Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya
Alternate Universe. High school-verse. Two shots (or maybe three? Nah, I'll make it two)
For Arisa-kun. Maaf banget baru bisa dipenuhin sekarang, orz orz orz.
Seorang pemuda berambut pirang jerami berlari sekuat tenaga, melambaikan tangan sambil berteriak memohon pada pengemudi bus untuk menunggunya. Tali sepatu converse merahnya tidak diikat dengan benar, hampir saja terinjak olehnya dan dia akan jatuh terjerembab ke depan mencium aspal yang keras. Dengan cengiran lebar seperti menang lotre, dia melompat naik ke atas bus, sepersekian detik sebelum pintu otomatisnya ditutup.
"Terima kasih karena sudah menungguku, Sir!" Tangannya terangkat dalam pose hormat singkat. Memamerkan deretan gigi putih yang berjajar rapi menyilaukan.
"Tsk, harusnya lain kali aku membiarkanmu terjepit pintu, Jones."
Pemuda itu tertawa. Suaranya bening dan bersih seperti dentingan lonceng gereja di hari Minggu. Dia merogoh saku celananya ―motif kotak-kotak warna biru tua― dan mengeluarkan sejumlah uang koin untuk pembayaran. "Jangan begitu, Sir. Seorang hero sepertiku tidak akan terlihat keren jika terjepit pintu!" Pengemudi bus memutar bola matanya tidak tertarik.
Pemuda itu, Alfred F. Jones namanya, masih tersenyum-senyum. Mengedarkan pandangannya sekilas mengamati kondisi di dalam bus dan mencari tempat kosong untuk duduk. Sepasang mata biru di balik lensa, yang cemerlang seperti langit di musim panas, tertuju pada deret belakang. Tempat favoritnya.
"Yo, Al!" Seorang albino melambaikan tangan padanya. Cengirannya melebar dan sambil membenarkan letak strap tas pada pundaknya, ia berjalan menghampiri kawannya, duduk di sampingnya. "Aku hampir berharap bisa melambaikan tangan padamu dari balik jendela bus seperti kemarin!"
Alfred menyeringai. "Ha! Kali ini aku tidak akan membiarkanmu melakukannya lagi, Gil!"
Kemudian mereka tertawa. Terlibat dalam obrolan seru tentang siaran American Football semalam. Tentang latihan mereka siang nanti dan rencana pertandingan persahabatan minggu depan. Tentang gadis-gadis cheerleader. Tentang menu makan siang. Bahkan tentang pekerjaan rumah yang belum dikerjakan.
Alfred F. Jones merupakan tipikal jock sekolah. Populer, tampan, mudah bergaul, aktif dalam olahraga, dan mempunyai segudang penggemar. Siapa yang tidak mengenalnya? Semua orang di Hetalia International School tahu siapa dia. Kapten tim football sekolah sekaligus presiden organisasi kesiswaan. Sebenarnya dia tidak tertarik pada badan kesiswaan, tapi saking terkenalnya dia, 80% siswa menunjuknya sebagai presiden. Dengan kondisi seperti itu, pengambilan suara tidak perlu dilakukan lagi. Padahal dia tidak mencalonkan diri sebagai kandidat presiden. Dia dipaksa! Tapi sebagai pangeran sekolah yang dipuja-puja, mana mungkin dia mengecewakan ratusan penggemarnya? Dengan itu Alfred resmi dinobatkan menjadi presiden kesiswaan, padahal dia sama sekali tidak tertarik dengan jabatannya. Lalu apa yang terjadi pada badan kesiswaan dengan pemimpin seperti itu?
Bus berhenti pada halte berikutnya. Pintu terbuka dan beberapa orang masuk. Alfred mengangkat kepala dan mata safirnya bertemu dengan manik emerald yang begitu familiar. Kata sapaan belum sempat ia lontarkan, pemuda yang baru masuk tadi membuang muka dan duduk di kursi kosong di depan. Alfred hanya menggeram pelan.
Kalau bukan karena wakil presiden yang sekarang, badan kesiswaan tidak akan terurus karena Alfred terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Arthur Kirkland namanya, si pemilik mata emerald barusan, sekaligus wakil presiden kesiswaan. Dia merupakan antonim dari Alfred. Tidak terkenal, antisosial, tidak suka olahraga, dan tidak mempunyai penggemar. Hanya sedikit orang yang tahu kalau ia adalah vice president. Keberadaan Arthur seperti menjadi rahasia di antara pengurus kesiswaan. Bahkan hampir semua orang akan mengerutkan kening jika ditanya tentang Kirkland. Betapa tidak terkenalnya dia. Semua orang hanya tahu presiden saja. Segala hal yang berhubungan dengan urusan kesiswaan selalu beres di tangan Alfred. Begitu menurut mereka. Yang tidak mereka ketahui, di balik keteraturan organisasi dan rencana kerja yang tersusun rapi, adalah sosok Arthur Kirkland. Pemuda Inggris berambut pirang keemasan yang keberadaannya tak banyak diketahui. Tentu saja tak banyak yang mengenal dirinya. Arthur adalah tipe siswa yang tak akan bicara sampai ditanya. Itu pun akan ia jawab dengan singkat seperlunya. Dia akan duduk di sudut terjauh kafetaria, menghabiskan makan siangnya sendiri dan menghindari keramaian siswa yang sibuk perang sayuran. Dia tidak akan menyapa siapa pun dalam perjalanannya ke dan dari sekolah. Tidak mencoba membangun pembicaraan. Tidak suka menjadi pusat perhatian.
Setahu Alfred, satu-satunya alasan mengapa ia tergabung dalam kepengurusan kesiswaan, bahkan hingga menjadi wakil presiden, adalah karena pengaruh Kiku. Pemuda Asia itu yang menyeretnya masuk ke organisasi dan merekomendasikan Arthur sebagai wakil. Tentu saja tak ada yang keberatan. Tidak ada yang cukup berani untuk bersanding dengan Alfred. Entah karena mereka terlalu percaya diri atau tak mau repot. Bagaimana pun juga Alfred memiliki jam terbang tinggi, jadi pasti tugasnya akan banyak dilimpahkan pada wakilnya. Jadi pasti wakilnya yang akan lebih berperan. Jadi pasti wakilnya yang akan banyak direpotkan. Dan Arthur hanya diam saja saat ditunjuk menjadi vice president. Mungkin dia terlalu enggan untuk menolak.
"Hei, siapa yang sedang kau perhatikan?" tanya Gilbert penasaran. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari tahu. Tapi ia tidak melihat seseorang yang terlihat menarik, setidaknya untuk dirinya.
Alfred hanya menggelengkan kepala dan tertawa. "Tidak ada." jawabnya.
"Hmm, tentu saja tidak ada! Tidak ada yang cukup awesome seperti diriku hingga bisa menarik perhatianmu!" Gilbert memainkan kedua alisnya jenaka.
Alfred memutar bola matanya.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam saat Alfred melangkah keluar dari bilik kamar mandi menuju ruang ganti. Selesai latihan tadi coach menahannya untuk berdiskusi tentang strategi pertandingan persahabatan nanti. Akhirnya hanya tinggal ia sendiri, teman-teman satu timnya sudah pulang dari tadi.
Ia membuka lokernya dan mengeluarkan kemejanya. Memakainya, tak peduli rambut pirangnya masih basah. Kemudian celana bahan motif kotak-kotaknya, dan yang terakhir adalah jaketbernomor 50 yang menjadi ciri khasnya. Blazer biru tua, baju kotor, dasi dan kaos kaki ia jejalkan ke dalam tasnya dengan asal. Duduk di bangku panjang, Alfred menyimpulkan tali sepatunya. Ia berdiri dan mengecek pantulan dirinya di cermin. Tetap tampan seperti biasa. Oh, tentu saja dia terlihat seksi dengan rambut setengah kering dan muka berseri-seri. Alfred menyapukan tangan pada surai pirangnya sambil berlalu pergi meninggalkan ruang ganti. Ia ingin segera sampai di rumah dan merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk.
Derap langkahnya terdengar menggema di koridor sekolah yang sunyi. Tentu saja semua orang sudah pulang. Siapa yang masih tinggal di sekolah jam segini?
Tapi kemudian alisnya mengernyit. Lampu ruang kesiswaan masih menyala. Sinarnya menyusup keluar dari celah sempit pada pintu, menyinari koridor yang temaram. Alfred melongokkan kepalanya. Apa yang ia lihat membuat keningnya berkerut lebih dalam. Apakah itu Arthur yang duduk di kursinya ―kursi sang presiden!― dengan kepala tersembunyi pada telungkupan tangan? Yang ia lihat hanya kumpulan rambut pirang liar berantakan. Khas Kirkland. Ya, tentu saja itu dia. Hanya Arthur yang berani duduk di kursinya tanpa izin. Kurang ajar sekali dia.
Alfred berdecak pelan. Tiba-tiba saja ia mengaktifkan mode stealth, melangkah masuk dengan hati-hati. Ia berdiri di depan meja mahoni ―meja sang presiden!― dan melipat kedua tangannya. Terlintas di benaknya untuk mengagetkan Arthur. Sebuah gebrakan keras di meja tentu akan membuat telinganya berdenging. Pelajaran untuk orang yang telah seenaknya menggunakan properti miliknya.
"Hnghh―"
Alfred mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Apakah barusan Arthur yang bersuara?
Dia merunduk dan memiringkan kepalanya mencoba melihat Arthur lebih jelas lagi. Hanya untuk memastikan kalau orang Inggris itu benar-benar tertidur. Alfred harus menutupi mulutnya untuk menahan tawa yang mencoba keluar. Sepasang alis tebal yang lebih mirip ulat bulu yang bertengger di atas mata Arthur tak pernah gagal membuatnya tergelitik.
Biasanya ia tak akan mampu menahan tawa lebih lama, tapi alis Arthur yang mengernyit dalam bahkan saat tidur, berhasil menghilangkan kegeliannya. Apalagi ada kantong tidur di bawah kedua matanya. Bahkan bahunya tidak berada dalam posisi santai, tegang penuh beban tekanan. Arthur terlihat begitu lelah. Pemuda ini pasti kurang tidur.
Setumpuk dokumen di atas meja menarik perhatian Alfred. Ia menegakkan badannya, mengulurkan tangan membuka-buka lembaran kertas A4. Semuanya tentang program kesiswaan. Laporan pertanggungjawaban kegiatan yang telah lalu, proposal acara yang akan datang, laporan keuangan, surat-surat , dan file-file kesiswaan lainnya. Alfred mengerutkan keningnya. Bahkan ia tidak tahu apa saja isinya. Semuanya ditulis atas nama presiden kesiswaan, tinggal menunggu tanda tangan darinya saja.
Alfred meringis getir dan kembali memandangi sosok Arthur yang masih terlelap.
Selama ini dia tidak menyadari Arthur bekerja terlalu keras menyelesaikan urusan kesiswaan. Dia berperan ganda, sebagai vice president sekaligus presiden di balik layar sendiri. Alfred terlalu mementingkan tim football yang telah mengharumkan nama sekolah, hingga tak melakukan tugasnya dengan benar. Oh, tentu saja yang diketahui orang-orang hanya Alfred, presiden kesiswaan yang penuh tanggung jawab dan dedikasi tinggi. Semua program dan acara yang sukses diadakan adalah berkat dirinya. Padahal dia tidak melakukan apa-apa selain berdiri di podium dan melakukan pidato sederhana. Padahal yang setiap hari tinggal hingga larut menyelesaikan setumpuk laporan adalah wakilnya. Adalah Arthur Kirkland yang bahkan tidak dikenali oleh 80% siswa sekolah ini. Dan Alfred yang menerima semua pujian serta tepuk tangan. Ironis sekali.
"Arthur. Hei, Arthur―" Alfred berbisik, menepuk pundak Arthur pelan. Akhirnya dia tidak jadi menjalankan rencananya mengagetkan si alis tebal ini. Dia tidak sampai hati melakukannya. "Artie."
Sepasang mata emerald terbuka perlahan. Tidak fokus. Mengerjap sekali, dua kali; masih belum fokus sempurna. Saat Arthur mulai mengangkat kepalanya yang terlihat begitu berat, Alfred mundur selangkah dan menunggu. Kirkland menolehkan kepalanya ke samping-samping, terlihat bingung. Sudah berapa lama ia tertidur, Alfred tidak tahu. Tapi melihatnya seperti orang amnesia cukup menghibur Alfred.
Oops, apakah itu air liur yang mengering di sudut mulutnya? Alfred jadi ingin tertawa lagi.
Arthur belum sadar sepenuhnya, tapi begitu tahu kalau ia tidak terbangun sendirian, yang selanjutnya ia lakukan adalah mengusap daerah sekitar mulutnya menggunakan ujung lengan blazer biru tua. Mukanya sedikit memerah. Sepertinya dia sadar kalau telah tertidur dengan tidak elit dan mengeluarkan air liur.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Arthur bertanya dengan suara parau. Ia berdehem dan membenarkan seragamnya.
"Oh, tidak ada. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu tidur di kursiku. Hanya itu." Alfred mengangkat bahu.
Arthur mendengus. Ia membereskan tumpukan kertas yang kusut karena ia tiduri. Mengemasi peralatan tulisnya dan merapikan dokumen-dokumen di atas meja. Sementara Alfred hanya berdiri dan memperhatikan saja.
"Kau belum pulang?" Ia bertanya. Sesuatu yang sudah jelas jawabannya. Pertanyaan bodoh. Tentu saja Arthur belum pulang, buktinya dia masih ada di sini. Tiba-tiba saja ia merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Si Kirkland ini jarang bicara, apalagi membicarakan tentang dirinya sendiri. Jadi Alfred tidak tahu apa kesukaannya, atau apa yang sering ia lakukan di waktu luang.
Arthur menggelengkan kepala, seraya memasukkan dokumen-dokumen ke dalam folder. Tak butuh waktu lama hingga meja presiden kesiswaan rapi seperti semula. Rapi karena tak pernah digunakan, lebih tepatnya. Alfred kan jarang sekali duduk manis di sini dan mengerjakan dokumen. Coret yang tadi. Dia tidak pernah duduk dan mengerjakan dokumen kesiswaan di sini.
"Kalian latihan hingga selarut ini? Pasti berat mempertahankan gelar juara."
Ia beranjak untuk pergi. Menenteng tas dan folder dokumen tebal.
"Coach ingin mendiskusikan sesuatu, jadi aku tinggal lebih lama." Alfred menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Rambutnya belum kering benar, lembab tersentuh ujung jarinya. "Kau sendiri, apakah selalu tinggal hingga selarut ini?"
Dia mengekor Arthur keluar dari ruang kesiswaan, setelah mematikan mati dan memastikan semua jendela telah terkunci. Berjalan beriringan melewati koridor sekolah yang temaram. Suara derap langkah mereka menggema dalam sepi.
"Tidak, tapi ada banyak laporan yang harus aku periksa sebelum kau tanda tangani. Tentu kau tak mau membacanya satu per satu, kan?" Arthur menoleh ke arah Alfred, memicingkan sepasang mata emeraldnya tajam.
Alfred hanya mengangkat bahu. "Kau tahu bagaimana tim football sekolah. Aku tidak akan punya waktu untuk sekedar memeriksa dokumen-dokumen kesiswaan." Ia beralasan.
Arthur hanya mendengus.
"Tentu saja. Kau hanya perlu tanda tangan dan pidato seperti biasa. Aku yang akan mengurus semuanya. Git." Dengan itu Arthur berjalan duluan, meninggalkan Alfred yang hanya bisa diam memandang punggungnya yang semakin menjauh.
Ia tidak bermaksud melimpahkan semua tanggung jawabnya pada Arthur, sungguh. Tapi ia juga tidak mungkin meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kapten tim football. Kalau boleh, tentu dia akan mengundurkan diri dari kesiswaan. Hanya agar Arthur mendapatkan posisinya yang seharusnya. Dia adalah presiden kesiswaan yang sesungguhnya. Tugas Alfred sebatas seremonial saja. Dia bahkan tidak berkontribusi langsung. Semuanya beres di tangan Arthur. Dia yang bekerja keras di balik layar.
Dan siapa yang menerima semua pujian dan tepuk tangan? Alfred.
Benar-benar ironis.
Jam tujuh pagi Alfred sudah melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolahnya yang megah. Agak aneh memang, bahkan untuk dirinya sendiri. Biasanya sepagi ini ia belum bangun, alarmnya baru akan berbunyi jam setengah delapan. Ibu dan Mattie keheranan melihatnya sudah rapi dan duduk di depan meja makan sambil mengunyah roti.
Masih belum ada siapa-siapa di sini. Hanya satpam sekolah dan tukang bersih-bersih yang terkejut akan kehadirannya. Tentu saja. Alfred F. Jones terkenal karena sering terlambat.
Dengan langkah ringan ia berjalan menyusuri lorong sekolah, bersiul-siul riang. Hari ini suasana hatinya sedang bagus, entah mengapa. Ternyata bangun pagi menyenangkan juga. Kemarin malam ia kelelahan setelah latihan dan tidur nyenyak sekali. Kemudian pagi ini bangun dengan badan segar bugar. Kapan terakhir kali ia begitu bersemangat di pagi hari?
Langkah kakinya terhenti di depan ruang kesiswaan. Alfred mendekat dan menempelkan telinganya ke daun pintu. Samar-samar ia dapat mendengar makian dari dalam. Suara Arthur, tidak salah lagi. Apa yang ia lakukan sepagi ini di dalam sana?
Alfred membuka pintu dan mempersilakan dirinya masuk. Ia langsung bertemu pandang dengan sepasang mata emerald yang memicing lelah. Warnanya agak merah; kurang tidur. Arthur sedang mengusap-usap kemejanya dengan tisu. Sedikit basah di sana. Sepertinya ia menumpahkan minuman mengenai seragamnya.
Arthur mengangkat alis tebalnya heran. "Jones? Apa yang kau lakukan sepagi ini?"
Alfred menutup pintu di belakangnya dan melangkah mendekat ke arah Arthur yang lagi-lagi duduk di kursinya. Setumpuk dokumen yang ia periksa semalam sudah tertata rapi di atas meja.
"Aku bangun kepagian. Entahlah." Ia mengangkat bahu.
Arthur menghela nafas. "Kukira kau ada latihan pagi." Tisu bekas ia lemparkan ke sudut ruangan. Sayang sekali hanya menyenggol bibir tempat sampah, jatuh ke atas lantai. Ia menggerutu dan bangkit berdiri untuk membuang tisu sialan itu ke dalam tempat sampah.
"Coach memberi waktu istirahat untuk hari ini. Besok kami akan bertanding melawan Madison." Arthur hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Alfred memutuskan untuk duduk di sofa dan meluruskan kedua kakinya ke depan. "Kau sendiri― masih sibuk menyelesaikan dokumen?"
Pemuda Inggris itu menggelengkan kepala.
"Sudah selesai." Keningnya berkerut saat ia memegang bekas basah pada kemejanya. Sedikit lengket. "Kalau kau ada waktu, aku perlu kau menandatangani beberapa dokumen."
"Oh. Tentu. Sekarang?"
"Besok."
"Huh?"
"Tentu saja sekarang." Arthur mendengus. "Git." Ia menambahi.
Alfred tidak tahu apa artinya, tapi pasti bukan suatu pujian. Dia hanya menghela nafas dan beranjak dari sofa, berpindah untuk duduk di kursi presidennya. Rasanya sudah lama sekali ia tak duduk di sana. Rasanya hangat, pasti Arthur sudah lama duduk di situ.
"Jadi? Mana dokumen yang harus aku tandatangani?" Sebuah pena telah siap dalam genggaman tangan kanannya. Saatnya dia melakukan tugasnya.
"Hmm, biar kulihat―"
Arthur berdiri di sampingnya, memilah-milah dokumen mana saja yang harus ia tandatangani. Ia menjelaskan beberapa hal yang perlu Alfred ketahui. Garis besarnya saja. Detail dan hal-hal kecil lainnya telah tercetak di atas kertas dan terpatri dalam pikirannya. Tentu saja Arthur tahu. Bagaimana pun juga dia sudah memeriksa semua dokumen ini semalaman, mengoreksinya, dan memahami isinya. Alfred hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
Selama setengah jam ke depan terjadi diskusi singkat di antara mereka. Tentang kesiswaan, tentu saja. Hubungan di antara mereka berdua hanya sebatas ketua dan wakilnya. Tidak lebih. Alfred berpura-pura mendengarkan, menganggukkan kepalanya dan bergumam sesekali. Sementara Arthur menjelaskan panjang lebar. Hanya di saat seperti ini ia banyak bicara. Alfred tidak akan sempat membaca semua dokumen, tapi sebagai presiden ia harus mengetahui segalanya. Arthur melakukan tugasnya dengan baik dan menjelaskan semua padanya.
Alfred melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan tiap-tiap ekspresi wajah Arthur. Mata emeraldnya mengerjap. Alisnya mengernyit. Kadang ia melihat ke kanan atas, kemudian berganti ke bawah. Kadang mempertemukan kedua pasang mereka, lalu berpaling lagi. Tapi Alfred paling senang mendengarkannya bicara, dengan aksen British yang kental dan mengirim getar pada ruas-ruas tulang punggungnya. Entahlah. Sesuatu tentang cara Arthur bicara selalu menarik perhatiannya. Sayang sekali pemuda itu pelit suara, kecuali untuk hal-hal yang amat penting saja. Akhirnya Alfred meletakkan siku kanannya di atas meja, dagu bertumpu pada telapak tangannya dan memandangi Arthur bicara panjang lebar padanya. Mendengarkan suaranya sepenuh hati seperti lagu buaian.
Sampai sepasang mata emerald memicing tajam ke arahnya, diikuti jentikan jari pada dahinya cukup keras. Alfred melonjak dan berteriak kaget dengan tidak elegan. Ia mengusap-usap dahinya yang kini terasa perih.
"Aduh! Apa maksudnya itu?!" Ia bertanya dengan kesal.
Arthur mendengus, meletakkan kedua tangannya di atas pinggang. "Kau tidak mendengarkanku!"
"Aku mendengarmu, Artie!" Alfred mencoba membela diri.
"Oh, ya? Kalau begitu coba jelaskan padaku tentang konsep seremoni pelepasan senior kita semester depan!" tantangnya. Dadanya ia busungkan ke depan, mencoba membuat sosoknya terlihat lebih tangguh. Tapi percuma saja, dia yang kurus kering seperti itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Alfred sang jock sekolah. "Dan namaku Arthur!"
"Itu― ehm, apa tadi? Pesta perpisahan―"
Sebuah gebrakan pada meja menghentikan omongannya.
"Tsk! Tentu saja kau tidak mendengarkan penjelasanku, Jones! Kau terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Padahal ini adalah tugasmu. Tugasmu! Kau pikir kenapa aku bersusah payah menjelaskan semuanya kepadamu?! Karena kau bahkan tak punya waktu untuk membaca garis besarnya sendiri!" pekik Arthur marah. Matanya yang sedikit memerah berkilat-kilat. "Football, football,dan football! Selalu itu saja alasanmu. Apakah kau akan mati kalau tidak mengurusi tim football sialan itu sehari saja?!"
Sudut mata Alfred mengejang mendengar ledakan kemarahan Arthur. Dia datang sekolah pagi-pagi bukan untuk mendengarkan Arthur merutuki tim football mereka yang terkenal. Bukan salah Alfred kalau ia terlalu sibuk dengan kegiatannya di bidang olahraga, kan? Sejak awal prioritas utamanya adalah football. Dia masuk ke sekolah ini pun karena ingin tergabung dengan tim legendarisnya sekarang. Siapa juga yang mau repot-repot memimpin organisasi kesiswaan? Terlalu merepotkan, dia tak punya waktu untuk itu. Alfred dipaksa. Dia tak pernah mengajukan diri. Bukan salahnya kalau akhirnya Arthur yang harus menanggung semuanya dan bekerja keras mengurusi ini itu. Orang Inggris itu sendiri yang melakukannya dengan sukarela. Alfred bahkan tak pernah menyuruhnya.
"Heh, maaf saja kalau aku sibuk dengan tim football dan kehidupan sosialku hingga tak ada waktu untuk menyusun rencana pelepasan senior kita! Aku tidak seperti dirimu yang tak punya teman dan tak punya kegiatan lain selain mengurusi kesiswaan!"
"Ya, tentu! Orang barbar sepertimu tak punya otak, hanya otot! Tentu kau senang berlarian dan bertubrukan seperti orang bodoh hanya memperebutkan sebuah bola!"
Pada akhirnya Alfred bangkit dari kursinya. Dalam posisi berdiri perbedaan tinggi badan dan postur tubuh mereka terlihat jelas. Tergabung dalam tim football sejak sekolah menengah mempunyai keuntungan sendiri bagi Alfred. Ia berpostur tinggi dengan tubuh terbentuk, lengan dan bahu yang kuat karena seringnya berbenturan memperebutkan bola di lapangan. Arthur harus sedikit mendongakkan kepalanya untuk bertemu dengan mata Alfred. Ada kebencian tergambar jelas pada matanya.
"Apa katamu?! Football juga memerlukan strategi, dan strategi berarti memutar otak! Kau hanya iri karena aku begitu tampan dan mempunyai banyak penggemar!"
Dengan jari telunjuknya Alfred mendorong dahi Arthur pelan. Tapi gestur itu berarti menghinanya. Arthur menangkis tangan Alfred dengan kasar.
"Kalau kau begitu senang mendapat perhatian, kenapa tidak menjual diri saja sebagai model?! Orang sepertimu tak pantas menjadi presiden kesiswaan sekolah ini!" Arthur menggeram.
"Maaf saja kalau aku terpilih menjadi presiden bahkan meski tak mencalonkan diri sekalipun! Tidak seperti dirimu, aku tak perlu sibuk-sibuk berkampanye mengemis suara pada anak-anak! Mereka memilihku dengan sukarela!" Kedua tangannya juga ia letakkan di atas pinggang. Jelas-jelas Alfred lebih tinggi dari Arthur, tapi ia tetap saja menegakkan badannya dan memasang tampang garang. Semakin mempertegas perbedaan di antara mereka. "Sementara kau? Kalau bukan karena Kiku, tak akan ada anak kelas lain yang mengenalmu! Oh, coret kata-kataku tadi. Kalau bukan karena Kiku yang memintaku untuk menjadikanmu wakil, tidak akan ada orang lain yang mengenalmu, Arthur! Tidak ada. Hanya Kiku seorang!"
Arthur memicingkan matanya.
"Awalnya kukira kau anak baru, saking tak pernah aku melihat wajahmu sebelumnya. Kukira kau bisu, saking tak pernah kau bicara! Kau ini apa? Alismu jelek sekali seperti ulat bulu! Kikuk, aneh, kutu buku, tidak terkenal, culun, anti sosial dan tak punya teman! Kau menyedihkan sekali, Arthur Kirkland! Orang aneh! Freak!"
Mungkin dia terlalu terbawa emosi. Harusnya tak perlu hingga memaki-maki Arthur hingga sedemikian rupa. Bahkan menaikkan nada bicaranya pun tak usah. Padahal sebelum ini suasana hatinya sedang bagus. Padahal ia pikir harinya akan berlalu dengan lancar dan menyenangkan. Padahal ia hanya ingin membantu meringankan beban Arthur dan mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Padahal ia ingin mendengarkan aksen British yang begitu memukau sambil memandangi sepasang mata emerald yang bersinar-sinar. Padahal ia tidak pernah punya rencana untuk bertengkar dengan Arthur. Tidak sama sekali.
"Kau―" Dan sepertinya Arthur sudah kehabisan kata-kata. Atau mungkin ia tak tahu harus membalas seperti apa lagi makian yang Alfred lontarkan padanya. Sepasang mata emeraldnya terlihat memerah. Tapi bukan memerah karena lelah. Bukan karena kurang tidur. Memerah karena terasa perih berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Ia mengepalkan tangannya erat.
Alfred kira Arthur akan memukulnya. Kemudian mereka akan terlibat perkelahian tak seimbang di dalam ruang kesiswaan. Alfred bahkan sudah bersiap memasang kuda-kuda kalau-kalau Arthur memutuskan untuk melompat ke depan dan menyerangnya duluan.
Tapi yang pemuda itu lakukan selanjutnya sama sekali di luar perkiraan Alfred. Tangannya masih mengepal, memang. Mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tapi mukanya memerah. Merah padam seperti tomat. Dan matanya yang tadi berkaca-kaca, kini dari sudutnya mengalir cairan bening. Tapi laki-laki tidak seharusnya menangis! Alfred ingin memaki Arthur lagi, namun tak sampai hati. Pemuda di hadapannya ini menggigit bibirnya keras-keras hingga kulitnya terobek mengeluarkan darah.
Arthur mengambil nafas dalam-dalam, mengerjapkan matanya yang basah. Alfred hampir kasihan melihatnya, karena, dia terlihat begitu menyedihkan. Sungguh. Seperti anak kecil yang sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis dan terlihat tegar. Seperti lapisan pelindungnya, yang tak lebih tebal dari selembar kertas, perlahan-lahan melebur menjadi debu. Seperti kedua kakinya tak kuat lagi menahannya berdiri. Seperti sebentar lagi ia akan jatuh. Runtuh.
"Baik. Baiklah. Terserah― kau saja, Jones. Aku berhenti. Mulai hari ini― aku bukan lagi pesuruhmu." Suaranya begitu parau, menahan isak yang mencoba mendesak keluar
Alfred tidak menyangka akhirnya akan seperti ini. Bukan perkelahian seperti yang ia harapkan. Tapi itu cara laki-laki menyelesaikan masalah, kan? Ia hanya tidak berharap Arthur akan mundur dengan kata-kata terakhir yang dramatis seperti dalam opera sabun murahan. Ia tidak berharap Arthur akan melangkah pergi dengan pundak bergetar karena menahan tangis.
Sebelum Alfred dapat melangkah maju sejengkal saja, terdengar derap lari menggema pada koridor yang sepi. Lambat laun memelan, hingga sepenuhnya menghilang tak terdengar lagi. Alfred hanya terdiam di tempatnya, masih berusaha mencerna kata-kata Arthur tadi.
Apakah itu berarti dia mengundurkan diri dari kesiswaan? Karena kalau iya, sama artinya dengan masalah besar. Memangnya siapa yang akan mengurus semuanya?
Alfred menelan ludah.
AN (again) : Konsep awalnya tentang introvert-extrovert dengan referensi lagu-lagu The Script (Nothing, Breakeven, Long Gone and Move On, If You Ever Come Back). Tapi entahlah, saya sendiri malah blank dan nggak bisa nyambung sama lagunya, orz orz orz. Ini ditulis dengan background lagu Melted (AKMU), Miracles in December (EXO) dan Rain Sound (B.A.P). Ceritanya tiba-tiba suka lagu-lagu Korea, orz. Judul diambil dari lagunya AKMU - Melted, yang paling sering diputar. Jadinya melenceng dari konsep awal. Gomen, orz orz orz.
