Lembayung

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Hana Lantana

Warning : typos, OOC, alur kecepetan, ganyambung

Saya masih baru banget di FF, jadi mohon bantuannya untuk gak ngeflame yaa mohon bantuannya aja dengan kritik dan saran yang membangun.

Dichapter ini menceritakan kisah hidup Hinata, dan awal kejadian kisah hidupnya yang lain.. umur Hinata disini 19 tahun.

•••

Mungkin bagi beberapa orang, hidup tak terlalu sulit untuk dijalani. Apalagi untuk orang-orang yang diberi kelimpahan harta, paling tidak kebahagiaan. Namun bagaimana hidup harus djalani jika harta pun tak punya, kebahagiaan pun hanya khayalan? Bahkan cinta, yang katanya sumber dari kebahagiaan hidup juga tak menghampiri?

Hidup sebatang kara disebuah panti asuhan kecil terbengkalai di kota kecil Konoha, yang telah kosong ditinggalkan penghuni-penghuni terdahulunya yang telah pindah ke tempat panti asuhan baru yang lebih layak di kota besar. Hinata, namanya, duduk termenung di sisi ranjang besi berumur tua. Setiap kali dia memindahkan posisinya, ranjang itu berdecit, menyuarakan perihnya hati hinata.

Hidup seperti ini bukanlah yang hinata inginkan, keinginannya tidak muluk-muluk, hanya memiliki keluarga, tepatnya sepasang ayah dan ibu dirumah sederhana yang dipenuhi oleh tawa. Tapi hidupnya dirundung kesedihan, dia hanya mengetahui riwayat hidupnya dari cerita kepala panti yang dulu memungutnya tepat didepan pintu panti asuhan tersebut.

"Waktu itu kau kutemukan disebuah ranjang mungil, di situ kau meringkuk dengan selimut tipis lavender yang membalutmu. Kau begitu cantik, hinata. Aku tak mengerti jalan pikiran orang tuamu yang telah membiarkanmu sendirian."

Ucapan Tsunade, si kepala Panti Asuhan terngiang kembali saat Hinata menatap sebuah selimut mungil tipis berwarna lavender. Tak terasa air mata mengalir menghangatkan pipinya yang dingin. Biasanya saat keadaan hati Hinata tak menentu seperti ini dia akan menyandar di pundak Tsunade, atau bermain dan bergelak tawa dengan anak-anak yatim lainnya yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Namun semua itu takkan terjadi lagi. Hinata memutuskan untuk tetap tinggal di panti asuhan ini dan mengabaikan permohonan –lebih tepatnya perintah Tsunade untuk ikut bersamanya mendiami panti asuhan baru yang lebih layak di kota.

"Maafkan aku Tsunade-sama, tempat ini awal dari sejarahku. Aku tidak ingin pergi dari sini. Mungkin saja suatu saat orang tuaku akan datang kemari dan menjemputku. Ataupun jika tidak, aku bisa meneruskan hidupku disini, membiayai diriku sendiri dengan menjadi kasir atau office girl.. Sekali lagi maafkan aku Tsunade-sama."

Itulah kata-kata perpisahan yang hinata lontarkan terkhir kalinya, membuat Tsunade hanya mengalah dan menuruti kemauan gadis beriris indigo tersebut. Hinata ingat ekspresi terakhir yang Tsunade tunjukkan padanya, sebuah raut kekecewaan dan kekhawatiran. Namun Hinata selalu meyakinkan Tsunade untuk mengerti, inilah kemauannya.

Lama Hinata mengingat perpisahannya dengan Tsunade dua tahun yang lalu. Air mata di pipinya sudah tidak mengalir lagi. Hinata menengok ke arah jam.

"Sudah jam 12 rupanya.. Aku harus segera tidur"

Hinata beringsut menaiki tempat tidurnya, diiring suara decitan kaki ranjang yang cukup keras. Hinata harus segera tidur. Jika tidak, besok dia akan terlambat bekerja. Bekerja menjadi seorang kasir di sebuah toko Bunga, pekerjaan monoton yang sudah dia lakoni semenjak dua tahun belakangan.

•••

"Selamat pagi, Ino-san" sapa Hinata ramah.

"Selamat Pagi juga Hinata-chan, seperti biasa kau selalu rajin dalam bekerja Hina-chan. Kau selalu berhasil mendahuluiku untuk ke toko, padahal aku sudah bersusah payah bangun pagi untuk mendahuluimu." Senyum Ino Yamanaka disusul dengan cekikikan imutnya. Hinata hanya tersenyum merona. Ino Yamanaka adalah pemilik Toko Bunga ini, hinata menyukainya karna dia tidak sombong dan selalu berendah hati meskipun dihadapan bawahannya. Hinata bersyukur berulang kali pada Kami-sama karna memiliki bos sebaik Ino. Seperti halnya Ino yang juga bersyukur memiliki bawahan seperti Hinata, kalem dan tidak banyak menuntut, serta cekatan dalam bekerja.

Hingga siang ini, Hinata hanya duduk di meja kasir. Menatap pembeli yang lalu lalang di hadapannya. Bukannya dia tidak ingin melayani pembeli-pembeli tersebut, namun ino menyuruhnya hanya duduk di meja kasir, dan Ino yang melayani pelanggan karena dia ingin tahu bagaimana perkembangan minat para pelanggan terhadap bunga.

Banyak bunga cantik yang Hinata lihat setiap hari, namun yang menjadi favoritnya adalah lavender dan lantana. Menurutnya, kedua jenis bunga tersebut sangat cantik dan -kuat.

"Hina-chan, ini sudah waktu pulangmu. Kau tidak ingin pulang?" Tegur wanita yang 3 tahun lebih tua darinya.

"ah maafkan aku Ino-san.. Waktu berjalan begitu cepat sehingga aku tidak menyadarinya. Aku pamit dulu ya Ino-san. Jaa"

Hinata bergegas pergi dari toko, melihat jam yang bertengger di tangannya, pukul 17.30.

'uh ternyata sudah petang' batinnya dalam hati.

Langkah bergegas Hinata untuk mencapai kediamannya terhenti sejenak ketika melihat lembayung didepannya..

"Indah.." Tak sengaja ucapan itu meluncur dari mulut Hinata, melengkungkan senyuman indah bibirnya. Hatinya mengucap syukur untuk keajaiban Tuhan dikala matahari akan tenggelam ke peraduan. Dirinya memutuskan untuk tak pulang segera, kakinya malah menuntunnya ke sebuah bangku di taman Konoha, duduk dan menghadap langit yang terbentang luas diatasnya. Warna jingga atau oranye mendominasi cakrawala, memberi pendar ke wajah Hinata yang ayu.

Lama Hinata memandang langit, hingga tak terasa warna hitam telah mengganti lembayung yang menenangkan batinnya tadi. Dia beranjak, meninggalkan taman dan berjalan kembali ke kediamannya, berharap esok bertemu lagi dengan lembayung yang sama.

•••

BRUUKK

Suara sesuatu yang terjatuh membangunkan Hinata dari tidurnya. Suara yang terdengar dari ruangan depan menggelitik Hinata untuk mengetahui apakah gerangan yang menjadi penyebab suara gaduh tersebut.

Hinata menanggalkan selimut yang membalutnya, perlahan turun dari ranjang. Jantungnya mulai berpacu tak karuan. Hinata takut, ya dia ketakutan. Mengerikan bagi Hinata bila pembuat gaduh tersebut adalah seorang pencuri, yang akan menangkapnya lalu membunuhnya.. Ah Pikiran Hinata semakin melantur, lagi pula apa yang akan dirampok dirumah kecil yang tanpa harta sedikitpun.

Dia tepis semua prasangka buruk dibenaknya, berharap keusilan seekor kucinglah yang membuatnya terbangun malam ini. Hinata perlahan berjalan ke arah ruang depan, lampu yang tidak pernah Hinata matikan sebelum tidur menolongnya melihat keadaan lebih awas lagi. Dengan rasa hati-hati dia menyingkap tirai yang membatasi ruang depan dengan lorong yang menuju kamarnya

SREEEEEET

Tiraipun terbuka. Hinata melihat ruangan depan, masih sama. Dua kursi usang memanjang di dua sisi ruangan segi empat dengan meja oval di antaranya. Rak sepatu dengan rapi masih berdiam di dekat pintu keluar.

'Aneh, suara gaduh tadi sangat keras, harusnya ada suatu barang yang terjatuh atau bahkan rusak.. Tapi ini semua masih normal' batin Hinata dalam hati. Dia sedikit penasaran dengan kejadian abnormal yang dihadapinya.

Ops, tapi Hinata lupa memeriksa langit-langit ruangan tersebut.

Tak melihat ada yang aneh, Hinata berniat beranjak ke kamarnya lagi. Namun sesuatu menahannya karena tiba-tiba

HUUPP

Sesosok laki-laki –menurut penglihatan Hinata tiba-tiba muncul dihadapannya. Dia melompat dari langi-langit. Jantung Hinata rasanya telah melompat di dalam tubuhnya. Seketika Hinata membelalakan matanya

"KYAAAAAAA.."

Teriakan Hinata dibungkam oleh tangan lelaki tersebut. Hinata ketakutan, sangat ketakutan. Air mata mulai mengalir di pipinya. Apakah dia seorang pencuri? Atau psikopat? Yang penting Hinata tidak mau nyawanya berakhir di tangan lelaki tersebut. Hinata terus memberontak dengan sisa kekuatan yang ada, namun tenaga lelaki itu terlalu kuat untuk Hinata lawan.

"Diamlah manusia! Aku tidak akan menyakitimu. Diamlah!" Lelaki tersebut setengah berteriak kepada Hinata.

Hinata diam, melihat mata onyx dihadapannya serasa membuat dirinya terintimidasi. Mereka saling pandang, raut Hinata menampakan rasa takut, namun raut pemilik iris onyx itu hanya berekspresi datar.

Tak lama setelah Hinata diam, lelaki itu mulai melepaskan bungkaman tangannya di mulut hinata. Hinata lega nafasnya kini tak sesak lagi, namun belum bisa sepenuhnya lega, karena lelaki dihadapannya ini terus memandanginya intens.

Rambut ravennya mencuat, berwarna hitam seperti warna matanya. Kulit mukanya putih, dan sepertinya lembut jika disentuh. Jubah abu-abunya menjuntai hingga ke mata kakinya, menutupi seluruh tubuhnya. Setidaknya itulah yang dapat Hinata deskripsikan dari sosok yang mematung dihadapannya. Tapi tunggu dulu, Hinata melihat kejanggalan di telinga sang onyx.

Telinganya Meruncing!

Hinata kaget melihat telinga pemuda ini meruncig dibagian ujung atasnya. Meruncing kebelakang dengan ukuran yang cukup panjang. Hinata menganga, dipikirannya banyak terbesit tanda tanya. Tak kuasa mengandung tanya di pikirannya, hinata memberanikan diri tuk bertanya.

"siapa kau?" Hinata mencicit sambil menggeser tubuhnya menjauh dari pemuda tersebut.

"Aku adalah seorang Peri"

to be continue

Hallo minna

saya author baru hehe, mohon maaf yaa kalo banyak kekurangan. Chapter ini hanya menerangkan kisah hidup Hinata.. Chapter selanjutnya sih kayanya masuk petualangan yang sesungguhnya hehehe. mohon bantuannya yaa semua.. stay tune..

RnR please