Memories
By : Mizu Kanata
Disclaimer : Mashashi Kisimoto
Hai!
Hampir sebulan nggak bikin fic lagi.
Sejujurnya, Mizu jadi sedih soalnya fic NejiTen nggak nambah-nambah lagi... otomatis jadi nggak mood bikin fanfic. Ayo dong author NejiTen! Jangan biarkan pair NejiTen berbahasa Indonesia punah begitu aja.
Dan untuk fanfic yang Blank Letter, Mizu usahain chap. terakhir secepatnya, maaf kelamaan...
Mungkin fic ini Blank Letter dan Memories ini jadi fic terakhir Mizu sebelum menghadapi UN. Do'akan ya, hehe...
A/N : Alur fic ini banyak flashback dan akan berakhir di chap. 2
Chapter 1 : Hanya Untuk Kau dan Aku
Pemuda itu duduk di kasurnya, tatapan menerawang terlihat jelas di iris lavender itu. Wajah tampannya yang biasa tertutup oleh kegelisahan. Lagi-lagi Neji mengernyitkan dahi, bingung mengapa ia mempermasalahkan hal ini. Neji melangkahkan kaki dan membuka jendela kamarnya, berharap udara pagi membuat pikirannya yang berantakan kembali jernih.
'Kenapa dia tidak datang?' tanyanya dalam hati.
'Oh... ayolah, sejak kapan aku mempedulikannya… atau mungkin merindukannya?' Neji melihat keadaan di luar, dan pandangannya berhenti tepat di taman bermain itu. Ah ya, tepatnya di semak-semak taman itu.
'Apa perkataannya saat itu sungguh-sungguh?'
…
Minggu itu Neji berjalan menyusuri jalan setapak menuju taman bermain, dengan sebuah buku di tangannya. Mungkin, kalian akan merasa aneh, seorang Neji pergi ke taman bermain? Sebenarnya tujuan pemuda Hyuuga itu bukan ke taman bermain, tapi 1 tempat sunyi di dekat sana.
Ia berhenti saat dirasanya tidak ada anak-anak yang bermain. Lalu, menerobos semak tinggi yang membatasi taman itu. Pemandangan indah segera menyambutnya, sungai yang hening beserta pohon-pohon tinggi yang rimbun.
Neji membuka bukunya dan mulai membaca setelah memilih tempat nyaman di sisi sungai. Sekarang semuanya masih sunyi sebelum…
"Hai Neji!"
"Hn," jawabnya acuh tak acuh.
"Dasar, apa kau tak punya kegiatan lain selain membaca buku," seorang gadis bercepol dua duduk di sampingnya.
Keheningan menyergap mereka sesaat.
"Neji… bagaimana jika aku… jika aku harus pergi?" tanya Tenten sambil memeluk kedua lututnya.
"Maksudmu?" Neji balik bertanya tanpa menutup bukunya.
"Diadopsi. Aku tahu, mungkin aku sudah terlalu tua untuk diadopsi, 15 tahun. Tapi, Morimoto-san berkata, pengadopsi ini menginginkan anak yang sudah cukup dewasa. Kau tahu hanya aku dan Lee anak yang paling tua disana. Bagaimana… jika aku yang diadopsi?" Tenten menatapnya.
Neji terdiam, ia tahu, mungkin ini salah satu trik Tenten untuk mengerjainya lagi. Biasanya, saat Tenten bertanya serius, dan Neji menjawabnya dengan serius juga, kejadian selanjutnya adalah Tenten yang menertawakannya.
"Hm… ya, berarti kau akan pindah dari sini, mengikuti orang tua angkatmu," jawab Neji, tidak ingin terperangkap lebih jauh lagi.
Dan seperti yang diduganya, Tenten kecewa dengan jawabannya. "Apa kau senang jika aku pergi?" tanyanya takut-takut.
"Mungkin… ya," jawab Neji lagi. Melirik Tenten puas dari sudut matanya.
"A-aku, ada urusan, aku pergi dulu." Dan tiba-tiba saja Tenten meninggalkannya.
Neji tahu, Tenten memang tinggal di panti asuhan, dan Neji juga tahu kalau Morimoto-san adalah pemilik panti itu. Tapi, gadis itu tidak sungguh-sungguh kan?
…
Neji menarik nafasnya panjang. Bagaimana jika Tenten sudah pergi? Seminggu setelah Tenten membicarakan hal itu, Tenten tidak datang ke taman. Dan hal itulah yang membuat Neji resah. Hampir seminggu ini bayangan Tenten memenuhi otaknya. Tapi, ini adalah hari Minggu, mungkin sekarang Tenten akan datang dan menjelaskan semuanya.
Seusai mandi dan sarapan, Neji segera melangkahkan kakinya ke taman itu. Entah mengapa ia berharap Tenten sudah ada disana, memainkan jemarinya di sungai dan menunggunya. Neji mempercepat langkahnya saat menerobos semak.
Tapi… tidak ada siapapun disana selain dirinya.
Neji mengepalkan tangannya pada sebuah pohon. Rasa frustasi dan marah memenuhi raut wajahnya. "Bodoh! Sepertinya anak itu sungguh-sungguh," kata Neji memukul pohon.
"Kenapa aku tidak pernah menyadarinya?!" teriak Neji.
Ia tersadar, tempat ini adalah milik mereka berdua, hanya miliknya dan Tenten. Dan tempat ini tak kan berarti… tanpa kehadiran gadis itu. Pikiran Nejipun kembali pada saat mereka pertama bertemu.
...
Saat itu, Neji kecil yang masih berusia 6 tahun memandang anak kecil lainnya yang sedang bermain. Dalam hati kecilnya, anak itu ingin seperti mereka, bermain dengan riang sepanjang hari. Neji baru saja kabur sementara waktu dari rumahnya, pamannya yang keras itu menginginkan ia belajar setiap hari. Berbagai guru dari Negara Hi akan datang ke rumahnya. Neji sudah lelah, ia hanya ingin.. bermain.
Sebuah bola tiba-tiba menggelinding menuju ke arahnya.
"Ah, maaf, aku kira disana tidak ada orang," seorang anak perempuan yang seumuran dengannya muncul dari balik pohon. "Siapa kau? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."
"Aku Neji Hyuuga, baru kali ini datang kesini," jawab Neji.
"Kau keluarga Hyuuga? Kau pasti tinggal di Hyuuga Manor yang besar itu? Benarkah?!" tanya anak itu antusias.
"Ya, memangnya kenapa?"
"Jika aku jadi kau, aku akan terus bermain di dalam sana," katanya lagi.
"Bermain dengan siapa? Lagipula tidak ada seorangpun yang bisa diajak bermain, waktuku habis hanya untuk belajar. Karena itu aku datang kesini," jelas Neji.
"Aku kira Hyuuga Manor tempat yang menyenangkan…" kata anak itu kecewa. "Ah, kalau begitu, perkenalkan! Namaku Tenten, ayo kita bermain bersama!"
"Baiklah!" jawab Neji senang, ini adalah ajakan pertama untuk bermain sepanjang hidupnya.
Tapi, saat Tenten melemparkan bolanya pada Neji, anak itu sedikit bingung. Neji tidak pernah tahu cara melempar bola yang benar, dan alhasil bola yang dilemparkan jauh melesat di atas kepala Tenten, menerobos semak rimbun.
"Wuaa.. Lemparanmu jauh sekali. Ayo cepat cari, itu bola milik panti, aku bisa dimarahi jika menghilangkannya," kata Tenten.
"Ma-maafkan aku, aku akan mencarinya," Neji berlari menuju semak dengan Tenten di belakangnya.
"Ah, itu, bolanya disana," kata Tenten menunjuk diantara celah semak-semak.
Neji langsung menerobos , pipinya sedikit tergores. Ia menatap ke bawah dan mengambil bola milik Tenten.
"Li-lihat, ini indah!" kata Tenten.
Sebuah sungai kecil yang tampak jernih memantulkan bayangan mereka, dan di belakang itu, pepohonan rimbun berdiri tegak dan rapat.
"Ah, aku pernah membacanya, hutan ini adalah perbatasan Konoha, dan jauh ke sana akan menerobos ke desa lain," kata Neji.
"Begitu ya," kata Tenten. "Ah, langit sudah sore, aku harus pulang." Anak itu mengambil bola dari tangan Neji.
Neji menatap langit, benar, matahari sudah berada di ujung barat. Seharusnya ia kabur lebih pagi tadi, tidak mungkin anak kecil seperti dirinya berkeliaran menjelang malam sendirian.
"Sepertinya aku juga harus pulang."
"Tapi, tunggu Neji, kita baru menemukan tempat ini. Dan sepertinya hanya kita yang tahu. Kita jadikan tempat ini hanya untuk kau dan aku. Berjanjilah, kau akan selalu datang padaku di tempat ini setiap hari Minggu," Tenten tersenyum sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
"Baiklah, aku berjanji," Neji mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Tenten, sebuah perjanjian telah dibuat saat itu…
…
Kata-kata Tenten saat itu terus terngiang di kepalanya, "…tempat ini hanya untuk kau dan aku." Neji memukul pohon dengan tangannya sampai buku jarinya terasa kaku. Ya, Tenten tidak boleh pergi, ia harus tetap disini, bersamanya…
To Be Continue!
Review?
