Our Dignity Based on This Umberella
Eru Ryu
'Cara seorang Luhan merayu berandal kecil dengan sebuah payung. Berhasilkah?'
Warn : tidak benar-benar BL, sekedar bromance yang nggak cukup manis. Alur lambat dengan konflik super ringan. Bahasa nano-nano. Manly!Jongin with Gentle!Lu
Disc : EXO milik Tuhan semata. Kesamaan ide adalah karena tema pasaran.
.
.
.
Jam lima lewat tiga menit. Luhan melirik jam metal di pergelangan tangan kirinya. Hari sudah sore, langit berwarna abu-abu. Hujan. Bukan gerimis. Ini benar-benar turun hujan. Butiran air lebat pertama kali yang membasuh kota panas. Bau tanah merekah, menusuk hidung saat trotoar batu yang mengalas jalanan menjadi hitam dan berkubang. Pemuda berambut coklat terang itu mendesah gusar pada keadaan yang sedang Ia hadapi. Sebuah plastik putih yang penuh berisi barang belanjaan menggantung di tangan kiri. Bergoyang sekali-dua kali tanpa sadar.
Musim panas selalu diselingi hujan tiap beberapa hari sekali. Tidak sesering ketika musim gugur atau dingin. Tapi Luhan tidak menyangka hujan akan datang hari ini. Seawal ini. Bukan salahnya ketika Ia tidak menonton ramalan cuaca, pagi tadi terik dan hujan bukan prediksi awam yang bisa diduga dengan mudah. Tidak heran bila Luhan lalai membawa payung, jas hujan atau bahkan jaket untuk membantunya keluar dari jebakan rintik air. Ia berdiri seperti orang bodoh di depan minimarket. Menunggu curahan dingin itu berhenti dari tubuh langit. Ia tidak ingat, sudah berapa lama dia disana. Tapi yang jelas kakinya mulai kesemutan. Kaku, dan bergetar. Ugh, seharusnya tadi Ia tidak kesini. Seharusnya Luhan pergi ke minimarket yang memiliki tempat istirahat. Meskipun, memang cukup jauh dari rumahnya. Tapi setidaknya Ia tidak perlu repot berdiri sendirian di sudut itu.
Ck, ck, ck
Kecipak air nyaring menyadarkan Luhan dari lamunannya. Ia menoleh pada kegaduhan itu. Memperhatikan seorang anak muda dengan seragam SMA berlari menuju pelataran minimarket yang diatasnya dilindungi kanopi. Tempat dimana Luhan berdiri. Seorang pemuda dengan jaket biru tua dan tas ransel di depan dada. Ia memakaikan tudung jaketnya menutup kepala. Menyembunyikan sebagian besar rambut hitam pekat yang hanya terlihat potongan poninya yang tajam dan lepek tersapu air. Kulit wajahnya coklat, alis tebal warna hitam dan matanya bulat. Tajam. Hidungnya tidak terlalu mancung, juga bibirnya tebal. Ada sebuah rokok tersangkut disana. Baranya pendek merah menyala. Asap mengepul, terbang diantara tetes air. Pemuda itu melirik sekilas pada Luhan. Suatu tatapan sinis tidak bersahabat. Mungkin menyadari bahwa Luhan tengah memperhatikan-nya.
Ck, ck, ck
Ada langkah lain yang lebih cepat. Yang lebih menarik perhatian Luhan daripada anak nakal di sampingnya ini. Seorang gadis yang berlari-lari menerabas hujan. Dengan payung merah muda, berhias telinga kucing dan banyak kepala 'Hello Kitty' menyebar di punggung payung kekanakan itu. Gadis pendek dan rambutnya diikat kuda, Ia menemui pemuda tadi sambil tersengal.
" oppa, kubilang tunggu aku." Protes gadis itu kesal. Ia mengerucutkan bibirnya sebal. Menatap si pemuda dalam sorot manja.
Sementara anak lelaki itu hanya diam. Tidak merespons. Hanya tatapan matanya pergi menerawang pada ramainya jalan. Mengacuhkan rajukan gadis manis itu. Jengah pada kelakukan si perempuan.
" oppa, bawa payungku. Okey?" senyum pahit ketika keluhan-nya dianggap angin lalu, tercetak ketika Ia menyerahkan payung itu pada sang 'oppa'. Ia menyodorkan gagang besi itu cepat, membuat si gadis terlepas dari lindungan kucing merah muda, juga sebagian tas punggung kuningnya dititik air. Perlahan-lahan basah, menjadi aliran air yang turun setetes dua tetes.
Pemuda itu mengangkat alis heran. Tidak kunjung menyambut payung itu dan malah mencabut rokoknya dari ujung mulut.
" pakai saja. Jika kau kehujanan dan sakit pacarmu bisa membunuhku."
" Hyunjo oppa bukan kekasihku. Berhenti bicara seperti itu. Kami sudah putus. Lagipula bus ku segera datang. Aku akan berlari ke halte dan segera naik. Aku tidak akan kehujanan." Gadis itu menunjuk halte di depan minimarket yang Ia belakangi. Hanya terpisah jarak tiga meter dari tempat mereka berdiri. Dengan langkah lebar, itu akan sangat mudah dijangkau.
Dari jauh, bus hijau sudah tampak. Merambat dengan kecepatan sedang menuju perhentian kecil di depan-nya. Tanpa menunggu persetujuan, sang gadis menggenggamkan payung itu di tangan anak lelaki. Tepat pada tangan yang membawa rokok. Membuat batang tembakau itu jatuh tepat di ujung sepatu kets milik sang 'oppa' . Pemuda itu memandang horror rokoknya yang terlepas tidak sengaja, mengabaikan salam perpisahan si gadis yang kemudian berlari ke halte. Tidak peduli. Ia terlalu menyesal pada surganya yang hilang dan berganti benda menjijikan yang ada di tangan-nya. Pegangan putih berlekuk tiga dan payung terbuka lebar yang teramat sangat menggelikan.
" sialan." Luhan mendengar jelas umpatan kasar itu. Agak keras, meskipun Luhan yakin gadis SMA yang sudah masuk ke dalam bus tidak akan bisa mendengarnya. Jaraknya terlalu jauh, dan suara hujan mengalahkan segalanya. Diam-diam Ia menyeringai. Menertawakan nasib berandal kecil yang cukup tampan itu.
Hujan. Hawanya turut berulah. Sejuk perlahan, kemudian lama-lama menjadi dingin. Membuat Luhan bergidik sebentar. Percikan air masuk ke pori-pori sepatu pemuda itu. Membuat telapak kakinya lembab. Luhan menghela nafas. Bahkan berdiri saja membuatnya lelah. Ia memejamkan mata sambil menengadahkan wajahnya pada langit yang tiada lelah memeras tubuhnya. Mencoba mengagumi air-air yang turun itu dan mengabaikan yang lain. mengabaikan sesuatu yang lain yang mengusik kepalanya.
Sebuah ingatan baru yang bahkan tidak sanggup Ia melupakan. Melupakan wajah coklat gahar yang berubah panik ketika rokoknya jatuh. Mata lebar seseorang, mata berbola coklat tua itu semakin lebar dan tajam, membuat kantung dibawahnya terlihat tebal. Bibirnya seksi sekali ketika bergerak menggumam makian. Wajah galak yang tadi melirik sinis pada Luhan, lalu berubah layaknya orang bodoh begitu rokoknya jatuh. Itu sangat manis. Sangat lucu. sangat cantik.
Luhan membuka matanya. Tergoda untuk menangkap lagi bayang menarik itu. Pemandangan indah seperti ini tidak akan Ia lewatkan begitu saja. Setidaknya wajah itu cukup pantas untuk menjadi teman penghibur di tengah keheningan ini. Ia menoleh,dan darahnya membeku saat itu juga.
" bawa ini."
Semua menjadi semakin gelap saat kepala Luhan tertutup naungan payung. Pemuda itu berdiri dalam jarak satu meter di sampingnya. Menyodorkan gagang payung tepat disisi pinggang Luhan. Permintaan yang terasa angkuh dan dingin. Luhan rasa ini adalah perintah. Ia berbalik seperempat, menghadapkan tubuhnya pada pemuda kurus yang ternyata lebih tinggi darinya.
" ma-maaf…" gagap Luhan heran. Tidak sempat menduga situasi seberuntung ini. Ia sedikit mendongak, menatap lancang mata tajam yang tampak gusar dan galak itu. Rasa sungkan dan takutnya menguap kabur entah dimana. Menjadi keberanian yang tangguh oleh pancaran polos laksana rusa yang tersimpan jauh dalam sorot tidak bersahabat itu.
" silahkan bawa ini. Anda pasti menunggu hujan reda." Kalimatnya kini lebih sopan. Mungkin menyadari bahwa seharusnya ia memang bicara formal pada seseorang yang tidak dikenal.
Namun sesopan apapun terdengar oleh telinga, tetap tidak mengenyahkan nada bicara yang seolah enggan pada payung yang secara tidak langsung menaungi mereka berdua. Ada seruan dalam kalimat itu. Seruan untuk segera mengambilnya.
" itu milikmu. Seorang gadis telah memberikan-nya. Bagaimana bisa kau berikan itu padaku?" Luhan menimpali angkuh. Berpura-pura galak, modus untuk menggoda si anak brandal ini. Walaupun sungguh, Ia bertaruh terlalu besar. Ia ingin banyak bicara dengan pemuda itu, tapi obrolan manis yang berisi basa-basi tidak akan membuatnya jadi terlihat menarik. Sebaliknya, kemungkinan untuk diumpati dan ditinggal pergi juga sama besar. Luhan terlalu banyak nonton drama dan kini Ia hanya ingin berharap pada keberuntungan.
" aku berusaha menolongmu. Dan kau bicara seperti itu? Wow. Orang macam apa kau ini?" Pemuda itu melongo heran. Tanpa berniat mengobrol lagi, Ia menyodokkan payung itu kepada Luhan. Pada tangan lain yang tidak membawa belanjaan. Ia mendecak sebal sebelum akhirnya pergi dari hadapan Luhan dan menerjang hujan. Hanya dengan tudung jaket, Ia berjalan dengan langkah lebar-lebar.
Dalam dua detik Luhan terhenyak. Terlalu tiba-tiba, tidak bisa berpikir dan menyadari pemuda itu telah pergi. Segera setelah kepalanya tersangkut ingatan, Ia berbalik cepat untuk mengejar anak itu.
Ada asa yang harus dikejar. Ada ketertarikan yang harus ditemui. Ada cinta…? Itu agak berlebihan. Luhan tidak pernah percaya pada cinta pandang pertama, semua harus dijalani untuk membangkitkan sebuah hasrat lugu bernama kasih sayang. Kecantikan, ketampanan, adalah permulaan yang wajar untuk menjerat mata. Dan, Luhan harus akui bahwa Ia hanya terjerat. Tidak lebih. Sekarang. Ya, sekarang.
.
.
.
Hujan di hari raya adalah pertanda baik. Keberuntungan untuk tahun depan atas kelancaran usaha, kesehatan dan banyak hal. Namun Chuseok masih beberapa hari lagi. Hujan masih punya waktu untuk terharu beberapa hari lagi. Tapi Luhan berbahagia atas hujan lebih awal. Ia berbahagia mendahului orang lain. Karena seorang pemuda galak yang mengangsurkan payung dengan cara yang sama sekali tidak manis. Tapi benar-benar menarik. Jauh dari kesan romantis. Jauh dari kata tulus. Namun tetaplah istimewa.
Ia berjalan tepat di belakang orang itu. Dengan langkah yang sama terburu-buru, sama-sama besar, mencoba menggapai jarak yang selaras. Namun pemuda itu sulit sekali dijangkau. Si kurus tegap yang terbungkus jaket biru tua dari kepala sampai pinggang. Celana sekolahnya basah, meskipun tidak menempel ketat. Berjalan cepat, hampir berlari. Menantang hujan, dalam cara yang begitu jantan. Keren memang, tapi agak-agak bodoh.
Sebuah kubangan lebar, hampir satu meter yang dilompati anak itu mencipratkan sedikit air pada kaki Luhan yang seperti tidak menjaga jarak dalam kondisi menguntit seperti ini. Terlalu nyata, terlalu mencolok. Kentara sekali bahwa Luhan memang sedang mengikuti. Mungkin alasan masuk akal pemuda tinggi itu untuk berjalan sedemikian laju. Menghindari orang aneh yang terang-terangan membuntutinya.
Luhan turut meloncat, terlalu cepat. Pemuda itu belum sempat melangkah lagi dan Luhan telah menubruk punggungnya dari belakang. Mereka bisa saja terjatuh membentur aspal bersama, tapi Luhan segera merengkuh tubuh kokoh itu erat sambil menapak sebelah kakinya, mencari keseimbangan. Payung di tangan kanan, bergerak otomatis kedepan perut rata pemuda itu, membuat mereka ditimpa titik-titik air.
Ada jantung yang berdebar rusuh. Tidak. Itu bukan hanya milik Luhan. Itu juga milik pemuda berkulit coklat yang kini membeku sempurna dalam dekapan seorang pria. Pelukan yang begitu posesif, mengikat. Tapi juga berjarak. Ada kehormatan yang harus dijaga. Ada kesopanan yang masih harus dijunjung. Pemisah seharusnya untuk dua orang yang tidak saling mengenal.
Adegan mesra itu tidak bertahan lebih dari tiga detik. Ini bukan scene drama yang menunggu backsound manis selesai diputar. Ini hanya kecelakaan konyol yang memalukan. Luhan melepas pelukan-nya segera dan dengan sigap mengangkat payung itu lagi. Menaungi mereka berdua dalam perlindungan. Si pemuda yang lebih tinggi berbalik dalam gerakan memutar yang gesit, menatap tajam seorang pria cantik dan mungil yang balas menatap was-was.
" apa yang kau inginkan? Siapa kau dan kenapa kau mengikutiku?" cecar pemuda itu cepat, dingin, menekan. Pandangan-nya kuat, tajam menusuk onyx coklat tua milik Luhan yang berpendar ringan. Menggoda, menantang. Ia tidak lagi khawatir. Hal-hal macam ini, sesuatu yang Ia tunggu.
" berpayunglah denganku. Kau terlihat konyol berjalan di bawah hujan."
Pemuda itu tidak peduli. Ia berbalik cepat lagi. Tidak mementingkan perkataan Luhan yang tidak menjawab apapun. jawaban dari tipikal orang keras kepala, flamboyan, dan bossy. Tipikal orang yang dibenci Jongin. Ya, namanya Kim Jongin. Tertera pada nametag dibalik jaket basah itu. Jongin hendak mengambil langkah kaburnya, sebelum tangan kurus yang sedang mengapit plastik putih diantara jari lentik itu mencengkram pergelangan-nya. Sangat kuat, hampir saja Jongin terjengkang ke belakang. Luhan menahan Jongin untuk pertama kali.
" setidaknya aku harus tahu dimana aku bisa mengembalikan payung ini."
" ck, kau bisa membuang itu jika tidak membutuhkan-nya."
" payung ini bukan sepenuhnya milikmu, kan? Ada seorang gadis yang mengharapkan ini kembali. Aku hanya menolongmu agar tidak perlu mendengar rajukan-nya." Jongin berbalik, menatap Luhan heran bercampur jengah. Ia menyentak tangan-nya selagi sibuk memandangi pria cantik itu. Kesal, tapi tidak bisa membalas.
" jangan berjalan cepat-cepat. Aku lelah sekali."
Seolah-olah telah mendapat persetujuan, dari bagaimana Jongin tidak bisa menolak atau bicara, Luhan tersenyum tipis. Lalu bertingkah layaknya dua orang sahabat karib yang mengenal baik, Luhan menepuk pundak basah itu akrab dan menuntun Jongin berbalik, menuju tujuan akhir mereka. Rumah Jongin yang menjadi alasan kebersamaan ini. Luhan menghela nafas, pura-pura lelah. Berakting lugu dan membiarkan pemuda SMA itu menatapnya heran dan bingung. Mereka lalu berjalan. Masih, diselimuti aura canggung dan sok kenal. Aneh sekali karena mereka memiliki sikap yang bertolak belakang.
Jalanan yang semakin menanjak, aspal itu jadi seluncuran legam dari air-air yang mengalir menjadi galur-galur terpilin. Kecipak basah yang tercipta dari sepatu-sepatu kets yang menapak kuat diatasnya, milik Luhan dan Jongin yang berjalan berdampingan. Masih terasa buru-buru, Luhan sangat keras berusaha menjaga irama kakinya dengan anak cuek itu. Tidak lelah sebenarnya, Luhan sering bermain bola dan kecepatan seperti itu bukan hal yang berarti. Tapi, usaha ini… haruskah secepat itu berakhir?
Luhan memindahkan payung pada tangan yang membawa belanjaan, menghimpit dengan tidak leluasa. Lalu menarik lengan Jongin yang sejak tadi membekap tas punggungnya yang menggantung di depan dada. Menarik lengan yang sedikit kekar itu dengan kuat. Menahan Jongin untuk berhenti.
" hey… pelan-pelan saja. Kenapa kau begitu terburu-buru. Apa aku terlihat seperti paman jahat yang mesum?"
ucapan Luhan terasa hangat namun membekukan. Penuh perhatian tapi datar. Seperti titik air di atas mereka. Lembut sekaligus menusuk tajam. Sedikit, itu membuat hati Jongin mengkerat. Pandangan mereka bertemu. Seseorang melunak, tapi yang lain masih mengeras. Jongin tidak menjawab. Ia melepas tangan mungil berurat yang mencengkram lengan-nya. Tidak menanggapi bukan berarti membangkang. Setelah protes itu, Ia berjalan lagi. Kali ini lebih santai.
Luhan tersenyum samar di belakang punggung tegap itu. Ia memindahkan kedua kali payung telinga kucing yang sejak tadi jadi masalah mereka. Jujur saja, belanjaan itu sudah cukup berat. Dengan beban payung, jarinya semakin tergores merah muda.
" hey… ada apa dengan ini? Dengan payung ini? Kenapa kau tidak mau memakainya?"
Luhan berusaha bersikap ramah. Ia mensejajarkan langkah di samping pemuda itu. Tentu, masih dengan berjuang memayungi mereka berdua. Meskipun memang sebagian bahu kirinya mulai basah. Lebarnya payung tidak mencukupi untuk dua orang. Terpaksa Luhan yang harus mengalah dan memberi porsi lindungan lebih banyak untuk pemuda asing itu.
" anda pikir aku pantas memakainya? Dengan telinga kucing dan Hello Kitty… hanya anak perempuan dan orang-orang seperti anda yang tidak aneh memakai itu." cuek sekali Jongin menjawab. Ia bahkan tidak berniat memandang sedikitpun pada Luhan. Membiarkan senyum tulus sang pemuda cantik yang jelas-jelas diberikan untuk Jongin menguap. Hilang karena diabaikan. Berganti senyum masam yang mencoba tegar.
" orang-orang sepertiku? Seperti apa?" pancing Luhan santai. Ia melirik sekilas pemuda itu. Tepat, ketika Jongin balas memandangnya. Tentu dalam cara yang berbeda. Pandangan yang malas, jengah dan terganggu. Jongin berhenti, memaksa Luhan bertindak serupa. Ia mendekatkan wajahnya pada Luhan dan berbisik tepat di ujung bibir pemuda kecil di hadapan-nya.
" orang macam apa? Uhm… Orang yang cantik…" senyum Luhan terkembang tipis. Mengakui pujian menyebalkan yang sampai bosan Ia dengar. Namun rasanya berbeda ketika diucapkan oleh anak ini. Membuatnya puas sekaligus bahagia. Tapi hei, kata-kata itu masih menggantung, kan?
"… dan lemah." Lengkungan manis itu surut perlahan, mendengar 'lemah' yang membuat emosi Luhan sedikit meningkat. Pada taraf kesal, tidak sampai ingin meninju wajah yang kini tengah menyeringai sinis. Bagaimana pun juga, kecantikan yang tersembunyi jauh dalam sorot meledek itu begitu dekat dengan wajahnya. Terlampau rapat. Begitu cantik. Begitu menghipnotis dan mendebarkan. Hal kecil dan sederhana, namun sangat menggoda untuk diraup dan dihisap. Argh, Luhan mengerjap tiga kali. Membuang bayang bibir persik yang terlalu dekat dan provokatif itu. Ayolah Luhan, kembali fokus. Jongin menarik wajahnya ketika Luhan masih sibuk terpaku. Seringai ejeknya terbelah makin sempurna, miring dan mencemooh.
Karena pria asing cantik sok kenal itu tidak juga merespon, akhirnya Jongin memilih untuk berjalan kembali. Meninggalkan Luhan lagi. Membiarkan tubuh tegapnya diguyur titik-titik air yang semakin deras dan tajam. Menusuk wajah dan punggungnya yang mulai dingin.
" jangan dekat-dekat denganku Tuan. Kau membuatku terlihat aneh."
Luhan yang segera menyusul Jongin mendengar itu. Terdengar jelas, menyela diantara tik-tok bunyi nyaring yang mengenai kain parasut di atas kepala mereka. Untuk kalimat yang ambigu itu, sudut hati Luhan linu. Nyeri. Merasa bersalah tapi tak mau mengakui. Apa Ia terlihat seagresif itu? Semengganggu itu?
" kenapa?" Luhan menggumam dalam senyum canggungnya. Mengamati aspal basah yang Ia injak. Aliran air, kubangan, juga bayang toko dan tembok rumah di permukaan kaca itu. Lalu mendengar gelegak petir yang samar-samar mengalun bersama geruduk hujan. Harmonis. Mendung tapi romantis. Persis, seperti apa yang kini Ia hadapi. Ia rasakan.
" anda pikir, bagaimana caranya dua orang pria berdiri di bawah payung yang sama? Apa tidak terlihat aneh?"
Luhan mendongak. Senyum geli tiba-tiba tersemat tipis pada bibirnya. Menyadari sebuah pemikiran yang ternyata mengganggu anak ini dari tadi. Mungkin alasan utama mengapa mereka begitu berjarak. Alasan mengapa Jongin begitu menjaga jarak. Menurut Luhan ini sedikit lucu dan konyol. Hey, apa salahnya dua orang pria dalam payung yang sama?
" dengan keadaan hujan begini, dua orang pria berdiri pada payung yang sama kurasa tidak aneh. Juga, dengan wajahku yang kau bilang cantik, siapa yang akan peduli? Untuk orang-orang, mungkin kita terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berjalan bersa-"
" ya, dan anda wanitanya. Baiklah. Kurasa itu adil." Potong Jongin cepat. Menyela pembelaan Luhan sambil tersenyum tipis. Seringai itu semakin tajam. Menjadi karena kemenangan ganda. Ya, berhasil mengejek orang dua kali itu, memang tidak sopan. Memang kurang ajar. Tapi ketidaksopanan itu pantas untuk kakak penganggu macam Luhan. Begitu pikir Jongin.
" tapi seorang wanita tidak memayungi laki-laki, bukan? Jadi kau wanitanya. Benar. Kurasa itu rasional."
Ganti Luhan yang menyeringai. Ketika Jongin menatapnya sengit, mendadak emosi.
Dibalik senyum miring itu, Luhan menerka-nerka dalam hati. Menyelam jalan pikiran seseorang yang tidak Ia mengerti. Anak itu pikir, bahwa dua orang pria berjalan bersama, dalam satu payung, tentu terlihat tidak 'normal'. Persepsi orang-orang yang melihatnya mungkin demikian. Mungkin juga macam-macam. Dan pasti, Jongin sedang menghindari persepsi macam-macam itu. Agak menyebalkan sebenarnya untuk Luhan. Karena jelas Ia tertarik pada Jongin. Dan 'penolakan' halus ini… ah, haruskah rasa tertarik itu dikubur saja?
" jika tujuan anda adalah menjebak dan membuat saya kesal, maaf anda belum berhasil. Saya tidak akan memayungi anda hanya karena anda menganggap saya 'wanita'."
Diluar perkiraan Luhan, ucapan Jongin mengarah pada topik yang berbeda. Mungkin anak itu berpikir bahwa maksud Luhan mengatakan bahwa Jongin seperti wanita adalah untuk membuat Jongin kesal dan akhirnya terpancing emosi. Lalu dengan suka-rela, atau bahkan terpaksa menggantikan peran 'laki-laki' tersebut dengan gantian memayungi. Mungkin anggapan Jongin serumit itu. Tapi tidak, kan? Ucapan Luhan lebih naïf lagi. Karena apa yang Ia katakan hanya permainan kata. Juga, sedikit bumbu rayuan. Hal tersembunyi yang coba Luhan kembangkan dalam obrolan mereka.
" memang tidak. Aku pun tidak keberatan memayungimu. Aku cukup puas menjadi gentleman-mu."
Jongin menoleh. Menahan tawa. Menahan olok dan makian yang mengerucut dalam kepala. Tidak. Tidak akan sampai Ia ucapkan. Apalagi jadi pukulan. Jongin memang galak. Tapi dia tidak suka berkelahi. Terlebih oleh hanya perang mulut seperti ini. Dan lagi mereka tidak saling mengejek atau mengumpat. Tidak ada alasan untuk melayangkan tinju atau tendangan.
" gentlemanku? Apa aku terlihat seperti lady untuk anda?"
Luhan tersenyum. Menggoda.
" Ya. Kau lady untukku. Lady yang seksi…" Luhan menahan ucapan-nya sambil melirik tubuh Jongin dari bawah ke atas. Sepatu basah, celana basah, jaket basah, leher jenjang menggoda, "… dan cantik." Lalu berakhir pada wajah kuyup yang pucat kedinginan. Pada sorot mata Jongin yang kesal sempurna, menatap tidak suka karena merasa ditelanjangi dengan pandangan nakal Luhan.
Benar. Hanya sorot mata Jongin saja yang sinis. Senyum itu, meskipun licik dan mencibir, Luhan tahu bahwa anak manis itu tidak betul-betul marah.
" seorang gentleman tidak memuji 'seksi' pada lady-nya. Beberapa wanita terhormat tidak suka dibilang seksi. Apa anda benar-benar gentleman? Jika aku adalah wanita, maka aku akan menampar anda. Keras dan menyakitkan." Meskipun pujian Luhan tadi benar-benar menohok hati Jongin. Sisi harga diri Jongin, tapi Ia masih mencoba bersabar. Selama tidak ada hinaan langsung, tabu baginya untuk memukul.
" tapi kau laki-laki, kan? Kau tidak perlu merasa risih jika kubilang seksi. Kecuali jika memang kau merasa wanita. Silahkan menamparku. Seperti katamu, keras dan menyakitkan."
Yah… itulah yang Jongin khawatirkan. Akhirnya terbaca juga. Melakukan tindakan gegabah, seperti memukul sama saja dengan mengakui bahwa Jongin tersinggung dilabeli seksi. Jika Jongin tersinggung, maka tak ubahnya Ia seperti wanita terhormat yang terlecehkan pada pujian itu. Jadi serba salah. Jadi Jongin tidak bisa berkutik. Jadi seperti orang bodoh. Ia mendengus kesal. Memilih untuk mengalah lagi. Berjalan dengan angkuh. Tidak peduli.
" hei... tidak jadi menamparku?" goda Luhan disertai senyum simpul menahan tawa.
' dalam wujud wanita ataupun pria sekalipun, kau memang pantas mendapat sanjungan itu. Jadi janganlah merasa tergangggu.'
Dalam hati Luhan yang bicara. Tidak Ia utarakan. Tidak sekarang. Disaat anak itu masih sensitif pada topik seperti ini. Ya, mungkin kapan-kapan. Jika Luhan punya alasan dan kesempatan untuk lebih dekat. Jika memang takdir menjalinkan tali merah diantara mereka berdua. Jadi kata 'seksi' itu terasa 'mengintimkan' daripada sekedar 'melecehkan'.
.
.
.
Masih Berlanjut
