Naruto bukan milik saya, mereka milik Masashi Kishimoto. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari ini.
.
.
.
Disebutkan ada rawa yang dapat mendengarkan kebencian. Para penggosip berkata jika kau cukup beruntung, rawa tersebut akan melemparkan karma pada orang yang kau benci berupa kematian atau di lempar ke dimensi lain.
.
.
.
Rest In "Pieces" ( Karma )
.
.
.
Aku kira, kakakku memberi sebuah kejutan spektakuler. Tapi orang bertipe kolot seperti Kak Madara, tak mungkin memberikan hadiah manis meskipun itu pada adiknya sendiri.
Siang saat aku pulang sekolah, Kak Madara memberiku sebuah kotak yang lumayan berat, di bungkus kertas kado bergambar hati berwana merah muda. Dia bilang ini kiriman dari seseorang, kupikir Ulang Tahunku masih lama, Natal pun belum tiba jadi ini agak aneh.
Aku yakin sekali kalau si pengirim memiliki selera humor yang buruk dan agak mengecewakan. Ayolah, maksudku一aku ini laki-laki dan orang ini memberiku bungkusan berwarna merah muda?
Lucu sekali, kawan. Uchiha Izuna, bukanlah laki-laki hombreng dengan benda keramat kipas Idol.
Lupakan, aku penasaran siapa yang mengirimiku benda seperti ini. Ketika aku berjalan menuju kamar dan menebak apa isinya, khayalan kacau mengisi setiap bilik di otak dan membuat serangkaian paragraf yang dapat membuat dirimu terpukau.
Yang kubayangkan kalau benda ini berisi Keris Keramat atau kunci Sarkofagus Princess Ra. Tapi itu tak mungkin meski aku pecinta Mumi. Kecuali orang yang mengirimkan benda ini lunatic dan berbahaya, senang bermain dengan mayat.
Kulempar hadiah itu ke atas kasur, berganti pakaian dan meminum Es Lemon yang tersimpan mesra diatas meja belajar seperti sebuah kebiasaan ajaib.
Terima kasih atas minumannya. Untuk Kak Madara yang baik hati, aku memuji segala kinerjamu dalam membuat es Lemon. Haha!
Kuteguk seperempat dari satu gelas es Lemon di sana, mengulum bibir dengan lembut bergaya sok manis. Aku bisa merasakan aroma garam di dalam pada tetesan ketiga yang tengah aku rasakan.
Kak Madara sering menambahkan seujung garam di dalam es Lemonnya, entah apa maksudnya tapi ini dapat menetralkan rasa asam agar tidak begitu memikat lidahku.
Kulirik sejenak hadiah yang bersemayam di kasur, memikirkannya membuat rasa penasaranku bergejolak tak tentu. Seperti di tembak perempuan cantik saja.
Tapi, kutahan rasa penasaranku ini dengan baik, aku harus bergegas ke lapangan dan bermain Kriket bersama teman-teman. Cukup siap dan matang untuk bermain. Aku langsung berlari menuruni tangga dan berlagak sok pahlawan.
Tak mempedulikan Kakak yang berteriak-teriak minta di belikan es krim atau pergi ke minimarket untuk beli jus buah. Itu salah sendiri! Kenapa tidak mampir saat pulang Kuliah!
"Hey, Izuna..." Kak Madara muncul dari dapur, kulkas terbuka sedikit dan dia tampak murung dan kesal. Di amatinya aku dari atas sampai bawah tanpa cela, agak risih ditatap seperti itu oleh Kakak.
Lalu dia mengatakan hal yang cukup aneh. "Izuna, kau jangan main terlalu sore, ok? Akhir-akhir ini banyak anak hilang di rawa."
"Maksudnya? Aku memang dengar dari Kagami kalau di sekitar sini ada yang aneh."
"Ya. Ceritanya agak aneh sih menurutku. Tapi mereka memang hilang. Hilang tanpa bekas dan jejak, Tobirama adiknya si Hashirama yang macam sampah itu, dia juga hilang!"
Aku mengingat-ngingat kapan terakhir kali Tobirama terlihat. Perasaan mengatakan kalau dia tak hilang dan ada di rumah. Sialnya yang terlintas dipikiranku hanya sosok lelaki helai putih, bermanik merah dan hobi memakai tato wajah berupa garis-garis tak jelas dan sering berlagak sok keren.
"Bukannya keluarga Senju pindah ya? Aku dengar mereka ke Chiba."
Yang kutatap malah tertawa kasar. "Chiba? Ngaco kau, Izuna! Senju itu asli sini. Mana mungkin mereka pindah."
"Ah, sudahlah Kak. Aku tidak peduli. See ya!"
"Woy, Izu!"
Berlarilah aku keluar rumah tanpa mempedulikan teriakan di dalam. Berteriak dan ngamuk adalah hobi Kakak setelah mancing dan makan es krim.
Aku mendongak untuk menatap langit. Panas. Rasanya panas sekali, tidak seperti kemarin atau minggu lalu ketika main Kriket. Kulihat rangkaian awan di langit mengarak indah, sedikit janggal dari yang biasanya.
Ada apa ya?
Selanjutnya, mataku membulat penuh, terfokus pada sesuatu di atas. Segera itu juga ketika seluruhnya bangkit, aku tersadar kalau ada sesuatu yang melompat lewat jendela kamarku. Sebuah sosok hitam yang kental akan kegelapan.
Hitam mendominasi dirinya. Ada semacam jubah yang menyelubungi tubuhnya dan dia entah bagaimana, bisa terbang?
Sosok itu turun dan menginjak tanah, dia berdiri tepat 1 meter di depanku, memunggungi seolah asyik sendiri memandangi tiang listrik.
Juga dia berbalik. Menampilkan seraut wajah yang buat kepalaku pusing dan sulit bernapas. Satu yang aku tahu.
Wajahnya itu aneh.
Aneh sekali.
Dia tak punya wajah.
"Woi, awas!"
Asyik seolah tak biasa akibat menatap sosok itu, tak sadar aku dibuatnya jika ada suara gadis dan agaknya diriku yang di maksudkan.
Mendongak untuk sebuah balasan yang padu agak sedikit teduh mata ini menatap, seperti ada sesuatu yang menghalangi matahari. Kala waktu berputar, aku dikejutkan oleh tongkat besar dari kuningan melayang melawan gravitas. Tongkat itu lumayan besar dengan relik aneh, aku tak tahu ada dalam jenis apa.
"Awas!"
Telat memberitahu. Tongkat besar itu menimpa kepala. Sukses rasa mual dan pusing menyelubungi, terjatuh aku ke tanah, punggung terasa panas dan pedih.
Selanjutnya hanya kegelapan yang terlihat. Rasanya, hidungku mengeluarkan darah yang cukup banyak, bau tanah basah dan air kotor memenuhi mulutku.
Aku...
...apa aku tenggelam?
.
.
Bau antiseptik dan suara monoton menambah pertanyaan panjang atas apa yang terjadi padaku. Apa aku tenggelam? Entah, aku merasa tenggelam waktu itu.
Kuraba seluruh wajah kala kesadaranku kembali lalu berhenti di kening juga batok kepalaku. Ada yang mengganjal di sana. Sebuah perban melilit mewah sukar dilepas. Selang membelit tangan, jarum tipis tertancap di nadi.
Aku sedikit terperangah, pusing dan sesak napas seperti baru tenggelam. Kuingat apa yang menimpaku barusan. Melihat sosok hitam dan tertimpa tongkat yang terbuat dari kuningan.
Lalu, tenggelam?
Bukankah itu cukup konyol untuk seseorang seperti diriku? Kenapa aku begitu tolol.
"Hey, dia sudah sadar." Seutas suara buat kesadaranku semakin meningkat. Kudengar langkah kaki yang terburu setelahnya dan teriakkan bernada memanggil agak memaksa mulai terdengar.
Bola mata merah delima ikut berkilat menatapku takjub. Kulit putih layaknya salju mendominasi dirinya, dia memiliki rambut putih agak kelabu yang indah, bahkan lebih bagus dari punya Tobirama.
Gadis itu manis. Meski dia indah, wajahnya datar sekali. "Kau bisa mendengarku?"
Bukannya menjawab. Aku malah bertanya pada si pemilik mata merah ini. Masih takjub dengan apa yang baru saja aku lihat. Jujur, gadis ini cantik sekali. "Si-siapa kau?"
"Namaku-"
"Susternya sudah datang."
Kutengok ke samping dengan sangat, sangat terpaksa. Bingung diri ini kala menemukan sosok lelaki yang baru tiba dan langsung berdiri di sebelahku. Dia agaknya seusia denganku, memiliki rambut tak jelas. Mata tajam dan angkuhnya meremehkan, dibuat emosi diriku oleh tatapan intimidasi itu.
...yang aneh adalah.
Dia memiliki wajah yang sama denganku.
Dia... siapa?
"Sebentar... aku kenapa ya?"
Belum sempat mereka jawab atas aku, Suster tiba-tiba mendekatiku. Dia menyentuh bagian tubuhku hingga yang paling sensitif. Aku terganggu oleh kehadiran dirinya yang jujur saja, aku tidak suka disentuh orang asing.
Di akhir pemeriksaan, Suster tersebut mengangguk damai sembari mencatat sesuatu dari papan dada. Dilanjutkan dengan dirinya mengatakan sesuatu yang tak jelas pada gadis itu dan di balas oleh anggukan diselingi senyum tipis hingga aku tak yakin kalau dia benar-benar tersenyum.
"Hey!"
Lelaki yang wajahnya mirip denganku berbicara. "Oh, maaf. Aku tak mendengarmu. Jadi... kau sudah bisa bicara ya?"
Suara lelaki ini tajam sekali.
Gadis itu menyentuh keningku. "Sudah hampir seminggu begini, syukurlah kau sadar. Yang itu namanya Sasuke, dia yang menemukanmu. Aku Aria, Yuzuru Aria."
Aku masih bingung. "Gimana?"
Lelaki bernama Sasuke itu tertawa. "Kau tenggelam, bodoh. Di rawa, kau di temukan di sana. Kau tiba-tiba saja muncul lalu... tenggelam."
Dia melanjutkan dan aku masih mendengarkan. "Singkatnya sih kau jatuh dari langit... agak susah membuat keterangan pada Polisi dan Dokter, soalnya rawa itu ditutup."
"Ditutup?"
"Hey, Sas. Biarkan dia istirahat! Nanti kalau perban di kepala bisa dilepas, baru kita tanyai dia, ok?"
"Tidak! Aku ingin kalian menjelaskannya." Kuralat pernyataan itu, aku butuh penjelasan terperinci atau hal mendetail ketimbang diam, tidur atau makan disuapi.
Gadis bermanik delima itu menatapku lagi. "Ya, ditutup. Banyak kejadian aneh yang tak dapat di jelaskan di rawa. Jadi pemerintah menutupnya demi kepentingan."
"Aku masih tak paham."
Sasuke itu mengangguk. "Banyak temuan mayat di sana tanpa alasan jelas. Dulu ada kasus warga hilang dan ditemukan di sana, dia masih hidup tapi amnesia. Pernah juga ada kejadian makam di bongkar, beberapa hari kemudian tulang belulang di temukan di sana. Setelah test DNA ternyata tulang belulang itu cocok dengan makam yang dibongkar itu."
Kepalaku seperti direndam oleh semen cair yang panas dan pasir hisap dari Sahara. Tenggorokanku kering, pikiran melayang-layang bagai arwah penasaran.
Kupandangi bergantian gadis ini dan lelaki muda itu. Mereka tak memasang tampang kebingungan akan diriku atau membuat serangkaian pikiran negatif dari yang aku lihat tentang mereka.
"Jadi maksudmu, aku mati?" Pertanyaanku memang terdengar aneh tapi mereka biasa saja dalam menanggapi.
"Pernah." Sasuke meralat. "Kau sebenarnya mati suri."
"Oh, begitu..." Tak percaya sebenarnya aku oleh jawaban tersebut. Aku merasa tersesat. Masih.
"Sebenarnya aku tak begitu heran soal wajahmu yang mirip dengan Sasuke. Tapi sepertinya kau bukan asli orang sini. Aku menemukan kartu pelajar di pakaianmu, sengaja tak kuberikan pada Polisi... itu yang aneh bagiku."
Sasuke itu menatap balik si gadis dengan perasaan tak karuan. "Apa maksudmu, Aria? Aku tak paham."
"Maksudku anak ini sekolah di SMA yang sudah ditutup 70 tahun lalu akibat pembantaian masal. Intinya..."
Ucapan gadis cantik bernama Aria itu dibiarkan menggantung begitu saja, buatku tertarik agar dia melanjutkan. Bersamaan dengan itu, Sasuke melirikku tak percaya, bibirnya terbuka sedikit dan melotot tapi tak marah.
"Kau tidak serius 'kan, Aria?"
"Itu faktanya, dia berasal dari masa lalu, Sasuke."
Aku bukan orang yang berasal dari waktu ini...
Hebat.
.
.
Matahari berada di atas, tetutup atap putih yang mendominasi ruangan. Bulatan panas menderang indah begitu lugas minta dipuja. Aku hanya sebuah titik bagi bulatan panas itu dan akan dengan mudahnya gosong jika aku menentangnya.
Aku melirik ke samping dan orang yang sedang kuamati itu tengah masuk ke dalam fantasi. Kendati demikian dia masih serius dengan pekerjaan monotonnya.
Dia adalah lelaki yang sekilas terlihat lebih tua dariku, helai hitam panjang sebahu dan wajah rupawan mendominasi visualisasi dari dirinya. Ya. Dia memang tampan.
Dia duduk santai dan bilang baru pulang Kuliah. Selanjutnya dia tak mengajakku bicara lagi dan asyik bermain dengan benda persegi yang aneh.
Sesekali dia melirik dengan maksud tak jelas. Sekalinya aku menangkap tatapannya, ia langsung berpaling dan asyik sendiri seolah tak terjadi apa-apa. Pikirku, dia mencurigakan.
Aku tadinya hendak memulai pembicaraan dengan orang ini atau bertanya hal klasik bertajuk rahasia. Tapi aku mengurunkan niat kala pintu terbuka dengan cara yang agak memaksa, seolah orang dibalik sana hendak merampok.
Sepersekian detik kemudian, derak-derik dari sosok lelaki tinggi berambut hitam muncul dari pengamatanku. Sosok lain yang tak kukenali berdatangan bagai mimpi atau sekumpulan lebah.
Dia muncul, memakai kacamata bulat tanpa bingkai yang sangat pantas, baju hitam turtleneck dan celana yang sepadan. Kala aku memperhatikan lebih, ada simbol kipas di punggung bajunya dan dengan mudah aku mengenali itu.
Sebuah senyum muncul, manis maksud lelaki itu. Senyum yang ramah aku menggambarkannya. Dia terlihat baik, pengertian, jenaka dan samar. Aku sukar untuk mengerti tentang dirinya. Dia begitu hangat dan mengubah atmosfer menjadi sangat tenang seperti aliran air dan darah.
Dia masih tak berbicara apapun sebelum raga sampai padaku. Lantas, duduk ia di seberang lelaki berhelai panjang barusan, mengapit sebuah jurnal di lengan dan langsung melepas kacamata.
Dia menyapa indah. "Hey, apa kau sudah baik?"
Aku terkejut, nada bicaranya jernih begitu mirip Kak Hashirama. Sok kenal tapi intens.
"Um, ya, aku hanya bingung."
"Baiklah, berarti otakmu tidak apa-apa. Ngomong-ngomong namaku Obito. Uchiha Obito, nama yang sama denganmu, ok? Dan kerennya kita Ulang Tahun di tanggal dan bulan yang sama."
Aku memandangi lelaki ini takjub. Dia aneh, tapi membuatku penasaran. Aku akan mengatakan kalau dia sesuatu yang ajaib tapi sok kenal.
"Oh astaga! Kau manis sekali. Aku tak menyangka akan bertemu dengan Keluarga Lain."
"Terima kasih." Dia berhenti sejenak, lalu bicara lagi. "Kau mau sesuatu?"
Aku menggeleng, sebenarnya bingung atas apa yang aku inginkan. "Tidak, aku... bingung. Mengerti maksudku?"
"Aku tahu kalau kau bingung sekali, Izuna. Namamu Izuna 'kan? Aku dengar soal dirimu dari Aria juga Sasuke. Yang di sebelah sana namanya Itachi dia kakaknya Sasuke. Dan aku Pamannya mereka."
"Kau juga Pamannya Aria?"
Tiba-tiba ekspresinya berubah kaget, ada sedikit rona merah muda yang samar di sana. "Aria itu temanku. Aku menganggapnya begitu."
Itachi mencibir, ada tawa meledek di sana. Dia menatapku jahil. "Asal kau tahu, Uncle Obi tidak menganggap Aria-chan teman, tapi lebih dari teman. Kau mengerti 'kan?"
"Bicara AP-"
"Uncle Obi... kenapa tidak bilang yang sebenarnya pada anak ini? Dia benar-benar bingung."
Aku menahan tawa melihat fenomena dan betapa bodohnya mengklaim Itachi orang yang kolot dan setengah norak. Dia benar-benar lelaki muda yang jahil, banyak akal dan agak bagaimana ya? Dia terasa seperti seorang Playboy sejati.
Lihatlah, betapa lucu wajah Obito ini ketika Itachi menyebut-nyebut nama Aria. Memang, dia cantik dan penuh akan perhatian, tak heran kalau Obito naksir.
Aku juga suka gadis itu. Aku suka gadis misterius dan aku yakin Kak Madara juga akan jatuh hati pada gadis ini, tapi aku tak akan bilang padanya kalau aku juga hendak mengklaim gadis itu.
Entah, Aria itu semacam pawang orang-orang Uchiha. Harus kau lihat bagaimana Sasuke menatap gadis itu. Uhh... kupikir itu sejenis cinta.
"Jika aku menjelaskan, mungkin kau tak bakal percaya, Itachi yang nakal." Ada tawa meledek yang terdengar.
"Uncle Obi, aku tidak setolol Sasuke. Jadi aku akan langsung paham, katakan saja!"
Kulirik penasaran kedua lelaki yang berbincang monoton. Agak membosankan arah pembicaraan ini. Aku suka sesuatu yang misterius, tapi ini terlalu banyak teka-teki yang tak terselesaikan dengan baik atau serangkaian kebodohan yang menyesatkanmu.
Obito iseng memainkan puplen dilanjutkan menggunakan kacamata juga membuka jurnal yang barusan diapit. Kusadari kalau jurnal itu penuh dengan bookmark.
"Nah!" Itachi menjentikan jari. Lalu melanjutkan. "Sekarang Uncle Obi menjadi sok detektif, ayo jelaskan!"
Wajah serius langsung terbingkai dari diri Obito. "Kalian tahu rawa yang akan memberimu Karma?"
"Ha? Kau bilang apa, Uncle Obi? Mana ada rawa yang memberi Karma!"
"Aku bilang apa kalian tahu rawa yang akan memberimu Karma?"
Aku mengajukan diri untuk bicara. Pertanyaan ini agak terdengar aneh jika kau baru mendengar.
Aku tahu perihal ini dari Tobirama saat jam pelajaran, dia memang senang bergosip soal setan.
"Aku pernah mendengar soal itu, dulu sekali. Tapi... apa itu sama ya?"
Kedua lelaki itu menoleh secara bersamaan kepadaku. Yang paling tua di sana langsung menjelaskan. "Ya, aku pernah dengar ada rawa yang dapat mendengarkan keluhan. Jika di terima si korban akan di kirim Karma berupa kematian atau hal semacam itu. Yang satunya... Dikirim ke di mensi lain."
"Hm, Izuna di temukan di rawa yang di tutup pemerintah sejak beberapa tahun terakhir, gosip beredar itu rawa yang ajaib. Mungkinkah itu yang kau maksud, Uncle Obi? Jadi... kalau memang benar berarti..."
"...aku kena Karma?
