A/N: anggep-anggep aja ini fiksi penggemar spesial tahun baru. nyerempet asakaru, platonic asano srjr. enjoy! Multichaptered.

Barangkali bisa dibilang lucu, sebab ketika Karma perlahan siuman, hal yang pertama kali terbesit dalam benaknya bukan pertanyaan klise seperti "aku dimana" atau "apa yang terjadi", melainkan daftar cepat berisi sepuluh besar peraih nilai tertinggi di SMU Kunugagioka yang berpotensi melakukan tindak kriminal gara-gara kalah skor pada ujian akhir.

"Akabane-kun. Aku tahu kau sudah bangun sekarang."

Sejenak Karma kesulitan berorientasi dengan lingkungan terang, tetapi saat hendak menutupi pandangan menggunakan tangan, sadarlah Karma bahwa benda yang sedari tadi menggesek pergelangan tangannya adalah tali panjat tebing, diikat kencang di belakang punggungnya menyerupai borgol. Menilai profesionalisme sistem penculikan ini, digabung aroma cologne menyengat yang familiar, Karma delapan puluh persen yakin akan identitas si penculik misterius tanpa perlu membuka mata.

Jadi ketika tebakannya ternyata agak meleset, Karma terkejut.

"Oh," ia berceletuk tanpa sempat ditahan, "parfum kalian sama?"

Di belakang meja pembatas antara mereka berdua, Asano Gakuhou menyunggingkan seulas senyum simpul.

Seandainya Karma tahu kalau pergi belanja ke konbini bisa membuatnya seolah masuk ke dalam film laga di mana gadis muda diseret paksa dari jalan untuk dimutilasi, ia sudah pasti memilih untuk bertahan hidup dengan sisa roti jamuran. Karma terbiasa menonton film laga, tetapi ia hafal bahwa sang tokoh utama biasanya diculik psikopat, bukan ayah kandung dari teman sekelasnya sendiri. (Mungkin beda kasus kalau ayah kandung teman sekelasnya memang psikopat)

Patut dicamkan lagi bahwa dengan "teman" seperti Gakushuu yang tumbuh dari sperma pria seperti Gakuhou, kehidupan bisa jadi dua kali lebih menarik daripada narasi buatan sutradara.

Pulih dari kekagetannya, Karma cepat-cepat menguasai diri dan melempar balik seringai lebar untuk menyaingi Gakuhou. Dengan satu sapuan mata, Karma dengan mudah menebak bahwa mereka sedang berada dalam ruang kantor pribadi. Kemungkinan besar milik sang Asano senior sendiri. Tak ada jam dinding dan gordennya tertutup rapat, sehingga waktu tidak bisa diketahui pasti. Lalu satu hal mencolok menarik perhatiannya.

Karma berdecak puas seraya mengerling penculiknya. "Kantor pemerintah?"

"Mungkin."

"Di komputermu ada stiker nomor seri prasarana milik pemerintah Jepang."

Bibir tipis Gakuhou menukik naik, seolah ia sengaja membiarkan stiker itu di sana sebagai tes. "Sudah kuduga," ujarnya terkesan. Ia berdiri, mengancingkan setelan jas Armani yang sempurna membentuk posturnya, lalu menghampiri Karma yang duduk di kursi berseberangan. Langkahnya perlahan tapi pasti, dan selagi ia bergerak, sorot matanya tak pernah lepas dari Karma. "Sayangnya sekadar mengetahui tempatmu berada tidak bisa menyelamatkanmu dari situasi ini."

Selama hampir semenit penuh mereka bertahan dalam posisi saling mengunci pandangan membunuh, hingga akhirnya Karma memutuskan bahwa harga diri bisa diurus lain kali. Ia mengalihkan pandangan terlebih dahulu sambil menghela napas malas.

Baik pangeran lipan maupun raja lipan ini ternyata sama keras kepalanya, tetapi tak akan Karma biarkan kelakuan edan mereka membuatnya kelewatan episode final anime favoritnya malam nanti.

"Okeee, Asano-san. Anda berhasil menculik saya, yeah, saya akui itu. Anda menang. Jadi katakan apa yang Anda mau supaya saya bisa pulang dan mengagumi Umaru-chan—" Karma nyerocos tanpa basa-basi apalagi konteks jelas, mendadak mengerjap, lalu menambahkan, "—ngomong-ngomong. Anda sadar kan kalau menculik anak di bawah umur itu termasuk tindakan semi-pedofil yang bisa dilaporkan ke polisi?"

Raut Gakuhou berubah kecut. "Sembrono seperti biasa."

"Mohon berkaca, atau lihat putra Anda sendiri."

Di luar dugaan, secercah kilat melintas di balik netra mantan kepala sekolah itu, tetapi ekspresinya terlalu cepat ditutupi sebelum mampu dicerna Karma. Gakuhou bersandar pada meja kerja kayu mahoni miliknya, sampai tinggi badannya menyamai posisi lelaki yang lebih muda. "Kebetulan sekali, sebenarnya hal itu yang menjadi alasanku membawamu ke sini."

Detik itu juga Karma mengerang sekuat tenaga.

"Kalau ini soal 'kau mencuri peringkat pertama dari pangeran emas kesayanganku blah blah blah'—satu, salahkan anakmu yang keliru menghitung trigonometri sederhana; dan dua, kami sudah sepakat akan bersaing dengan jujur, jadi tolong-"

"Kau salah paham, Akabane-kun," potong Gakuhou tenang. "Sekarang aku bukan kepala sekolah lagi, bukan akademisi lagi malah, dan aku terlalu sibuk untuk memusingkan detail minor semacam itu. Justru peranmu yang terus mengalahkan Gakushuu membuatku...terhibur, sejauh ini."

(Kalau seorang bapak yang mendapat kesenangan dari melihat anak kandungnya gagal tidak membuatmu bergidik, mungkin kalian bukan manusia.)

Karma mengangkat alis, Gakuhou meneruskan dengan santai.

"Maksudku, kompetisi bagus bagi perkembangan mentalnya, kan?" Sang Asano senior mengangkat bahu. "Kembali lagi kepada topik, langsung saja: tujuanku sebenarnya cuma satu. Aku butuh kau bekerjasama denganku, untuk mencari tahu apa tepatnya rencana Gakushuu pada tahun baru."

Nada Gakuhou yang kelewat serius membuat Karma ingin tertawa. Akan tetapi, dalam posisi disandera begini wajar saja kalau humornya sedang kurang berselera.

"Well, entah, menonton kembang api barangkali? Seperti orang normal pada umumnya?!" Suara Karma berada di ambang histeria.

Gakuhou menggeleng. "Tidak. Aku tahu Gakushuu sedang merencanakan sesuatu yang besar."

Lantas kenapa harus pakai menculik dan membius segala, ingin Karma membentak sarkastik, tetapi ia segera mengurungkan niat. Sudahlah, pikirnya pasrah, sifat dramatis Asano menurun secara genetik dari generasi ke generasi dan mustahil disembuhkan, kecuali dengan genosida. Maka ia memutuskan untuk merutuk menggunakan kalimat lain.

"Kenapa harus saya yang diminta? Mengapa tidak salah satu dari Five Virtuosos yang Anda banggakan dulu? Sakakibara mungkin, saya curiga cowok itu naksir Gakushuu waktu SMP."

Karma nyengir menunggu reaksi Gakuhou, tetapi ekspresi pria tersebut kukuh laksana batu. "Aku kenal Sakakibara. Tidak berguna."

Jika Sakakibara mendengar itu, Karma yakin lelaki malang itu bakal menangis karena dihina mantan-calon mertua.

"Atau, kenapa tidak Anda sendiri saja yang mencari tahu? Anda satu atap dengan dia. Tentunya kalian makan di atas meja makan yang sama—tunggu. Jangan bilang kalian makan di dua ruang berbeda dalam mansion Asano kalian yang superbesar…"

"Kami punya dua ruang makan-"

"Ya Dewa."

"-tapi kami makan di ruang yang sama, tentu. Cuma seringkali aku pulang larut dan tidak makan di rumah." Gakuhou mulai kehilangan kesabaran, sepatunya yang disemir berkilat mengetuk lantai berulang kali. "Masalah utamanya bukan itu. Bisa saja kulakukan sendiri, tapi aku sibuk. Terlebih, Gakushuu akan lebih cepat menyadari campur tanganku, mengganti rencananya, dan usahaku akan sia-sia."

Logika Gakuhou benar, tetapi dengan dirinya sendiri sebagai tumbal, Karma sangat bersedia untuk menolak kenyataan.

Karma menarik napas dalam-dalam. "Asano-san, ini konyol. Saya dan anak Anda bukan buddy-buddy yang saling mengasihi. Kami pesaing. Rival. Bertengkar dan saling menjatuhkan."

"Ia memanggilmu dengan nama depan, lho."

Tangan Karma gatal ingin menepuk dahi atau meninju muka Asano senior, apabila goresan pada pergelangannya tidak semakin dalam dan mulai terasa perih. Semua orang memanggilnya dengan nama depan, demi Dewa. Sejak dulu.

"Aku mengenalmu, Akabane Karma. Jenius, berbakat, karismatik. Cukup cerdas untuk berada di kelas A, tetapi reputasimu sebagai berandal membuatmu terkunci di kelas E. Kau merasa dirimu lebih baik daripada guru. Hell, bahkan alien itu hormat padamu." Gakuhou mencengkeram dagu Karma, mendekatkannya perlahan. "Gakushuu mungkin kalah—tapi aku? Jangan coba main-main, Karma-kun."

Skenario ini saja sudah buruk, ditambah buruk pula dengan aroma cologne yang peris dengan milik Gakushuu, memenuhi indera penciuman Karma. Lelaki berambut merah itu menatap mata Gakuhou, tak gentar. Dengan seringai menatang terpasang di wajah, dan jarak lima senti antara batang hidung masing-masing, Karma akhirnya bertutur kalem.

"Dan bagaimana caramu memastikan bahwa aku tidak akan ingkar, Asano-san~?"

Gakuhou menyipit enigmatik. "Kuperhatikan kau selalu menerima kiriman internasional setiap Natal, bukankah begitu?"

Karma nyaris tercekat.

"Sampai tugasmu selesai, semua kiriman paket dan surat yang dialamatkan ke rumahmu ditahan di kantor pos."

to be continued...