Sorry

Kevin masih diam bergeming. Sudah tak terhitung berapa orang pengunjung yang menabrak tubuhnya karena menghalangi badan jalan masuk gereja. Sepasang matanya tak putus memandangi seorang lelaki yang duduk kursi paling belakang. Lelaki itu nampak hikmad berdoa, menautkan kedua tangannya sambil menunduk dan melafaskan kalimat yang tak dapat Kevin dengar.

"Hey, jika kau mau masuk cepat masuk. Jangan menghalangi jalan!" seru seorang ibu gemuk yang badanya tak muat memasuki ruang selebar satu meter. Tapi Kevin berdiam mengacuhkanya. Matanya tak luruh memandang lelaki yang sangat dia kenal. Yang selalu muncul dalam mimpinya, yang telah ia cari selama ini.

"Huang Zi Tao" mulut Kevin bergerak begitu saja. Orang-orang yang merasa jengkel sengaja menabrakkan tubuh mereka ke Kevin. "akhirnya aku menemukanmu" lanjutnya, seraya menyunggingkan sebuah senyuman. Mengabaikan gerutuan tak suka para pengunjung yang merasa terganggu akan kehadirannya.

Aku menemukanmu …

.

.

.

"kenapa kau memandangiku seperti itu, Zi Tao?"

"kenapa, kau merasa di rugikan, Luhan?" lelaki bernama Zi Tao balik bertanya. Membuat lelaki yang sedari tadi dipandanginya mengerucutkan bibir sebal.

"hey, apakah salah jika seorang kakak memandangi adik kesayangannya sebelum dia kehilangan penglihatannya? Salah?" Zi Tao melotot kesal. Ingin sekali menoyor kepala Luhan jika ia dapat menjangkau sang adik yang berdiri lumayan jauh darinya.

"kau belum tentu kehilangan penglihatanmu Zi Tao, berpikirlah positif!" omel Luhan sembari bercacak pinggang.

"kemungkinan buruk itu juga bisa terjadi padaku, kau ingat? Berpikirlah realistis! Dan jangan bersikap lancang, kau lebih muda dariku!"

"baik-baik, maaf" lelaki dengan garis wajah tipis layaknya anak perempuan itu berbicara setengah menggerutu, "tapi jangan menatapku dengan tatapan khawatir seperti itu lagi! Yang harus di khawatirkan itu dirimu, bukan aku!" lanjut Luhan seraya mendekati sang kakak yang duduk di atas salah satu kursi taman rumah sakit. "kau harus berhenti mengkhawatirkanku Zi Tao …" Luhan menatap lekat-lekat sang kakak.

Zi Tao tak langsung menjawab. Memilih diam sejenak, sembari mengalihkan pandangannya ke arah sudut taman dimana sepasang burung gereja sedang asik berkicau di dahan pohon sakura yang sedang meranggas. "dengar Luhan, sebenci apapun aku terhadapmu, semarah apapun aku padamu, aku tetaplah kakakmu. Dan hingga nafasku sampai di kerongkongan pun, kau akan tetap menjadi adikku." Zi Tao masih enggan menatap sang lawan bicara. Mata emerald miliknya sibuk mengikuti gerak lincah burung-burung kecil itu berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya.

"seorang kakak yang jahat sekalipun terkadang mengkhawatirkan adiknya. Apakah dia baik-baik saja, apa yang tengah dilakukannya? Sekalipun hanya pemikiran kecil, seorang kakak pasti memikirkan adiknya. Begitu pula aku. Sekalipun aku jahat padamu, sering kali menyakitimu, hingga ajal menjemput pun aku akan tetap mengkhawatirkanmu." Zi Tao menatap sang adik yang sudah memandanginya dari tadi. "karena kau adikku, Luhan. Maka aku akan selalu mengkhawatirkanmu sekalipun aku sangat membencimu." Lelaki bermata unik itu memamerkan senyuman tipis.

"omong kosong" ucap Luhan tajam. "kau bahkan tidak pernah berhenti mengkhawatirkanku satu menit pun. Lantas bagaimana caramu untuk menyakitiku? Dan apa tadi? Membenciku? Jangan bercanda Zi Tao, kau tidak pernah membenciku sekalipun aku merusak foto kesayanganmu."

Zi Tao terkekeh kecil. Bangkit dari tempat duduknya, seraya menghela nafas panjang. "ada banyak waktu dimana aku merasa sangat membencimu dan menyakitimu tanpa kau sadari, adikku," Zi Tao melebarkan senyumannya. "sudahlah, aku ingin pergi jalan-jalan"

"tunggu, kau tidak boleh pergi sendiri! Matamu …" Luhan tak dapat melanjutkan ucapannya. "sudah kukatakan berapa kali padamu? Aku masih bisa melihat. Belum buta!" sungut Zi Tao kesal.

.

.

.

Lelaki bermata emerald itu tersenyum kecil. Lucu sekali mendapati seorang remaja—yang menurutnya—seumuran dirinyanya berdiri di belakang rombongan siswa taman kanak-kanak yang sedang memandangi kandang lemur di sebuah kebun binatang yang di dominan para anak-anak kecil dan orang dewasa. Ia berdiri tepat di samping lelaki itu. Melihatnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan dan membidik seekor lemur menggunakan kameranya.

"kau menyukai mereka?" tanya Zi Tao. Memandang lelaki seumurannya, yang masih hikmad memandangi tingkah polah hewan-hewan mamalia yang asik bercengkrama dalam kandang di hadapan mereka. Lelaki itu menoleh, mendapati Zi Tao yang kembali mengambil foto seekor lemur yang sedang makan.

"tidak, tapi mereka menarik. Kau menyukai mereka?" lelaki tersebut balik bertanya. Zi Tao mengangguk beberapa kali sembari tersenyum. "aku menyukai semua hewan mamalia kecil seperti mereka" jawabnya sambil kembali mengambil gambar.

"sendiri?" Zi Tao bertanya sembari memandangi hasil jepretannya.

"yah, begitulah" jawab lelaki tersebut seraya mengikuti Zi Tao yang berpindah ke kandang tupai terbang.

"kau penyuka hewan?" lelaki bermata emerald itu menatap lawan bicaranya sejenak. "tidak" jawab sang lawan bicara singkat.

"lalu kenapa ke sini?" Zi Tao tertawa kecil.

"ibuku memaksaku keluar rumah. 'beradaptasi,' dia bilang. Tapi sial, aku tidak memiliki teman dan tidak mengenali tempat beradaptasiku sehingga terdampar di sini" kata lelaki itu sembari membaca info kecil mengenai hewan pengerat di hadapannya.

"oh ya? Kenapa bisa begitu?" Zi Tao mulai memperhatikan si lawan bicara.

"satu-satunya tempat yang kuingat setelah lama meninggalkan Jepang hanya di sini. Jadi yah … seperti itu lah" remaja itu mengangkat kedua bahunya tinggi-tinggi. Antara malas menjelaskan alasannya, dan bingung mengutarakan perasaannya.

"mau kutemani?" tawar Zi Tao. Tersenyum bersahabat, sambil sedikit memiringkan kepala. "aku bisa mengajakmu ke beberapa tempat yang sedikit lebih bagus dari pada di sini," lanjutnya, beralih tersenyum sinis.

"tentu," jawab lelaki tersebut seraya tersenyum kecil. "namaku Kevin Wu" ucapnya sembari mengulurkan tangan.

"panggil aku … Edison" Zi Tao menjabat tangan Kevin sejenak. "kau orang ingris?" selidiknya. Memandang dengan mata menyipit, sekaligus memperhatikan penampilan lelaki di hadapannya yang tak nampak seperti lelaki Jepang pada umumnya. Kevin menggeleng cepat. "aku berasal dari Perancis" lelaki itu menunjuk mata kelabunya, "sama seperti ibuku." lanjutnya.

Zi Tao membulatkan mata. "kau berasal dari Perancis? Wah! Ibuku juga keturunan Perancis. Kau tinggal di mana?" tanya Zi Tao, saat keduanya berjalan menuju kandang hewan malam.

"Marseille" jawab Kevin mantap. "dari siapa kau mendapatkan mata seperti itu?" lanjutnya, seraya menunjuk bola mata Zi Tao yang tak biasa di miliki orang Asia pada umumnya.

"sama sepertimu. Dari ibuku, dia keturunan Inggris" tutur Zi Tao, sembari mengangkat kameranya dan mengambil gambar seekor kuskus.

"apa ayahmu orang China?" ucap Kevin dan Zi Tao bersamaan. Keduanya tersenyum.

"kau dulu," ujar Kevin mempersilakan. "ya, ayah kandungku orang China. Tapi aku belum pernah menginjakkan kaki di China, sejak kecil aku di sini. Di Jepang. Kau sendiri?"

"yah, ayah tiriku orang China. Jadi sekarang aku menyandang nama marganya. Ayah kandungku orang Korea. Aku lahir di Kanada, sempat tinggal di sini hingga usiaku tujuh tahun, lalu pindah ke Prancis. Dan sekarang, aku kembali ke sini."

.

.

.

Seperti anak gadis …

Batin Kevin sambil memandangi Zi Tao.

Kini lelaki bermata emerald itu tengah asik menikmati pemandangan Tropical Land dari dalam bianglala raksasa yang sedang di naikinya. Sesekali mengambil gambar yang menurutnya indah, atau hanya diam memperhatikan pemandangan taman hiburan tersebut dari balik jendela. Usai berjalan-jalan di kebun binatang, Zi Tao langsung membawa Kevin menuju Tropical Land yang menjadi tempat kesukaanya. Mengajak teman barunya itu menaiki beberapa wahana dan menemaninya mengambil gambar.

Kevin hanya menurut saja, toh dia memang memiliki waktu luang dan cukup terbantu dengan keberadaan Zi Tao yang bisa di jadikan sebagai pemandu sekaligus teman bicara.

"kenapa melihatku seperti itu?" tanya Zi Tao ketika sadar tengah diperhatikan. Kevin tertawa.

"lucu saja" ucapnya jujur. Tertawa kecil sembari menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. Zi Tao menyipitkan mata. "apa yang lucu?" tanyanya heran.

"umh … jarang saja ada lelaki yang mau mengajak teman laki-lakinya menaiki bianglala" tuturnya sembari menahan tawa.

Kevin dapat melihat raut wajah Zi Tao yang berubah, namun lelaki itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis dan kembali memandang ke luar jendela.

Zi Tao masih saja diam mengatupkan bibir tipisnya hingga mereka turun dari bianglala. Kevin merasa bersalah, 'apakah aku salah bicara? Apakah dia sakit hati?' pertanyaan itu mulai berkecamuk dalam benak lelaki bermata kelabu tersebut.

"Edison-san …" panggilnya, sembari menarik lengan Zi Tao perlahan.

Berbagai emosi berkelebat dalam mata emerald itu, tapi Kevin tidak dapat mengartikannya. Ia hanya bisa memandangnya dan berkata, "maaf … aku tidak bermaksud menyinggungmu."

Zi Tao tersenyum canggung. "tidak apa-apa, aku tahu kau tidak bermaksud seperti itu." ucapnya dengan suara lirih. "maaf, aku harus segera pergi. Terima kasih sudah menemaniku …" Zi Tao melepaskan pegangan tangan Kevin seraya membungkuk hormat, dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari meninggalkan Kevin.

"bukankah aku yang harusnya berterima kasih?"

Tanya Kevin pada dirinya sendiri.

.

.

.

Luhan menatap nanar lampu merah itu. Sudah lima jam berlalu dan operasi masih berlangsung. Ia mendongakkan kepala hingga kedua mata kelabunya menatap jelas langit-langit rumah sakit yang berwarna putih. Pikirannya melayang ke saat sebelum Zi Tao akan melakukan operasi.

Setelah melakukan sedikit pemeriksaan menjelang operasi, Luhan segera menarik Zi Tao menuju kamar dimana Ayah dan Neneknya sudah menunggu. Namun sebelum tangan kanannya menyentuh gagang pintu ruangan kamar sang kakak, ia mendengar sebuah pekikan yang membuat tubuhnya langsung membeku di tempat.

"tapi ibu, Zi Tao bukan anakku!" suara Ayahnya terdengar tak menyenangkan.

"tapi bukan berarti kau bisa memperlakukannya sesuka hatimu … apa kau tidak melihat betapa Luhan menyayanginya? Kita masih memiliki waktu yang cukup untuk mencari donatur jantung Luhan yang baru," Luhan terdiam. Sejenak ia merasa linglung. Zi Tao bukan kakak kandungnya? Dan ayahnya menginginkan Zi Tao menjadi donatur jantung untuknya? Tanpa sadar Luhan menajamkan pendengaran. Mengabaikan Zi Tao yang menarik-narik pergelangan tangannya agar segera meninggalkan tempat tersebut.

"aku ingin dia mendapatkan hukuman yang setimpal karena membuat Luhan kehilangan Ibunya!"

"Joongmyeon! Tidakkah kau sadar apa yang telah kau lakukan pada keluarga Zi Tao!" Luhan dapat mendengar suara neneknya yang meninggi. "Bahkan setelah membunuh Ayahnya, membohongi Ibunya, dan merampas perusahaan keluarganya! Dan kau masih menganggapnya sebagai penyebab kematian Xia Lee?! apakah kau tidak memiliki hati nurani?!" seketika tubuh Luhan gemetar hebat. Ayahnya seorang pembunuh dan penipu?!

"aku tidak peduli!" Zi Tao langsung menarik Luhan meninggalkan kamarnya. Sayu-sayu Luhan dapat mendengar teriakan tertahan sang ayah yang bersikeras membuat Zi Tao mendonorkan jantungnya untuk Luhan.

Tanpa lelaki itu sadari, setetes air mata mengalir membasahi pipinya.

Apa yang sebenarnya terjadi di antara Ayah dan kakaknya?

Luhan terdiam, menatap lurus pemandangan taman rumah sakit yang sepi karena malam mulai menjelang. Samar-samar, ia dapat melihat wajah Zi Tao yang sedih, namun ia tersenyum dan membelai wajah Luhan dengan tangannya yang dingin.

"maafkan aku …" ucap Zi Tao lirih. "kupikir akan jauh lebih baik jika kau tidak mengetahuinya hingga aku mati nanti" lanjutnya sembari menunggingkan senyum—getir.

Nafas Luhan tersedat. Tak habis pikir bagaimana bisa orang yang telah menemaninya selama bertahun-tahun itu bukanlah kakak kandungnya. "sejak kapan kau mengetahuinya?" Luhan bertanya sembari menghapus lelehan air mata yang membasahi pipinya.

"saat ulang tahunmu yang 12" tutur Zi Tao.

"tapi bagaimana itu bisa terjadi?! Kita lahir di waktu yang sama! Bahkan golongan kita sama! Ayah pasti berbohong! Iyakan Zi Tao? Ayah berbohong, Zi Tao …"

"kita tidak lahir di saat yang sama Luhan" lirih Zi Tao nyaris tak terdengar. "Kau terlahir setahun sesudahku, nenek pernah mengatakannya padaku."

"tapi … golongan darah kita …"

"itu tidak dapat membuktikan jika kau adik kandungku, Luhan," Zi Tao menghapus air matanya hingga kering. Lalu ia melanjutkan, "anggap saja kau tidak pernah mendengarnya"

"b-bagaimana bisa?!"

"aku tidak ingin terjadi masalah,"

"t-tapi …"

"sudahlah Luhan, apapun yang terjadi kau akan tetap menjadi adikku" Zi Tao menempelkan bibirnya yang dingin ke pipi Luhan sejenak. "Tao…" belum sempat menyelesaikan perkataanya, seorang perawat memanggil nama Zi Tao untuk segera melakukan persiapan operasi.

Sekarang Luhan duduk menunggu dengan tegang. Ia memandangi sekeliling ruangan. Neneknya terlihat membaca do'a hikmad. Luhan tidak tahu neneknya itu berdo'a demi keselamatan Zi Tao pribadi ataukah sama seperti ayahnya yang hanya khawatir kalau saja terjadi 'sesuatu' pada calon pendonatur jantung bagi anaknya itu.

Tak jauh dari pintu operasi, terlihat seorang lelaki yang Luhan kenal sebagai guru melukis di sekolahnya. Guru muda bernama Yi-Xing itu nampak begitu camas, dia berulang kali berjalan mondar-mandir dan tak henti-hentinya meremas jemari tangannya. Terlihat kalut, seolah-olah Zi Tao anak kandung kesayangannya yang tengah berada dalam kondisi kritis dan siap mati.

Yah, bisa saja hal paling buruk itu terjadi. Tetapi mendengar pemberitaan dari perawat, sejauh ini perkembangan yang di berikan cukup positif. Setidaknya lelaki itu bisa sedikit tenang.

Luhan menoleh ke kanan. Tak jauh darinya, duduk tiga orang lelaki yang ia kenal sebagai teman dekat Zi Tao. Seorang lelaki yang terlihat paling muda merupakan teman sekelas kakaknya. Luhan cukup mengenalnya, namanya Byun Baekhyun. Remaja keturunan Korea yang menjadi bintang sekolah akan kecerdasannya. Lelaki pendiam dan jarang bergaul, tetapi akan berubah berisik dan bawel jika Zi Tao sudah berada di dekatnya. Di sampingnya duduk Do Kyungsoo. Kakak kelasnya yang merupakan senior dari Zi Tao di eskul fotografer sekolahnya. Lelaki yang di kenal tenang itu pun nampak begitu cemas, berulang kali memandang jam tangan, berdecak kesal, lalu menghela nafas panjang yang terdengar begitu berat.

Yang terakhir adalah Kim Jongin. Teman sekelasnya. Terkenal sebagai siswa paling liar di tempat dia dan kakaknya bersekolah, sangat sering membuat masalah, juga sangat suka berkelahi. Anak pemilik sekolah yang terkenal tak tahu tatakrama dan sopan santun, tidak tahu malu, dan seorang kapten tim basket yang membuat nama sekolahnya terkenal hingga tingkat nasional.

Luhan agak heran melihatnya berada di sini. Mereka memang berteman, tapi Luhan tidak pernah berpikir sedikit pun jika orang macam Jongin mau menunggu operasi yang berlangsung lama tersebut.

Luhan kembali mendongak menatap langit-langit rumah sakit.

Berapa lama lagi?

Apa Zi Tao akan baik-baik saja?

Semoga Zi Tao selamat.

Semoga Zi Tao tidak kehilangan penglihatannya.

Semoga Zi Tao tidak menjadi donaturnya.

Semoga Zi Tao …

Tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki memasuki ruang tunggu. Para dokter dan perawat yang baru saja keluar dari ruang operasi tersebut melangkah sembari melepas masker yang memutupi wajah mereka masing-masing. Guru Zi Tao langsung menyerbu ke arah seorang dokter diikuti Luhan dan teman-teman Zi Tao yang lainnya. Ayahnya masih terduduk di kursi, sementara neneknya menatap dengan tatapan yang tak dapat di tebak.

"operasinya berjalan dengan baik" dokter tersebut menenangkan orang-orang yang mengerubunginya. "tetapi penglihatan Zi Tao tidak dapat di pulihkan. Maaf"

.

.

.

.

"Zi Tao!"

Zi Tao mendengar seruan Jongin sebelum dirinya mendarat di lantai dan kepalanya membentur sesuatu yang keras. Sesuatu yang berat menindih tubuhnya. Ia tidak dapat berbicara dan hampir tidak bisa bernapas.

"Zi Tao! Zi Tao kau baik-baik saja? hey, apa kau buta!"

Zi Tao mendengar suara Jongin yang cemas, tetapi ia tidak bisa menjawab. Ia sudah dapat bernafas dengan baik sekarang, namun satu hal yang membuatnya heran, kenapa sahabatnya itu meneriakinya buta? Bukankah dia memang buta?

"maafkan aku, aku tidak sengaja, sungguh. Maaf!" terdengar suara lagi. Suara asing. Kali ini suaranya terdengar lebih cemas lagi, "kau baik-baik saja, tuan?"

Zi Tao berusaha duduk. "Zi Tao, apa ada yang sakit?! Jawab Zi Tao … Zi Tao?"

"tanganku …" ucap Zi Tao ketika merasa sakit yang mulai menyerang tangan kanannya.

"oh lord! Lihat perbuatanmu!"

"aku sungguh tidak sengaja! Apa yang harus kulakukan?!"

Zi Tao tak mengetahui apa yang terjadi di hadapannya. Ia hanya mendengar Jongin yang terus mengumpat dan suara asing yang terus-menerus meminta maaf. "Kai …" panggilnya sambil menahan sakit. Tangan kanannya terasa seperti di tusuk-tusuk.

Tiba-tiba saja tubuhnya terasa melayang ke atas. "Kai!" Zi Tao berteriak kaget.

"hey apa yang kau lakukan?!"

.

.

.

Terdapat banyak Typo?

Ada kejanggalan?

Nan Mianhamida~ m(_ _)m

Next? ._.)?