Kita memang harus bangkit dari masa lalu
Meninggalkannya untuk terus maju
Tapi…
Kita tidak boleh lari dan lupa akan masa lalu
Karena masa lalu adalah bagian dari diri kita sendiri
Fuyu no Asyafujisaki present
~Memories From The Past~
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning : AU, OOC (maybe), typo, plotless dan teman-temannya
Rated : T
Don't like don't read and please be easy on me
Douzo
Chapitre 1 : Unexpected result
Tap…Tap…Tap
Sebuah dengungan langkah kaki membahana di sepenjuru sekolah. Menandakan bahwa suasana saat itu sangatlah sepi. Hanya ada semilir angin yang berhembus lembut. Membawa kesejukan sesaat di tengah teriknya matahari siang itu. Seorang gadis berambut indigo menghentikan langkahnya sesaat guna merapikan helaian-helaian rambutnya yang tadi sempat dipermainkan angin. Mata lavendernya menjelajahi setiap sudut sebuah lapangan tenis yang terhampar di hadapannya. Lapangan hijau tersebut sunyi senyap, bertolak belakang dengan keadaan beberapa jam lalu yang diisi oleh teriakan beberapa orang siswa dan siswi. Menyemangati seseorang atau sebuah tim yang sedang berlaga. Tatapannya terhenti kala ia menatap seseorang yang tengah duduk di bawah sebuah pohon rindang seraya menggengam sebuah buku dan tak lupa, sebuah earphone melekat di kedua telinganya. Tanpa sadar gadis itu menyunggingkan seulas senyum ketika memandangnya. Walau hanya sesaat, entah mengapa sudah membuat gadis itu merasa senang, tergambar jelas di wajah mulusnya yang kini terkikik pelan, berusaha menghapus pikiran yang sempat terlintas tadi. Ia sempat terlihat memerhatikan sebuah benda bulat berwarna biru tua sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya menyusuri koridor sepi, menuju kelasnya, untuk bersiap pulang.
Sesampainya di tempat tujuan, sepertinya gadis itu harus menunda niatnya untuk pulang sesaat. Langkah kakinya terhenti kala ia mendengar beberapa orang sedang bercakap di dalam. Bukan bercakap sebenarnya kata yang tepat, melainkan berbisik. Karena suara mereka terlalu pelan untuk bisa didengar dengan jelas. Gadis tersebut sebenarnya bukanlah tipe orang yang senang mendengarkan pembicaraan orang lain, tapi karena ia merasa namanya disebut-sebut, ia pun membiarkan rasa penasaran itu mendominasi dirinya. Ia membuang keinginannya untuk beranjak pergi – karena tidak ingin mendengarkan – kemudian berdiri dengan tenang di balik pintu ruang kelas yang tertutup, mendengarkan dengan seksama.
"Apa yang harus kita lakukan?" seseorang memulai pembicaraan setelah hening sesaat.
"Apa lagi, kalau bukan memberitahunya !" seru seseorang dengan nada meninggi, keliahatan sekali kalau ia tak suka pembicaraan ini.
"Bisa kau pelankan sedikit suara mu Kiba? Jangan sampai Hinata mendengar hal ini!" ucap seseorang. Dari nada bicaranya terselip nada sarkastis.
Gadis dibalik pintu tersebut hanya bisa tersenyum miris mendengarnya, mereka tidak tahu kalau seseorang yang mereka ingin tidak mendengarkan malahan sekarang sedang mendengar dengan seksama. Menunggu sampai ia menemukan inti dari pembicaraan ini. Sebenarnya, sudah lama sekali Hinata ~gadis yang berdiri di belakang pintu~ ingin mendengar hal ini. Akhir-akhir ini, teman-temanya sering berbisik-bisik di belakang Hinata. Ia sudah pernah mencoba bertanya pada mereka ketika "tertangkap basah", tapi mereka hanya menjawab, itu bukan apa-apa, ataukah mereka langsung mengalihkan perhatian Hinata. Hinata hanya bisa maklum kala itu karena ia pikir suatu saat nanti, ketika mereka sudah merasa siap, mereka pasti akan menceritakannya. Ya pasti.
Pikiran Hinata yang tadi melayang-layang, akhirnya kembali terfokus, kala sebuah suara memulai pembicaraan itu kembali;
"Ya, itu memang benar. Kita harus segera memberitahunya, sebelum ia melihat hal yang lebih buruk."
"Hal yang lebih buruk ? Seperti apa?" ucap sesorang tak mengerti.
"Apa kalian tega mengatakannya? Apa kalian ingin menghancurkannya?" ucap seseorang, sekali lagi dengan nada sarkastis, tapi agak sedikit meninggi. Mungkin karena terbawa emosi.
"Terus apa? Apa yang akan kau lakukan? Jangan mentang-mentang kau sahabat karibnya, lantas kau membiarkan ini terjadi?" tanya seseorang. Yang Hinata yakini pasti adalah Kiba.
"Ini salah, kita semua tahu ini salah. Tapi kenapa tidak ada satupun dari kita yang ingin menghentikan ini?" lanjut Kiba, masih dengan nada sengit seraya meremas rambutnya, frustasi.
"Ha~h…Sudahlah, hentikan pembicaraan bodoh ini, merepotkan. Seperti yang telah Kiba katakan, kita memang tidak boleh menyembunyikan hal ini lebih lama lagi. Tapi siapa yang akan mengatakannya?" ucap seseorang dengan nada malas.
Sesaat ketika suara malas tersebut menghilang, sunyi kembali menyapa. Tidak ada yang berani mengatakan apa-apa, walau hanya sebuah bantahan apalagi jawaban. Semuanya kedengaran begitu tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Detik berganti menit, masih tak ada jawaban, yang terdengar hanyalah helaan nafas yang sesekali dihembuskan oleh masing-masing orang di balik pintu. Gadis berambut indigo hanya bisa sabar menunggu diseberang pintu, menunggu kelanjutan pembicaraan yang melibatkan namanya.
"Aaaaaah….! Kalian mau diam-diaman sampai kapan sih….? Nyebelin tau..!" seseorang berteriak frustasi, berusaha memecah keheningan yang sempat terbentuk selama beberapa saat.
Teriakan tersebut dengan sukses menarik kembali pikiran orang-orang yang tengah terlibat dalam pembicaraan di tengah ruangan yang cukup luas tersebut. Mereka memandang orang yang berteriak frustasi tersebut dengan bermacam-macam reaksi dan ekspresi.
Sebenarnya mereka juga sangat jengah dengan suasana yang tiba-tiba mencekam seperti ini. Hanya berawal dari sebuah perbincangan ringan untuk membunuh waktu. Kemudian berubah menjadi perbincangan yang berat dan rumit. Tapi, mereka juga sadar, bahwa masalah yang menjadi pokok pembicaraan ini harus segera diselesaikan, kalau ingin terhindar dari risiko terburuk.
Hinata masih tetap bersabar di tempatnya. Mendengarkan dan menunggu merupakan aktivitas yang dilakukan oleh sang gadis lavender. Ia juga mulai lelah, karena pembicaraan yang sedari tadi ia dengar tidak membawanya pada sebuah kesimpulan apapun. Pikirannya masih terus berspekulasi, mencoba menerka-nerka maksud dan inti pembicaraan ini. Hatinya sibuk ia tata sedemikian rupa untuk menghapus semua kekhawatiran dan perasaan yang mengganjal dalam hatinya. Ia tidak ingin berprasangka apa-apa terlebih dahulu. Karena semuanya belum jelas.
Menit demi menit telah terlewati, walaupun perhatian mereka telah teralihkan, tapi pikiran mereka tetaplah melayang-layang. Otak mereka masih sibuk memikirkan berbagai macam hal. Masing-masing dari mereka terlihat seperti telah memiliki sebuah ataupun beberapa ide untuk menyelesaikan masalah ini, akan tetapi tak satupun dari mereka ~ yang kelihatannya memiliki ide ~ berminat untuk menelurkan ide mereka tersebut. Mereka terlihat seperti masih takut dan ragu dengan ide mereka sendiri. Hal ini sepertinya malah membuat Hinata makin tak sabaran. Ia benar-benar dibuat gemes dengan tingkah teman-temannya tersebut. Yang sempat ia intip beberapa saat yang lalu, dengan sangat hati-hati agar tak ketahuan.
Cewek berambut indigo tersebut hanya terlihat menghela nafas beberapa kali. Ia benar-benar dibuat frustasi oleh tingkah teman-temannya. Ia sebenarnya gemas ingin masuk dan memaksa mereka mengatakan yang sebenarnya tapi hati nuraninya mencegah hal tersebut. Ia terlalu tidak tegaan memaksa orang lain. Selain itu, ia juga yakin, mereka pasti tidak akan menjawab dan segera mengalihkan perhatian gadis tersebut. Lagi.
Matahari terlihat mulai condong ke ufuk barat. Sinarnya juga telah sedikit memudar mengurangi sengatnya. Udara terasa tidak terlalu panas lagi. Hembusan angin lembut menambah kesejukan saat itu.
"Baiklah… Biar aku yang mengatakannya…!" ucap seseorang lantang.
Belaian angin tersebut sepertinya telah menyentuh dan menggerakkan diri salah satu dari mereka untuk bersua. Mendengar ucapan lantang tersebut beberapa dari mereka terkesiap kaget, adapula yang hanya bisa bengong, saking tercenggangnya. Ini benar-benar ucapan yang sangat berani, sekaligus menjadi hal yang begitu ditunggu-tunggu. Hinata yang telah menunggu begitu lama, hanya bisa bengong mengetahui suara siapa yang tadi bersua. Sempat terlihat bahu mungilnya sedikit bergetar.
"Baka yo…! Pelankan sedikit suara mu, Naruto Baka…!" Ucap seseorang sengit. Sedetik kemudian terdengar suara seseorang meringis, yang Hinata yakini adalah Naruto seraya mengelus-elus kepalanya yang telah menjadi korban "tak bersalah".
"Huss, kau juga Sakura~chan, pelankan suara mu…!" ucap suara lain.
"Go, gomen.."ucap Sakura pelan.
Hinata benar-benar kehabisan kesabarannya kali ini, sedari tadi ia terus berdiri, menunggu hingga mendapatkan jawaban, tapi hasilnya nihil. Ia bahkan tidak menemukan sedikit pun titik terang dalam masalah ini. Maka dari itu ia mulai mengambil keputusan, keputusan yang seharusnya ia ambil sejak tadi, bahkan mungkin juga sejak lama. Ia merentangkan jemarinya untuk menggeser pintu kayu bercat putih dengan aksen biru langit itu. Terdengar bunyi halus, tanda pintu terbuka dengan mulus. Semua wajah yang tengah terlibat "obrolan singkat", menoleh dengan cepat ke arah pintu yang menggeser terbuka. Tergambar sedikit pada ekspresi muka mereka perasaan kaget dan juga tegang. Menanti kedatangan seseorang dari pintu yang terbuka. Sekarang wajah mereka benar-benar kaget. Tidak tahu harus berkata apa, ketika melihat seorang gadis berambut indigo melangkah masuk dengan pandangan lurus kearah mereka. Pandangan itu seolah menuntut, entah apa, mereka sulit mendeskripsikannya, ataukah mungkin mereka takut mengakui kebenaran yang sesungguhnya telah ia ketahui.
Suasana tegang tiba-tiba menyelubungi atmosfer, menggantung di kelas di mana lima orang penghuninya berhadapan dengan seorang gadis indigo yang menatap mereka dengan tatapan tajam yang menusuk. Mereka semua, setelah sadar dari kebengongan sesaat, menjadi salah tingkah. Hal ini dikarenakan kali ini mereka benar-benar telah tertangkap "basah".
Hinata memandang mereka tajam dengan mata lavendernya, sejurus kemudian berkata,
"Maaf karena sudah menguping pembicaraan kalian, tapi, tolong beritahu apa yang sebenarnya terjadi….?"
Setelah mengatakannya, Hinata kemudian membungkukkan badannya, tanda kalau ia benar-benar mengharapkan penjelasan dan juga permintaan maaf, seraya menutup kedua bola matanya. Mereka berlima yang melihat sikap dan gestur tubuh Hinata merasa tidak tega. Kenapa Hinata yang harus meminta maaf ? bukankah seharusnya mereka yang berhutang maaf karena telah merahasiakan ini sekian lama ? Mereka secara bersamaan hanya bisa menghela napas panjang, mereka bingung harus melakukan ataupun mengatakan apa, sementara Hinata masih terus membungkukkan badan dan belum juga membuka matanya. Akhirnya salah satu dari mereka memecah keheningan yang timbul, pria berambut coklat itu melangkah maju ke arah Hinata yang masih saja membungkukkan badan. Ia mengangkat wajah Hinata lembut, memberitahunya untuk segera menegakkan diri. Hinata merespon hal tersebut dengan menegakkan tubuhnya, bola mata lavendernya terbuka dan menatap bola mata pria di hadapannya.
"Kiba-kun…" Hinata berbicara pelan tapi kemudian dipotong oleh Kiba
"Tidak seharusnya kau yang meminta maaf, tapi aku, eh tidak kami semua minta maaf Hinata-chan, Sebenarnya…." Ucapannya terputus kala ia mendekatkan bibirnya untuk berbisik di telinga Hinata. Hinata hanya bisa menyembunyikan bola mata lavendernya sekali lagi, seraya menajamkan pendengarannya. Berusaha mendengar dan memahami apa yang diucapkan, atau lebih tepatnya dibisikkan oleh pria tersebut.
Ada kira-kira lima menit Kiba membisikkan sesuatu di telinga Hinata, wajah dan ekspresi Hinata tetaplah tenang dan tidak berubah sejak tadi, kontras sekali dengan wajah teman-temannya yang terlihat tegang dan cemas menanti reaksi gadis lavender itu. Beberapa saat kemudian Kiba menjauhkan bibirnya dari telinga Hinata, menunggu reaksi sang gadis atas perkataannya tadi. Mata gadis itu terbuka,menampakkan kedua lavendernya. Mereka semua tengah menunggu dengan perasaan harap-harap cemas mengenai reaksi Hinata. Tapi kemudian ekspresi harap-harap cemas mereka lenyap, tergantikan ekspresi lain berupa keterkejutan yang ditandai dengan munculnya beberapa kerutan tanda tak percaya yang tercetak di dahi mereka. Ekspresi itu muncul setelah melihat raut muka Hinata, wajah putihnya terlihat biasa-biasa saja – tidak bahkan terlalu tenang – apalagi jika dibandingkan dengan ekspresinya sebelum ini. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa Hinata akan mengeluarkan reaksi negatif, hal inilah yang memancing sejuta pertanyaan untuk terus berputar dibenak kelima orang tersebut. Akhirnya salah satu dari mereka memutuskan unuk bertanya kepada Hinata tentang responnya yang meleset jauh dari bayangan mereka semua,
"Hinata~chan ? kau baik-baik saja?"
"Hm..? ada apa Naruto~kun? Baik-baik saja? Ya biasa saja..!" ucap Hinata ringan disertai sebuah senyuman manis yang terpatri di bibir ranumnya.
"Biasa saja..? apa maksud…"
"Jadi Hinata~chan sudah tahu?" Sakura berucap. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan akan perkataan Hinata.
"Kalau hal itu aku…." Ucapan Hinata terpotong setelah kedua tangan Kiba mencengkram kedua bahu mungil Hinata kuat. "Apa maksud mu dengan hal itu? kau mengucapkannya seolah itu adalah sesuatu yang remeh?" Kiba setengah berteriak ke arah Hinata.
Ia sudah tidak tahan dengan semua ini. Dan sekarang Hinata malah menganggap remeh masalah ini, masalah yang seolah menjadi momok selama berminggu-minggu hanya karena ia tahu akan hal ini. Kiba memandang tajam Hinata, dengan kedua tangan yang masih mencengkram bahu Hinata, kemudian berkata dengan nada sarkastik, "Kamu sudah tahu masalah ini tapi kamu tidak bereaksi apapun? Tetap bersikap seolah tidak tahu apa-apa? Membiarkannya berbuat seenaknya? Oh Hinata! Kau ini apa? Demi Kami~sama, kau ini bodoh atau apa?" Hinata yang mendengar perkataan tajam nan menusuk yang dilontarkan Kiba hanya bisa diam seribu bahasa seraya menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata Kiba yang memandangnya tajam dari tadi.
"Kiba hentikan kata-kata mu..!" Sakura berusaha angkat suara untuk menghentikan Kiba yang mulai kalap, tidak tega terhadap Hinata. Tapi usaha Sakura tidaklah membuahkan hasil, hal itu tidaklah cukup menghentikan Kiba yang memang sedang sedikit kalap. Kiba mulai jengah melihat Hinata yang hanya bisa menunduk tanpa sedikitpun berusaha merespon semua perkataan – atau mungkin lebih tepatnya pertanyaan berupa bentakan – dari Kiba. Ia mengangkat dagu Hinata, berusaha membuat Hinata menatapnya, kemudian melanjutkan perkataanya, "Sampai kapan kamu mau bersikap seperti ini?" terselip nada sarkastis disetiap kata yang diucapkan Kiba tadi. "Aaaku..aku..aku…" Hinata tergagap menanggapi perkataan Kiba dan merasa gugup karena harus menatap mata Kiba yang sedang menyala-nyala. Ia sedikit meringis karena Kiba makin mengencangkan cengkraman di bahunya. Kelima orang lainnya sebenarnya tidak tega melihat hal ini, tapi entah mengapa jauh di dasar hati mereka, mereka menyetujui reaksi Kiba, bukan karena Kiba jahat terhadap Hinata, bukan! Hal ini ia lakukan justru karena ia sangat sayang kepada Hinata. Akhirnya salah seorang dari mereka melangkah mendekat ke arah Kiba dan Hinata. Seorang pemuda bertampang malas, seperti seseorang yang baru saja bangun tidur. Pemuda itu baru saja akan menarik Kiba menjauh ketika terdengar suara halus pintu yang tengah dibuka. Setelah pintu putih itu terbuka muncullah seorang pemuda berambut raven yang tengah menggunakan sebuah earphone di kedua belah telinganya. Mata onyxnya langsung menyipit ketika melihat pemandangan yang disuguhkan kehadapannya. Ia melepas earphone yang tadi melekat di kedua telingannya seraya melangkah maju.
"Apa yang kau lakukan pada Hinata, Kiba?" ia kemudian berucap.
"Aah, Sasuke~kun! Kiba~kun tidak melakukan apapun kok..! i..iya kan Kiba~kun?" Hinata berusaha berujar sewajar mungkin, tak lupa sebuah senyuman selalu ia sertai setiap kali ia menyelesaikan kalimatnya. Hinata adalah orang pertama yang tersadar dari keterkejutan akan kedatangan Sasuke yang tiba-tiba. Ia masih memandang Kiba dengan sebuah senyuman manis terpatri di wajah putihnya. Kiba yang melihatnya entah mengapa merasa muak. Ia kemudian melepaskan cengkraman tangannya di bahu Hinata dan berjalan mendekati tas sekolah yang ia letakkan di atas meja. Setelah mendapatkannya, ia kemudian berjalan keluar kelas, melewati Hinata, yang ia beri tatapan dingin nan tajam kemudian mendengus mengejek. Lima puluh sentimeter lagi menuju pintu keluar, Kiba berhenti sejenak. Mendengus kesal sebagai pembuka, kemudian berkata, "Terus Hinata!…Terus! Bersikaplah seperti itu terus! Menjijikkan! Aku harap kamu tidak menyesal dan menangis pada akhirnya" Kiba berbalik menghadap Hinata, memandangnya dengan tatapan dingin sejenak kemudian melanjutkan perjalanannya keluar kelas. Sasuke yang mendengarnya sedikit tersinggung, ia hampir saja mengejar Kiba dan meminta pertanggungjawabannya kalau saja Hinata tidak berusaha menahannya dan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Sasuke yang melihat wajah Hinata yang berusaha menahan air mata hanya bisa menurut mengikuti ucapan Hinata. Kelima orang lainnya yang awalnya hanya bisa cengok campur bengong akhirnya tersadar ketika mendengar suara Ten-Ten yang memanggil-manggil nama Kiba seraya berlari menyusul dengan tas sekolah di tangan.
To be continued
Hallo Minna~san, Asyafujisaki desu…!
Oh ya, Asya ini masih Author baru, yang masih perlu belajar, so please be easy on me, ne?
Asya tau ni fanfic mungkin banyak typo.a. (mungkin yah, gak tau juga) tapi Asya udah usahain supaya typo.a tidak banyak… Jadi bagi yang melihat kesalahan saya, tolong bantu saya memperbaiki.a lewat ketikan anda di review. Dan bagi yang menginginkan fanfic ini lanjut juga tolong bales di review, begitu pula yang menginginkan fic ini didelete, yah tinggal bilang juga. Dan untuk kritikan, jujur saya juga menginginkan.a but please use your polite language and attitude. So I will try my best to change my fault..
Yosh, baiklah segitu dulu dari Asya, Akhir kata arigatou ne, xie-xie, danke schon, terimakasih, gracias, komauo~yo, thank you for read this fic..^.^
