ron dan Hermione duduk di hadapanku kini. Mataku mengedar menuju meja Hufflepuff dan Slytherin. Mendadak aku terkesiap dengan dua orang baru yang memandangiku. Aku pun segera membalikan tubuhku lagi untuk tidak menatap mereka. Jantungku berdegub kencang, aku takut.

"Kau kenapa, Harry?" Tanya Hermione heran.

Aku berusaha menstabilkan napasku yang memburu, "Mereka… kalian ingat mimpi yang kuceritakan pada kalian waktu itu 'kan?" ucapku, dengan sedikit panik. Aku takut mimpi itu menjadi nyata!

Ron dan Hermione saling bertatapan lalu hanya mengangguk lemah. Aku telah menceritakan mimpiku itu karena waktu itu aku bingung harus berbuat apa.

"Mereka adalah dua iblis dalam mimpiku!"

Mata kedua sahabatku ini terbelalak kaget, "Bloody hell, Harry! Apa kau serius?! Maksudku itu sesuatu yang mustahil 'kan?"

Aku menggeleng dengan pikiranku yang kacau. Rasa takut mencekikku erat seakan ini adalah akhir dari semua kebahagiaanku. Aku takut akan jatuh dalam jurang kesengsaraan lagi! Aku tidak mau menangis dalam kegelapan lagi!

"Oke Harry, sekarang kau rileks dulu. Belum tentu itu akan menajadi nyata, bukan? Mungkin itu hanya kebetulan belaka." Ucap Hermione seakan memberiku penyejuk hati.

"Kalau itu nanti nyata bagaimana?" gumamku, dengan berat akan pikiran.

"Aku jamin! Tapi kalau itu memang kenyataan, aku akan terus di sampingmu untuk menolongmu. Tidak akan kubiarkan sahabatku menyelesaikan masalah rumitnya sendiri." Tangan Hermione menumpuk tanganku yang tergeletak di meja—seolah menransfer kekuatan untukku. Ron pun ikut bergabung untuk menumpuk tangannya pada tangan kami,

"Aku juga akan terus di sampingmu, Harry."

Satu senyuman terukir di wajahku yang semula sangat kaku.

.

.

.

Tidak terasa waktu seolah berjalan cepat sekali. Mentari sudah turun dari singgahsananya—menyisakan jejak-jejak cahaya jingga saja di langit. Entah mengapa setelah makan malam tadi aku ingin berjalan-jalan dulu koridor di sekolah ini. Aku ingin melampiaskan rinduku dulu.

Melihat bangku di taman yang kosong, aku pun memutuskan untuk duduk di situ untuk melihat bagaimana indahnya langit malam. Kupejamkan kedua mata beriris hijauku untuk menikmati semilir angin malam yang menghempasku dengan lembut.

"Hello!"

Mendadak mataku terbuka untuk melihat di mana sumber suara tadi.

TBC (To Be Continued)

Nyohohoho~ jumpa lagi dengan Rae yang membawakan satu fic gaje lagi :D ^o^

Kali ini saya nyoba cerita yang saya cinta nih. Yep! Vamfict! ^o^ sebenernya udah dari dulu saya suka banget vamfict cuma baru sekarang kesampean XD

Hoaaaaammm…. Oke saya potong dulu aja nih ya chap 1 nya :D nanti dilanjut lagi kalo mau XP makanya review ^o^ sok saya tungguin review nya sampe tujuh dulu aja XD ntar baru saja lanjut XP nyahahaha #ketawa_licik yang review saya doain dapet pahala amin ^o^

Mohon bantuannya dan sampai jumpa lagi! :D :*