Naruto © Masashi Kishimoto
Give What You Like dipopulerkan Avril Lavigne
.
.
.
Hinata membuka pintu apartemen yang sesuai janji orang itu akan diberikan kepadanya. Dari yang bisa ia lihat dari luar, apartemen ini bukanlah apartemen murahan, malahan ini cukup mahal. Bagi Hinata yang memang tak pernah hidup dalam bergelimang harta, baginya apartemen mewah ini benar-benar sesuatu untuknya. Meski ia terkadang ia bersliweran dari apartemen mewah ke apartemen mewah yang lain. Namun ini berbeda. Apartemen ini khusus untuknya—ralat, untuk mereka berdua. Sejujurnya, ia hanya bercanda ketika orang itu bertanya hal apa yang ia inginkan. Ia hanya asal bicara ia ingin tempat tinggal baru. Flat bobrok yang ia tinggali bersama sahabatnya butuh perbaikan, dan sang pemilik yang pelit itu tak ingin banyak mengeluarkan uangnya hanya untuk memperbaiki flatnya yang sudah dimakan usia. Ia jengah tentu saja. Ia dan sahabatnya ingin segera pindah, namun karena masalah ekonomi—yang klasik, menghalangi niatan mereka.
Namun orang itu benar-benar luar biasa, ia benar-benar memenuhi apa yang Hinata inginkan. Jika ia bilang ia butuh tas baru, besok ketika mereka bertemu, orang itu pasti akan memberikan tas bermerk kepadanya. Wow sekali bukan? Bukan hanya itu, orang itu juga membiayai kuliahnya, memberikannya baju, memberinya uang, dan hadiah. Terdengar seperti seorang kekasih yang sangat menyayangi kekasihnya bukan?
"Aku bertaruh apartemen ini sangat mahal, paman," ucap Hinata ketika melihat isi ruangan apartemen ini yang sudah lengkap. Ia tak butuh uang untuk membeli apapun. Ia hanya cukup memasukkan pakaiannya ke lemari pakaian, dan semua beres.
"Jangan mengejekku, bocah." Wajah lelaki itu keras, dari yang Hinata bisa lihat, pria di sampingnya ini cukup tersinggung dengan ucapannya.
"Apa kau butuh permintaan maaf dariku? Jika ya, aku bisa melakukannya." Alih-alih menatap lelaki itu, gadis berponi itu malah pergi, mencari ruangan yang bisa ia gunakan untuk tidur. Kesal dengan perlakuan gadis itu, lelaki itu melangkahkan kakinya untuk keluar dari apartemen dan menutup pintunya dengan keras.
"Dasar pria sentimen," gerutu Hinata.
.
.
.
Dering suara telepon membangunkan Hinata dari mimpinya. Ia setengah malas untuk menjawab telepon. Dia baru saja tidur sejam yang lalu, oke? Dia harus mengerjakan tugas kuliahnya yang menjerit meminta untuk dikerjakan. Jadilah ia harus merelakan waktu tidurnya.
"Hinata?"
"Hmmm..."
"Ya ampun, aku tebak kau baru bangun tidur."
"Kau menganggu waktu tidurku, Sakura."
"Maafkan aku sayang. Kau pasti kelelahan dengan paman itu ya? Apa dia memang selalu begitu denganmu?"
Hinata mulai paham. Sakura salah paham.
"Aku tidak tidur dengan Sasuke, Sakura. Dan jangan menyebutnya paman. Dia marah padaku. Dia membanting pintu apartemennya kemarin."
"Upss, sori."
"Lalu apa yang ingin kau katakan di pagi buta ini?"
"Aku kangen."
"Maaf karena tak bisa membawamu ke sini, Sakura," kata Hinata menyesal. Sungguh, ia ingin membawa sahabatnya itu ke apartemennya yang Sasuke berikan untuknya. Tapi Sakura juga tahu diri untuk tidak hidup bersama Hinata yang otomatis akan menganggu Sasuke, dan gadis pink itu tak ingin melakukannya.
"Jangan meminta maaf padaku, sayang. Hiduplah yang nyaman di sana. Kita masih bisa bertemu di kampus, kan? Jangan bersedih, oke?"
.
.
.
Untuk ke dua kalinya manik itu terbuka. Beruntung hari ini jadwal kuliahnya siang, jadi ia bisa menghabiskan sisa waktunya untuk istirahat—pergi tidur.
"Tidurmu nyenyak sekali." Hinata pasti sedang berhalusinasi. Sasuke tak mungkin ada di sini di pagi hari ini. Ia sedang kesal dengan Hinata, dan ia cukup yakin kalau pria itu tak akan menemuinya untuk waktu dekat ini. Lagi pula ia pasti sedang sibuk bekerja.
"Aku pasti gila karena melihat Sasuke," keluhnya. Ia memutuskan untuk tidur lagi. Jam masih menunjukkan pukul sembilan. Masih empat jam lagi sebelum jam kuliahnya di mulai.
"Kau memang gila, Hinata." Lelaki yang bernama Sasuke itu berjalan mendekati si gadis dan mencium bibir merahnya. Hinata kaget, dan reflek mundur menjauhi Sasuke.
"Sasuke?!" pekiknya.
Lelaki dewasa itu tersenyum, tidak, lebih tepatnya menyeringai. "Kau merindukanku?"
"Kenapa kau di sini?"
"Ini apartemenku, Hinata. Jangan lupakan itu. Ingat? Aku bebas berkeliaran di sini." Lelaki itu membuka selimut Hinata dan melihatnya dengan pandangangan nakal.
"Aku pikir kau masih marah denganku."
"Ya, aku memang masih marah denganmu. Tapi aku benci melihat gadis yang belum mandi tidur di ranjangku saat matahari sudah naik."
"Oke, aku akan mandi. Puas?" Hinata berkata dengan jengkel. Ia benci kelakuan Sasuke yang selalu memerintahnya. Memang ia siapa?
"Kau butuh bantuan, Hinata?" bisik lelaki dengan seduktif. Pelukan di pinggang si gadis terlihat sangat erat, dan sang Hyuuga paham dengan maksud lelaki itu. Sasuke, dia menciumi leher dan sesekali menggigitnya. Ia tahu Hinata pasti akan melemah dengan sentuhan-sentuhan kecilnya. Tanganya juga tak kalah nakal. Ia mulai mencari-cari kancing kemeja kedodoran si gadis dan mencoba untuk melepasnya.
Kemeja putih itu terlepas, dan menyisakan bra warna hitam yang terlihat seksi dan menggoda di mata Sasuke. Sudah berapa lama ia tidak menyentuh sesuatu yang ada di balik bra itu? Sekitar seminggu, mungkin? Tangannya nakal, mencoba menelusup dan meremas dada Hinata. Namun, Hinata menghalanginya dan membuat sang pria semakin tak sabaran. Ia membanting Hinata ke ranjangnya yang besar.
Napas Hinata tersenggal-senggal. Ia benci Sasuke yang tak sabaran. Bukankah lelaki yang sedang sibuk dengan dadanya ini ingin ia segera mandi? Namun akal pikirannya menolak ketika Sasuke sudah memberikan kenikmatan yang lain. Bercinta di pagi hari bukan yang buruk, bukan? Meski ini pertama kali bagi si cantik.
.
.
.
"Bukankah kau harus bekerja, Sasuke?" Hinata bertanya saat lelaki itu menggosok punggungnya. Setelah mereka bercinta, Sasuke tak memberikan waktu istirahat untuknya. Ia bersikukuh untuk memandikan Hinata. Ini memang bukan kegiatan pertama mereka, tapi tetap saja, bagi Hinata, ia belum terbiasa. Di belakangnya ada singa lapar yang kapan pun siap memangsanya.
"Aku mengambil libur," jawabnya, "berbaliklah." Hinata menuruti perintah sang singa. Menatap sang pria dengan segala kesempurnaan yang ia miliki. Astaga, lelaki di hadapannya ini benar-benar sempurna. Sasuke begitu tampan, mempesona juga memikat meski usianya sudah tiga puluh lima tahun. Di usianya yang sudah matang, ia justru tampil dengan mempesona. Berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang mungkin akan pudar pesonanya ketika usianya sudah mendekati kepala empat. Namun itu tak berlaku untuk Sasuke. Pria ini sungguh luar biasa. Ia justru semakin bersinar dengan terang dengan sikapnya yang arogan, kedewasaannya dan segala yang ia punya. Siapapun yang melihatnya pasti akan terjerat dengan pesona tatapan matanya; tajam namun memabukkan. Hinata bahkan tak ingat kapan ia bisa menolak jerat sang pria yang pantas menjadi pamannya ini.
Apa, paman? Ya, kau benar. Hinata hanyalah gadis belia yang baru menginjak usia ke-19 tahun. Sangat belia, bukan? Lalu bagaimana ia bisa bercinta dan mandi dengan sosok yang lebih pantas menjadi pamannya itu?
"Paman," panggilnya.
"Kau tahu aku benci panggilan itu, Hinata."
Hinata tertawa lalu mencium bibir pria dewasa itu. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Sasuke. Ia lalu memagut bibir ranum Hinata yang selalu menggodanya, meminta untuk disentuh oleh bibirnya. Suara air menghiasi kecupan panas mereka. Mereka seolah lupa tujuan awal, yaitu mandi. Siapa yang peduli dengan mandi, air di bathtub sudah cukup untuk membilas tubuhnya yang kotor.
.
.
.
TBC
.
.
.
Hallo ._.)/
krikkrikkrik
Masih ingat dengan saya, si tukang php? Tolong jangan bunuh saya, karena belum melanjutkan fic yang sebelumnya malah berani-beraninya bikin fic baru. Maafkan daku m(_ _)m
Dan untuk bahasanya, kacau sekali ya? Saya sadar diri kok. Udah lama enggak menulis, jadi beginilah jadinya. Maafkan daku. Juga ceritanya, sangat absurd ._.v
Menerima kritik dan saran :)
Bunga Teratai
31 Maret 2015
