"Aku melihatmu melamun, ada masalah dengan kesehatan nenekmu?"

Sakura nyaris terlontak dari tempat duduknya, ia menoleh dengan wajah pias kearah teman sebangkunya—Uzumaki Karin.

"Karin? Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Karin menatap heran kearah sakura, berteman sejak masa kanak-kanak membuat Karin begitu mengenal sosok Haruno Sakura, namun hari ini ia melihat sisi sakura yang belum pernah ditemuinya. Sakura berubah menjadi sosok yang lebih pendiam dari sebelumnya.

"Apa benar Sasori masih sekolah disini? Apakah dia benar-benar masih ada? Maksudku—Karin, tadi dia meninggal, maksudku, aku bukan bermimpi, aku—"

Kedua alis Karin menukik tajam. "Tentu saja Sakura,berhentilah meracau dan hilangkan wajah pucatmu itu, semalam kau hanya mimpi buruk, aku yakin sekali."

Sakura hendak membuka mulutnya, meyakinkan Karin tentang apa yang semalam ia lihat dengan mata kepala.

Pupus. Sosok yang tidak ingin ditemuinya kini berdiri disana. Diambang pintu kelas mereka.

Karin mengikuti arah pandang Sakura. Dengan wajah pucat pasi yang begitu kentara, memandangi Sasori bahkan sampai lelaki itu menempati tempat duduknya.

"Aku tahu sejak dulu kau menyukainya, tapi kurasa kau harus mengganti wajah pucatmu itu dengan sedikit rona-rona bahagia." Karin tertawa kecil, "Ayolah Saki, kau hanya mimpi buruk."

Sakura tidak mengindahkan ucapan sahabatnya sama sekali. Pelipisnya dipenuhi keringat, pandangannya kosong, wajahnya pucat. Sementara Karin sedang tertawa kecil, disisi lain Sakura tengah melawan rasa takut dalam dirinya.

Akasuna Sasori disana. Lelaki yang diam-diam ia sukai sejak kelas satu, dan laki-laki yang seharusnya sudah meninggal dunia.


.

.

.

.

.

NARUTO © MASASHI KISHIMOTO

Sasori/Sakura

T/AU/Typo

Romance/Angst

untuk kak Yukeh

Dan untuk readers, tentu saja

.

.

.

.


"Baik, untuk pembagian praktikum kali ini pasangan akan sensei tentukan, Uzumaki Karin dengan Neji—" Karin seketika memeluk Sakura sambil bergumam 'syukurlah' berkali-kali.

Sakura berusaha tersenyum, sementara ketika matanya bertemu dengan kedua mata Sasori, ia bisa merasakan tengkuknya meremang seketika. Buru-buru ia membuang wajahnya kearah lain, sementara Sasori mengernyitkan sebelah alisnya.

Sakura berharap akan dipasangkan dengan Tenten atau Ino Yamanaka sebelum Kakashi-sensei mengumumkan Akasuna Sasori adalah pasangan praktikumnya.

"Baiklah, mulai hari ini, setiap mata pelajaran biologi kalian harus duduk bersama pasangan praktikum kecambah."

Sakura memucat seketika. Adakah yang lebih buruk dari ini?

.

.

.

.

Selama tiga tahun berturut-turut berada dalam kelas yang sama, baru kali ini ia berada sedekat ini dengan Akasuna Sasori. Meskipun rasa takut yang luar biasa benar ia rasakan, namun sisi lain dalam dirinya merasa bahagia.

Sakura ingat ketika masa orientasi siswa. Saat itu panitia meminta para juniornya untuk membawa bunga mawar merah tiga tangkai, dan sialnya Sakura lupa. Kemudian ketika ia sedang menangis karena pemeriksaan barang bawaan hampir sampai pada barisannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Lelaki berambut merah dengan manik caramel menatap teduh kearahnya.

"Ini, pakai bungaku saja." Tanpa persetujuan Sakura, Sasori memasukan tiga tangkai bunga tersebut kedalam keranjang Sakura.

Ia bahkan belum sempat mengucapkan kata terimakasih.

"Pengamatan kecambah kita lakukan dirumahmu saja."

Sakura tersentak, lamunanya pecah. Dengan gerakan patah-patah ia menoleh kearah Sasori.

"I-iya Akasuna-san."

"Wajahmu pucat." Sakura membeku, ia menumpukan pandangan pada kedua karamel Sasori. Lelaki itu menyentuh pipinya. Perasaan takut dan bahagia memenuhi rongga dada Sakura.

Sakura memutuskan untuk sejenak melupakan kematian pemuda dihadapannya, yang di rasakan hanya kebahagiaan membucah dari dadanya.

.

.

.

.

Sakura memandang dua buah jeruk yang terjatuh lalu menggelinding ketengah jalan raya. Ia menyerahkan keranjang belanjaan kepada supir yang menemaninya belanja, kemudian mengejar ketiga buah favorit neneknya.

Kejadian itu begitu cepat.

Suara rem, klakson dan sebuah dorongan keras pada bahu kirinya.

Sakura menolah dengan sisa-sisa kesadarannya, Akasuna Sasori berada tak jauh dari tubuhnya. Tubuh lelaki dipenuhi darah dan matanya memandang lembut kearah Sakura. Sakura masih sepenuhnya sadar, ia baik-baik saja. Matanya masih benar dan pendengarannya masih normal, suara orang-orang disekitar menyerukan kengerian mereka tentang kejadian barusan.

"Laki-laki itu akan meninggal, lihat darahnya." Seseorang berseru dari arah yang tidak bisa Sakura perkirakan. Dunianya berhenti, terikat dengan mata Sasori yang sinarnya semakin pudar. Jarak mereka hanya beberapa meter, namun Sakura seolah tak mampu menghapus jarak mereka barang seinci pun.

Sakura ingin menangis, ia juga ingin sekali memeluk Sasori, ia juga ketakutan,. Semuanya. Ia ingin semuanya. Tangan Sasori terulur, dan Sakura melakukan hal yang sama seolah mempu menggapainya.

Sinar bulan dan lampu jalanan seakan menyorot total Sasori yang sedang terkapar. Uluran tangan itu terjatuh, lemas seiring redupnya kedua poros mata Sakura. Gema kematian Sasori berdenging ditelinganya, pun tangan Sakura masih diudara. Berharap Sasori akan terbangun kemudian menyatukan uluran mereka.

Sasori pergi tanpa sepatah kata, juga belum sempat ada terimakasih keluar dari mulut Sakura. Akasuna Sasori pergi tanpa suara, dengan tiba-tiba sebelum gerimis menyapa.

Sasori menyelamatkan Sakura untuk kedua kalinya.

Untuk yang terakhir kalinya.

Yang Sakura ingat adalah suara supir pribadi neneknya sebelum kegelapan menyakitkan menarik kesadarannya.

"AAARRRRGHHHH!"

Sakura terbangun diatas tempat tidurnya, jam dinding menunjukan angka dua, mentari musim panas menyengat total kaca jendela kamarnya. Ia langsung berlari keluar kamar, mencari supir pribadi neneknya yang malam itu menjadi saksi kematian Sasori karenanya.

.

.

Shino Aburame memandang heran sekaligus iba kepada cucu semata wayang majikannya. Nona beasarnya memanyakan perihal yang sama sekali tidak Shino tau. Karena hari minggu, Shino hanya berdiam diri didalam kamar yang disediakan untuknya. Lagi pula siang ini ia tidak memiliki pekerjaan.

Sakura tengah memandang pria paruh baya dihadapannya dengan mimik wajah kaget luar biasa.

"Aku rasa nona hanya mimpi buruk saja."

Mimpi buruk? Sisi dalam diri Sakura merasa lega meskipun sisi lain mengatakan sebaliknya. Semoga ini mimpi buruk.

Hanya mimpi buruk.

Lutut Sakura lemas, ia membiarkan tubuhnya merosot bersama lolosnya air mata keputusasaan.

Jika ini mimpi, ini adalah mimpi yang paling kejam.

.

.

.

.

Sakura yakin tengkuknya tidak berhenti meremang, Sasori berada disampingnya, tengah mencatat perkembangan kecambah mereka. Ada dua jenis kecambah yang menjadi laporan praktikum mereka. Yang pertama; kecambah yang ditaruh diruang gelap, yang kedua; kecambah yang sengaja ditaruh diluar ruangan dengan sinar mata hari yang cukup. Waktu untuk penelitian pertumbuhan kecambah adalah tiga hari, hari ini hari pertama, sekaligus hari dimana Haruno Sakura mati-matian menahan debaran jantungnya.

"Haruno-san, aku sedikit haus."

Sakura berusaha bersikap senormal mungkin, mengabaikan perasaan senang dan takut yang begitu kental dalam hatinya.

"I-iy—maaf aku lupa, sebentar." Sakura berlari menuju dapur, meninggalkan Sasori dibelakang rumah neneknya.

Sasori hanya mengedikan bahu melihat sikap rekan praktikumnya. Sakura datang dengan dua gelas jeruk dingin, menaruhnya dimeja dekat tempat praktikum mereka. Sasori melirik Sakura dengan ekor matanya, a beranjak kemudian meminum jus jeruk asli buatan Sakura hingga tandas.

Mereka kembali berkutat dengan kecambah setelahnya.

Sakura terkejut hebat, wajahnya merona ketika Sasori menyeka noda jus jeruk dipipi kanannya.

Wajah mereka begitu dekat hingga Sakura tidak bisa membedakan mana angin, dan mana hembusan nafas Sasori. Kedua karamel itu begitu dalam, membawa Sakura masuk jauh, jauh sekali hingga begitu sadar, bibir mereka sudah bersentuhan.

Dingin sekali sampai sakura merasa ada balok es menjelajahi rongga mulutnya.

Sasori melepas bibir mereka perlahan-lahan seperti ketika penyatuan.

Tatapan matanya teduh, ada senyum kecil yang sekali lagi menciptakan rona dikedua pipi Sakura. Sakura ingin pingsan saja ketika Sasori mencium kedua pipinya, sambil berucap "Sampai ketemu besok." Sebelum lelaki itu pergi melalui pintu belakang.

Rumah Sasori memang tidak terlalu jauh dari sini, jalan belakang rumah neneknya ini menghubungkan dengan jalan menuju perumahan tempat Sasori tinggal—kata pemuda itu.

.

.

.

.ini adalah hari terakhir penelitian praktikum mereka, sedikit banyak Sakura sudah bisa menerima mimpi buruk yang dialaminya tentang kematian Sasori.

Hatinya berkata bahwa itu adalah kenyataan, sedangkan akal sehatnya mencoba untuk rasional mati-matian. Setelah mengalami mimpi seperti nyata, ia terbangun diranjang kamarnya seperti biasa, meskipun punggungnya agak nyeri, namun hingga selesai sarapan Nenek Tsunade tidak mengatakan apa-apa perihal kecelakaan.

"Dulu… ketika umurku enam tahun, aku pernah mengalami kecelakaan kecil,"

Sasori memandang kedua manik emerald Sakura dalam, ia menyesap ocha yang disuguhkan oleh nenek sakura tadi setelah mereka menyelesaikan laporan akhir.

Sakura diam, menunggu cerita Sakura selanjutnya.

Setelah insiden ciuman dua hari yang lalu, hubungan Sasori dan Sakura jauh lebih dekat dari pada sebelumnya. Sasori menjadi lebih sering berbicara, sementara Sakura sudah melupakan mimpi buruknya.

Sasori nyata. Kadang dia tertawa sendiri ketika mengingat betapa takutnya ia, ketika pertama kali melihat Sasori memasuki ruang kelas mereka, sementara semalam ia yakin Sasori sudah meninggal dunia dihadapannya.

Sasori yang ia sukai sekarang berada dihadapannya.

"Waktu itu aku tidak tahu jika bermain ayunan terlalu kencang akan mengakibatkanku jatuh, aku jatuh kemudian menangis. Kau tau Sakura? Saat itu seorang gadis kecil berambut merah muda menghampiriku, dia memberiku saputangan putih dengan corak bambu untuk menutup luka pada lututku, Sampai sekarang aku ingat bahwa gadis itu mengaku ia bernama Sakura,"

Sakura menahan nafas, ia ingat betul kejadian itu. Jika Sasori pun diam-diam mengingatnya, lalu kenapa ketika mereka bertemu tiga tahun yang lalu ia diam saja?

"Tiga tahun yang lalu aku bertemu lagi dengannya, dan mulai saat itu aku memutuskan jatuh cinta. Aku ingin mengucapkan terimakasih kepada Sakura, aku beruntung dapat dipertemukan lagidengannya, aku merasa bahwa waktu yang aku punyai akan aku habiskan bersama dengannya. Aku tidak mengaharpkan dia mencintaiku juga, aku hanya…"

Dengan mata berkaca-kaca Sakura menerima bibir Sasori tepat didahinya, bibir itu lebih dingin dari sebelumnya, membuat Sakura merasa hangat diwajah dan dingin didahinya menyatu, menciptakan sensasi pola spiral pada perutnya.

"…Hanya saja aku ingin bersyukur, hari ini, setelah belasan tahun yang lalu, bibirku, mataku, hidungku, setiap sel yang ada dalam tubuhku bisa melepas kata terimakasih kepada Sakura."

Sakura menangis hebat dalam dekapan sang pangeran Akasuna, ia seperti rela menangis hingga lusa jika itu yang akan membuat Sasori tetap mendekapnya.

Sore itu Sasori pulang melalui pintu halaman depan, ia mengecup pipi sekilas sebelum keduanya berpisah dalam keheningan. Sakura begitu merasa bahagia hingga Ia tak mampu brucap 'terimakasih' dan 'sampai jumpa besok', pun Sasori hanya membisu dibalik senyum tipisnya.

.

.

.

.

Sakura terbangun dengan kepala pening.

Ia segera bergegas mandi, sebelum berangkat menuju kesekolah. Hari ini ia sengaja bangun pagi karena berniat membawakan bekal untuk Sasori. Mereka belum berpacaran, namun Sakura sudah lega ternyata ini bukan perasaan suka sepihak. Sasori pun merasakan perasaannya.

"Kau sudah baikan, sayang?" Sakura memandang wajah neneknya yang tengah menunjukan raut kekhawatiran. "tentu saja nek." Sakura bahkan merasakan perkataanya hambar.

"Syukurlah… kemarin malam kau pingsan saat pulang dan tidak sadar semalaman, nenek sangat khawatir, oh iya, keluarga Akasuna sama sekali tidak menyalahkanmu, kematian Akasuna Sasori adalah murni kecelakaan, jasad Sasori tadi pagi sudah dimakam—Sakura!"

Sakura pernah merasakan ini, perasaan sesak yang begitu hebat hingga membuatnya ingin berteriak mencari pelepasan. Ia berlari mencari kepastian. Meninggalkan sang nenek yang tengah kebingungan.

Sasori.

Kemarin Sasori baru saja menyatakan perasaannya. Kemarin Sasori baru saja memeluknya. Dan hari ini Sakura berniat menyataan kesamaan perasaan mereka.

"KARIN!" Sakura berteriak lantang didepan pintu rumah keluarga Uzumaki.

Karin keluar dengan handuk merah yang masih membungkus kepalanya, belum sempat bertanya, kemudian Karin memeluk tubuhnya.

"Sakura maaf kalau kemarin aku belum sempat menjengukmu, tadi pagi aku baru pulang dari rumah bibiku, apakah kau ingin menjemputku untuk pergi kerumah Sasori?"

"Sasori belum mati,"

Karin melepas pelukannya, ia mengusap helaian merah muda sakura dengan tatapan iba,

"Dia bahkan Satu kelompok praktikum Kaka-sensei kemarin bersamaku, kami sudah menyelesaikan laporannya, hari ini ia berjanji akan mengajakku menemui ibuna yang sedang sakit, aku sungguh tidak per—"

"SAKURA HENTIKAN, DIA SUDAH TIDAK ADA , DAN DEMI TUHAN SAKURA, PRAKTIKUM KAKA-SENSEI MASIH MINGGU DEPAN, KAU SATU KELOMPK DENGAN TENTEN SEMENTARA AKU BERSAMA NEJI-KUN, SADARLAH! AKU TAHU KAU DISANA KETIKA DIA TIDAK ADA, TAPI AKU MOHON JANGAN SEPERTI INI,"

Air mata Sakura menetes tiada henti, menganak sungai, membasuh sisa-sisa kecupan dingin Sasori dikedua pipinya.

"Semua akan baik-baik saja, biarkan Sasori tenang disana, tolong relakan." Karin memeluk erat sahabatnya, Sakura pasti masih belum menerima kepergian pemuda yang disayanginya sejak lama, agaknya barusan Karin keterlaluan membentak Sakura, seharusnya ia maklum.

Sakura menangis sejadi-jadinya pagi itu didepan kediaman Uzumaki.

Mungkin kemarin adalah mimpi yang sesungguhnya. Mungkin saja.

Sasori yang ada dalam mimpinya begitu nyata. Kecupan dan pelukan pemuda itu yang dingin masih terasa disudut hatinya.

Sakura merasakan kegetiran hebat dalam dirinya, ia bahkan belum mengucapkan 'terimakasih' dan 'sampai bertemu besok' sebelum pemuda itu meninggalkan halaman rumahnya.

Dalam mimpi atau bukan, mereka berpisah tanpa kata 'selamat tinggal'.

.

.

.

.

.

Aku ingin sekali lagi menjalani mimpi sakit yang membingungkan

Karna keduanya membawaku dalam manis pahitnya ketika kita dipertemukan

Suatu saat buatlah ruang waktu seperti ini kembali

Tarik aku masuk kedalam

Buat aku juga bisa mengucapkan 'Terimakasih' sebelum dipisahnkan

.

.

.

.

OMAKE.

.

.

.

Terimakasih untuk yang sudah mau membaca fic SasoSaku saya yang pertama niatnya sih mau ikut event ALM pake tema BODY (T.T)/ tapi pas tanggal akhir malah ini gak bisa publis padahal udah aku ketik seharian, hiks.

Akhirnya fic ini saya rombak sedikit kemudian saya persembahkan kepada kak Yukeh yang kemarin akhir event menjadi tempat Tanya jawab dan keluh kesahku perihal event, juga perihal fic yang gak bisa dipublish. ugh, ini pasti gaje.

Maaf ya kak kalo jeleksss #gelindingan

Masalah ini sebenrnya mana yang mimpi, silahkan berimajinasi xD namanya juga fiksi #ditabok

untuk fic multi chapter yang lain, saya miinta maaf untuk fic multichapter saya yang lain. banyak hal yang tidak bisa saja jelaskan satu persatu disini, untuk yang kadang suka mengingatkan kapan update lewat facebook, saya mengucapkan terimakasih atas perhatian yang readers berikan.

Ditunggu kongkritnya lewat review kongkrit untuk fic alakadarnya ini :*

untuk squel, besar kemungkinan tidak ada, namun tida menutup kemungkinan jika memang fic yang lain sudah mulai teratur updateannya.

Salam Sayang,

Cho Lolo.

.

.

.

.

OMAKE.

Bolos sekolah dan hanya mengurung dirinya seharian dikamar, Karin pergi kepemakaman tanpa dirinya. Sacra bukan tidak mau, ia hanya tidak siap jika harus menghadapi kenyataan.

Nenek Tsunade bahkan sampai kebingungan dengan tingkah lakunya, ia tidak berniat mogok makan atau berbicara, ia hanya enggan. Yang dibutuhkannya sekarang hanyalah ketenangan.

Sang nenek sempat kebingungan ketika ia menanyakan tentang lelaki yang menjadi partner penelitian kecambah dibelakang rumahnya. Sang nenek terlihat heran, ia menjelaskan bahwa sejak semalaman sakura pingsan, dokter bilang bukan kecelakaan serius, Sakura hanya syock hingga mengakibatkan demam.

Sore ini hujan turun dengan sangat deras, Sakura mendekati jendela, kemudian menulis nama Sasori pada embun kaca menggunakan telunjuknya.

Sakura memicingkan mata, menatap meja dibelakang rumah yang berada dibawah jendela kamarnya.

Mengabaikan hujan, ia segera berlari keluar pintu dapur menuju benda yang membuat jantungnya berdebar. Air matanya siap tumpah kapan saja. Disana ada benda-benda yang begitu dikenalnya.

Tanaman kecambah yang kehujanan. Dua buah gelas kosong. Sebuah sapu tangan berwarna putih dengan corak daun bambu.