Chapter 1: Murid Penyihir Terhebat.

Wizard? No. I am Sorcerer.

Summary:

Nama? Namikaze Naruto. Pekerjaan orang tua? Petani. Pekerjaan pribadi? Penebang pohon. Guru Ilmu Sihir? Ancient One sang Sorcerer Supreme.

Disclaimer:

Naruto(Masashi Kishimoto).

Highschool Dxd(Ichiei Ishibumi).

Dr. Strange(Marvel).

Dimiliki penciptanya masing-masing.

.

.

.

.

.

Chapter 1

Murid Penyihir Terhebat.

.

.

.

.

.

[Opening Theme Song – Be The One by Pandora]

.

.

.

.

.

Mana. Energi supranatural yang mampu membelokkan segala hukum logika. Setiap makhluk di Earth Realm memiliki Mana dalam raga mereka. Dari seluruh benda biotik yang bernafas di dunia, umat Manusia merupakan pemilik kapasitas Mana terbanyak kedua di bawah ras Naga.

Tidak seperti ras lain yang hanya bisa menggunakan Sihir sesuai garis keturunannya, Manusia semenjak awal tak mempunyai Sihir khusus selain daripada kapasitas Mana yang melimpah. Sebagai gantinya, mereka mampu mempelajari serta menguasai Sihir Elemen ras lain selama ras yang dimaksud memberikan ijin secara cuma-cuma.

Seiring waktu berjalan, Umat Manusia perlahan berkembang menjadi komunitas yang sangat kuat. Sadar karena mereka tak mungkin berpangku tangan lagi pada ras lain. Mereka memutuskan berkelana dan mencari benua kosong, membagi wilayah menjadi empat bagian lalu membangun Kerajaan masing-masing serta area penting lainnya.

Beratus-ratus tahun berlalu, atas bantuan yang diberikan sebagian besar ras Bukan-Manusia pada Manusia di masa lalu. Dengan tangan terbuka para Wizard, sebutan untuk Manusia Pemakai Sihir, menerima bangsa lain untuk tinggal bersama mereka dalam Kerajaan Elchea, Kerajaan Mistral, Kerajaan Lugnica, dan terakhir Kerajaan Haven.

Line Break

"Dasar anak petani!"

"Sana pergi jauh-jauh!"

"Kau hanya pengganggu di sini!"

"Kemari lagi awas kau!"

Dalam Kerajaan Lugnica, di desa Avalrich, tepatnya di sekitar tepi sungai pada petang hari. Seorang lelaki berumur enam belas tahun, memiliki warna rambut yang mengingatkan sang mentari. Menundukkan kepala seraya berjalan menjauhi anak-anak seusianya yang tengah berenang di sungai. Dia memegang mata kiri birunya yang meneteskan sedikit darah. Disamping keadaannya, sang remaja berusaha untuk tenang selagi berjalan menuju rumahnya. Membuka pintu sebelum masuk.

"Aku pulang!"

"Selamat datang!"

Seorang wanita bersurai merah panjang, datang dari arah dapur sembari mengenakan apron. Wanita ini terkejut melihat keadaan sang remaja. Mengambil kotak obat dan berjalan mendekatinya.

"Lagi-lagi mereka, Naru-chan?"

Naruto. Namikaze Naruto. Putra dari kedua petani bernama Namikaze Minato dan Namikaze [Uzumaki] Kushina. Mengangguk tanpa banyak bicara kepada Ibunya.

Kushina menghela nafas. Selesai mengobati luka putranya, dia membawa Naruto ke dapur dan menyuruhnya duduk serta menyajikan makanan di hadapannya. Sambil memasukkan makanan ke mulutnya, Naruto bertanya.

"Ibu, kalau aku tidak salah beberapa hari lagi ulang tahunku, benar?"

Kushina, yang sedang mencuci piring beserta peralatan makan bekas semalam di wastafel, mengalihkan pandangan pada Naruto sebelum berseri.

"Kau menginginkan hadiah apa kali ini?"

Naruto mengatupkan bibir, otaknya berputar memikirkan segala kemungkinan yang terjadi bila ia memberitahukan keinginannya. Dia tidak masalah kalau kena marah, yang membuatnya risau, apabila menerima tatapan kecewa dari kedua orang tuanya. Hanya itu.

Semenjak kecil, Naruto tumbuh tanpa satupun teman. Hal ini, disebabkan garis keturunan kedua orang tuanya yang selalu berakhir menjadi petani maupun peternak. Di dunia dimana "sihir" merupakan tanda derajat seseorang, hal biasa seperti "fisik" tak memberikan arti apa-apa. Karena keadaan itu, jika Naruto mau melakukan sesuatu, ia terlebih dahulu meminta persetujuan pada Minato dan Kushina. Kalau boleh, teruskan. Jika sebaliknya, diurungkan.

Menarik nafas kemudian membuangnya, Naruto menatap Kushina hingga sorot mata mereka berhadapan.

"Aku ingin… Menjadi Wizard."

.

.

.

.

.

"Baiklah. Aku akan bicara pada ayahmu sambil merundingkan berapa banyak biaya yang kau butuhkan di Einhelm Academy."

Remaja pirang berkedip, tak tahu harus bereaksi seperti apa dengan jawaban Ibunya.

Senang? Sudah pasti.

Lega? Jangan tanya.

Curiga?

"Jadi err… Boleh, Ibu?"

…sedikit.

Kushina melipat kedua lengan sembari menaikkan alisnya.

"Kau serius ingin menjadi Wizard, 'kan?"

Naruto mengangguk, tak mengetahui kalau Kushina diam-diam bersorak dalam hati. Jelas sekali gembira karena putranya untuk pertama kalinya berani mengajukan permintaan aslinya.

"Ya sudah. Urusan finansial biar kami orang dewasa yang urus, kau hanya tinggal fokus belajar saja nanti."

Usai mengatakan itu, Kushina bergegas ke lantai atas melewati tangga. Meninggalkan Naruto yang kebingungan di ruang makan. Beberapa menit kemudian, Kushina kembali bersama Minato, yang cengar-cengir ketika melihat Anak semata wayangnya.

"Jika benar itu keinginanmu, Ayah sekarang juga akan pergi ke Ibukota untuk mencari guru ilmu Sihirmu. Kau tak masalah 'kan bila tertinggal dari yang lain, Nak?"

Si lelaki iris biru mengangguk.

"Karena seharusnya aku memberitahukan keinginanku kepada kalian sejak umurku tiga belas, aku tak masalah dengan itu."

Line Break

Selepas mengungkapkan keinginan murninya pada orang tuanya, Naruto memutuskan pergi ke hutan Navalyk sembari membawa kapak di bahunya. Dia melakukan pekerjaan ini dengan niat mengumpulkan tambahan uang untuk dirinya nanti, menghampiri pohon terdekat dan mulai menebang itu.

'Jadi Wizard. Cari uang banyak. Pindah ke Ibukota. Lalu buat bangga Ibu dan Ayah.' Pikir Naruto.

Tak sadar menyunggingkan senyuman, si pemuda pirang melanjutkan kegiatannya dengan semangat. Beberapa menit berlalu, pohon yang ditebangnya pun roboh seketika.

"Wah, wah, wah. Berani juga kau menebang pohon dalam wilayahku."

Naruto terdiam, berbalik untuk melihat empat orang berjaket wol dan bertampang sangar berjalan menuju lokasinya. Orang yang paling depan satu-satunya yang berbicara di kelompok, ia memiliki tato segi tiga merah di sekitar pipinya.

"Seingatku ini wilayah umum, Inuzuka-san," kata Naruto dengan alis terangkat, "untuk yang… jaga kesopanan sih."

Inuzuka Kiba, putra dari Leader para Bandit, menggeram pada Naruto.

"Kau yang bahkan belum bisa menggunakan satu Sihir pun berani menentangku?!"

"...Sedikit."

Dengan menggerakkan satu jari, Kiba berseru.

"Serang dia!"

.

.

.

.

.

.

.

.

Kiba mengerutkan kening, menengok ke belakang dan terkejut melihat pasukannya berlari sambil menjerit.

"Hei! Mau kemana kalian! Kembali!"

Merasa membuang waktu, Naruto memilih memusatkan perhatian penuhnya kepada pekerjaannya.

"Sepertinya mereka cukup pintar untuk tidak berlama-lama di hutan ini, Inuzuka-san."

Menggertakkan giginya, Kiba beralih pada Naruto seraya membuka telapak tangannya.

[Air Magic: Tornado]

Angin di sekitar Kiba seketika terkumpul dengan sendirinya, perlahan memadat dan mengambil bentuk semacam tornado. Dengan kecepatan tinggi itu melesat ke arah Naruto, yang bukannya panik malah mengangkat mukanya ke atas.

"Giliranmu Mikleo."

[Air Make: Wind Cutter]

Dalam sekejap, angin demi angin yang mempunyai bentuk berupa kumpulan belati bergerak menuju serangan Kiba, kemudian membentur itu sebelum kedua serangan menghilang secara bersamaan.

"Cih, padahal tadinya aku ingin melakukan serangan dadakan padanya."

Seorang pemuda bersurai hijau terang jatuh ke samping Naruto. Pemuda ini memiliki sepasang iris aqua dengan ekspresi kesal di wajahnya.(1).

[1. Karakter dari Tales of Zestiria]

Naruto menatap kering Mikleo. "Dan aku bisa 'mati' kalau kau melakukan itu."

"…Oh."

Melihat kedatangan Mikleo, sang Fairy, semua nyali Kiba untuk mempertahankan "wilayah"nya lenyap seketika. Memutar badan lalu berlari sembari berteriak.

"TUNGGU SAJA PEMBALASANKU NANTI!"

"…"

"…"

Mikleo terkekeh. "Aku takkan pernah bosan mendengar kalimat itu."

Naruto mengangguk. "Setuju," pandangannya tertuju pada pohon yang telah ia tebang, "Mikleo, peduli meminjamkanku bantuan?"

Mikleo menghela nafas. "Kita sudah berteman lama dan kau masih mengajukan pertanyaan aneh itu," dia berseri, "tentu saja aku bantu."

Si remaja mata safir tersenyum tipis.

Line Break

Di Ibukota Kerajaan Lugnica, Kota Vermillion, terlihat banyak manusia dan non-human berlalu lalang di jalanan. Sebagian ada yang baru pulang kerja dan ingin bertemu keluarga secepat mungkin, sementara sisanya berniat bercengkrama atau membuat teman baru di trotoar. Satu hal yang pasti, semua yang di sana baik manusia maupun non-human tampak gembira.

Di salah satu sudut kota, terlihat sebuah kereta kuda bercat merah bergerak melewati beberapa toko sebelum terhenti di samping rumah bergaya mewah. Pintu kereta kuda terbuka dan mengeluarkan Minato, yang menjauh sebanyak tiga langkah dari pintu sebelum mengalihkan pandangan pada orang yang duduk di kursi sopir.

"Terima kasih karena telah memberiku tumpangan, Chouza."

Chouza tertawa. "Santai saja Minato. Kita ini teman jadi jangan sungkan meminta bantuanku."

Minato hanya tersenyum sebagai responnya, memandangi kereta kuda temannya yang bergerak lagi ke pusat kota sebelum melangkah ke rumah yang dicarinya.

Line Break

"Bagaimana? Bisa 'kan Sarutobi-san?"

Sarutobi Asuma, sang [Rank-A] Wizard, sekali lagi mengamati dokumen tentang calon murid yang nanti akan diajarinya. Mengambil pipa rokok sebelum menghembuskan asap, sorot matanya terfokus pada Minato, melirik dari atas hingga ke bawah. Dia mendengus.

'Pakaian sedikit kotor. Hawa bau tanah. Etika tak ada. Cih, dasar golongan Common. Semuanya sama saja.'

Meletakkan dokumen ke atas meja, Asuma mengembangkan "senyuman".

"Mungkin bisa Namikaze-san. Tapi sebelumnya, boleh aku lihat berapa banyak uang yang kau bawa?"

Minato mengangguk, merogoh sesuatu dari kantung celananya dan menaruh itu di hadapan Asuma. Asuma mengangguk, melihat dan menghitung isi dari benda tersebut. Dia mengerutkan kening, melirik ke arah Minato lalu menggeram.

"Jumlah tarifku sekitar 20 Aurum(2) dan kau BERANI membawa 5 Aurum KEHADAPANKU!"

[2. Aurum(Latin: Emas) aka koin emas].

Disamping situasinya, Minato menatap lurus Asuma. Sama sekali tidak menunjukkan ekspresi takut.

"Aku tahu itu. Tapi, kau tenang saja Sarutobi-san, sisanya akan kupenuhi setelah penghasilan ladangku cair. Jadi–"

Asuma mengarahkan lengannya ke muka Minato.

"Orang miskin sepertimu tak layak berada di sini!"

[Air Magic: Wind Push]

Tanpa aba-aba Minato terhempas jauh dari tempatnya, menghantam langit-langit atap kediaman Sarutobi dan melayang di udara sebelum mendarat secara kasar di trotoar. Dia mengerang menahan nyeri yang terasa di bagian punggung serta pundak. Memaksakan berdiri lalu berjalan mengikuti insting ke arah acak.

"Dari semua Wizard di Empat Kerajaan, hanya yang disini saja yang tarifnya murah dari lainnya. Oh, Veronica Yang Agung, apakah ada jalan keluar bagi orang Common sepertiku ini?" gumam Minato lirih.

Karena tenggelam dalam kegelisahannya, si pria berambut pirang tak sengaja menabrak seseorang yang berjalan ke arah yang sama dengan dirinya. Dia tersentak saat menyadari kesalahannya, dan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangan orang yang ia tabrak.

"M-Maaf, apa kau baik-baik saja?"

Bingung. Itulah yang dirasakan Kepala Keluarga Namikaze saat ini. Bukannya berniat menghina, tapi entah kenapa pakaian orang di hadapannya terlihat... Aneh. Bahkan untuk selera seorang Common sepertinya.

"Ya. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja."

Dibalut jubah kuning dikombinasikan garis-garis hitam, orang yang mengatakan itu merupakan seorang wanita tanpa satupun helai rambut di kepalanya. Wanita ini mempunyai dua buah mata beriris onyx. Dia mengenakan pakaian serba putih seakan melambangkan simbol tertentu.

Ini mungkin perasaan Minato saja, tapi entah mengapa tatapan mata sang wanita memancarkan kesenangan tersembunyi ketika muka mereka bertemu.

Line Break

Berada di dalam rumah berbahan kayu, sekarang Naruto dengan Mikleo sedang menunggu hasil dari pekerjaan remaja pirang. Selagi menunggu mereka berbicara satu sama lain.

"T-Tunggu sebentar, kau... Ingin menjadi Wizard?!"

"Ya. Itu memang benar. Kenapa?"

Mikleo mengamati temannya cukup lama, menghela nafas dan berujar.

"Bukan 'terkejut' tapi 'kenapa'. Apa kau sadar kalau tahun ini semua Noble maupun Keturunan Raja akan masuk ke Einhelm Academy?"

Naruto mengerutkan kening. "Memangnya kenapa kalau aku dan mereka masuk di tahun yang sama?"

"Gilgamesh Uruk. Lily Pendragon. Midoryuu Kiyohime. Emilia Rose," Mikleo menyebut beberapa nama yang sangat familiar di telinga Naruto, "mereka hanya sebagian orang yang 'mungkin' akan menghalangimu. Apalagi nama-nama ini adalah keturunan dari Raja. Barangkali pikirkan lagi keputusanmu, Naruto."

Naruto tersenyum tipis. "Terima kasih atas kekhawatiranmu Mikleo. Tapi… Aku sudah lama memikirkan ini. Selain daripada mendapat penghasilan banyak, aku ingin membuktikan pada masyarakat kalau anak petani pun juga bisa menjadi Wizard."

Sang Fairy terdiam, menghela nafas dan memijat pelipis selama satu menit. Berseri kemudian.

"Yah, sebagai teman dari seseorang yang merupakan magnet masalah, sudah menjadi kewajibanku untuk mengawasimu dari jarak dekat."

"Mikleo, aku senang bisa berteman denganmu," sahut Naruto seraya menyengir.

Mikleo sweatdrop.

'Padahal kata-kataku tadi terdapat sedikit sarkas di dalamnya. Tapi yah, mengingat ini Naruto seharusnya aku tak terlalu kaget mengenai responnya.'

"Maaf menunggu lama. Ini adalah bayaranmu untuk hari ini, Naruto."

Naruto dan Mikleo menengok ke asal suara, mereka berdua melihat pria bertubuh kekar dan mengenakan masker datang dari ruangan pribadinya. Keduanya berdiri dan Naruto menerima uang tersebut dengan senang hati.

"Kerja bagus."

"Terima kasih Zabusa-san."

Zabuza melambaikan tangannya. "Nah, seharusnya aku yang bilang begitu kepadamu. Bukan sebaliknya."

Dia menambahkan. "Ngomong-ngomong, telinga pak tua ini tak sengaja mendengar sebagian pembicaraan kalian. Jadi, apa itu benar?"

Mikleo angkat bicara. "Yep. Kami berdua memang ada rencana untuk menjadi Wizard tahun ini."

"Begitu. Oh ya, kebetulan keponakan Paman juga akan bersekolah di Einhelm Academy sama seperti kalian. Jika tidak keberatan, bisa kalian mencoba berteman dengannya?"

"Oh… Oke."

"Tentu."

Line Break

Sesudah pergi dari tempat tinggal Zabuza, Mikleo, yang cemas akan keadaan Naruto bila membiarkannya pulang seorang diri. Memutuskan menemaninya sampai ke depan pintu rumah. Naruto, yang tahu betapa keras kepalanya temannya itu kalau membuat suatu keputusan, memilih membiarkannya berbuat sesuka hati.

"Tidak ingin masuk sebentar, Mikleo?"

Mikleo menggeleng. "Hari sudah gelap. Lagian malam sekarang adalah giliranku untuk berjaga sekitar hutan."

Si remaja pirang mengernyit, tapi mengangguk.

Mikleo hanya tersenyum sebagai responnya, berbalik kemudian terbang dengan angin mengelilingi seluruh permukaan tubuhnya. Menghembuskan napas dan berbalik, Naruto memegang kenop pintu sambil mendorong itu.

"Aku pulang!"

""Selamat datang!""

Naruto menautkan alisnya, penasaran saat mendengar suara lain menyatu dengan suara kedua orang tuanya. Ia mengambil beberapa langkah untuk sampai ke ruang tamu, mengembangkan senyum ketika menatap Kushina dan Minato, pemilik nama kedua terlihat cengar-cengir untuk beberapa alasan.

"Teh ini enak sekali, Kushina. Apa kau menuangkan sedikit madu di dalamnya?"

"Benar sekali, Ancient-san. Senang sekali mendengar di luar sana ada orang seperti dirimu yang tahu tentang kuliner."

Berkedip, Naruto menengok ke asal suara dan melihat seorang wanita asing berpakaian serba putih duduk di samping Ibunya, dengan gerakan anggun tangannya menaruh gelas berisi separuh teh di permukaan meja.

Minato berdeham. "Nah, Naruto, Ancient-san di sini adalah orang yang akan menjadi Guru Ilmu Sihirmu. Beliau akan tinggal sementara di kamar tamu selagi mengajarimu hal-hal yang ia bisa."

Si wanita berseri pada Naruto.

"Panggil aku Ancient One. Tapi kalau kau mau panggil saja Guru One. Senang bisa berjumpa denganmu, Naruto."

Naruto berusaha untuk tak menjerit akan kesenangan di tempat berpijaknya. Memaksakan menyengir seraya membalas.

"Aku juga senang bisa berjumpa denganmu… Guru One."

Line Break

Meskipun kelihatannya lebih baik memulai pelajaran di kemudian hari, namun, Naruto yang sudah tak sabar memaksa Ancient One untuk mengajarinya sesuatu apapun itu. Bukannya marah, Ancient One hanya tersenyum dan memutuskan memberitahu Naruto beberapa teori mengenai Sihir. Tak ingin mengganggu, Minato dengan Kushina memilih pergi ke lantai atas.

"Sihir. Merupakan ringkasan dari sesuatu yang seharusnya tak mungkin terjadi namun bisa terjadi. Sebagai contoh; petir dari mulut. Badai salju saat musim kemarau. Api mengelilingi sekitar ibu jari. Dan tanah meninggi hingga membentuk dinding tebal…. "

Naruto, yang memegang pena bulu di tangan serta membawa kertas dari kamarnya, menulis semua penjelasan Ancient One tanpa berniat melewatkan satu huruf sama sekali. Saking bersemangatnya Naruto, dia tidak menyadari kalau orang yang menerangkan subjek diam-diam terkekeh sambil meneruskan penjelasannya.

"Selain untuk menyerang, Sihir juga dapat digunakan sebagai perangkat penyembuhan, atau bahkan menghidupkan orang mati. Tapi–"

Merasa ada yang tidak beres, Naruto mengangkat tangannya ke udara.

"Guru One."

"Ya, Naruto?"

"Sebelumnya aku minta maaf bila pertanyaanku ini mungkin akan menyinggung perasaanmu. Dari perkataan terakhirmu, bukannya itu sudah melenceng dari subjek pelajaran kita?"

Ancient One menaikkan alisnya. "Maksudmu bagian 'menghidupkan orang mati'?"

Si remaja pirang mengangguk.

"Mengingat bagian penyembuhan tidak terlalu aneh karena ras Mermaid, Elf, dan Orc memang memiliki kemampuan hampir mirip semacam itu. Namun, jika ada hal yang tak aku setuju dari perkataanmu, yaitu soal 'menghidupkan orang mati'. Bukankah itu sama saja melanggar Hukum Alam?"

Ancient One tersenyum simpul, mulai merasakan rasa bangga pada pengetahuan muridnya tersebut. Dia tak dapat menyangkal kalau sikap Naruto mengingatkannya pada seseorang.

'Master Mordo pasti akan sangat menyukai Naruto.' Pikirnya.

"Pertanyaan bagus. Itu mungkin bila dilakukan melalui Ritual Gelap." Dia mengacungkan jari telunjuknya ke atas. "Tapi, ceritanya lain kalau Relik Kuno terlibat."

Naruto berkedip. "Relik Kuno?"

"Ya, Relik Kuno."

"Pardon Guru One. Tapi selama ini baru sekarang aku mendengar istilah 'Relik Kuno'."

"...Kita sudahi pelajaran sampai sini."

"Eh? Kenapa?!"

Ancient One tersenyum ambigu.

"Karena sebentar lagi tengah malam."

.

.

.

.

.

.

.

"Garing?"

"…sedikit."

Sesudah berpamitan dengan Ancient One, Naruto membereskan segala peralatannya dan memerintahkan kakinya untuk bergerak ke kamar tidurnya.

"Naruto."

Naruto melirik Ancient One lewat balik bahu.

"Ya?"

"Tangkap!"

Sang remaja pirang melebarkan mata sebelum menangkap sebuah buku tebal berwarna hitam dengan garis jingga di sudut atas maupun bawah. Bila dilihat dari keadaan buku tersebut, Naruto berpendapat kalau itu berusia puluhan tahun atau mungkin lebih.

Buku Dimensi Astral.

Naruto mengerutkan kening. "Guru One, maksudnya apa ini?"

Ancient One memutar badan dan menjauh sebanyak lima langkah, menengok Naruto sejenak sebelum berujar.

"Baca dan pahami itu, jika kau sudah paham mengenai isinya. Datang kepadaku dan kita lihat sejauh mana otakmu menyerap pengetahuan dari buku tersebut."

Line Break

"Dimensi Astral merupakan tempat dimana para roh, baik yang hidup maupun telah mati, berkeliaran sesuka hati mereka. Dikatakan tak ada larangan bagi yang mati untuk menyapa yang hidup, hanya saja, ada batas tertentu yang tak boleh dilanggar yang mati. Sebagai contoh; merasuki raga seseorang."

Dengan duduk di kursi sambil meletakkan buku Dimensi Astral di mejanya, Naruto mengganti halaman setelah selesai membaca yang sebelumnya.

"Tidak seperti di Earth Realm, yang jika berbuat kerusakan akan meninggalkan bekas, dalam Dimensi Astral, takkan terjadi kerusakan apapun meskipun dirimu melakukan hal paling gila. Hal itu disebabkan Dimensi Astral tidak memiliki ikatan dengan Dimensi manapun, termasuk Earth Realm."

'Wow, kedengarannya hebat juga 'Dimensi Astral' ini.' Pikir Naruto kagum.

"Untuk mengunjungi Dimensi Astral, pertama-tama kosongkan pikiranmu. Lalu lemaskan otot-ototmu. Terakhir bayangkan dirimu sedang 'bergerak' walaupun sebenarnya 'tak bergerak' sama sekali."

Merasa penasaran, Naruto menutup buku dan mengikuti langkah-langkah yang tadi dirinya baca. Dia memejamkan matanya dan mulai berkonsentrasi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

'Apa berhasil?'

Sang lelaki mata biru tak tahu apa praktek Sihirnya berhasil atau malah sebaliknya. Penasaran, Naruto membuka kelopak matanya, kemudian dalam hitungan detik dia merona berat.

"C-Cepat masukkan Kushina."

"Fufufu, dasar tidak sabaran."

Alasan kenapa Naruto seperti itu, penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena Ayah dan Ibunya, yang dalam pandangannya sedang melakukan sex di kamar lantai atas. Dimana Kushina memasukkan kemaluan Minato ke dalam mulutnya. Sementara Minato mulai menikmati blowjob yang diberikan oleh Kushina, sesekali dirinya meremas surai merah milik istrinya itu.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

Naruto, yang tak sengaja menjerit dan belum sadar akan keadaan "tubuh"nya, seketika terbang menuju dinding dan menembus itu.

Line Break

Sekarang ini saat fajar menjelang, di daerah pegunungan terlihat Naruto bersama Ancient One tengah melangkah menuju ke bagian puncak. Sebelum pergi, Naruto bertanya mengapa dia memilih wilayah yang tinggi sebagai tempat belajarnya, Ancient One menjawab karena cocok dengan "apa" yang ia bisa.

"Wilayah sekitar sini menawan juga, Naruto."

"Begitulah Guru One."

Setelah dan berkat kejadian memalukan malam itu, Naruto mengetahui secuil informasi tentang kehebatan apa yang didapatnya ketika memasuki Dimensi Astral. Contohnya, saat jiwanya tidak lagi terikat dengan dunia saat berada di Dimensi Astral, dia dapat leluasa pergi kemanapun tanpa takut ketahuan oleh yang hidup. Kemampuan ini sangat berguna bila Naruto ingin mencari informasi di wilayah berbahaya maupun di area musuh.

Walaupun hebat, Naruto menyadari bila jiwanya terlalu lama di Dimensi Astral, dan disaat bersamaan lawan menyerang raga aslinya, maka ada kemungkinan dia akan meregang nyawa detik itu juga.

Intinya, tidak terlalu aman digunakan dalam jangka waktu lama.

"Ngomong-ngomong, Naruto."

"Ya?"

"Aku sedikit kecewa dengan apa yang kau lakukan semalam."

Naruto menelan ludah, tubuhnya mulai gemetar sembari membalas.

"A-Ah mengenai itu, aku tidak tahu kalau memasuki Dimensi Astral sama dengan menjadi hantu. D-Dan soal mengintip 'kegiatan' Ayah dan Ibuku, i-itu tidak disengaja. Sungguh."

Ancient One melirik Naruto lewat sudut matanya, secara langsung mengamatinya seraya berjalan. Ajaibnya, dia tak tersandung sekalipun banyak kerikil-kerikil kecil di jalurnya.

Mengejutkan, dia mengulas senyum lebar sebelum berkata.

"Kau lulus."

Naruto berkedip. "Lulus? Lulus apa?"

"Sebagian orang di usiamu, kebanyakan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi pada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Tapi karena faktor tertentu seperti rasa gelisah, keinginan mereka hanya bisa dipendam di dalam hati," tutur Ancient One, "sebaliknya, kau melampaui perasaan itu dan mencoba praktek disamping aku tak menyuruhmu melakukan hal tersebut. Meskipun lain kali, jangan digunakan untuk kegiatan rendahan seperti mengintip."

Naruto menggaruk tengkuk lehernya, terkekeh canggung. "Aku lebih suka menganggap itu kecelakaan daripada direncanakan sebetulnya."

Ancient One tertawa kecil.

Lima menit berlalu, mereka pun sampai ke puncak gunung. Naruto mengedarkan pandangan, senang mengetahui kalau lingkungan sekitarnya masih terjaga keindahannya.

"Guru One, selain menjadi Astral, apa kau akan mengajariku Sihir Elemen juga?" tanya sang lelaki iris biru.

Ancient One menautkan alisnya. "Kau pikir Sihir itu terbatas di Elemen saja?"

Naruto berkedip. "Err… Bukankah itu kenyataannya?"

Ancient One menghela nafas. "Muridku, kita bicara soal energi alam semesta yang tak terbatas. Yang bisa kita gunakan bukan hanya untuk Sihir Elemen, melainkan juga sebagai perisai pertahanan, menghasilkan senjata, memunculkan portal penghubung antara satu tempat ke tempat lain. Dan–"

"Portal penghubung katamu?!" Naruto tidak tahu harus merasa gembira atau ngeri tentang hal ini. "Bahkan beberapa [Rank-A] Wizard, yang terkuat dari lainnya, belum mencapai tingkat yang itu! L-Lalu kau bilang bahwa dirimu telah–"

Apapun yang ingin dikatakan Naruto kembali ke tempatnya ketika Ancient One membentuk garis rumit di udara menggunakan tangannya, garis tersebut membentuk simbol segi tiga yang digabungkan dengan beberapa bentuk berbeda. Itu menyala pendar jingga sebelum lenyap dari eksistensi.

"Oh maaf, salah Mantra."

Ancient One mengarahkan telapak tangannya ke depan, perlahan menggerakkan beberapa jarinya seperti ingin membuat pola lingkaran. Selagi melakukan itu, pola yang sama hanya dua kali lipat besarnya serta berwarna jingga muncul di hadapan Naruto.

"Masih tidak percaya, Naruto?"

Untuk sementara Naruto mengabaikan perkataan Ancient One, sorot matanya terfokus pada apa yang ada dalam pandangannya. Dia bisa melihat rumahnya, yang dia tahu berjarak beberapa kilometer dari tempatnya sekarang, dan itu semua berkat portal penghubung!

Merasa cukup, Ancient One langsung menutup portal tersebut. Dia menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi tercengang dari muridnya itu.

"Wizard… Macam apa kau ini, Guru One?"

"Sayangnya, Naruto. Aku ini bukan Wizard, tapi Sorcerer. Kau, aku. Itulah kita."

"…"

Naruto terdiam, mengamati Ancient One selama beberapa menit sebelum berujar.

"Siapa… Dirimu?"

Ancient One berseri.

"Ijinkan aku memperkenalkan diriku sekali lagi. Aku memiliki banyak nama tapi orang-orang sering memanggilku Ancient One. Dan seperti yang baru kau ketahui, aku bukanlah Wizard. Melainkan Sorcerer. Tepatnya Sorcerer Supreme. Penyihir terkuat di dunia."

"..."

"Ya... Ampun."

Line Break

Sama seperti semua murid terdahulunya, untuk ke sekian kalinya perasaan bangga tertanam di hati Ancient One ketika mencermati proses yang ditunjukkan Naruto kepadanya. Bisa dibilang dalam hal konsentrasi dan penguasaan emosi, Naruto hampir menyamainya di bidang tersebut. Hal itu dibuktikan dengan perisai dan portal penghubung yang dibuat remaja pirang sejam yang lalu.

Dan keduanya dibuat secara bersamaan.

'Mengingat Earth Realm sangat penuh dengan energi mistis/Mana dibandingkan Bumi, kejadian semacam itu tak terlalu aneh seharusnya.' Pikir Ancient One.

"Guru One, setelah ini apalagi?"

Tertarik dari monolog internalnya, Ancient One menatap Naruto sebentar dan berkata.

"Untuk sekarang buatlah senjatamu. Aku sarankan gunakan imajinasi."

Si lelaki pirang mengangguk tanpa protes, menghembuskan napas kemudian memejamkan matanya, tangan kanan terulur ke langit. Perlahan namun pasti, seberkas sinar biru laut terkumpul di pergelangan tangannya, mulai memadat dan mengambil bentuk sebuah kapak diselimuti pendar berwarna yang sama.

'Unorthodox? Begitu. Jadi dia memang benar-benar 'Naruto'. Aku seharusnya menduga ini sih, mengingat kalian berempat adalah [Champion of World] di dimensi masing-masing.' Pikir Ancient One.

"Apa aku berhasil?"

"Dalam percobaan pertama? Ya."

Membuka matanya, Naruto berkedip ketika melihat senjata "imajinasi"nya berada tepat di genggamannya. Dia tak bisa menahan seringai sembari memutar kapaknya kesana kemari.

Hembusan angin terkumpul di samping Ancient One, perlahan angin tersebut memadat dan mengambil bentuk sebuah belati. Dia berjalan menghampiri Naruto sambil mengembangkan senyum tipis.

"Karena kau berhasil melakukannya, materi berikutnya yaitu pengalaman bertempur."

Naruto merespon dengan memainkan kapaknya.

"Kapan pun Guru One ingin menyerang, aku akan selalu siap."

Line Break

Satu tahun. Merupakan waktu yang lama tapi sebentar untuk Naruto. Dia merasa kebersamaannya dengan Ancient One terasa singkat untuk beberapa alasan. Dan sayangnya ia tak bisa menebak apa alasan tersebut.

Sesudah mengajari segala hal yang ia bisa, Ancient One memberikan salam perpisahan kepada Naruto berupa meninggalkan beberapa Relik Kuno padanya. Sebelum dirinya "pergi", Ancient One memberitahunya kalau semua Relik Kuno ini telah memilihnya sebagai Tuan mereka. Dan itu semenjak hari pertama ketika mereka bertemu.

Jika ada satu hal yang Naruto kesal, yaitu fakta bahwa dia tak tahu nama dari Relik Kuno miliknya itu. Ancient One hanya bilang kalau semua Relik Kuno memiliki kesadarannya masing-masing, dan itu menandakan cepat atau lambat Naruto juga akan tahu nama-nama mereka.

Dan sekarang, sang remaja pirang sedang berada di lapangan luas bersama kumpulan calon murid Einhelm Academy di sekelilingnya. Tidak ketinggalan, teman ras Fairy-nya berdiri dalam barisan di sampingnya.

"Senyum lah, Naruto. Senyum."

Naruto menghela nafas. "Yang terpenting tegakkan tubuh dan pandangan ke depan, Mikleo."

Mikleo mengangkat bahu. "Itu terserah kau."

Memutar bola matanya, Naruto menautkan alis saat sebuah sapu tangan hinggap di kepalanya. Dia mengambil itu lalu mengedarkan pandangan, berharap menemukan pemilik dari benda tersebut.

"Um, permisi, itu sapu tanganku. Bisa kau kembalikan padaku?"

Suara itu berasal dari belakang Naruto, sang remaja pirang menengok ke arah yang dimaksud. Dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih, bermata emerald dengan pita hitam terikat di rambut pirangnya. Gadis ini memakai sepasang sarung tangan putih, dengan pedang berwarna emas di bagian gagang silang dan biru di bagian gagang pedang terselip di pinggangnya.(3).

[3. Saber White dari FGO].

Mengangguk, tanpa banyak bicara Naruto mengembalikan sapu tangan itu, kembali menghadap ke depan dan melewatkan tatapan terkejut dari sang gadis. Penasaran, dia mengetuk pundak Naruto beberapa kali, membuat orang yang bersangkutan bingung dan bertanya tanpa menoleh.

"Ya?"

"Apa kau mau berteman denganku?"

Naruto menaikkan alisnya, tapi mengangguk.

"Naruto. Namaku Namikaze Naruto."

Entah mengapa ekspresi si gadis terlihat cerah ketika mengetahui nama Naruto, seakan ini baru pertama kalinya dia berkenalan dengan orang asing.

"Kalau namaku Lily, Lily Pen–"

"Sebentar lagi naik."

Apa yang dikatakan Mikleo sukses memotong kata-kata Lily, namun Naruto yang tak ambil pusing membalas.

"Senang bertemu denganmu, Lily."

"Hehehe, senang juga bertemu denganmu, Naruto."

'Lily? Aku seperti familiar dengan nama itu. Tapi di mana?' Pikir Naruto heran.

Tiba-tiba tanah bergetar di depan para Wizard, kemudian itu terbelah menjadi dua. Dari balik tanah, naik sebuah bangunan yang tampak seperti kastil dengan pilar di masing-masing atap. Di bagian sisi kiri gerbang, berdiri seorang pria dengan bekas luka silang di wajahnya. Pria ini terlihat memegang semacam buku penuh warna violet.

"Sepertinya sekolah akan kebanjiran calon Wizard berbakat," kata sang pria sembari berseri, "perkenalkan, namaku Umino Iruka. [Rank-B] Wizard. Sebelum kalian masuk, kalian akan dikenakan [Ranking Check] melalui [Alter Book] terlebih dahulu. Semuanya dimulai dari–"

Satu per satu Wizard langsung bergegas menghadap Iruka, masing-masing mendengar instruksi dan meletakkan lengan di halaman tengah buku. Saat melakukan itu, seketika [Alter Book] memancarkan aura hijau sebelum memperlihatkan [Rank] para murid.

"Tidak buruk."

"Jangan patah semangat, mengerti?"

"Aku yakin potensimu masih belum terlihat."

"Menakjubkan."

"Kalau ragu abaikan [Rank] dan fokus saja pada perkembangan sihirmu."

Memberi senyum pada murid yang kembali ke barisan, Iruka mengalihkan pandangan pada Naruto dan mengirim kode yang menyuruhnya untuk maju. Mengangguk, Naruto pun mengulang apa yang dilakukan murid sebelumnya.

Ketika [Rank] pemuda pirang ditampilkan, seketika sebagian besar orang meledak dalam tawa.

"[Rank-D]?!"

"Yang benar saja, Weaker sungguhan?"

"MEMALUKAN!"

"Huuuu!"

'Yah, karena aku semenjak awal hanya berlatih sedikit di Sihir Elemen. Tidak terlalu mengejutkan sih.' Pikir Naruto.

Iruka menatap Naruto prihatin. "Nak, masih ada waktu untuk mundur. Orang terakhir yang [Rank-D] di Einhelm Academy berakhir bunuh diri karena tidak tahan dengan kekurangannya."

'Lagipula, aku tidak ingin melihat kematian sia-sia lagi.' Tambahnya dalam hati.

Naruto menggeleng. "Terima kasih atas peringatannya, tapi, aku ini sudah siap."

Iruka terdiam, mengangguk tanpa banyak bicara dan menyuruh lelaki iris biru untuk kembali ke tempatnya yang semula.

"Pendapatmu, Gilgamesh?"

Seseorang yang mengajukan pertanyaan itu merupakan seorang laki-laki bersurai hijau panjang, dia memiliki sepasang iris warna sama seperti rambutnya dengan toga putih di badannya.

"Zashu itu, Enkidu? Hmph! Kelas rendahan kurasa."

Yang ditanyakan adalah seorang gadis dengan rambut pirang panjang dan sepasang mata merah. Gadis ini mengenakan baju hitam, celana panjang hitam, sepasang sepatu hitam serta mantel putih lengan panjang dengan sehelai bulu putih di bagian kerah.(4).

[4. FemGil cari di Deviantart]

Enkidu terkekeh. "Dimana ada Zashu, di situ pasti ada Gilgamesh." Candanya.

Gilgamesh Uruk hanya menyeringai sebagai responnya.

Menatap Naruto yang sedang mengobrol bersama Mikleo, ekspresi humor Enkidu berganti menjadi serius. Dia memicingkan mata.

'Mata itu... Begitu, jadi dia adalah "Serigala Berbulu Domba".'

Line Break

Naruto menaruh tasnya di atas meja, mengedarkan pandangan untuk mengamati kamar tidurnya yang sementara di Einhelm Academy. Karena sekolahnya sendiri memasukkan Sistem Asrama, otomatis seluruh siswa-siswi mempunyai ruang pribadinya masing-masing.

"Kalau aku tidak salah, Guru One bilang Relik Kuno milikku berjumlah antara angka '5' dan '13'," gumam Naruto, melompat ke kasur sambil menghadap langit-langit, "yah, untuk sekarang fokus sekolah dulu saja lah."

Ketukan keras terdengar dari luar kamarnya, menyebabkan Naruto bangkit dan membukakan pintu. Di depannya, berdiri seorang lelaki berambut hitam dan bermata onyx. Dia mengenakan seragam biru(5) khas Einhelm dengan tas terselip di punggungnya.

[5. Mengikuti seragam di anime Akashic Record]

Lelaki ini terkekeh canggung. "Maaf, tadi aku melihatmu kemari dan ternyata kamarmu berada di sebelahku, jadi kupikir kita bisa berkenalan sekaligus berangkat ke kelas bersama. Tanggapanmu?"

Naruto menghela nafas, tersenyum tipis sambil mengulurkan lengannya ke depan.

"Naruto."

Lelaki itu berseri.

"Zeref."

.

.

.

.

.

.

.

T-B-C

.

.

.

.

.

.

.

Tingkat kekuatan Wizard:

-Weaker[D]

-Strong [C]

-High [B]

-Titan [A]

-Ultimate [S]

A/N: Well, kepalaku sakit jika tidak menulis ini, kalian tahu?

Oh ya, semua fic di akunku(minus one shot) ada hubungannya loh.

Next Update:

Kick The Limit.