Green Star
Rated M; Zoro X Sanji; Humour & Romance; AU FFn
Disclaimer; One Piece © Eiichiro Oda
Warning; Sexual Contents, Failed for Humour, Bahasa kasar, OOC, Uke Sanji & Seme Zoro, etc...
A/N; Lirik ke fic-fic lain... wah, utang saya udah banyak, tapi masih nimpukin utang lagi XD
...
Chapter 1. No Title
Sanji merogoh saku kemejanya dan mengambil sebatang rokok, memasak selama berjam-jam sangat melelahkan, tapi dia sangat menyukainya. Dia melirik jam tangan silver-nya, jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Hari ini restoran Baratie 2 memang sangat padat, dan mereka para koki dan pelayan harus lembur. Bukan berarti karena dia seorang kepala koki di restoran kedua tersebut, dia tidak bekerja, dia paling banyak bekerja. Tadi saja koki yang bertugas dalam membuat saus salah mengoleskan saus pada daging, saking kebanyakan pesanan, koki khusus makanan pembuka nyaris salah membedakan gula dengan garam, banyak kejadian yang menyebalkan dan melelahkan di Baratie 2, untung saja Sanji langsung memberhentikan kegiatan yang akan merusak makanan tersebut.
Dia berhenti di teras restoran, udara malam yang dingin menggelitik tubuhnya. Menggigil. Sekarang memang sudah bulan Oktober, bulan depan sudah November dan salju akan turun. Dia mempererat pelukannya pada syal biru tua dan mantel kremnya. Ujung hidungnya memerah dan dia segera menarik ujung syalnya, dan menutupi hidungnya.
...
"Oww... coba lihat badannya itu... fufufu"
"Ooh, Tuhan... aku pasti akan mimisan,"
"Tidak! Ah... kenapa dia bisa terlalu merangsang?"
Merasa keributan terjadi di apartemennya, dia menghampiri adiknya, Nami beserta teman-temannya yang lain.
"Ada apa, Nami-chan? Kenapa kau ada di apartemenku?" tanyanya, diraihnya syalnya dan mantelnya, kemudian menggantungnya di tiang gantung pakaian. Adiknya itu memang punya kunci cadangan untuk apartemennya, jadi dia tidak perlu pulang dulu kalau adiknya datang tanpa sepengetahuannya.
"Aah, tidak ada apa-apa. Ganti baju sana, gih!" seru Nami yang mengibaskan tangannya, menyuruh Sanji pergi dari kawasan tersebut.
"Astaga... Nami-chan... kau jahat sekali pada abangmu ini..." Sanji menangis, kemudian berjalan ke kamarnya. Semuanya menatap Nami sambil tersenyum-senyum. Setelah Sanji tuntas memasuki kamar, mereka kembali berceloteh ria.
"Wah, kau beruntung punya abang setampan dan sekaya ini." ujar Vivi yang disambut anggukan Kaya.
"Ya, Sanji-san benar-benar baik." Ujar Robin lalu menyesap tehnya.
"Tapi dia itu mesum, tahu! Kau tahu?!" lalu Nami membalikkan halaman majalah tersebut lagi. Dia kemudian mengajak ketiga temannya itu melihat kembali. Sebuah halaman dengan gambar pria berambut hijau yang diberi cat hitam di bagaian bawah rambutnya, hanya mengenakan celana jeans kasar kasual, topless, dan memandang ke arah mereka dengan tajam.
"Oh, shit... pendatang baru yang begitu..." Nami memberikan jeda pada komentarnya.
"Sexy..." lanjut Robin sambil cekikikan. Vivi sendiri ikut-ikutan, Kaya hanya menutup matanya, dia 'kan udah punya Usopp sih...
Bam!
Pintu terbanting, mereka bertiga segera menoleh ke arah Sanji yang tengah membanting pintu dengan wajah yang sedikit masam, namun Nami mengabaikannya. Dia melirik ke arah Nami dan mendapati sebuah buku tengah terbuka di tangannya. Dia tahu betul itu buku apa.
"Nami-chan, ayah dan ibu mengatakan padaku kalau kau sama sekali tidak boleh membaca buku seperti ini!" seru Sanji, menggapai majalah fashion yang baru dibelinya minggu kemarin dari tangan Nami.
"Itu hanya buku fashion, kak! Berikan padaku, aku ingin melihatnya!" seru Nami yang berusaha menggapai buku yang sudah diangkat abangnya yang setinggi seratus delapan puluh tersebut. Dia menggerutu.
"Masalahnya, ini fashion pria. Aku tahu kalau kau sangat suka pria yang topless, adikku tersayang!" seru Sanji yang segera berjalan memasuki kamarnya dan mengunci kamarnya. Hening beberapa saat, dia keluar dan menoleh ke arah Nami lagi.
"Ngomong-ngomong, apa kau kesini hanya untuk melihat majalah tersebut?" tanya Sanji.
Nami menggeleng.
"Aku boleh pinjam uang, tidak?" tanya Nami dengan wajah anak kucing.
"Huh... kau bukannya pinjam, Nami-chan. Tapi kamu meminta!" Sanji merogoh kantong celana jeans biru mudanya, mengeluarkan sebuah dompet cokelat tua yang telihat bagaikan oasis uang bagi Nami. Bahkan Nami mau jika hanya diberi dompet kosong, itu'kan dompet mahal, bisa dia jual dengan harga tinggiiiii.
"Berapa?" tanya Sanji.
"Empat ratus ribu, ada?" tanya Nami berharap, walau dia tahu paling sedikit ada lima ratus ribu di dompet itu.
"Apa sih, yang enggak ada untukmu, cantik. Tapi, untuk apa?" tanya Sanji, lalu dia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
"Ada meet & greet, di lapangan Skypiea. Kakak tahu, 'kan..."
"Ooh, si marimo itu, ya?" tanya Sanji. Nami mengeryit... memang sih, Sanji kurang suka kalau Nami, adiknya yang tersayang itu pergi ke sebuah pertemuan selebritis atau orang terkenal yang gak jelas.
"Heh! Begitu-begitu, dia punya banyak fans, lho. Padahal baru magang dua bulan di agensinya." Ujar Nami.
"Ooh, ok. Kau butuh uang jajan? Empat ratus 'kan hanya untuk tiket tiga orang." Tanya Sanji memastikan. Senyum Nami mengembang lebar, dengan segera dia memeluk abangnya tersebut dengan sangat erat. Sanji memang yang paling bisa mengerti dirinya yang haus akan uang ini.
"Yaaaai! Sanji memang yang terbaik!" serunya. Yah, kalau memberi uang... pikir Sanji sedikit kecewa.
Sanji mengambil empat lembar uang seratus ribu berry dan memberikannya pada Nami. Lalu satu kartu kredit hitam penggunaan tidak terbatas disodorkannya.
"SANJI! Kamu sungguh-sungguh?!" teriak Nami tidak percaya kalau abangnya itu memberikan kartu istimewa tersebut.
"Oh, ga mau, ya? Ya udah, abang ganti nih..." ucap Sanji lalu menukar kartu hitam dengan kartu hijau penggunaan ekonomis—batas lima ratus ribu.
"AAAA! Jangaaaan..." aku masih ingin belanja isi semua mall... pikir Nami.
"Sori, Nami-chan. Soalnya rabu aku harus ke London untuk belanja dan rapat." Jawab Sanji sambil tersenyum, lalu menyerahkan satu kartu kredit ekonomis tersebut.
"Huuuu... tanpa restoran itupun kau 'kan tetap kayaaa..." rengek Nami, tapi dia tetap menerima kartu tersebut. Dia tahu benar abangnya itu masih mempunyai pekerjaan sebagai model, atlet renang, lari, dsb, pembawa acara memasak, dan penulis.
"Nami-chan, kamu sudah dua puluh tahun, kau sudah bisa mencari pekerjaan sendiri, ya? Mana mungkin aku terus yang mengurus kamu? Bahkan sampai aku menikah nanti? Bisa-bisa istriku cemburuuu..." ujar Sanji sambil mengusap-usap rambut Nami.
Mendengar itu, Nami hanya bisa mencebilkan bibirnya. Tidak mungkin abangnya itu akan mempunyai istri. Dia tahu kok, abangnya itu gay, sudah berkali-kali dia melihat abangnya itu dicumbui laki-laki. Setiap kali dia datang, kalau tidak di sofa, pasti di kasur, bahkan di atas meja makan dia mendapati abangnya tengah digigit, dicium, atau bahkan udah masuk ke sesi masuk-masukan. Parah!
"Mana mungkin kamu bakal punya istri, kamu 'kan gay!" seru Nami.
"APA?!" teriak Vivi dan Kaya yang dilanjut dengan ekspresi kaget Robin.
Sanji terkekeh, lalu menggelung-gelung rambut Nami di jemari panjangnya yang langsing.
"Tapi bukan berarti aku tidak bisa merebut hati wanita, 'kan?" tanyanya sambil tersenyum lembut. Senyum keabangan yang selalu membuat Nami melting namun merasa nyaman di samping abangnya tersebut. Nami juga yakin kalau ketiga temannya yang ada di belakang pasti tengah menikmati keindahan duniawi tersebut.
"Kamu tidak akan bisa merayuku!" seru Nami, berniat menolak tapi tidak bisa tidak mengakui ketampanan abangnya itu. Dia 'kan dicap playboy kelas kakap di sekolah atas dulu. Namun Sanji hanya mengencani laki-laki saja, dan semua laki-laki itu pasti sangat tampan dan membuat iri semua gadis pada Sanji. Bahkan, sangking banyaknya yang mengantri untuk mengencani Sanji, adiknya itu membuat loket yang disebut-sebut Date Sanji From Now ON! Sekali trip dua puluh ribu berry, makanya dompet Nami saat SMP dan SMA itu selalu full dan dia berhasil membuat kartu kredit punyanya sendiri.
Sanji tersenyum, lalu berjalan ke dapur. "Kalian bertiga menginap?" tanyanya kepada Vivi, Kaya, dan Robin. Mereka bertiga mengangguk.
"Nami-chan, kamu sudah mengajak mereka makan?" tanya Sanji sambil menuang beberapa sendok kopi, krim, dan sedikit gula.
"Belum, soalnya aku menunggu kakak datang... aku mana bisa masak," Nami bersiul enteng. Sanji hanya bisa sweatdrop mendengar pernyataan yang keluar dengan lancar dari mulut adiknya tersebut.
"Haduuuh, itu juga harus kamu ubah Nami-chan. Bagaimana kalau kau mau menikah nanti? Jangan-jangan kau akan manggil abangmu ini untuk ngantar makanan kalian?" tanya Sanji yang kemudian menyesap kopinya tersebut.
Nami menjulurkan lidahnya, lalu terdengar tawa ringan dari ketiga perempuan di belakang sana. Tawa mereka berhasil menyadarkan Sanji dari kopinya.
"Astaga, aku benar-benar tidak sopan, siapa nama kalian semua, ladies?" tanya Sanji yang segera berdiri dan berjalan ke arah mereka bertiga.
"Aku Nevertari Vivi, Sanji-kun." Sapa Vivi.
"Ah, teman sejak SD Nami, ya? Tapi kenapa rambut Vivi-chan jadi biru?" tanya Sanji.
"Aku dan Vivi mengikuti kelas make-up¸jadi kami ngecat rambut sendiri, menarik lho! Sanji-kun mau coba? Warna hitam shading pasti cocok padamu." Jawab Vivi dengan antusias, dia sangat suka mengikuti kelas yang banyak praktiknya, mendengar itu Sanji tersenyum.
"Sanji tidak akan mau Vivi! Rambut pirangnya itu selalu menjadi kebanggaannya!" seru Nami yang tiba-tiba muncul dan menggaet ketiga temannya tersebut.
Sanji tertawa. Lalu dia melirik ke arah Kaya.
"Tunangan Usopp, 'kan? Kaya-chan?"tanya Sanji memastikan.
"Ah, ii... iya..." jawab Kaya dengan wajah memerah.
"Usopp bilang kalau kamu sangat cantik dan pintar, aku rasa dia tidak bohong. Kalian cocok sekali, Kaya-chan." Puji Sanji yang kemudian dibalas senyum lebar Kaya.
"Aku Nico Robin," sapa Robin.
"Ah, Robin-san. Salam kenal, ya"
Robin tersenyum, lalu tiba-tiba saja Nami langsung menyenggol kaki abangnya itu dengan pelan.
"Mau makan..." Nami mencebilkan bibirnya.
"Oke, cantik. Kalian mau makan apa?" tanya Sanji yag bergegas menuju dapur.
"Apa saja! Apapun itu pasti sangat enak!"
.
.
.
Mereka tahu kalau mereka bukan di restoran. Mereka hanya berada di hadapan meja makan sederhana. Namun makanan yang disajikan pada mereka itu lebih dari makanan restoran bintang lima. Mereka tersenyum dengan keringat yang mengalir di dahi mereka. Mereka jadi malu terlahir sebagai perempuan. Tentu saja! Mereka selalu mencoba untuk memasak sebagus ini tapi hasilnya tidak lebih dari bentuk makanan instan!
Dan lagi, Sanji tampaknya mengerti bagaimana keinginan mereka. Dia sengaja memasak makanan rendah lemak namun mengenyangkan. Mereka bahkan tidak tahu bagaimana bisa jus jeruk bisa terasa begitu enaknya, padahal warna dan kecairan jusnya itu kayaknya ga ada beda-bedanya deh dengan yang mereka buat atau beli! Kok bisa, sih?
Katanya... Sanji itu gentleman... kok malah menurunkan kodrat ceweeeek?!
"Em, Nami-chan, Vivi-chan, Kaya-chan, dan Robin-san. Aku akan kedatangan tamu nanti malam. Jadi aku harap kalian tidak ada masalah dengan kamar yang ada disana." Ujar Sanji yang kemudian menyesap jusnya sambil menunjuk pintu yang tepat berada di belakang dapur. Ya, apartemen Sanji itu luas dan mahal, karena Sanji tahu adiknya sering datang bawa teman. Apartemennya ada empat kamar. Satu untuknya, satu untuk adiknya, satu untuk orangtuanya, dan satu lagi untuk tamu. Sengaja dia ambil yang seperti itu karena mereka sering berkunjung kalo baru pulang dari luar negeri, kota, atau sekolah—Nami.
"Hu... jangan bilang kau akan bercinta hari ini Sanji."
"Bruuuh! Uhuk-uhuk!"
"Nami!" seru ketiga temannya, namun Nami hanya menggulingkan bola matanya.
"Nami-chan! Astaga!" seru Sanji dengan wajah yang memerah. Lalu dia kembali menyesap jusnya.
Nami menyengir.
"Hayooo, jangan-jangan selama aku tidak disini kamu bermasturbasi dengan majalah itu?" goda Nami semakin keterlaluan, matanya memberikan isyarat pada Sanji untuk segera jujur kepada adiknya tersebut.
"NAMI-CHAN!" seru Sanji yang kali ini tidak bisa menahan rasa malunya.
Ketiga temannya hanya bisa menahan tawa.
"Aku tidak semengerikan itu, aku masih bisa mengontrol diriku, oke? Dan lagi aku tidak bercinta dengan sembarang orang..." jawab Sanji yang segera mengoreksi adiknya itu.
Nami mendengus. Apa yang dikatakan abangnya itu memang benar. Semua pria yang meniduri abangnya itu tidak pernah pria yang menikah atau bermasalah. Paling tidak, pria itu pastilah seorang pebisnis. Nami jadi ingat siapa pacar pertama Sanji, dia pria yang sedikit seram namun baik, namanya Gin kalau ga salah.
"Jadi, apa kalian mau melihat kamarnya dulu dan menata barang-barang kalian?" tanya Sanji.
...
Kamar itu memiliki ranjang Queen Size yang bahkan lima orang bisa cukup menempatinya. Mereka mengangguk-angguk penuh kekaguman melihat isi kamar ini. Nami juga belum pernah masuk ke dalam kamar ini. Biasanya dia ada di kamarnya sendiri, dan kasurnya itu kasur ukuran satu orang.
"Kok bersih?" tanya Nami, seingatnya Sanji jarang punya tamu selain pacarnya. Jadi biasanya kamar yang jarang dipakai itu pastinya kotor dan berdebu, tapi ini bersih seolah-olah mereka kayak ada di hotel aja.
"Ya aku yang bersihin dong. Setiap hari aku harus membersihkan semua tempat biar ga kotor. Nami-chan gimana sih," tanya Sanji merasa tersakiti, seolah-olah adiknya itu menganggapnya sebagai orang yang berantakan.
"Oi, hanya bercanda bang!" seru Nami merasa aneh.
DING... DING...
"Ck, dia sudah datang..." rutuk Sanji yang kemudian segera melirik ke arah tiga gadis tersebut.
"Permisi, ya," pamit Sanji sambil tersenyum, lalu berjalan menuju pintu masuk. Nami mendelik, lalu dia berjalan mengendap-endap untuk melihat seperti apa orang yang datang itu. Namun dia tidak bisa melihatnya karena orang itu mengenakan jaket dan memakai tudungnya.
"Kau datang terlalu cepat, bodoh..." desis Sanji.
Nami mengangkat alisnya ketika dia merasa tubuhnya mulai memberat. Diliriknya ke atas, ternyata ketiga temannya itu sekarang menimpa badannya, ikut-ikutan menyaksikan adegan tujuh belas tahun ke atas yang akan dimulai beberapa saat lagi tersebut.
Tiba-tiba saja, pria berjaket itu langsung menyergap Sanji dan langsung melahap bibir Sanji. Mereka berempat berteriak tanpa suara, mulut mereka menganga lebar-lebar. Rona merah menyebar di wajah mereka.
Kemudian mereka melihat Sanji dibanting ke atas sofa dan kancing kemejanya dipreteli.
Mereka berteriak dalam hati, tidak tahan. Demi Tuhan, oalah... Tapi bodonya mereka ga berjalan untuk masuk ke dalam kamar mereka. Mereka dengan penuh ketakjuban melihat apa yang akan terjadi berikutnya. Mungkin mereka bisa menonton sampai ke aksi masuk-masukkan? Lumayanlah, tontonan gratis gituloh...
"BODOH! AKU ADA TAMU!" teriak Sanji sambil menjitak kepala yang tertutup tudung itu.
Nami dan yang lainnya menghela nafas, ternyata Sanji masih waras untuk tidak melakukan hubungan itu di atas sofa. Mereka dengan perlahan-lahan berjalan menghindari pintu tersebut, lalu memutuskan untuk mencuri dengar pembicaraan kedua sejoli yang sedang dalam masa kawin itu.
"Dengarkan aku ya kepala otot, adikku dan teman-temannya menginap mulai hari ini sampai hari selasa. Jadi kau tidak boleh sedikitpun melakuk—Ugh! Hei! Hentikan tolol!"
Nami dan yang lain menutup mulut mereka begitu mereka mendengar suara retsleting terbuka. Mereka jadi blingsatan di sana, kaki ingin menghentak-hentak, tangan ingin menjambak rambut satu sama lain, dan keinginan menjerit histeris melawan rasa ingin meneruskan pengupingan mereka.
"TOLOL! MASUK KAMAR!"
"CK! AKU SUDAH TAK SABAR, KOKI MESUM!"
Cuuup...
Plop
Keempat gadis yang menguping itu hanya bisa merasa kepala mereka oyong, namun mereka masih mencoba untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana, mereka melirik sebentar, ternyata kedua sejoli itu tengah gigit-gigitan dan mencium lepas. Namun dibalik keliaran tersebut, mereka masih bisa melihat kalau Sanji berusaha untuk melepaskan diri.
"Ayolah pendekar pedang bodoh, aku tidak ingin adikku melihatku begini, okay?"
Mereka tertegun begitu melihat pria yang masih bertudung itu segera menggendong Sanji dengan gaya bridal dan berjalan ke kamar Sanji. Pintu dibuka dengan tendangan dan ditutup dengan senggolan kuat, pintu terbanting kuat, lalu semuanya senyap.
...
"Aku tidak melihat apapun, aku tidak melihat apapun..." gumam Kaya yang tengah terlentang lebar di atas kasur.
"Uwaaa... mereka melakukannya, uhuhuhu, aku jadi punya ide untuk fanfiksiku yang lain," Vivi kemudian mengeluarkan laptop-nya dan mulai menyalakannya. Sedangkan Robin hanya tersenyum misterius.
Nami sendiri hanya pundung di atas kasur, bergumam tidak jelas.
"Kali ini siapa lagiii?"
...
A/N: jujur aja, bukan hanya aku, 'kan? Cewek yang kepingin punya abang seperti Sanji-chan? Seandainya author punya abang seperti Sanji-chan, tiap hari bakal makan enak dan punya sesuatu yang dipamerin di sekolah XD
