Disclaimer : This is my own fict. Bleach belongs to Tite Kubo-sensei.
Rate : M, for violence and gore
Warning : OOC, AU, typo, chara death, dark theme and many more.
.
Chapter 1 – That Dream
Ini bukan dimana saat tubuhmu dikendalikan oleh sesuatu yang membuatmu melakukan apa yang tidak ingin kaulakukan. Ini adalah saat kau bahkan ingin untuk melakukan hal yang tak pernah kaupikirkan sebelumnya.
.
.
.
Rukia POV
"Baiklah, aku percayakan padamu." ujar Ukitake-san sambil memunggungiku.
Aku mengangguk pelan. "Dimengerti."
Kulihat Ukitake-san berjalan menyusuri koridor dan menunggunya menghilang di belokan. Baiklah, aku akan menemui Ichigo malam ini.
Sebelum itu, aku akan menemui Urahara Kisuke untuk meminjam gigai. Sebenarnya gigai tidak begitu dibutuhkan untuk misi kali ini. Tapi aku berencana kembali ke Soul Society besok pagi. Aku ingin bertemu Yuzu dan Karin. Sudah lama aku tidak berkunjung.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke Kota Karakura dengan Senkaimon. Dan kini aku berdiri di depan Urahara Shōten.
Aku membuka pintu. "Konban—" belum selesai aku mengucapkan salam, Urahara-san sudah berdiri di depanku.
"Aaa~ Rukia-chan, apa ada misi kali ini? Kau butuh gigai, bukan?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan, "Sepertinya kau sudah tahu tentang ini, Urahara-san." jawabku sambil melepaskan geta dan melangkah masuk. Hm, toko ini tidak ada perubahan sejak terakhir kali aku kemari.
"Apa kau akan menemui Kurosaki-kun?" tanya Urahara-san lagi, ia membawa gigai-ku di tangannya dan memberikannya padaku.
"Ya. Aku memang akan menemuinya. Baiklah, aku pergi. Arigatō gozaimasu."
Aku mengenakan gigai-ku dan yah, aku terlihat. Berjalan menyusuri jalan setapak diterangi temaram lampu.
Fufufu… Suara itu.
Aku berhenti, menoleh ke belakang, menajamkan telinga, memandang ke segala arah tanpa sekalipun merubah posisi. DUG! Aku tersentak. Uh, dadaku… sesak. Ini lagi. Aku masih terus mencari sumber suara yang kudengar tadi. Itu jelas bukan suara manusia karena aku juga mendengarnya di Soul Society.
Cih, aku sudah siap melepaskan gigai dan langsung menarik zanpakutō-ku—menghadapi siapapun yang akan muncul.
Sunyi. Begini lagi. Apa-apaan suara itu?
Aku menghela napas panjang. Baiklah, kutegakkan tubuhku dan mulai berjalan lagi. Mungkin bukan hal besar, tapi aku akan coba mencari tahu tentang ini. Mungkin besok aku akan menanyakannya pada Akon.
.
.
"Mm, jadi… ini tentang hollow yang merasuki beberapa orang akhir-akhir ini?" tanya Ichigo sambil meletakkan kaleng sodanya yang kosong.
Aku mengangguk, "Ini memang bukan tugas berat. Walau ini hal baru, ada kasus yang hampir sama dengan ini. Kau—sebagai Shinigami pengganti—akan membantuku dalam misi kali ini. Dan kurasa, selebihnya kau sudah tahu." jelasku. Aku bangun dan berdiri membelakanginya. "Iku zo."
Ichigo melompat berdiri, merenggangkan lehernya dan menghela nafas panjang, "Yosh! Kita mulai malam yang panjang ini."
.
.
Kami memutuskan untuk mulai mencari di daerah sekitar sekolah dan hasilnya nihil. Kami mulai berpencar dan melompati atap demi atap.
Sebuah jendela menarik perhatianku, ada sesuatu yang aneh di dalam sana. Aku melompat mendekati jendela kaca dengan tirai tersibak di kanan-kirinya dan menoleh ke dalam dengan bebas tanpa terhalang apapun. Kulihat seorang gadis menggeliat di atas futon-nya, berguling ke kanan dan ke kiri lalu merintih. Ia mulai berteriak pelan dan mengikik. Sampai kedua tangannya menyambar lehernya, mencekiknya keras-keras. Gadis itu tertawa nyaring.
Aku tersentak. Kubuka jendela dan mendekati si gadis. Apa ini hollow? Ya, ini memang hollow, tapi…
Tiba-tiba mata gadis itu terbuka. Bola matanya bergerak dengan liar dan berhenti padaku. Aku terdiam. Tiba-tiba tangan si gadis mengarah ke leherku, mencoba mencekikku. Aku cukup cepat menghindari tangannya dengan langsung melompat ke belakang. Aku bersiap menarik zanpakutō-ku.
Tubuhnya dikendalikan.
Aku menarik zanpakutō-ku, "Menarilah, Sode no Shi—" DUG! Uh, ini lagi. Kenapa harus di saat seperti ini?
Aku mencengkeram kimono hitamku. Ada apa dengan tubuhku?
"Ugh… Ahk!" jeritku pelan. Dadaku sesak, lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terjatuh—tersungkur di lantai, berusaha bangkit. Gadis itu sudah berdiri di depan kepalaku yang bahkan tak sanggup menengadah. Aku harus melawan rasa sakit ini.
DEG!
Sesuatu merasukiku dari ujung kepala lalu memenuhi seluruh tubuhku sampai ke ujung jari. Jiwaku terasa pekat. Hatiku dipenuhi oleh sesuatu dan otakku terasa ingin meledak. Semua berlangsung begitu cepat sampai akupun belum mengambil napas atau berkedip. Sesuatu menjalar dari dadaku, seakan-akan melekat dalam aliran darahku. Tubuhku terasa panas. Aku mencoba berdiri. Badanku terhuyung ke depan lalu ke samping seperti orang mabuk. Dan aku berhasil berdiri dengan tegak di hadapannya. Menatapnya dan menyeringai.
Aku merasa lebih hidup.
Kuambil zanpakutō milikku dan menebasnya secara diagonal tepat melewati jantung si gadis. Gadis itu roboh seketika dan tepat bersamaan dengan itu, Ichigo datang.
"Ru-Rukia? Kau tak apa?" tanyanya sambil tanpa henti mengamati sekeliling. Dan pandangannya berhenti pada zanpakutō-ku lalu beralih pada si gadis yang telah mati dengan bagian dada sudah terkoyak dan darahnya yang mulai mengalir deras. "Apa yang—"
Ichigo bungkam karena aku mulai mengangkat zanpakutō-ku tinggi-tinggi dan mengayunkannya di atas tubuh gadis di hadapanku. Percikan darah segar menari-nari indah. Belum cukup. Aku menusukkannya lagi dan lagi sampai terdengan bunyi harmoni antara tulang-tulang yang retak dan patah, daging yang tercincang dan darah yang terus mengalir segar. Darah terus menyembur dan membasahi kimono hitamku yang kini terlihat lebih hitam—lebih gelap—dari biasanya.
Aku tak merasa dikendalikan sama sekali. Tubuhku bergerak atas keinginanku, kemauanku. Dan aku menyukainya.
"O-Oi! Rukia, hentikan!" Ichigo menarik bahuku keras-keras. Aku masih berusaha mengiris tipis wajah gadis itu, tapi Ichigo langsung melemparku ke belakang, mendorong bahuku hingga membentur dinding kamar. Rasa khawatir dan marah terlukis jelas di matanya.
"Apa yang kaulakukan? Sadarlah, Rukia! Kau sudah kelewatan. Apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan? Kau bisa dapat hukuman berat." seru Ichigo berusaha menyadarkanku.
Napasku tertahan. Aku mengedipkan mata dan mencoba memahami keadaan. Aku memandang ke arah mayat si gadis. Bagian dada dan perutnya sudah tak lagi berbentuk. Retakan tulang dan beberapa irisan daging bertaburan di sekelilingnya. Darahnya masih mengalir dan membasahi setengah dari futon-nya. Matanya masih terbuka lebar seakan-akan bola matanya akan melompat keluar.
Apa yang kulakukan?
Sepersekiandetik kemudian, rasa itu muncul lagi. Merambat sangat cepat dan langsung memenuhi rongga dadaku lalu menjalar ke kepalaku. Dengan cepat aku membalik zanpakutō-ku dan menebas Ichigo. Kudengar erangannya dan suara tubuhnya yang terbentur dinding. Bersamaan dengan itu, aku mengambil lompatan dan menerjang tubuh si gadis. Gadis yang kini terlihat lebih manis dari saat pertama aku melihatnya.
Hm, dari mana aku mulai? Kakinya? Wajahnya?
… Matanya.
Mata yang hampir mencuat keluar itu berkilau terkena cahaya bulan. Kulit yang tadinya seputih porselen, bening dan bersih, kini menjadi pucat, membiru dan dipenuhi bercak darah. Melankolis.
Aku mengangkat tanganku perlahan, mendekatkannya pada wajah si gadis, menyusuri lekukan aliran darah dari mulutnya. Aku menjilat ujung bibirku, ini membuatku semakin bergairah.
Kumasukkan jari telunjukku ke dalam lubang matanya, mengoreknya perlahan, memasukkannya lebih dalam. Aku tersenyum. Haha, ini menyenangkan Kutekuk jariku dan menariknya. Bola mata itu lepas! Menggelinding dan berhenti di sampingku. Ah, lucunya.
Tiba-tiba sesuatu menarik lengan kimono-ku. Itu tangan Ichigo. Kurasa tebasan yang kubuat tidak begitu dalam dan hanya mengenai kulit luarnya saja. Oh, kumohon jangan ganggu aku, Ichigo.
"Berhenti, Rukia!"
Tangan kirinya menyambarku, menarik kerah kimono-ku dan mengangkatku cukup tinggi hingga hanya jari kakiku yang menyentuh lantai.
"Maaf." ucapnya lirih. Dengan cepat ia melayangkan tinjunya ke perutku.
Pandanganku meredup. Gelap.
.
.
Ichigo POV
Aku berjalan perlahan menuju rumah. Hari sudah hampir pagi, mungkin Yuzu dan Karin akan mengomeliku karena pergi tanpa pamit.
Aku tidak pernah berpikir akan jadi seperti ini. Kupikir misi ini tidak bergitu sulit, ini benar-benar di luar pikiranku. Rukia yang selalu hati-hati dan bersikap kritis bisa dirasuki sesuatu, membunuh orang tak bersalah dan melakukan hal keji semacam itu.
Kurotsuchi bilang bahwa masalah Rukia akan diselidiki untuk ditindaklanjuti. Aku tidak tahu apakah Rukia akan dihukum mati atau dibebaskan karena menurutku dia dikendalikan. Aku tidak bodoh, aku juga tahu tentang hipnotis.
Ah, aku tidak paham tentang ini. Akon bilang ini cukup mengancam Rukia dan dia tak mau memberi tahu kenapa. Si Byakuya malah diam saja. Jadi, setelah interogasi panjang yang melelahkan itu, aku pulang. Sebenarnya aku tidak mau karena keadaan Rukia masih belum jelas. Tapi, Genryūsai-dono berjanji bahwa kabar mengenai kasus Rukia akan segera disampaikan padaku secepatnya. Yah, aku percaya padanya dan kembali ke Karakura.
Entah apa yang akan terjadi, aku harap kau akan baik-baik saja, Rukia.
.
.
Rukia POV
Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku berat dan pandanganku masih sedikit kabur. Dimana ini? Apakah aku ada di rumah Ichigo? Atau Soul Society? Bukan.
"Rukia Kuchiki…"
Suara itu lagi! Aku beranjak bangun dan memandangi sekeliling dengan waspada. Ini buruk.
"Siapa di sana? Tunjukkan dirimu!"
Ruangan ini gelap hampir tak ada cahaya, luas seakan-akan tidak berujung.
"Apakah kau bahagia? Adakah keinginanmu yang belum terpenuhi? Rasa haus akan sesuatu?"
Sial. Suara itu terasa sangat dekat denganku dan entah kenapa aku tak merasakan kehadiran siapapun.
"Siapa kau?" Aku mengambil kuda-kuda dan bersiap menarik zanpakutō-ku. "Aku tidak ada urusan denganmu. Keluarkan aku dari tempat ini!"
Aku merasakan reishi yang semakin padat.
"Dengarlah, Rukia! Aku akan memberikanmu kekuatan. Bebaslah dan lakukan apa saja yang kau suka! Turuti apa 'keinginan' hatimu."
Tubuhku membeku mendengar ucapannya.
"…'keinginan' hatimu…"
Hatiku serasa mengulang kata itu berkali-kali. Tanpa henti.
Keinginang hatiku? Ingin? Hatiku ingin apa?
"AAARGH!" teriakku nyaring. Tubuhku kembali terisi oleh sesuatu. Sesuatu yang mengalir dalam darahku, memenuhi hatiku dan berkumpul di kepalaku. Aku tertawa tak jelas lalu menyeringai.
"Fufufu… Kau merasakannya, bukan? Sensasi yang begitu bergairah, meletup-letup dan membara. Seperti itulah rasanya jika kau dapat memenuhi keinginanmu."
Aku memejamkan mata, merasakan setiap desir darahku yang mengalir dalam tubuhku.
Kubuka mataku perlahan dan memandang penuh keyakinan.
"Asobou yo~ (mari bermain)" gumamku, menunjukkan seringai di wajahku.
.
.
.
A/N:
Yo, minna~!
Newbie di sini. Ini fic pertama, jadi keliatan banget abalnya.
Semoga di chapter selanjutnya bisa lebih baik lagi.
Mohon bantuannya. Kritik dan saran pasti diterima.
Review neee~
