Terima kasih semua yang telah membaca Rose Weasley dan Iris Zabini. Thanks juga sudah menemaniku selama empat minggu ini. FanFic ini tidak akan jadi tanpa ada pembaca... Rama Diggory Malfoy, Aleysa GDH, Putri, zean's malfoy, Reverie Metherlence, winey, Beatrixmalf, shine, degrangefoy, Nicolle Angevines, SpiritSky, Arisha inihara, Phieranpoo, yanchan, aniranzracz, Naffauziyyah, moofstar, Little Lily, meemei, SeerNight11, Yukko Orizawa, LITA, narasaku20: Thanks for the Review. Para Reviewer-lah yang membuatku tetap bersemangat untuk menyelesaikan cerita ini. Makasih semuanya!
Disclaimer: J. K. Rowling
ROSE WEASLEY DAN IRIS ZABINI 2
CHAPTER 1
Rose's POV
Aku, Rose Weasley, sembilan belas tahun, cewek biasa dengan rambut merah sepinggang dan bintik-bintik di wajah. Saat ini aku sedang mengikuti pelatihan sebagai seorang Pemunah Kutukan di Wellington, Selandia Baru.
Wellington adalah ibukota Selandia Baru, terletak di Pulau Utara, merupakan kota terbesar kedua setelah Auckland. Iris dan aku menyewa apartemen dua kamar di sebuah daerah yang ramai di Lyall Bay. Lyall Bay adalah wilayah tempat tinggal Muggle yang terkenal akan pantainya yang tenang dan indah. Iris dan aku bisa menikmati pemandangan pantai ini dari teras apartemen kami di tingkat sepuluh gedung Lyall Apartement Center.
Sebelum berangkat ke Selandia Baru, Iris dan aku telah menghabiskan liburan musim panas kami dengan membujuk orangtua kami masing-masing. Mom, Dad dan seluruh keluarga tidak menyetujui rencanaku ini. Mereka lebih suka aku berkarir di Kementrian Sihir Inggris dari pada mengabdikan diri di negara lain. Setelah banyak perdebatan dan airmata dari Mom, semua setuju memlepaskan aku belajar menjadi seorang Pemunah Kutukan di Selandia Baru, dengan syarat aku harus selalu pulang saat liburan natal. Meskipun pada bulan Desember kami di Selandia Baru menikmati musim panas yang sangat menyenangkan.
Mengurus perpindahan kependudukan tidaklah mudah. Aku harus menjalani pemeriksaan di Depertemen Kerjasama Sihir Internasional di Kementrian, mengatur tanda pengenal dan mengatur portkey sekali pakai ke Selandia Baru, tepatnya Wellington. Mentri Sihir, Kingsley Shacklebolt, yang adalah sahabat keluarga kami juga telah menghubungi Mentri Sihir Selandia Baru untuk mengijinkan kami tinggal di wilayahnya selama sekitar empat tahun dalam pelatihan sebagai seorang Pemunah Kutukan.
Kami telah menjalani pelatihan sebagai Pemunah Kutukan selama enam bulan. Aku lumayan menikmati pelatihan itu. Selama enam jam setiap hari (kecuali Sabtu dan Minggu), kami harus mempelajari Rune Kuno, Kutukan dan Kontra Kutukan, Dasar-Dasar Mantra Penyembuhan, dan Pengenalan Target Kutukan. Pada hari-hari khusus yang sudah di tentukan oleh para instruktur, kami harus mengadakan praktek lapangan dengan menemani para senior mengunjungi tempat-tempat tertentu untuk memunahkan kutukan.
Di waktu luang kami, setelah enam jam mengikuti pelatihan, kami bekerja di toko roti Muggle di tepi pantai dekat apertemen kami. Kami bekerja untuk membiayai sewa apartemen Muggle kami. Sebagai tambahan aku menulis untuk kolam surat kabar Selandia Baru, Daily Charm, untuk mendapatkan sejumlah Galleon, sebagai biaya pembelian beberapa keperluan penting dalam pelatihan sebagai Pemunah Kutukan. Iris sendiri mengerjakan tugas administrasi bank penyihir Selandia Baru, Rimutaka, di sela-sela pelatihnya.
Aku duduk di teras apartemen sambil memandang pantai yang sepi di bawah. Sekarang bulan April, musim gugur dan udaranya cukup dingin sehingga tidak ada yang cukup berani untuk berenang. Aku mengela nafas memikirkan Inggris. Pada bulan seperti ini, seharusnya aku bisa menikmati musim semi yang indah di Inggris. Rumput-rumput di kebun di belakang rumahku pasti telah dipenuhi bunga yang beraneka warna. Aku yakin Grandma Molly pasti akan sangat kecewa karena aku melewatkan liburan Paskah di Selandia Baru lagi.
"Sedang apa?" tanya Iris, membawa dua cangkir coklat hangat, memberikan satu padaku, kemudian duduk di sampingku.
"Aku teringat Inggris," jawabku sedih.
"Ya, sekarang bulan April, liburan paskah... harusnya kita berkumpul bersama keluarga kita."
"Apakah kau sudah membalas surat orangtuamua?" tanyaku. Aku tahu Iris baru saja mendapat berita tentang kemajuan perusahan keluarganya dari Mrs. Zabini.
"Sebentar malam... aku tidak bisa mengirim burung hantu jam begini. Hari masih terang."
"Tak ada Muggle yang melihat," kataku memandang pantai dibawah.
"Kita tidak bisa mengambil resiko kan?" kata Iris memandang ke jalanan di bawah.
"Bagaimana kencanmu semalam?" tanyaku.
Iris adalah gadis cantik dengan rambut hitam berkilau dan mata abu-abu yang indah. Cowok-cowok Muggle di tempat kerja kami di toko roti, Mr. Martin' s Bakery, banyak yang mengajaknya kencan. Lalu Iris, cewek dengan hati yang sangat lembut tidak menolak salah satupun dari mereka jadi setiap malam Iris pasti punya satu kencan, kadang-kadang dua tergantung keadaan. Kalau itu terjadi, aku lah yang harus meminum Ramuan Polijus dan menemani salah satu kencannya.
"Biasa saja... Philip tidak terlalu terkesan padaku. Dan aku sangat bersyukur untuk hal itu."
"Apakah dia menciummu?"
"Ya... tapi aku tidak terlalu antusias karena itulah dia memutuskan hubungan denganku."
"Syukurlah! Aku tidak begitu suka dengan cowok Muggle terakhirmu itu."
"Ya... ya, aku mengerti. Ngomong-ngomong malam ini aku ada kencan lagi, Rose, dan aku tidak bisa pergi aku harus ke Rimutaka untuk mengurus beberapa hal."
"No way, aku tidak mau menggantikanmu lagi, Iris. Kencan yang terakhir itu sangat menghebohkan, kau sudah mengetahuinya, aku dimaksa makan makanan vegetarian yang sama sekali bukan seleraku. Kali ini tidak... aku tidak mau."
"Kumohon, Rose! Aku tidak bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan, kecuali Ramuan Polijus."
"Tidak!"
"Aku akan membelikan kue coklat untukmu."
"Tidak!"
"Bagaimana kalau selama seminggu ini aku akan memasak untukmu? Aku akan menghidangkan ayam goreng penuh kalori kesukaanmu."
"Hei, kalori sangat penting."
"Terserah! Bagaimana? Bisakah kau menemani Jason malam ini?"
"Entahlah! Siapa Jason?"
"Dia instruktur renang di Lyall Swimming Center... cowok yang benar-benar tampan, Rose dan kau tidak akan rugi."
"Ok!"
"Terima kasih, Rose! Bagaimana kalau kau bersiap-siap sekarang... aku janji bertemu dengannya di depan gedung ini jam tujuh."
"Baiklah!" kataku, menghabiskan coklat hangatku dan berjalan menuju kamar mandi.
Selandia Baru memang sangat baik untuk Iris. Segalanya langsung berubah. Dia tidak lagi menyembunyikan diri, tapi membuka diri, berkencan dengan banyak cowok Muggle dan kadang membuat dirinya dalam masalah. Pernah ada cewek Muggle datang marah-marah di apartemen kami karena cowoknya berkencan dengan Iris. Iris yang tidak tahu apa-apa menghindar dan tinggalkah aku yang mengucapkan Jampi Memori, membuat cewek itu melupakan maksud kedatangannya ke apartemen kami.
Dia juga selalu berhasil melakukan ini, membujukku untuk menggantikannya. Untung saja semua kencan yang kualami berakhir dengan buruk, yang pasti melibatkan Jampi Memori. Aku tidak ingin terlibat dengan cowok Muggle, yang menurutku akan mendatangkan masalah di kemudian hari. Iris juga begitu. Menurut Iris, cowok-cowok Muggle ini hanyalah penghiburan di kala sepi saat dia merindukan Inggris. Aku benar-benar bersyukur Iris tidak tidur dengan salah satu dari mereka. Dia selalu berhasil menggunakan Jampi Memori di saat-saat terakhir, kalau salah satu dari kencannya punya niat ke arah sana.
Aku keluar kamar dengan mengenakan sweater hitam tebal dan celana kain berwarna krem. Di atas meja telah tersedia Ramuan Polijus yang berwarna biru bening, berisi rambut Iris.
"Ingat, Rose, kau tidak boleh mengatakan hal-hal aneh pada Jason. Aku ingin mempertahankannya karena menurutku dia adalah cowok keren yang benar-benar baik," kata Iris, saat aku sedang meminum Ramuan Polijus.
Setelah efek Ramuan Polijus hilang, aku berdiri di cermin dekat pintu dan mengamati penampilanku. Sempurna! Aku sekarang memiliki rambut hitam dengan mata abu-abu.
"Aku sudah menyihir Ramuan itu agar bisa bertahan selama empat jam, Rose, tapi aku juga telah memasukkan Ramuan Polijus tambahan ditasmu."
"Terima kasih. Apa yang harus aku lakukan? Maksudku apa yang harus kubicarakan dengan Jason... Jason siapa?"
"Jason Cook. Kau tidak perlu melakukan apa-apa cukup duduk manis dan mendengarkannya menceritakan pengalamannya di Lyall Bay Swimming Center."
"Kencan yang sama sekali tidak menyenangkan. Pasti ceritanya sangat membosankan."
"Cukup menarik, kalau kau suka berenang."
"OK! Aku akan mencoba untuk tidak memantrai sekitarku dengan Muffliato."
"Kau tidak boleh melakukan itu, Rose!"
"Baiklah! Aku pergi... sampai jumpa!"
Aku berjalan keluar apartemen dan menuju lift Muggle. Awalnya, aku tidak terbiasa dengan barang Muggle yang aneh ini. Aku seperti merasa ada dalam ruangan sempit tertutup yang menyesakkan, tapi lama-lama terbiasa juga. Meski kadang-kadang tombol-tombol lift ini sangat membingungkan.
Aku masuk ke lift dan lift-nya bergerak menuju lantai satu. Aku melambai pada Edward, pengawas gedung saat melewatinya di meja jaga dan menuju taman di depan gedung. Di taman itu tersedia bangku-bangku kayu panjang bagi pengunjung gedung.
"Iris!" seru salah seorang cowok yang duduk di salah satu bangku.
Cowok itu tinggi dengan dada bidang, berambut coklat dan bermata hijau. Ya, mata hijau. Semua kencan Iris adalah cowok-cowok dengan mata hijau. Aku curiga Iris tidak pernah melupakan Al.
"Hai, Jason!" kataku tersenyum. "Maaf! Apakah kau sudah lama menungguku?"
"Baru lima belas menit yang lalu," kata Jason, tersenyum.
"Maafkan aku!"
"Tidak apa-apa, Iris. Ayo, aku sudah membelikan tiket pertunjukan Swan Lake di St. James Theatre."
"Swan Lake? Danau Angsa? Jadi, kita harus membeli tiket hanya untuk menonton angsa di danau?" tanyaku heran. Muggle kadang-kadang sangat mengherankan. Ada-ada saja yang mereka lakukan untuk menghibur diri.
"Iris? Ini adalah pertunjukan Royal New Zealand Ballet. Swan Lake, pertunjukan balet," kata Jason, memandangku seolah aku adalah alien yang baru saja turun ke bumi.
"Ohya.. er, aku lupa kalau itu pertunjukan balet," kataku tergesa-gesa. "Bagus! Kelihatannya benar-benar menarik!"
Beginilah kalau berkencan dengan Muggle, kau tidak akan menduga apa yang akan mereka katakan berikutnya. Apapun yang mereka katakan seperti kata-kata baru bagimu. Balet? Aku tidak tahu apa yang dia maksudkan dengan balet? Harusnya aku mengambil kelas Telaah Muggle dulu.
Jason dan aku naik bus menuju Courtenay Place dan langsung menuju St. James Theatre tempat balet Swan Lake diadakan. St. James Theatre adalah gedung besar berwarna coklat dan lantai dua gedung ini adalah tempat pertunjukan Arts Show.
Jason dan aku langsung menuju lantai dua, memberikan tiket kami pada penjaga pintu dan langsung memasuki ruangan semacam aula dengan panggung di ujung ruangan dan kursi-kursi berlengan nyaman terletak berderet sampai ke belakang.
Ternyata balet adalah semacam tarian, yang menceritakan kisah tertentu. Aku membaca program acaraku, kemudian mencoba untuk senang menonton cewek Muggle mengenakan tutu. Tetapi mataku tidak bisa diajak berkompromi. Aku memejamkan mata dan tertidur.
"Iris... Iris?"
Aku terkejut dan membuka mata. Jason sedang berdiri di atasku dan memcoba membangunkanku.
"Oh, Jason, maafkan aku. Aku lelah..." kataku, memandang arloji yang kukenakan. Tiga jam telah berlalu. Pertunjukan membosankan ini berlangsung selama tiga jam? Hah, syukurlah sudah selesai.
Jason dan aku berjalan menuju The Jimmy, sebuah cafe yang terletak di ruang bawah tanah gedung ini.
"Kau tidak menyukai pertunjukan balet?" tanya Jason.
Dia memesan dua cangkir kopi pada pelayan. Aku memandangnya dengan jengkel. Apakah laki-laki ini tidak menanyakan dulu apakah aku suka kopi atau tidak? Padahal aku sangat benci kopi. Aku tidak suka minuman hitam aneh yang pahit itu.
"Er, ya, cukup menarik," kataku tidak jujur.
"Bagaimana pekerjaanmu di toko roti?" tanya Jason, setelah pelayan meletakkan kopi di meja kami.
"Baik-baik saja! Mr. Martin menginginkan Rose dan aku bekerja lebih giat lagi."
"Rose? Temanmu yang berambut merah itu?"
"Ya..." jawabku. Aneh juga mendengar orang lain berkata begitu tentang dirimu sendiri.
"Pekerjaanku juga baik-baik saja. Baru-baru ini ada seorang anak kecil yang hampir tenggelam di tempat latihan kami, tapi aku berhasil menyelamatkannya."
Kemudian Jason mulai menceritakan kisah-kisah penyelamatannya yang spektakuler. Aku tidak begitu mendengarnya. Aku hanya memandangnya dan pikiranku kembali ke Inggris.
Scorpius dan aku berpisah tanpa kata. Setelah malam yang tak terlupakan di menara Astronomy, aku langsung pergi meninggalkan Scorpius dan tidak berbicara lagi denganya setelah itu. Aku merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Scorpius dan aku telah memilih jalan kami masing-masing.
Ada sesuatu yang aneh dengan diriku. aku tidak bisa melupakannya. Aku merasa seperti melihatnya saat aku berjalan di keramaian kota Wellington. Aku juga seperti melihatnya sedang duduk di sampingku dalam bus atau dalam kereta api. Aku seperti melihatnya di mana-mana. Dia selalu ada di mataku.
"Iris... Iris?"
"Apa, Scorpius?" tanyaku tanpa sadar, memandang Jason.
"Scorpius?"
"Er..."
"Siapa dia?"
"Er, dia..."
"Mengapa kau mau keluar denganku kalau kau punya cowok lain, Iris?"
"Maafkan aku! Aku... aku..."
"Aku mengerti, Iris," kata Jason, kemudian berjalan meninggalkanku.
"Hei, Jason!"
Jason berjalan keluar dengan membanting pintu di belakang.
Syukurlah! Kencan ini benar-benar parah! Aku benar-benar tidak menikmatinya. Aku meletakkan uang Muggle di atas meja untuk membayar kopi, lalu berjalan keluar cafe menuju toilet perempuan di sebelah kiri cafe. Untung toiletnya kosong. Aku bisa berubah menjadi diriku sendiri dalam beberapa menit lagi.
Setelah berubah menjadi diriku sendiri aku berjalan keluar St. James Theatre menyusuri Courtenay Place menuju halte bus. Aku harus segera pulang, masih ada artikel yang harus kutulis, tentang berita kematian beberapa penyihir Selandia Baru untuk Daily Charm.
Ya, itulah tugasku untuk Daily Charm, menulis artikel berita kematian. Kematian siapa dan apa saja, termasuk berita meninggalnya, kucing atau burung hantu kesayangan. Benar-benar suram! Aku bersyukur kalau bisa mendapatkan pekerjaan di Rimutaka, bank penyihir, seperti Iris. Galleon yang didapatkan di sana lebih besar dari pada di Daily Charm.
Iris' POV
Aku, Iris Zabini cewek sembilan belas tahun yang punya banyak penggemar Muggle. Aku telah banyak berubah sejak hari itu, sejak Albus meninggalkanku di koridor bawah tanah. Malam itu, aku menangis sepanjang malam dan tidak keluar untuk sarapan pada keesokan harinya karena mataku bengkak, bekas menangis.
Aku sudah mengatakan pada Albus bahwa aku mencintainya, tapi dia menolakku dan mengucapkan selamat tinggal. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk melupakannya, untuk melupakan bahwa aku pernah jatuh cinta padanya. Aku berusaha. Aku punya banyak teman kencan dan mereka membuatku mampu melupakan Albus. Tetapi aku tidak bisa selamanya bergaul dengan Muggle. Aku harus mencari pacar penyihir.
Di Rimutaka, tempat kami menjalani pelatihan sebagai Pemunah Kutukan, banyak cowok-cowok penyihir Selandia Baru yang tampan. Mereka memang melirik Rose dan aku, tapi Rose sama sekali tidak tertarik dan aku lebih tertarik pada instruktur kami dari pada sesama anggota pelatihan.
Pagi setelah liburan Paskah berakhir, Rose dan aku ber-apparate dari apartemen kami langsung ke Rimutaka. Seperti di Inggris, Rimutaka juga adalah gedung pualam putih besar yang dijaga oleh para Goblin. Goblin memang ada di mana-mana. Goblin-Goblin di sini bertampang suram, tapi sama menyebalkan dengan Goblin-Goblin Gringgots.
Rose dan aku memasuki gedung itu dan berjalan menuju bagian belakang gedung tempat pelatihan sebagai Pemunah Kutukan diadakan. Kami berjalan memasuki ruangan lumayan besar dengan kursi-kursi berlengan lebar sebagai tempat untuk menulis. Kami memilih dua kursi dibagian belakang dan duduk.
"Hari ini Rune Kuno?" tanyaku pada Rose. Aku tidak terlalu memperhatikan program pelatihanku karena sibuk mengerjakan pekerjaan administrasi.
"Kita sepertinya kita disuruh membaca kutukan di kuburan Wairiki 2, orang kaya raya dari suku Maori. Menurut berita di kuburan itu banyak terdapat emas," jawab Rose.
"Mengapa bukan para senior yang langsung pergi mengambil emas di tempat itu?"
"Itu tugas kita... aku belum tahu kapan, tapi kita harus berhasil menerjemahkan kutukannya dulu. Setelah itu kita harus mencari kontra kutukannya."
"Harusnya aku memilih karir sebagai pegawai administrasi saja," kataku merenung.
"Menurutku ini menarik. Praktek lapangan sebentar lagi dan kita bisa ke kepulauan Fiji untuk mencari kuburan-kuburan berharta."
"Pulau-pulau di kepulauan Fiji masih banyak yang belum terjamah, Rose, aku tidak mau ikut."
"Kau harus ikut. Kau anggota timku, dan aku tidak mengijinkan ada anggota tim yang bolos."
Aku mendengus.
Tiga bulan yang lalu kami sudah membentuk tim untuk praktek lapangan. Rose adalah ketua tim yang bertugas untuk memunahkan kutukan, Joseph Sebastian, yang lebih suka dipanggil Joe adalah penunjuk arah dan pembaca jejak dimana terdapat bekas-bekas kutukan, sedangkan aku adalah penetral kutukan, penyembuh jika ada anggota yang terluka dan sekaligus pencatat semua kegiatan kami.
"Mana Joe?" tanyaku, memandang keliling ruangan.
Ruangan ini telah penuh dengan para anggota pelatihan yang duduk masing-masing dengan kelompoknya.
"Entahlah, dia terlambat..."
"Rose... Iris!" terdengar suara dari pintu dan seorang cowok tinggi tampan, berambut hitam, bermata biru berjalan ke arah kami.
"Maaf terlambat!" kata Joe, langsung duduk disebelahku. "Aku harus mengantar cowok Munggleku dulu."
Aku tersenyum.
"Malam kami benar-benar menyenangkan..."
"Diam, Joe! Aku tidak ingin mendengar kisah percintaan kalian. Keluarkan huruf-huruf Rune yang kemarin diberikan instruktur Rune kita," kata Rose.
"OK! OK, Boss," kata Joe, sambil mendengus.
Kalian pasti sudah bisa menduganya. Ya, benar, Joe adalah gay, karena itulah kami bisa berteman akrab dengannya. Dia meskipun Kiwi (sebutan untuk orang-orang Selandia Baru), dia sangat mengerti sifat arogan Inggris kami dan kesopanan kami, yang menurutnya benar-benar keterlaluan.
Rose mengambil perkamen dari Joe dan mulai menerjemahkan Rune Kuno, yang bercampur dengan huruf Maori (suku bangsa asli Selandia Baru).
Aku tidak mengerjakan apa-apa hanya memandang Rose dan Joe yang berusaha menerjemahkan huruf Rune dan berdebat dengan Joe tentang beberapa kata Maori yagn tidak dimengerti Rose.
Instruktur kami, Derek Graham, memasuki ruangan. Derek adalah seorang laki-laki tampan berambut hitam dan bermata hijau. Benar-benar sempurna! Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya karena sibuk menatap wajahnya yang tampan dan mengagumi mata hijaunya yang indah.
"Miss Zabini? Kau baik-baik saja?" Derek telah berjalan menuju tempat kami dan mengamatiku dengan penuh perhatian.
"Oh, aku baik-baik saja Mr. Graham," kataku sopan.
"Aku pikir kau mungkin tidak berada bersama kami," katanya, tersenyum padaku.
Aku tersenyum dan menatap mata Rose yang mendelik padaku. Aku tidak berniat menggodanya. OK! Aku balas mendelik.
"Iris, bisakah kau menulis ini untukku," kata Rose, memberikan selembar perkamen padaku.
Aku mendengus dan menerimanya tanpa memandang Rose.
"Iris, jatuh cinta pada Derek!" kata Joe, memandang Derek dengan ingin. Ketika Derek berjalan untuk memeriksa tugas kelompok lain. "Kalau aku belum punya Toby, aku mungkin sudah menggodanya."
"Aku tidak jatuh cinta padanya," kataku.
"Ayolah, Iris, aku melihat bagaimana caramu memandang Derek. Kau seperti ingin memakannya."
"Aku tidak seperti itu... dan aku sama sekali bukan kanibal," kataku, mendengus.
"Oh, Iris Sayang, kau mengerti maksudku dengan 'makan'..." kata Joe, tersenyum genit.
"Bisakah kau tutup mulut, Joe! Aku tidak ingin mendengar pembicaraan anehmu itu," kata Rose, yang masih menunduk memandang perkamennya.
"Baiklah, Ice Princess! Apa yang harus aku lakukan lagi?"
Rose memberikan perkamen lain pada Joe, dan menyuruhnya menerjemahkan beberapa kata lagi. Aku memandang mereka sesaat kemudian melanjutkan menulis beberapa kata yang sudah diterjemahkan.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kencanmu dengan Jason, Rose?" tanyaku, teringat Jason. Aku belum sempat menanyakan tentang kencan itu karena aku sibuk di toko roti dan Rose juga mengurung diri di kamar mengerjakan tulisan duka cinta untuk Daily Charm. Jason sendiri tidak pernah menelpon aku lagi.
"Berantakan..." jawab Rose, tanpa mengangkat muka dari perkamennya.
"Ice Princess kita punya cowok. Siapa?" tanya Joe antusias.
"Pacar Muggleku. Rose menggantikan aku bertemu dengannya."
"Bagaimana?"
"Polijus, Joe... kau seperti bukan penyihir saja," kata Rose.
"Lalu bagaimana kencannya? Berhasil? Kalian mengunjungi hotel apa? Katakan padaku biar jadi referensi untukku."
"Ya, ampun, Joe! Pikiranmu itu, ya? Dengar! Tidak terjadi apa-apa. Dia pergi meninggalkanku."
"Rose, kau sudah berjanji untuk tidak merusak hubunganku dengan Jason," kataku, memandang Rose.
"Aku tidak sengaja..." kata Rose, menatapku. "Er, aku memanggilnya Scorpius."
"Scorpius!" desisku, tertahan.
"Scorpius? Cowok?" seru Joe.
"Kita sudah berjanji untuk melupakan cowo-cowok Inggris, Rose! Lihat aku, Rose, aku sudah banyak berubah. Aku bukan lagi Iris yang dulu. Aku mencoba berubah. Tapi kau? Kau malah bersikap aneh... kau bukan Rose yang dulu," kataku menatap Rose.
Rose memang banyak berubah, dia tidak ceria seperti dulu lagi. Dia banyak melamun dan kelihatan lebih serius dari biasanya. Dia juga kelihatan lebih tenang dan mencoba untuk menghindari orang-orang yang mendekatinya. Pantas saja Joe menjulukinya, Ice Princess, Putri Es.
"Aku tidak bersikap aneh, Iris... aku adalah Rose yang biasa. Kau lah yang bersikap aneh."
"Aku tidak pernah bersikap aneh..."
"Cowok-cowok itu, Iris! Semua adalah cowok-cowok yang memiliki ciri fisik yang sama dengan Al. Aku tahu kau belum melupakannya."
"Al?" tanya Joe, memandang Rose dan aku ingin tahu.
"Aku sedang mencoba! Dan aku tidak ingin kau menyebut namanya."
"Apa sebenarnya yang terjadi antara kau dan Al malam itu, Iris?" tanya Rose memandangku dengan tajam.
"Aku tidak ingin membicarakannya."
"Dengar! Kita harus membicarakannya dan..."
"Miss Weasley! Tim kalian bisa melaporkan hasil terjemahan kalian dan kita akan melihatnya bersama-sama," kata Derek, memandang kelompok kami.
"Baik, Sir!" kata Rose, mengambil perkamen dariku dan maju ke depan untuk melaporkan perkembangan hasil kerja kami.
Setelah dimemperbaiki beberapa hal dalam terjemahan kami. Kami diijinkan keluar untuk makan siang dan kembali lagi untuk kelas Pengenalan Target Kutukan.
"Ceritakan padaku tentang malam itu, Iris!" kata Rose, setelah kami duduk di restoran kecil di dekat Rimutaka. Di depan kami tersedia beberapa potong sandwich tuna. Joe telah pergi makan siang bersama pacar Mugglenya.
"Albus menolakku."
"Apa? Bagaimana?"
"Aku mengatakan bahwa aku mencintainya dan dia... dia menolakku... kami berpisah begitu saja. Dia bahkan tidak ingin mengunjungiku," kataku. Aku sebenarnya sudah ingin melupakan tentang ini, tapi Rose harus tahu, dia harus tahu mengapa aku berubah banyak.
"Oh... aku..."
"Karena itulah Rose, aku tidak ingin kau menyebut namanya lagi... aku ingin melupakannya. Aku berniat membangun kehidupan baruku di sini."
"Aku mengerti!" kata Rose, meremas tanganku.
"Kau juga Rose, kau harus mencoba untuk berkencan dengan orang lain... kau tidak boleh mengingat Scorpius lagi."
"Aku tidak..."
"Rose!"
"Aku akan mencobanya."
Kami berdua tersenyum kemudian menghabiskan sandwich kami.
Al's POV
Aku, Albus Potter cowok sembilan belas tahun, saat ini sedang menjalani pelatihan Auror di Kementrian Sihir. Saat ini aku menyewa apartemen di London-nya Muggle bersama seseorang yang baru saja menjadi temanku Scorpius Malfoy.
Mom dan Dad, bahkan seluruh keluarga merasa heran ketika tahu aku sekarang bersahabat dengan Scorpius Malfoy. Dad, senang karena dia merasa Scorpius Malfoy adalah laki-laki yang cukup menyenangkan. Uncle Ron kesal karena menurutnya Scorpius adalah penipu yang sedang berpura-pura menjadi baik.
Aku tidak peduli. Aku tahu Scorpius Malfoy bisa menjadi sangat baik kalau suasana hatinya sedang baik dan kadang-kadang menyebalkan juga, kalau sifat arogannya sedang kambuh.
Pelatihan Auror dilaksanakan di Kementrian Sihir, tepatnya di Markas Besar Auror. Dan ini sangat menjengkelkan aku, karena para anggota pelatihan lain merasa bahwa aku akan dianak-emaskan karena Dad, Harry Potter, adalah pemimpin kantor Auror. Tetapi aku berusaha bersikap sewajar mungkin, aku tidak ingin mereka berpendapat bahwa gosip itu benar.
Pelatihan Auror dilakukan setiap hari selama enam jam, kecuali Sabtu dan Minggu. Kami harus mempelajari Pertahan Diri, Penyelidikan, Penyamaran, Kode-Kode Rahasia dan Dasar-Dasar Penyembuhan. Beberapa instrukturnya adalah penyihir-penyihir yang sudah kukenal, seperti Mr. Ackroyd dan Mr. Battle, karena sering datang ke rumah. Uncle Ron dan Dad, kadang datang untuk melihat latihan kami, tapi aku tidak menyapa mereka karena aku tidak ingin aku berhasil menjadi Auror dengan gosip mendapat bantuan dari orang dalam.
Scorpius dan aku menghabiskan waktu luang kami dengan menjadi pegawai freelance di Kantor Auror. Ada banyak yang bisa kami lakukan, misalnya, mengantar pesan-pesan penting yang tidak bisa dilakukan oleh burung hantu, membantu menulis laporan-laporan panjang, atau membereskan berkas-berkas lama di beberapa lemari yang sudah berjamur.
"Apa yang kita lakukan malam ini?" tanya Scorpius, menyusun berkas berwarna kuning kusam yang berisi tentang penangkapan penyihir pencuri di Kent.
"Aku ada kencan dengan Ursula," jawabku. "Ingat dia? Cewek pirang cantik di Depertemen Kerjasama Sihir Internasional. Kita bertemu dengannya saat mengantar surat Mr. Battle."
"Cewek yang suka mengikik itu?"
"Ya, dia," jawabku. Melemparkan berkas yang sudah diatur ke dalam lemari. "Bagaimana denganmu? Bukankah kau dekat dengan Livia Wilkinson?"
Wilkinson adalah cewek sesama anggota pelatihan Auror yang sangat tertarik pada Scorpius dan Scorpius telah berkencan dengannya beberapa kali.
"Kami putus minggu lalu... aku tidak suka cewek yang terlalu menuntut ini dan itu setiap saat."
"Baguslah! Aku juga tidak menyukainya... bagaimana kalau teman Ursula, cewek berambut hitam berdada besar yang melirikmu saat kita hendak pulang."
"Baiklah! Dari pada aku sendiri di apartemen," kata Scorpius, menghempaskan berkas-berkas kuning lain dari lemari
Beginilah kehidupan kami. Kami menghabiskan malam kami berkencan dengan cewek-cewek yang berbeda, bahkan kami membawa mereka ke apartemen kami. Menghabiskan malam bersama, kemudian berusaha untuk menghindari mereka pada keesokan harinya.
Kau pasti berfikir bahwa kami adalah orang-orang brengsek yang hanya suka berpesta dan menikmati hidup. Begitulah kami, tapi kami bukan orang brengsek karena kami tidak pernah memaksa cewek-cewek itu untuk tidur bersama kami. Itu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Setelah membereskan pekerjaan kami di Kementrian kami menuju Sky Night di Diagon Alley. Sky Night adalah campuran antara diskotik dan night club yang dimiliki Muggle. Sky Night hanya dibuka malam hari yang memang dikhususkan untuk pemuda-pemuda seperti kami yang mencari hiburan. Tempat ini juga menyediakan ruangan karaoke kedap suara dan penginapan di lantai dua gedung.
Scorpius dan aku mengambil Whisky Api di bar dan mencari meja di pojokan. Scorpius sedang memandang penyanyi berambut merah yang sedang menyanyikan lagu syahdu di panggung dan beberapa pasangan sedang berdansa di lantai dansa.
Aku memandang arlojiku.
"Kok mereka belum muncul juga?" tanya Scorpius, memandang arlojinya sendiri.
"Mungkin sebentar lagi!" jawabku, memandang pintu masuk Sky Night.
Pintu terbuka dan seorang cewek berambut hitam masuk. Aku tertegun sesaat. Iris? Tidak mungkin dia ada di Selandia Baru. Cewek berambut hitam itu memandang keliling ruangan, seperti sedang mencari seseorang. Kemudian dari belakang cewek itu muncul cewek lain berambut pirang, Ursula. Lho? Dia teman Ursula? Mana si dada besar?
Ursula dan si cewek berambut hitam berjalan menuju ke arah kami. Aku memandang mereka mendekat. Si cewek berambut hitam tertanya memiliki mata abu-abu yang bercahaya seperti mata Iris.
"Hai, maaf terlambat... Freda tidak jadi ikut bersamaku. Jadi aku mengajak sepupuku, Viola," kata Ursula, setelah tiba di mejaku dan Scorpius.
"Tidak apa-apa... kami juga baru saja tiba," kata Scorpius, tersenyum pada Ursula dan Viola.
"Viola, ini Al dan Scorpius..."
"Hai!" kata Viola tersenyum manis.
"Ayo, duduklah!" kata Scorpius.
Ursula duduk disampingku, karena dia memang kencanku, sedangkan Viola duduk di samping Scorpius. Kami memesan minuman dan minum-minum selama beberapa lama.
"Nah, Viola! Katakan apa yang kamu lakukan sekarang?" tanya Scorpius, meletakkan tangannya di bahu Viola.
"Aku bekerja di Depertemen Hukum Sihir," jawab Viola merapatkan diri pada Scorpius sambil terkikik.
Ursula juga terkikik mabuk dan merapatkan diri padaku.
"Aku tidak pernah melihatmu di Hogwarts, Viola? Apakah kau dari Beauxbatons?" tanyaku, meletakkan tanganku dibahu Ursula.
"Aku di Ravenclaw, setahun di atas kalian. Kita kan tidak selalu memperhatikan murid-murid Hogwarts yang lain," jawab Viola.
"Kau benar!" jawabku, teringat Iris. Aku juga tidak memperhatikannya sampai kami kelas tujuh.
Kami minum-minum lagi dan berdisko saat DJ memutarkan lagu beat.
"Kau tidak berdisko lagi?" tanyaku memandang Viola, yang duduk memandang pasangan yang sedang berdansa.
"Capek..." kata Viola menyambar minuman dan meminumnya. "Kudengar kau dan Scorpius sedang menjalani pelatihan Auror di Kementrian."
"Ya..."
"Bagaimana? Kalian sudah melakukan penyeledikan lokasi kejahatan?"
"Belum! Tapi bagaimana kau bisa tahu?"
"Dulu aku punya cowok yang juga menjalani pelatihan Auror. Dia memutuskanku karena aku tidak bisa menerima dia yang sibuk melakukan penyelidikan di tempat-tempat yang jauh... aku tidak bisa jauh darinya."
"Oh..." aku teringat Iris yang berada di Selandia Baru. Waktu itu aku menolaknya karena aku tidak bisa jauh darinya.
"Jadi aku tidak bisa berpacaran dengan Auror," kata Viola, meneguk minumannya lagi.
"Mengapa kau datang kemari kalau begitu?" tanyaku sebal.
Viola menatapku sesaat. "Aku hanya ingin bersenang-senang... ini tempat bersenang-senang yang menyenangkan."
"Kau sering datang kemari?"
"Ya... aku juga sering melihat kalian... mengapa kalian datang kemari?"
"Seperti dirimu... kami juga ingin bersenang-senang."
"Kalian harusnya tidak boleh kemari. Tempat ini tidak cocok untuk pemuda-pemuda sehat seperti kalian. Ini adalah untuk orang-orang stress yang lagi putus cinta," kata Viola sok bijak.
"Bagaimana kau tahu kalau kami tidak sedang putus cinta?"
"Kuperhatikan kalian selalu bersemangat... aku selalu berpikir bahwa kalian adalah anak-anak muda manja yang tidak pernah merasakan cinta dan hanya hidup untuk bersenang-senang saja."
"Bagaimana kalau aku bilang bahwa aku kemari agar aku bisa mabuk dan tertidur. Karena aku tidak akan bisa tidur tanpa mabuk."
"Mengapa kau tidak bisa tidur tanpa mabuk?"
"Karena aku akan selalu teringat pada seseorang. Aku sempat terkejut ketika melihatmu muncul di pintu tadi. Aku berpikir kau adalah dia."
"Oh..."
"Pasti dia cantik..."
"Sangat..."
"Mengapa dia tidak bersamamu?"
"Dia di Selandia Baru... mengejar impiannya."
"Kau berniat menunggunya?"
"Tidak! Karena itulah aku kemari... aku ingin mencari seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta dan melupakan kenanganku bersamanya."
"Oh..." Viola menatapku penuh perhatian. "Mengapa kau tidak mengunjunginya?"
"Aku tidak akan mengunjunginya... aku tidak ingin merusak kehidupan yang sudah dia jalani di Selandia Baru."
"Bagaimana kalau dia mengharapkanmu mengunjunginya?"
"Aku..."
"Al!" kata Ursula langsung mengalunkan tangannya di leherku. "Ayo kita berdansa!"
Urusula menarikku berdiri dan membawaku ke lantai dansa. Dia memelukku dan aku memeluknya, berdansa mengikuti musik. Inilah kehidupanku! Aku akan bertemu banyak cewek dan bisa jatuh cinta lagi.
Scorpius POV
Aku terkejut oleh bunyi gedoran keras di pintuku. Kepalaku terasa pening dan sakit karena menderita hangover parah. Semalam aku banyak bersenang-senang dengan beberapa cewek yang mendekati kami.
"Scorpius Malfoy! Apa yang kau masih tidur?" terdengar suara cewek dari luar pintu.
Terhuyung-huyung aku bangun dan menuju pintu.
"Scorps! Kita harus melakukan pelatihan Kode-Kode Rahasia di Markas Auror sepuluh menit lagi," kata Isabella. Dia berdiri di depan pintu dan menatapku dengan tidak percaya.
Isabella Williams adalah anggota tim kami di Pelatihan Auror. Dia adalah cewek berambut pirang gelap bermata coklat. Saat ini dia mengenakan jubah biru nyaman dengan tongkat sihir tersembul dari saku jubahnya.
"Bella?" kataku, bersandar di pintu karena kepalaku pening. "Mana Al?"
"Harusnya aku yang bertanya? Bersiap-siaplah segera... aku akan membangunkan Al."
Aku membanting pintu menutup dan berjalan menuju kamar mandi, mencari ramuan untuk menghilangkan hangover. Aku menghabiskan sepuluh menit yang sisa dengan tergesa-gesa lalu keluar kamar. Al sedang duduk menghadapi kopinya dengan wajah kusut. Aku menuangkan kopi, meneguknya dan duduk disamping Al.
"Mana Bella?" tanyaku, memandang keliling ruangan.
"Aku mengusirnya," jawab Al.
"Mengapa?" tanyaku.
"Dia sangat cerewet... mencerahamiku tentang kedisiplinan dan ketepatan waktu."
"Dia benar!" kataku, melirik arlogiku. "Kita terlambat!"
Al dan aku menghabiskan kopi kami dan ber-apperate menuju Kementrian. Kami langsung berlari menuju lift ketika tiba di Atrium. Berdesak-desakan dengan penyihir-penyihir yang menuju depertemen mereka masing-masing.
"Kau harus minta maaf pada, Bella... dia berniat baik," kataku, memandang Al melewati penyihir perempuan yang membawa bergulung-gulung perkamen di pelukannya.
"Mungkin!"
"Aku tidak ingin tim kita dikalahkan tim lain," kataku.
DAlam pelatihan Auror ini, kami telah dibagi dalam tim. Satu tim terdiri dari tiga orang. Setiap orang dengan tugasnya masing-masing. Aku pemimpin tim bertugas sebagai penyerang dan pengambil keputusan dalam tim, sedangkan Al bertugas sebagai penyelidik dan penasihat, sedangkan Isabella adalah penyembuh, pembaca kode rahasia dan mencatat segala kegiatan tim. Sebagai pemimpin tim aku tidak ingin ada pertengkaran dalam timku. Aku sangat berharap Al dan Bella dapat mengesampingkan segala perbedaan pandangan mereka untuk menyukseskan kerja tim ini.
"Aku mengerti," jawab Al.
Suasana hati Al memang sudah buruk sejak semalam. Aku melihat caranya memandang Viola berbeda dengan caranya memandang teman kencannya, Ursula. Sekilas, Viola memang sangat mirip Iris. Aku bisa mengerti mengapa Al sampai melototinya seperti itu, padahal Viola teman kencanku. Aku tidak keberatan. Aku tidak merasakan apa-apa pada semua teman kencanku. Aku hanya bersenang-senang dengan mereka. Bertemu di Sky Night, berdisko, mabuk, tidur bersama kalau mereka suka dan meninggalkan mereka. Seperti itulah gaya kencanku dan Al. Namun, walaupun kami seperti itu banyak juga cewek-cewek yang mendekati kami.
Kami tiba di Markas Auror, menuju bagaian belakang tempat pelatihan Auror kami diadakan dan langsung berhadapan muka dengan instruktur kami Mr. Battle.
"Potter... Malfoy! Push Up limapuluh kali!" kata Mr. Battle dengan nada keras dan memerintah.
Inilah yang terjadi dengan kami kalau terlambat. Mr. Battle mengatakan bahwa menggunakan cara Muggle ini sangat bermanfaat untuk membentuk fisik kami. Aku sebenarnya tidak terlalu peduli karena dalam pelatihan Auror ini ada sesi terbang, yang bisa membuat kami menyalurkan hobi kami dalam berolahraga.
Setelah melakukan push up limapuluh kali, diberi kuliah tentang ketepatan waktu selama lima menit, akhirnya kami boleh bergabung dengan Bella yang sedang membaca beberapa kode rahasia dan artinya.
"Maaf!" kata Al, ketika kami duduk di samping Bella.
"Lupakan!" kata Bella singkat.
"Dengar! Aku benar-benar..."
"Sudahlah Al!" kata Bella. "Aku mengerti suasana hatimu sedang buruk, jadi tidak perlu diperpanjang."
Bella memberikan padaku sebuah perkamen berisi perincian kasus dan kode-kode rahasia. Aku membaca dan kemudian memandang Bella.
"Kapan praktek lapangan dilakukan?" tanyaku.
"Sore sampai malam ini. Para instruktur akan menyamar sebagai musuh dan kita harus bisa mengalahkan mereka. Kita diijinkan menggunakan Mantra Pertahan."
"Bagaimana kalau kita tidak berhasil memecahkan kasus dan mengalahkan para Instruktur?" tanya Al, kuatir. Aku tahu perasaan itu juga ada padaku, karena ini adalah praktek lapangan pertama kami.
"Kita tidak diijinkan pulang dan mencoba lagi hari berikutnya," jawab Bella santai.
Al dan aku saling berpandangan. Aku menundukkan kepala dan kembali membaca perkamen berisi instruksi kasus.
Tim MalPotWill
Terjadi pembunuhan di Wilayah X, berkode 5. Bukti-bukti pembunuhan telah disediakan di tempat Pembunuhnya.
Instruksi:
Pembunuhnya adalah orang yang memiliki perhatian pada korban (pilih dari tiga saksi. Jangan salah menebak karena akan di ulang lagi sampai tim berhasil memecahkan kasus.
Pembunuhnya telah mempersiapkan pasukan dan menyandera dua orang saksi dalam kasus pertama di Wilayah Y, berkode 11. Temukan tempatnya dan cobalah membebaskan dua sandera.
Lindungi Sandera. Tim akan mengulang misi penyelamatan ini kalau sandera terluka.
Aku mengangkat muka dan memandang Al dan Bella. Al mengambil perkamen dan membacanya.
"Di mana Wilayah X berkode 5?" tanya Al, memandang Bella.
"Aku Wilayah X, menurutku adalah bagian barat London, eh, tepatnya Chelsea," kata Bella, membuka-buka beberapa perkamen lain. "Sedangkan, kode 5 adalah nama jalan di Chealse... Sloane Street." Dia mengangkat muka memandangku.
"Oke! Al, kau harus segera memecahkan kasus di Sloane Street. Bella, pecahkan kode berikutnya dan aku akan mengatur strategi untuk misi penyelamatan, tapi kita harus mengetahui pembunuhnya dulu."
Kemudian aku memandang keliling ruangan, melihat beberapa kelompok telah bergerak meninggalkan Markas. Kami juga bergerak meninggal Markas, menuju Atrium dan ber-apparate ke Chealsea.
Kami menghabiskan waktu kami hari itu dengan memecahkan kasus dan melakukan misi penyelamatan sandera yang berada di wilayah pepohonan Lewisham. Terjadi perang antara kami dan para instruktur yang menyamar sebagai musuh. Di saat terakhir kami berhasil menyelamatkan sandera dan ber-apparate kembali ke Kementrian. Al dan aku pulang dengan lelah dan langsung tertidur, tanpa minum Whisky Api. Kegiatan inilah yang aku perlukan untuk melepaskan pikiranku dari cewek berambut merah dan bermata biru.
Chapter ini merupakan pengenalan perasaan setiap karakter.
Review please!
Riwa Rambu
